Anda di halaman 1dari 13

Vibrilasi Ventrikel pada Pasien Tidak Sadarkan Diri dengan Riwayat Jantung

dan Hipertensi

Jeffer Shison

10-2012-138

Kelompok BP2

jeffer.shison@civitas.ukrida.ac.id

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731

tu.fk@ukrida.ac.id

Abstrak

Henti jantung adalah keadaan klinis dengan curah jantung yang secara efektif adalah
nol. Meskipun biasanya disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol atau aktivitas listrik tanpa
nadi (PEA), henti jantung dapat ditimbulkan oleh disritmia lain yang kadang kala
menimbulkan curah jantung yang sama sekali tidak efektif. Disritmia ini antara lain adalah
bradikardi dan fibrilasi ventrikel. Fibrilasi ventrikel yang disaksikan langsung oleh dokter
harus segera defibrilasi. Resusitasi jantung paru harus dilakukan dengan evaluasi perfusi
berulang pada arteri karotis atau femoris dan oksigenasi berupa bunyi napas, oksimetri,
kapnometri dan gas darah.

Kata kunci: Henti jantung, fibrilasi ventrikel, disritmia, resusitasi jantung paru

Abstract

Cardiac arrest is a clinical condition with effective cardiac output is zero. Eventhough
mostly caused by ventrikel fibrilation, asystole, or electric activity without pulse (PEA).
Cardiac arrest can be caused by another dysrhytmic that frequently causing ineffective
cardiac arrest. The dysrythmics are bradycardia and ventrikel fibrilation. Ventrikel fibrilation
that is found directly by doctors must be defibrilize immediatelyd. Cardiac Pulmonary
Resucitation (CPR) must be executed with frequently perfusion evaluation in carotid artery or
femoris and oxygenize by breathing, capnometer and blood gas.

Keyword: Cardiac arrest, Ventrikel fibrilation, dysrythmic, cardiac-pulmonary resucitation

Pendahuluan

Gangguan irama jantung (atau disritmia) merupakan jenis komplikasi tersering pada
infark miokardium, dengan denyut prematur ventrikel terjadi pada hampir semua pasien dan
terjadi denyut kompleks pada sebagian besar pasien. Disritmia terjadi akibat perubahan
elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai
perubahan bentuk potensial aksi, yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel. Misalnya,
perangsangan simpatis akan meningkatkan kecepatan denyut jantung. Secara klinis, diagnosis
disritmia berdasarkan pada interpretasi hasil EKG. Berbagai faktor predisposisi yang
bertanggung jawab terhadap tingginya insidensi aritmia pada penyakit aterosklerosis koroner:
(1) iskemia jaringan, (2) hipoksemia, (3) pengaruh sistem saraf otonom misal perangsangan
parasimpatis yang mengurangi kecepatan denyut jantung, (4) gangguan metabolisme misal
asidosis laktat akibat gangguan perfusi jaringan, (5) kelainan hemodinamik misal penurunan
perfusi koroner yang menyertai hipertensi, (6) obat-obatan misal keracunan digitalis, (7)
ketidakseimbangan elektrolit misal hipokalemia yang menyertai diuresis berlebihan, dan (8)
perfusi ulang mendadak akibat pemberian obat trombolitik pada infark miokard akut.
Kelainan irama jantung dapat digolongkan sesuai mekanisme berikut: kelainan otomatisasi,
kelainan konduksi atau kombinasi keduanya.1

Skenario 5
Seorang perempuan berusia 60 tahun datang dibawa ke IGD RS oleh keluarganya
karena tak sadarkan diri, menurut keluarga pasien 2 tahun yang lalu pasien pernah mengalami
serangan jantung dan mempunyai riwayat hipertensi sejak 15 tahun yang lalu.

Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan adalah alloanamnesis. Hal ini disebabkan karena pasien tidak
mampu untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dokter. Alloanamnesis biasa
dilakukan oleh dokter kepada keluarga pasien atau orang yang mengantar pasien ke rumah
sakit. Anamnesis yang ditanyakan adalah:
a. Keluhan utama
Pada kasus keluhan utamanya adalah tidak sadarkan diri
b. Keluhan tambahan
Keluhan tambahan adalah keluhan yang mengikuti keluhan utama. Pada kasus tidak
terdapat keluhan tambahan.
c. Riwayat penyakit terdahulu
Pada kasus, terdapat riwayat serangan jantung pada 2 tahun yang lalu dan riwayat
hipertensi sejak 15 tahun yang lalu
d. Riwayat penyakit keluarga
Pada riwayat keluarga ditanyakan apakah keluarga pernah mengalami hal yang sama
dengan pasien, adakah penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit genetik
lainnya
e. Riwayat pengobatan
Ditanyakan pula apakah pasien pernah mendapatkan pengobatan untuk penyakitnya dan
faktor yang memperberat penyakitnya. Bagaimana hasil pengobatan tersebut, apakah
mengalami perbaikan atau perburukkan.
f. Pertanyaan tambahan lainnya
 Sudah berapa lama pasien tidak sadar?
 Apakah pasien mengalami trauma seperti jatuh?
 Apakah warna kulit pasien?
 Apakah sebelum pasien tidak sadarkan diri, pasien tampak pucat, kemerahan,
kebiruan, dan berkeringat?
 Bagaimana pola hidup pasien?

Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik
Sebelum melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, dilakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas dan suhu. Pada
kasus, pasien menerita hipertensi sehingga pemeriksaan tekanan darah sangat penting. Selain
itu pemeriksaan frekuensi nadi sangat penting untuk mendiagnosis apakah pasien menderita
takikardi atau tidak. Pada pasien shock denyut nadi dapat menjadi lemah namun cepat hingga
tidak teraba. Tekanan darah sistolik dapat turun hingga kurang dari 90 mmHg. Suhu tubuh
umumnya menurun karena adanya gangguan sirkulasi dan paling dapat dirasakan pada akral
tubuh, namun pada keadaan shock sepsis dapat dijumpai akral yang hangat. Pernapasan
umumnya cepat dan dangkal.2
Pemeriksaan Jugular Vein Pressure juga dapat dilakukan. Nilai normal JVP berkisar
dari 5 -2 cmH2O hingga 5 +4 cmH2O. Peningkatan tekanan vena jugularis yang menyebabkan
terjadinya distensi vena merupakan salah satu tanda terjadinya shock kardiogenik. Bila ada
kecurigaan shock kardiogenik maka harus dicari penyebabnya. Auskultasi bunyi jantung
dapat membantu untuk investigasi awal. Perhatikan adanya murmur, gallop maupun bunyi
jantung yang abnormal lainnya.3
Selain itu dilihat pula kesadaran pasien. Kesadaran pasien dilihat menggunakan GCS.
Nilai GCS terendah adalah bernilai 1 dan nilai GCS tertinggi adalah 15.

Respons Jenis Respons Poin


Eye Opening (E) Spontan mata berkedip 4
Terbuka dengan perintah bicara/jeritan 3
Terbuka pada rangsangan sakit 2
Tidak ada respons dengan suara & rasa sakit 1
Verbal (V) Percakapan terorientasi 5
Bicara membingungkan, dapat menjawab 4
Respons tidak jelas, kata-kata tidak cocok
pertanyaan 3
Kata-kata sembarangan 2
Tidak ada respons terhadap pertanyaan 1
Motorik (M) Melakukan gerakan yang diperintahkan 6
Tahu lokasi rangsang sakit (rasa sakit lokal) 5
Tidak merasakan sakit 4
Fleksus tidak normal, decorticate posture
3
(fleksi sendi siku/elbows)
Ekstensor abnormal (rigit), decerebrate posture 2
Tidak ada respons nyeri 1
Tabel 1: Glasgow Coma Scale. Sumber : Dokumen Pribadi

b. Pemeriksaan penunjang4-5
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah EKG. EKG adalah perbedaan potensial
yang dibangkitkan oleh eksitasi di dalam jantung. EKG dapat memberikan informasi
mengenai posisi jantung, frekuensi, dan iramanya serta asal dan penyebaran potensi
aksinya tetapi tidak dapat diketahui kontraksi dan kerja pemompaan jantung.
Potensial EKG berasal dari perbatasan miokardium yang tereksitasi dan tidak tereksitasi.
Miokardium yang tidak tereksitasi atau tereksitasi total (terdepolarisasi) tidak akan
menghasilkan potensial yang dapat dilihat di EKG. Selama penjalaran bidang eksitasi
melalui miokardium akan terjadi bermacam-macam potensial yang berbeda ukuran dan
arah.
Rekaman EKG menggambarkan gelombang, interval, dan segmen (defleksi ke atas +, ke
bawah -). Gelombang P (normalnya < o,25 Mv, < 0,1 detik) merekam depolarisasi kedua
atrium. Repolarisasi atrium tidak terlihat karena tenggelam di dalam defleksi berikutnya.
¼
Gelombang Q (Mv < R), R, S (R+S > 0,6 mV) secara bersama-sama disebut sebagai
kompleks QRS (< 0,1 detik), sekalipun salah satu komponennya tidak ada. Kompleks ini
merekam depolarisasi ventrikel. Gelombang T merekam repolarisasinya. Meskipun kedua
proses ini berlawanan, gelombang T memiliki arah yang sama dengan kompleks QRS
(sebagian besar sadapan biasanya +) karena urutan penyebaran eksitasi dan repolarisasi
berbeda.
Potensial aksi pada serabut yang pertama kali tereksitasi (dekat endokardium) bertahan
lebih lama daripada serabut yang terakhir tereksitasi (dekat epikardium). Segmen PQ
(depolarisasi atrium total) dan segmen ST (depolarisasi ventrikel total) mendekati nol mV
(garis isoelektrik). Interval PQ ( < 0,2 detik) disebut juga waktu transmisi
(atrioventrikular). Interval QT tergantung pada frekuensi denyut jantung. Interval QT
normalnya adalah o,35-0,40 detik pada frekuensi denyut jantung 75 kali per menit (waktu
yang diperlukan untuk depolarisasi dan repolarisasi ventrikel).

Working diagnosis
Ventrikel Fibrilasi (VF) Pada VF, kontraksi ventrikel yang sangat cepat tidak
memungkinkan adanya pengisian dan kontraksi ventrikel. Akibatnya hemodinamik akan
langsung kolaps. Pasien sendiri akan tampak seperti kejang, disertai apneu dengan gagal
sirkulasi. Defibrilasi adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kontraksi ventrikel yang
sangat tidak terkoordinasi ini. Meskipun jarang, VF kadang hanya berlangsung sementara
(berubah spontan kembali ke irama sinus). Pada EKG kita akan melihat aktivitas ventriekl
yang sangat kacau ditandai oleh gelombang fibrilasi. Morfologi kompleks QRS sangat
beragam. Gelombang fibrilasi ini sendiri dapat terlihat kasar (koarse) atau lebih halus (fine). 6
Gambar 1 : Gambaran EKG pada Ventricular Fibrillation

Differential Diagnosis
Atrial fibrillation Keadaan denyut jantung yang tidak teratur, cepat dan sering yang disebabkan
oleh gangguan aliran darah.
Penyebab :
 Hipertensi
 Kelainan katup jantung
 Kelainan jantung congenital
 Sick sinus syndrome
 Emphysema
 viral infection
 stress disebabkan oleh pembedahan jantung, pneumonia
Gejala :
 penurunan tekanan darah
 lightheadness
 palpitasi dan denyut jantung ireguler
 short of breath
 chest pain
Gambar 2 : Gambaran EKG pada Atrial Fibrillation
Atrial flutter Penyebab :
 hipoksia
 pulmonary emboli
 hipertiroidisme
 gangguan keseimbangan elektrolit
 keracunan digitalis
 COPD
Gejala :
 Palpitasi
 Dyspnea
 Chest pain
 Fatigue
 Penurunan cardiac output

Gambar 3 : Gambaran EKG pada Atrial Flutter


Tabel 2: Differential Diagnosis7
Etiologi

Penyebab utama Fibrilasi Ventrikel adalah infark miokard akut, blok AV total dengan
respons ventrikel sangat lambat, gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalsemia),
asidosis berat, medikasi proaritmik, perubahan keseimbangan jalur simpatik dan parasimpatik
(terutamanya peningkatan katekolamin), hipotermia atau hipertermia, penyakit listrik primer
(sindrom pemanjangan QT, sindrom Brugada, takikardia ventrikular polimorfik) dan
hipoksia/iskemik. Salah satu penyebab Fibrilasi Ventrikel primer yang sering pada orang
dengan jantung normal adalah sindrom Brugada.3 Pada keadaan ini terjadi kelainan genetik
pada gen yang mengatur kanal natrium (SCN5A) sehingga tercetus VF primer. VF akan
menyebabkan tidak adanya curah jantung sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti
nafas dalam hitungan detik. VF kasar (coarse VF) menunjukan aritmia ini baru terjadi dan
lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi. Sedangkan VF halus sulit
dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit diterminasi.

Epidemiologi

Fibrilasi ventrikel umumnya merupakan tanda dari penyakit jantung koroner dan
bertanggung jawab dari sekitar 50% kematian akibat PJK. Frekuensi fibrilasi ventrikel di
seluruh dunia kurang lebih sama dengan frekuensinya di Amerika Serikat.

Insiden fibrilasi ventrikel pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita (3 : 1).
Rasio ini merupakan refleksi dari tingginya insiden PJK pada pria dari pada pada wanita.
Insiden fibrilasi ventrikel sebanding dengan insiden PJK, dengan puncak terjadi pada usia 45-
75 tahun. Fibirlasi Ventrikel ( Ventricular Fibrillation) (VT) tanpa denyut adalah penyebab
tersering henti jantung yang dapat disembuhkan. Tingkat keberhasilan menurun 7-10% untuk
tiap menit tiap defibrilasi.8

Patofisiologi

Membran plasma otot jantung membutuhkan jangka waktu tertentu untuk bisa kembali
ke potensial istirahat utuk kemudian bisa kembali menghantarkan potensial aksi kembali.
Misalkan dalam jantung terdapat satu bagian yang mengalami potensial aksi. Kemudian
potensial aksi ini menjalar ke bagian lain dari jantung ( kecuali dari arah ventrikel ke atrium
karena celah atrioventrikular hanya bisa dilalui potensial aksi dari atrium ke ventrikel )
kemudian karena potensial aksi muncul di tempat yang tidak semestinya dan menyebar tidak
pada arah yang seharusnya aka ada sebagian otot jantung yang terdepolarisasi dan ada yang
tidak sehingga potensial aksi bisa kembali lagi ke tempat asalnya begitu seterusnya. Hal ini
menyebabkan potensial aksi dari nodus sino atrial tidak membuat otot ventrikel jantung
terdepolarisasi, ingat bahwa untuk melakukan potensial aksi otot jantung juga membutuhkan
semacam waktu istirahat sedangakan di ventrikel sedang ada potensial aksi yang lepas kendali
dan berputar-putar saja sehingga tidak memberi otot jantung waktu beristirahat. Hal ini
menyebabkan jantung tidak dapat memompa darah kalau terjadi pada ventrikel dan kalau hal
ini terus dibiarkan dapat menyebabkan kematian. Kalau hal ini terjadi pada atrium, jantung
masih bisa memompa darah walaupun tidak efektif sehingga penderitanya masih bisa
bertahan untuk beberapa bulan.9

Aktivitas listrik pada fibrilasi ventrikel ditandai oleh depolarisasi sel yang tidak
beraturan melalui otot jantung ventrikel. Berkurangnya depolarisasi yang terkoordinasi
mencegah terjadinya kontraksi yang efektif dari otot jantung dan pengeluaran darah dari
jantung. Pada pemeriksaan EKG tidak ditemukan kompleks QRS walaupun jarak amplitudo
yang melebar pada aktivitas listrik ditemukan, dari gelombang sinus di ventrikel
menyebabkan terjadinya fibrilasi ventrikel yang mungin sulit dibedakan dengan asistol.
Aritmia ini dipertahankan oleh adanya jalur masuk yang berulang-ulang karena bagian dari
otot jantung mengalami depolarisasi secara konstan. Fibrilasi ventrikel dimulai ketika daerah
pada miokard memiliki bagian refraksi dan bagian konduksi pada jalur masuk.10

Manifestasi Klinis
Penelitian jangka panjang pada populasi baik yang tidak diseleksi maupun yang berisiko
tinggi menunjukkan bahwa mati jantung mendadak dapat didahului dengan gejala angina,
dyspnea, palpitasi, keluhan mudah letih, dan keluhan nonspesifik lainnya selama beberapa
hari,minggu atau bulan. Namun demikian, semua keluhan prodmoral ini merupakan petunjuk
untuk meramalkan untuk setian kejadian jantung yang penting. Diantara pasien henti jantung
yang terjadi diluar rumah sakit yang bertahan hidup, 28 persen melaporkan adanya gejala
awal yang baru berupa memburuknya angina pectoris atau dyspnea sebelum serangan henti
jantung. Gejala prodmoral berguna untuk mengidentifikasi pasien yang berada pada resiko
terjadinya kardiovaskular.

Awitan (onset) peristiwa terminal, yang berlanjut menjadi henti jantung, didefinisikan
sebagai perubahan akut status kardiovaskualr yang mendahului henti jantung sampai 1 jam.
Bila gejala awitan terjadi mendadak atau segera, maka probabilitas bahwa henti berasal dari
jantung dan dikaitkan dengan penyakit arteri koronaria yang mendasari adalah >95%. Hampir
semua henti jantung yang terjadi melalui mekanisme fibrilasi ventrikel (VF) akan dimulai
dengan takikardi ventrikel (VT) yang persisten atau nospesifik, yang kemudian berlanjut
menjadi fibrilasi ventrikel.11

Penatalaksanaan
Untuk mengatasi fibrilasi bisa dilakukan defibrilasi elektrik. Yang dimaksud dengan
defibrilasi elektrik adalah pemberian kejutan listrik tegangan tinggi pada jantung agar semua
otot jantung terdepolarisasi disaat yang sama lalu kemudian pada giliran berikutnya
penyebaran potensial aksi kembali normal. Pemberian kejutan listrik ini bisa dengan dosis
110 volts selama 0,1 detik atau 1000 volts selama beberapa ratus mikro detik.
Meskipun fibrilasi dapat diatasi dengan defibrilasi elektrik, tetapi biasanya masalah
tidak selesai begitu saja. Jika fibrilasi terjadi selama paling tidak 1 menit, otot jantung
menjadi sangat lemah untuk memompa darah karena kekurang oksigen dan nutrisi pasca
berhentinya pemompaan darah. Hal ini bisa diatasi dengan CPR.
Cardio pulmonary resuscitation atau CPR atau jantung paru resusitasi adalah
penggantian fungsi jantung dan paru yang diperuntukkan bagi berhentinya jantung yang
terjadi karena kejutan listrik, tenggelam, berhenti bernafas, dan sebab lainnya. Dua bagian
utama dari CPR adalah bantuan pernapasan dan pemijatan dada. Oleh karena itu CPR bisa
digolongkan pendukung kehidupan darurat atau pertolongan darurat.12
Algoritma untuk fibrilasi ventrikel11

1. Aktifkan emergency response system (kode biru)

2. Mulai lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan berikan oksigen apabila tersedia

3. Pastikan pasien benar-benar mengalami fibrilasi ventrikel sesegera mungkin (bisa


dengan menggunakan Automated external defibrillator)

4. Lakukan defibrilasi sekali

a. Dewasa: 200 J untuk gelombang bifasik dan 360 J untuk gelombang


monofasik

b. Anak: 2 J/kgBB

5. Lanjutkan lagi RJP segera tanpa memeriksa nadi, lakukan selama 5 siklus

a. Satu siklus RJP adalah 30 kompresi dan 2 pernapasan


b. Lima siklus RJP setidaknya hanya memakan waktu 2 menit (dengan kompresi
100 kali per menit)

c. Jangan memeriksa ritme/nadi dulu sebelum 5 siklus RJP terselesaikan

6. Saat melakukan RJP, minimalisasi interupsi saat melakukan hal-hal di bawah ini:

a. Mencari akses intravena

b. Melakukan intubasi endotrakeal

c. Setelah diintubasi, lanjutkan RJP dengan 100 kompresi per menit tanpa henti
serta lakukan respirasi buatan sebanyak 8-10 kali napas per menit.

7. Periksa ritme setelah 2 menit RJP

8. Ulangi lagi defibrilasi satu kali apabila masih terdapat ventrikel fibrilasi atau belum
dirasakan denyut nadi. Gunakan tegangan yang sama seperti pada defibrilasi pertama
pada dewasa. Sedangkan pada anak gunakan tegangan sebesar 4 J/kgBB.

9. Segera lanjutkan kembali dengan RJP selama 2 menit, setelah defibrilasi

10. Terus ulangi siklus berikut ini:

a. Pemeriksaan ritme

b. Defibrilasi

c. RJP 2 menit

11. Vasopressor

a. Beri vasopressor saat RJP sebelum atau sesudah syok, setelah akses intravena
atau intraosseous didapatkan,

b. Berikan epinefrin 1 mg setiap 3-5 menit

c. Pertimbangkan juga pemberian vasopressin 40 unit sebagai pengganti dosis


epinefrin pertama atau kedua.

12. Antidisritmia

a. Berikan obat antidisritmia saat RJP, sebelum atau sesudah syok


b. Berikan amiodarone 300 mg IV/IO satu kali, lalu pertimbangkan lagi
pemberian tambahan 150 mg satu kali

c. Sebagai pengganti atau tambahan untuk amiodarone, dapat diberikan lidokain


1-1.5 mg/kgBB dosis pertama, dan dosis tambahan 0.5 mg/kgBB. Dosis
maksimum yang dapat diberikan adalah 3 mg/kgBB

13. Lidokain dan epinefrin dapat diberikan lewat endotrakeal tube apabila akses IV/IO
gagal. Gunakan dosis 2.5 kali dari dosis IV.11,12

Prognosis
Bergantung kepada seberapa cepat pasien mendapatkan pertolongan ketika serangan
terjadi. Selain itu, dilihat juga seberapa sehat keadaan dari jantung pada pasien tersebut.

Kesimpulan
Fibrilasi ventrikel merupakan jenis aritmia yang paling banyak teridentifikasi pada
pasien cardiac arrest dan menjadi penyebab henti jantung yang paling sering. Biasanya
disebabkan oleh iskemia akut atau infark miokard.Fibrilasi ventrikel adalah denyutan
ventrikel yang cepat dan tak efektif. Pada aritmia ini denyut jantung tidak terdengar dan tidak
teraba, dan tidak ada respirasi. Polanya sangat ireguler dan dapat dibedakan dengan aritmia
tipe lainnya. Karena tidak ada koordinasi aktivitas jantung, maka dapat terjadi henti jantung
dan kematian bila fibrilasi ventrikel tidak segera dikoreksi. Penatalaksanaan nya dengan
segera melakukan prosedur resusitasi jantung paru (RJP) serta oksigen secara benar ditambah
dengan obat-obatan seperti vasopressor, antidisritmia, lidokain dan epinefrin.

Daftar Pustaka
1. Brown, Carrol T. Penyakit aterosklerotik koroner. Dalam: Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta:
Penerbit EGC; 2006. hal. 576-99.
2. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL. Harrison’s principal of internal medicine. 17th
edition. New York: The McGraw Hill Companies, 2008. p. 1425-42.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing, 2009. p. 1623-9.
4. Stefan S,Florian L. Teks dan atlas berwarna patofisiologi.Jakarta: ECG; 2006.p.184-6.
5. Departemen Penyakit Dalam FKUI. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam: Yamin
M, Sjaharuddin H, penyunting. Aritmia Ventrikel. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.p.1624-8.
6. Henry A, Pakpahan P. elektrokardiografi ilustratif. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. H. 134.
7. Malcom ST. Satu-satunya buku EKG yang anda perlukan. Edisi ke-5. Jakarta: EGC;
2009.p.127-8,135.
8. Gray, Huon H.,dkk. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Erlangga.
9. Arthur C Guyton, John E Hall. Textbook of Medical Physiology 11 edition. Delhi :
Saunders Elsevier. 2008.
10. Trisnohadi, Hanafi B. Gangguan irama jantung yang spesifik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setidai S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal.1605-11.
11. Bresler MJ, Sternbach GL. Kedaruratan jantung. Kedokteran darurat manual. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2012. hal. 153-7.
12. Michael RS, Marc DB, Robert AB, Farhan B, John EB, Clifton WC, et al. Highlights
of the 2010 AHA guidelines for CPR and ECC. AHA 2010;2-5

Anda mungkin juga menyukai