Anda di halaman 1dari 11

PALATOSCHISIS (Cleft Palate)

(Cleft Lips) Celah Bibir dan (Cleft Palate) Celah Langit-langit adalah suatu kelainan
bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan langit-langit keras
mulut. Celah bibir (biasa disebut secara ‘Bibir sumbing’) adalah suatu ketidaksempurnaan
pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Cleft
palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana atap/langitan
dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa kehamilan,
mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah cavitas
nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut.

PENDAHULUAN
Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan, antara lain
processus frontonasalis, processus nasalis medialis dan lateralis, processus maxillaries, dan
processus mandibularis. Kegagalan penyatuan processus maxilla dan processus nasalis
medial akan menimbulkan celah pada bibir (labioschisis) yang terjadi unilateral atau bilateral.
Bila processus nasalis medialis, bagian yang membentuk dua segmen antara maxilla, gagal
menyatu maka terjadi celah pada atap mulut atau langitan yang disebut palatoschisis.
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana
atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa
kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah
cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut. Oleh karena itu,
pada palatoschisis, anak biasanya pada waktu minum sering tersedak dan suaranya sengau.
Cleft palate dapat terjadi pada bagian apa saja dari palatum, termasuk bagian depan dari
langitan mulut yaitu hard palate atau bagian belakang dari langitan mulut yang lunak yaitu
soft palate.

Cleft palate mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan estetika bagi pasien
dalam interaksi social mereka terutama kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara
efektif dan penampilan wajah mereka. Koreksi sebaiknya sebelum anak mulai bicara untuk
mencegah terganggunya perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak sangat penting,
terutama tentang cara memberikan minum agar gizi anak memadai saat anak akan menjalani
bedah rekonstruksi. Kelainan bawaan ini sebaiknya ditangani oleh tim ahli yang antara lain
terdiri atas ahli bedah, dokter spesialis anak, ahli ortodonsi yang akan mengikuti
perkembangan rahang dengan giginya, dan ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara.

EMBRIOLOGI
Jaringan-jaringan wajah, termasuk didalamnya bibir dan palatum berasal dari migrasi,
penetrasi, dan penyatuan mesenkimal dari sel-sel cranioneural kepala. Ketiga penonjolan
utama pada wajah (hidung, bibir, palatum) secara embriologi berasal dari penyatuan
processus fasialis bilateral.
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu pembentukan
palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum sekunder. Pertumbuhan
palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 kehamilan atau minggu ke-4 kehamilan yang
ditandai dengan pembentukan processus fasialis. Penyatuan processus nasalis medialis
dengan processus maxillaries, dilanjutkan dengan penyatuan processus nasalis lateralis
dengan processus nasalis medialis, menyempurnakan pembentukan palatum primer.
Kegagalan atau kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan processus ini menyebabkan
terbentuknya celah pada palatum primer.
Pembentukan palatum sekunder dimulai setelah palatum primer terbentuk sempurna,
kira-kira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk dari sisi bilateral yang
berkembang dari bagian medial dari processsus maxillaries. Kemudian kedua sisi ini akan
bertemu di midline dengan terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang kearah
superior, proses penyatuan dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan
terbentuknya celah pada palatum sekunder.

ANATOMI
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang bersama-sama
membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung. Processus palatine os maxilla dan
lamina horizontal dari os palatine membentuk palatum durum. Palatum molle merupakan
suatu jaringan fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot yang melekat pada bagian
posterior palatum durum. Terdapat enam otot yang melekat pada palatum durum yaitu m.
levator veli palatine, m. constrictor pharyngeus superior, m.uvula, m.palatopharyngeus,
m.palatoglosus dan m.tensor veli palatini.
Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi velopharyngeal
adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constriktor pharyngeus superior. M.uvula
berperan dalam mengangkat bagian terbesar velum selama konstraksi otot ini. M.levator veli
palatine mendorong velum kearah superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding
faring posterior. Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan oleh m.constriktor
pharyngeus superior yang membentuk velum kearah dinding posterior faring untuk
membentuk sfingter yang kuat. M.palatopharyngeus berfungsi menggerakkan palatum kearah
bawah dan kearah medial. M.palatoglossus terutama sebagai depressor palatum, yang
berperan dalam pembentukan venom nasal dengan membiarkan aliran udara yang terkontrol
melalui rongga hidung. Otot yang terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak
berperan dalam pergerakan palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor
timpani yaitu menjamin ventilasi dan drainase dari tuba auditiva.
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk melalui foramen
palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina minor lewat melalui foramen
palatine minor. Innervasi palatum berasal dari n.trigeminus cabang maxilla yang membentuk
pleksus yang menginervasi otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat innervasi
dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan disebelah posterior dari pleksus.

INSIDEN
Insidens dari berbagai tipe cleft di laporkan oleh Veau. Insidens secara keseluruhan
dari cleft di laporkan oleh Fogh Andersen yakni 1 dari 655 kelahiran dan oleh Ivy yakni 1
dari 762 kelahiran, dimana lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Peningkatan resiko palatoschisis bertambah seiring dengan meningkatnya usia maternal dan
adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit bawaan yang sama. Faktor etnik juga
mempengaruhi angaka kejadian palatoschisis. Palatoschisis paling sering ditemukan pada ras
Asia dibandingkan ras Afrika. Insiden palatoschisis pada ras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000
pada ras kulit putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam. Menurut data tahun 2004, di
Indonesia ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total seluruh penduduk .
Palatoschisis yang tanpa labioschisis memiliki rasio yang relatif konstan yaitu 0,45-0,5/1000
kelahiran. Tipe yang paling sering adalah uvula bifida dengan insiden sekitar 2% dari
populasi. Setelah itu diikuti oleh palatoschisis komplit unilateral kiri.
ETIOLOGI
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi palatoschisis
bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor
herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan
processus.

1.Faktor herediter

Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga yang menderita
penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk
memiliki anak dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita
palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis adalah sekitar 4%. Jika
kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis, tetapi memiliki anak tunggal dengan
palatoschisis maka resiko generasi berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar 4%.
Dugaan mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen,
yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24.3 pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain
yang menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan langitan
(khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun defek lahir lainnya.

2. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid (golongan vitamin
A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan
semester pertama seperti infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan
terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi
makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan palatoschisis.

PATOFISIOLOGI
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah, inkompetensi
velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan fungsi tuba eustachi.
Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan dalam intake makanan dan
nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal,
dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak sempurnanya
pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren telah dihubungkan dengan
timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara pada pasien dengan palatoschisis.
Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan
sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal
coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses
dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan
normal).

KLASIFIKASI
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis atau disertai
dengan labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah
hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan
palatum terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang mencakup palatum durum dan palatum
molle, dimulai dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis
juga dapat bersifat unilateral atau bilateral.

Veau membagi cleft menjadi 4 kategori yaitu


1. Cleft palatum molle
2. Cleft palatum molle dan palatum durum
3. Cleft lip dan palatum unilateral komplit
4. Cleft lip dan palatum bilateral komplit
Klasifikasi Jalur-Y untuk cleft lip dan palate berdasarkan modifikasi Millard dari Kernohan.
Lingkaran kecil mengindikasikan foramen insisivum; segitiga mengidikasikan ujung nasal
dan dasar nasal.
PENATALAKSANAAN
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah sederhana,
melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk
mencegah menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis.
Speech therapist untuk fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-
tindih tapi saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna.

1. Terapi Non-bedah
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada terapi medis khusus
untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari palatoschisis yakni permasalahan dari intake
makanan, obstruksi jalan nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih
dahulu sebelum diperbaiki.

Perawatan Umum Pada Cleft Palatum


Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan pada bayi dengan
cleft palate yakni:

a. Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami kesulitan karena
ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan
menghisap. Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang adekuat
mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat bagian posterior dari cavum
oris. pada bayi yang masih disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus
yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar keluar sendiri
dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol susu
dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam bagian belakang mulut
dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan obturator
untuk menutup celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan sendok dengan
posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati langit-langit yang terbelah atau
memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang
panjang untuk mencegah aspirasi.
b. Pemeliharaan jalan nafas
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu dengan retroposisi
(dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus
hilang dan lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total saat
inspirasi (The Pierre Robin Sindrom)
c. Gangguan telinga tengah
Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate dan sering terjadi
pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi
masalah. Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah hilangnya
pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian yang serius sehingga komplikasi
hilangnya pendengaran tidak terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko mengalami
gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang paling utama adalah insisi untuk
ventilasi dari telinga tengah sehingga masalah gangguan bicara karena tuli konduktif dapat
dicegah.

2. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi,
dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada
proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft
palate dapat berfungsi dengan baik.Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa
digunakan untuk memperbaiki celah palatum, yaitu:

1. Teknik von Langenbeck


Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan teknik operasi
tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel
mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk memperbaiki kelainan yang
ada, dasar flap ini disebelah anterior dan posterior diperluas ke medial untuk menutup celah
palatum.
2. Teknik V-Y push-back
Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua flap palatum
unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior dimajukan dan diputar ke medial
sedangkan flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan menambah
panjang palatum yang diperbaiki.
3. Teknik double opposing Z-plasty
Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle dan membuat
suatu fungsi dari m.levator.
4. Teknik Schweckendiek
Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada teknik ini, palatum
molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan penutupan palatum durum ketika si
anak mendekati usia 18 bulan.
5. Teknik palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup pembuatan dua flap
pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas sampai keseluruh bagian alveolar. Flap ini
kemudian diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang ada.
Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4 tahun untuk
melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya suara sengau karena setelah operasi suara
sengau masih dapat terjadi suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang
salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila
setelah palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan
pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada usia
4-6 tahun. Pada usia anak 8-9 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai
persiapan tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic melakukan
operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi caninus.
Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita diperbolehkan minum
dan makanan cair sampai tiga minggu dan selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa. Jaga
hygiene oral bila anak sudah mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah makan
makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik selama tiga hari. Pada
orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi berupa, posisi tidur pasien harusnya
dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi bila terjadi perdarahan, tidak boleh
makan/minum yang terlalu panas ataupun terlalu dingin yang akan menyebabkan vasodilatasi
dan tidak boleh menghisap /menyedot selama satu bulan post operasi untuk menghindari
jebolnya daerah post operasi.
KOMPLIKASI
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan gangguan
psikososial.
Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:

a. Obstruksi jalan nafas

Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan komplikasi
yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi. Keadaan ini timbul
sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli
anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani
kondisi ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut karena
perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang kecil.
Pada beberapa instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan
palatum telah sempurna.

b. Perdarahan

Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena kayanya darah
yang diberikan pada paltum, Intraoperative hemorrhage is a potential complication. Because
of the rich blood supply to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk
dilakukannya transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total
volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung
trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa
intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa
terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung
mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.

c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah dilakukan operasi,
atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat
timbul dimanapun sepanjang sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni
sebanyak 34%, dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan
dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa ditangani dengan dua
cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa digunakan untuk
menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk
terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior merupakan alasan
utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula anterior maupun
posterior yang persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika
supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre
menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum mencoba untuk
memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah
anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan.

d. Midface abnormalities
Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi pembedahan
terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari pertumbuhan maksilla pada
beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan
berkurangnya demensi anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau
tingginya yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab
dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft tersebut
pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien
dengan cleft palate unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface
yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas dagu.

e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi,
anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat
tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.

f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki
pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi,
trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang
pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi.

h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi
sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen
lateral otot orbikularis.

i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir


Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang
penting lengkung.

PROGNOSIS
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara
sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh disekolah, tetapi jika anak berbicara
lambat atau hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.

Anda mungkin juga menyukai