Tinea Korporis
Tinea Korporis
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “TINEA
KORPORIS”.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN di
RSUD Dr. R.M. DJOELHAM BINJAI. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Hj. Hervina, Sp.KK selaku dokter pembimbing
2. Para pegawai dibagian SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. R.M. Djoelham.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD DR. R.M. Djoelham.
Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis
selama ini, penulis ucapkan terimakasih dan semoga Allah membalas dengan pahala yang
sebesar-besarnya, Aamiin.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan referat
ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi para dokter muda
yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidemis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur
dermatofita. Ada beberapa klsasifikasi dermatofitosis, tetapi yang dibahas disini adalah Tinea
korporis.Dermatofitosis atau mikosis superfisial cukup banyak diderita penduduk Negara
tropis. Jenis organisme penyebab dermatofitosis yang menyebabkan infeksi di kulit adalah
spesies trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Spesies yang tersering
adalah E.floccosum, T.rubrum, dan microsporum canis.(1,2)
Tinea korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan jamur superficial golongan
dermatofita, yang menyerang daerah kulit tidak berambut pada wajah, badan, lengan, dan
tungkai, tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan kaki.(3)
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut ( glabrous
skin ). Kelainan dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas
eritema, skuama, kadang- kadang dengan fesikel dan papul ditepi. Pada tinea korporis yang
menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada
tiap bagian tubuh dan bersama- sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang
disebabkan oleh trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguium.
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton cencentricum disebut tinea
imbrikata. Sinonim tinea korporis adalah Tinea sirnisata, Tinea glabrosa, Scherende flechte,
kurap, herpes sircine trichophytique.(1,4)
Tinea corporis dermatophyte adalah infeksi yang dangkal ditandai dengan peradangan
atau luka di kulit glabrous (yaitu, daerah kulit kecuali kulit kepala, pangkal paha, telapak
tangan, dan telapak). (3)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin)
kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha (1)
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu
Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies
dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan
jamur golongan dermatofita adalah tinea korporis. (2)
2.2 EPIDEMIOLOGI
2
M.canis 2%,serta nondermatofita 18,5%, ragi 19,1% (C. albicans 17,3%, Candida lain
1,8%).(2,3)
2.3 ETIOLOGI
Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan
perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran
yang polisiklik, arsinar, dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang
ditandai dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi
relatif lebih tenang. Tinea korporis yang menahun, tanda- tanda aktif menjadi hilang dan
selanjutnya hanya meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja. Gejala subyektif yaitu gatal,
dan terutama jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan.(5,6,7)
Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau dengan binatang
piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau tanah
yang terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian,
perabot dan sebagainya.(8)
3
Gambar 1. Tinea korporis pada badan
2.5 PATOGENESIS
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri dari sel-sel
yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik utama yang
membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin.
Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum
endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-
masing. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium.(9)
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora, baik
seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang dibentuk hifa, besarnya
antara 1-3μ, biasanya bentuknya bulat, segi empat, kerucut atau lonjong. Spora dalam
pertumbuhannya makin lama makin besar dan memanjang membentuk hifa. terdapat 2
4
macam spora yaitu spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk
oleh hifa tanpa penggabungan).(10)
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang dapat
tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan, jamur dermatofita
harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban,
kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum,
tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis. (9,10)
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah jamur
mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan sel yang
berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme
termasuk pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja
dan kemampuannya untuk merspons secara cepat terhadap adanya presentasi dengan
memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap
infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini
dicetuskan oleh adanya kontak antara limfosit dengan antigen.(9)
5
2.6 PATOFISIOLOGI
Yang kedua penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi perlekatan spora
harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat
daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim
mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita
juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika
begitu jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.(9,10)
Langkah terakhir perkembangan respon host, derajat inflamasi dipengaruhi oleh status
imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed
Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan
dermatofita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi
menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan
sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.
Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan
dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan
bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba
menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel
yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.(10,11)
Kegemukan semakin banyak skin fold yang lembab sebagai tempat berkembang
biaknya mikroorganisme jamur
6
Sistem Imun Rendah pada penyakit HIV, obat imunosupresan (menyebabkan
keseimbangan flora normal terganggu). pada orang yang sudah tua terjadi
penurunan sistem imun
Faktor lingkungan yaitu penggunaan sumber air untuk keperluan sehari - hari dan
praktik kebersihan diri yang kurang terjaga. Semakin meningkatan kepadatan
penduduk, kemungkinan penularan antarmanusia juga meningkat
Trauma misalkan gesekan pada paha. Jamur akan susah masuk pada kulit yang
intake
Berpartisipasi dalam olahraga kontak (bersentuhan), seperti gulat, sepak bola atau
rugby, berenang
Hyperhidrosis
Kondisi tubuh tertentu misalkan diabetes, menstruasi, dan kehamilan karena adanya
ketidakaseimbangan hormon tubuh sehingga rentan terhadap jamur
Jenis Kelamin(11)
2.8 DIAGNOSIS
2.8.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan rasa gatal yang sangat mengganggu, dan gatal
bertambah apabila berkeringat. Karena gatal dan digaruk, maka timbul lesi sehingga lesi
bertambah meluas,terutama pada kulit yang lembab.(9)
Lesi biasanya berbentuk sirkular dengan tepi yang meninggi. Lesi dapat
berjumlah tunggal ataupun terdiri dari beberapa plak. Derajat inflamasi sangat
bervariasi. Variasi ini akibat dari perbedaan imunitashospes dan spesies jamur. (5, 7)
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai
lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar, selanjutnya bagian
7
tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan mengalami resolusi,
dan bagian tepinya sering terdapat skuama, krusta, vesikel, dan papul. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah
satu dengan yang lainnya. (7, 11)
Tinea korporis sering ditemukan asimptomatik atau gatal ringan. Lesi nya dapat
berupa patch eritematus ataupun hipopigmentasi, kering dengan pingggir yang tajam
disertai dengan sentral healing. Tinea korporis yang meluas dapat menjadi tanda bahwa
penderitanya menderita AIDS ataupun juga dapat berhubungan dengan penggunaan
penggunaan kortikosteroid topikal. (8)
Tekniknya bahan pemeriksaan yang diambil dari kerokan kulit, dipindahkan ke objek
gelas, lalu ditetesi dengan larutan KOH 10-20%, kemudian tutup dengan gelas penutup,
tekan perlahan untuk menghasilkan gelembung udara. Larutan KOH adalah larutan
penjernih yang akan melarutkan protein, lipid dan melisiskan epitel. Untuk
mempercepat proses dapat dilakukan pemanasan( tetapi jangan sampai mendidih
).elemen jamur akan bertahan terhadap larutan KOH karena adanya khitin dan
glikoprotein pada dinding sel.sediaan diperiksa dengan mikroskop, mulai dengan
pembesaran rendah ( lensa objek 10x ). Bila elemen jamur ( hifa ) sudah terlihat
pembesaran dapat dinaikkan 20- 40x, agar pemeriksaan lebih detil.
Hasilnya adalah elemen jamur terlihat sebagai garis-garis yang tersusun atau hifa
diantara sel-sel epitel, bersepta dan biasanya bercabang. Kadang-kadang segmen telah
terpisah pada septa dan berdinding tebal, hifa mempunyai banyak septa dan berdekatan
disebut sebagai artospora.(8)
2. Isolasi jamur pada media biakan/ pembiakan skuama pada agar saboraud.
Ada tiga media biakan yang terkenal dan digunakan secara luas, sedangkan media yang
selektif untuk mengisolasi dermatofit karena dapat mencegah pertumbuhan kontaminan
seperti bakteri dan jamur lainnya adalah media modifikasi agar sabouraud, yang
komposisinya terdiri dari : dekstrosa 20 g, neopepton 10 g, agar 20 g, kloramfenikol 40
g, sikloheksemid 0,5 g, dan air suling 1000 cc. pada biakan jamur harus diinkubasi pada
8
suhu yang tepat dalam jangka waktu yang cukup untuk menumbuhkan jamur. Suhu
berkisar antara 25℃ - 30℃ yang merupakan suhu optimal bagi hamper sebagian jamur.
Tabung biakan lebih baik dibanding dengan cawan biakan, walaupun harus ditutup rapat
tetapi harus ada aerasi. Semua biakan harus dieram selam dua minggu.
3. Gambaran Histopatologi.
- Pitiriasis Rosea
- Psoriasis
2.10 PENATALAKSANAAN
2.10.1 Non-Farmakologi
Pada kasus infeksi jamur superfisial, obat anti jamur topical ideal berfungsi fungisidal,
spectrum luas, keratonifilik, noniritan, hipoalergenik, tidak diabsorbsi secara sistemik,
aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai beragam formula dan spesifik. Cara
penggunaan obat anti jamur topikal adalah daerah terinfeksi dengan air dan sabun,
kemudian keringkan, obat dioleskan tipis-tipis diatas lesi, dan meluas hingga ± 1 inci
diluar lesi, obat digunakan 2x sehari ( pagi dan sore ), hasil maksimal diperoleh bila lesi
dijaga tetap bersih, kering, dan sejuk.
Griseofulvin.
Merupakan antibiotic yang bersifat fungisidal yang bekerja menghambat mitosis jamur
dengan mengikat protein mirgtgbuler dalam sel. Dosis dewasa 500 mg- 1000 mg perhari
dalam dosis tunggal ( sebaiknya diminum bersama dengan makanan atau minuman yang
mengandung lemak ). Dosis anak –anak 10 mg/ kgBB/ hari.
Efek samping biasanya ringan berupa sakit kepala, gangguan GIT, kadang timbul reaksi
hipersensitifitas.
Ketokonazol.
Salah satu golongan imidazole, sangat efektif dan merupakan obat antijamur sistemik
dengan spectrum luas, bersifat fungistatik, bekarja menggangu biosintesis ergosterol,
dengan meginhibisi enzim P450 14-α demetisalisasi lanosterol. Dosis efektif anak –
anak > 14 tahun 5- 10 mg/ kgBB atau 200 mg/ hari selama 7- 14 hari. Efek samping
yang tersering adalah ginekomastia, perubahan endokrin, dan gangguan fungsi hati.
Flukonazol.
Merupakan golongan triazole yang larut dalam air dan diabsorbsi baik melalui saluran
cerna, obat ini dieliminasi dengan lambat di kulit daripada di plasma sehingga
memberikan keuntungan dalam terapi, meskipun terapi sudah dihentikan. Dosis dewasa
6 mg/ kgBB selama 20 hari. Dosis anak- anak 5 mg/ kgBB p.o selama 4- 6 minggu.(7)
2.10.3 Edukasi
Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau
bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke
bagian tubuh lainnya.
Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang
yang terinfeksi.
Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah
penyebaran jamur tersebut.
Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
10
Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit
selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi
udara.
Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-
debu yang menempel pada sepatu.
Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan sandal
yang terbuat dari bahan kayu dan karet.(7)
2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi berulang, apabila pengobatan tidak
berhasil menghilangkan organism secara menyeluruh, seperti misalnya pada pasien yang
menghentikan penggunaan pengobatan topical terlalu cepat ataupun pada jamur tersebut
resisten terhadap pengobatan anti jamur yang diberikan.(11)
2.12 PROGNOSIS
Untuk tinea korporis dengan lesi yang terlokalisir, prognosisnya umumnya baik, dengan
angka kesembuhan mencapai 70-100% setelah pengobatan dengan golongan azol atau
alinamin topikal atau dengan menggunakan anti jamur sistemik. (11)
11
BAB III
KESIMPULAN
Tinea korporis merupakan penyakit kulit yang disebabkan spesies dermatofita yang sering
ditemukan di masyarakat,terutama masyarkat yang kurang memperhatikan kebersihannya
sendiri. Penyakit lebih sering ditemukan didaerah yang tropis,dengan penetelaksanaan yang
baik dan kesadaran pribadi untuk menjaga kebersihannya dapat mengurangi dan mencegah
mengalami penyakit ini. Umumnya baik tetapi tergantung faktor infeksi.
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies trichophyton, Microsporum, dan
epidermophyton. Variasi penyebab dapat ditemukan berdasar spesies yang endemis di daerah
tertentu. Spesies yang tersering adalah E. floccosum atau T. rubrum.
Diagnosa ditegakkan dengan anamnesa yang lengkap, dan pemeriksaan penunjang yaitu
Preparat langsung dengan larutan KOH 10- 20%.
Hasilnya adalah elemen jamur terlihat sebagai garis- garis yang tersusun atau hifa
diantara sel- sel epitel, bersepta dan biasanya bercabang. Kadang- kadang segmen telah
terpisah pada septa dan berdinding tebal, hifa mempunyai banyak septa dan berdekatan
disebut sebagai artospora.
Isolasi jamur pada media biakan/ pembiakan skuama pada agar saboraud.
Hasilnya tampak koloni yang bervariasi dalamnebtuk dan warna.
Gambaran Histopatologi.
Dari sampel biopsi menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan inflamasi superfisial.
Pada stratum korneum ditemukan neutrifil, hal ini dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis, dapat juga ditemukan hifa bersepta.
Jika penyembuhan telah dicapai dan faktor- faktor infeksi, serta faktor predisposisi
dihilangkan maka prognosis umumnya baik.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2010.
2. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2004.
3. Budimulja, U. sunoto. Dan Tjokronegoro. Arjatmo. : Penyakit Jamur. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2008.
4. Sularsito, Sri Adi.Dkk. : Dermatologi Praktis. Perkumpulan Ahli Dermatologi dan
Venereologi Indonesia, Jakarta. 2006.
5. Budimulja, U.: Infeksi Jamur. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta. 2004.
6. Bolognia, Jean; Jorizzo, Joseph L.; Rapini, Roland P. (2007). Dermatology (2nd ed.). St.
Louis, Mo.: Mosby Elsevier.p. 1135.
7. Brannon, Heather (2010-03-08). “Ringworm-Tinea Corporis”. About.com Dermatology.
About.com. Retrieved 2012-11-20.
8. Gupta, Aditya K.; Chaudhry, Maria; Elewski, Boni (July 2008). “Tinea coeporis, tinea
cruris, tinea nigra, and piedra”. Dermatologic Clinics (Philadelphia;Elsevier Health
Sciences Division) 21 (3); 395-400.
9. Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”. MultiMedia Medical
Encyclopedia. University of Maryland Medical Center. Retrieved 2012-11-20.
10. Tinea corporis, Tinea cruris, and Tinea pedis. Mycoses. Doctor-Fungus. 2007-01-27.
Retrieved 2012-11-20.
11. James, William D.; Berger, Timothy G.; Elston, Dirk M.; Odom, Richard B. (2006).
Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th ed.). Philadelphia; Saunders
Elsevier.p. 302.
13