Anda di halaman 1dari 39

ASUHAN KEPERAWATAN

TRAUMA KEPALA
DAN CEDERA MEDULLA SPINALIS

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Program Studi Ilmu Keperawatan

Oleh :
ALVIAN PRISTY WINDIRAMADHAN
R.10.01.003

YAYASAN INDRA HUSADA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) INDRAMAYU
2011

1
BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala
paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara
penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil
kecelakaan jalan raya.
Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat
mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock
hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian
tubuh lainnya.
Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (PTIK).
Sedangkan Cedera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor , dan
cedera medulla spinalis lebih dominant pada pria usia muda sekitar lebih dari
75% dari seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah kecelakaan kendaraan
bermotor; selain itu banyak akibat jatuh, olahraga,kejadian industri dan luka
tembak. Dua pertiga kejadian adalah usia30 tahun atau lebih mudah
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medulla spinalis pada
daera servikal (leher) ke 5,6 dan 7, Torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra
ini paling rentang karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna
vertebral dalam area ini.
Cedara kolumna vertebralis, dengan atau tampa defesit neurologist, harus
selalu dicari dan disingkirkan pada penderita dengan cedera multiple. Setiap
cedera diatas klavikula harus dicuruigai adanyacedera tulang leher (c-spine).
Sekitar 15% penderita yang mengalami akan mengalami cedera pada spine sekitar
55% cedera tulang belakang terjadi pada daera servikal. 15% pada daera torakal,

2
15% pada torakolumbar, serta 15 % pada daera lumbo sacral, sekitar 5% dari
penderita yang mengalami cedera kepela juga menderita cedera tulang belakang.
Dimana 25% cedera tulang belakang menderita sedikitnya cedera kepala ringan.
Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang belekang harus
selalu berhati – hati bahwa manipulasi yang berlebihan serta immobilisasi yang
tidak adekuat akan menambah kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis
penderita. Kurang lebih 5% akan timbul gejala neurologist atau memburuknya
keadaan setalah penderita mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia
atau udema progresip pada sumsun tulang belakang.hal ini juga disebabkan oleh
kegagalan mempertahankan immobilisasi yang adekuat. Selama tulang belakang
penderita dilindungi, evaluasi tulang belakang dapat ditunda dengan aman,
terutama bila ditemukan instabilitas sistemik, seperti hipotensi dan pernapasan
yang adekuat. Pergerakan penderita dengan kolumna pertebralis yang tidak stabil
akan memberikan resiko kerusakan lebh lanjut sumsun tulang belakang.
Menyingkirkan kemungkinan adanya cedera tulang belakang lebih mudah
pada penderita sadar dibandingkan dalam keadaan koma atau penurunan tingkat
kesadaran, proses tidak sederhana dan dokter yang menangani berkewajiban
memperoleh foto rongsen yang tepat untuk menyingkirkan adanya cedera tulang
belakang, dan bila tidak berhasil maka immobilisasi pasien harus diperhatikan

B. Tujuan
1. Umum
Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan
pasien dengan trauma kepala dan Cedera medulla spinalis
2. Khusus
a. Mengetahui pengertian trauma kepala dan Cedera medulla spinalis
b. Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala
dan Cedera medulla spinalis

3
c. Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan
trauma kepala dan Cedera medulla spinalis

C. Ruang Lingkup
Makalah ini akan membahas konsep teori tentang trauma dan cedera medulla
spinalis kepala serta masalah keperawatan pasien dengan trauma kepala dan
asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala dan cedera medulla spinalis.

4
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA

2.1 Konsep Teori

A. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

B. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):

1. Minor
 SKG 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
 SKG 9 – 12
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
 SKG 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

5
C. Etiologi
 Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
 Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
 Cedera akibat kekerasan.

D. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-
tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi
pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi
alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.

6
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan
fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan
otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau
hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara
luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada
seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada
batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak,
atau dua-duanya.

E. Manifestasi Klinis
 Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
 Kebungungan
 Iritabel
 Pucat
 Mual dan muntah
 Pusing kepala
 Terdapat hematoma
 Kecemasan
 Sukar untuk dibangunkan
 Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

7
F. Pathway
Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot dan Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak
vaskuler jaringan tulang (kontusio, laserasi)

Gangguan suplai darah -Perubahan outoregulasi


Resiko Nyeri
-Odem cerebral
G.-Perdarahan infeksi
Iskemia
H. Kejang
-Hematoma Perubahan
Hipoksia
perfusi jaringan

Perubahan sirkulasi CSS Gangg. fungsi otak 1. Bersihan


Gangg. Neurologis
jln. nafas
fokal 2. Obstruksi
jln. nafas
I.
Peningkatan TIK Mual – muntah 3. Dispnea
Papilodema 4. Henti nafas
Pandangan kabur Defisit Neurologis 5. Perub. Pola
Penurunan fungsi nafas
pendengaran
J. Girus medialis lobus Nyeri kepala
K.temporalis tergeser Gangg. persepsi Resiko tidak
sensori efektifnya jln. nafas
Resiko kurangnya
volume cairan
L. Herniasi unkus
Tonsil cerebelum tergeser Kompresi medula oblongata

M.
Mesesenfalon Resiko injuri
Resiko gangg.
tertekan
integritas kulit
Immobilisasi
Gangg. kesadaran Kurangnya
Cemas perawatan diri

8
G. Komplikasi
 Hemorrhagie
 Infeksi
 Edema
 Herniasi

H. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
 Rotgen Foto
 CT Scan
 MRI

I. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

J. Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.

9
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya
kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan
perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi
dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip
lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-
hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas
bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial.

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
 Kesadaran  GCS.

10
 Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat
kejang.
d. Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar  tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan  disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.

11
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat
trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

C. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak
ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan
dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
 Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila
ada cedera vertebra.
 Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret
segera lakukan pengisapan lendir.
 Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
 Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15 – 30 derajat.
 Pemberian oksigen sesuai program.

12
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada
pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Intervensi:

 Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk


menurunkan tekanan vena jugularis.
 Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
 peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada
leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur
(peningkatan lendir atau suction, perkusi).
 tekanan pada vena leher.
 pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan
kompresi pada vena leher).
 Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada
anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
 Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
 Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan
sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
 Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial
sesuai program.
 Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan
karena dapat meningkatkan edema serebral.
 Monitor intake dan out put.
 Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.

13
 Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan
pemenuhan nutrisi.
 Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan


menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat
badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan,
tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada
kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.

Intervensi:

 Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,


mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur,
dan kebersihan perseorangan.
 Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
 Perawatan kateter bila terpasang.
 Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
 Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab,
integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.

14
Intervensi:

 Kaji intake dan out put.


 Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan
ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
 Berikan cairan intra vena sesuai program.

5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau


meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.

Intervensi:

 Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon


terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas
pergerakan menurun, dan kejang.
 Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
 Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
 Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
 Berikan analgetik sesuai program.

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.


Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi:

 Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi


nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau
lambat, berkeringat dingin.

15
 Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
 Kurangi rangsangan.
 Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
 Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal,
tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.

Intervensi:

 Kaji adanya drainage pada area luka.


 Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
 Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
 Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk,
iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma


kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang
yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat
mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam
perawatan anak.

Intervensi:

 Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan
dilakukan, dan tujuannya.
 Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.

16
 Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
 Gunakan komunikasi terapeutik.

9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang
ditandai dengan kulit tetap utuh.

Intervensi:

 Lakukan latihan pergerakan (ROM).


 Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
 Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi anak.
 Kaji area kulit: adanya lecet.
 Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial
menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.

17
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA MEDULA SPINALIS

3.1 KONSEP TEORI

1. PENGERTIAN
Cedera Medula spinalis adalah cedera yang biasanya berupa fraktur atau
cedera lain pada tulang vertebra, korda spinalis itu sendiri, yang terletak didalam
kolumna vertebralis, dapat terpotong, tertarik,terpilin atau tertekan.. kerusakan pada
kolumna vertaebralis atau korda dapat terjadi disetiap tingkatan,kerusakan korda
spinalis dapat mengenai seluruh korda atau hanya separuhnya.

2. ETIOLOGI

Penyebab tersering adalah kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh,cedera


olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau.

3. ANATOMI DAN FISIOLOGI MEDULA SPINALIS

Medula Spinalis berasal dari bagian kaudal dari medulla oblongata pada
foramen magnum. Pada orang dewasa biasanya berakhir pada batas tulang L1
sebagai konus medularis. Dibawah level ini terdapat kauda ekuina, yang lebih tahan
terhadap trauma .dari bayak traktus dari medulla spinalis hanya 3 yang dapat
diperiksa secara klinis:

a. Traktus kortikospinal
b. Traktus spinotalamikus

18
c. Kolum posterior
Tiap –tiap traktus terdapat satu pasang yang dapat mengalami kerusakan pada satu
sisi atau kedua sisi medulla spinalis, traktus kortikospinalis terdapat pada daerah
segmen posterolateral medulla spinalis dan fungsinya adalah mengontrol kekuatan
motoris pada sisi yang sama pada tubuh yang dapat diuji dengan kontraksi otot
yang volunter atau respon involuter terhadap stimulus nyeri. Traktus spinotslsmikus
pada daerah antero lateral pada medulla spinalis mentransmisikan sensasi nyeri dan
termperatur dari sisi yang berlawanan dari tubuh. Secara umum dapat dilakukan test
dengan pin prick dan raba halus kolum posterior membawa propriseptif, vibrasi dan
sensasi raba halus dari sisi yang sama dari tubuh, dan kolum ini diuji dengan rasa
posisi pada jari atau vibrasi dengan garfu tala.

Bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun sensoris dibawah level, ini dikenal
sebagai complet spinal cord injury ( cedera medulla spinalis komplit). Bila masih
terdapat fungsi motoris atau sensoris, ini disebut sebagai incomplete injury dan
perianal (sacral sparing)mungkin hanya satu – satunya tanda yang tertinggal.

2.. 3. PATOFISIOLOGI

Kerusakan meduala spinalis berkisar dari komosio sementara (di mana pasien
sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substabsia medulla
(baik salah satu atau dalam kombinasi)sampai transeksi lengkap medulla ( yang
membuat pasiaen paralysis dibawah tingkat cedera)

Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes
kekstrakaudal, subdural atau subarakhnoid pada kanal spinal.segera setelah terjadi
kontusion atau robekan akibat cedera, serabut –serabut saraf mulai membengkak
dan hancur. Sirkulasi drah dan subtansia grisea medulla spinalis, tetapi proses
patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera pembuluh

19
darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menimbulkan kerusakan
yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian –
kejadian yang menimbulkan iskemia,hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang
pada gilirannya menyepabkan kerusakan meilin dan akson.

Reaksi ini diyakini menjadi penyebab prinsip degenarasi medulla spinalis pada
tingkat cedera, sekarang dianggap reversible sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu
jika kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat – obat antiimflamasi
lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari
perkembangannya, masuk kedalam kerusakan total dan menetap.

4. MANIPESTASI KLINIK

Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang
leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan takut
kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat menyebabkan
gambaran paraplegia atau quadriplegia. Akibat dari cedera kepala bergantung pada
tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera.

Tingakat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik
bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralysis
sensorik dan motorik otak, kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar
(biasanya terjadi retansi urin dan distensi kandung kemih , penurunan keringat dan
tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler
perifer.

Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan : level,beratnya deficit


neurologik, spinal cord syndrome, dan morfologi.

20
A. Level
Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang masih
dapat ditemukan sensoris dan motoris yang normal di kedua sisi tubuh. Bila kata
level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah bagian segmen bagian kaudal
medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal pada ke dua bagian tubuh.
Level motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah paling kaudal dimana masih
dapat ditemukan motoris dengan tenaga 3/5 pada lesi komplit, mungkin masih
dapat ditemukan fungsi sensoris maupun motoris di bawah level sensoris/motoris.
Ini disebut sebagai daerah dengan “preservasi parsial”. Penentuan dari level cedera
pada dua sisi adalah penting. Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah
dan di atas T1. Cedera pada segmen servikal diatas T1 medula spinalis
menyebabkan quadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan
paraplegia. Level tulang vertebra yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera
pada medulla spinalis. Level kelainan neurologist dari cedera ini ditentukan hanya
dengan pemeriksaan klinis. Kadang-kadang terdapat ketidakcocokan antara level
tulang dan neurologis disebapkan nervus spinalis memasuki kanalais spinalis
melalui foramina dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelem betul-betul
masuk kedalam medulla spinalis. Ketidakcocokan akan lebih jelas kearah kaudal
dari cedera. Pada saat pengelolaan awal level kerusakan menunjuk kepada kelainan
tulang, cedera yang dimaksudkan level neurologist.

B. Beratnya Defisit Neurologis


Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak
komplit, paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan kuadraplegia komplit.
Sangat penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla spinalis yang masih
tersisa. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera merupakan cedera
yang tidak komplit. Termasuk dalam cedera tidak komplit adalah :

1. Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunteer pada ekstremitas


bawah.

21
2. Sakra l sparing, sebagai contoh : sensasi perianal, kontraksi sphincter ani secara
volunter atau fleksi jari kaki volunter.
Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak komplit hanya dengan dasar
adanya reservasi refleks sacral saja, misalnya bulbocavernosus, atau anal wink.
Refleks tendo dalam juga mungkin dipreservasi pada cedera tidak komplit.

C. Spinal Cord Syndrome


Beberapa tanda yang khas untuk cidera neurologist kadang-kadang dapat
dilihat pada penderita dengan cidera medulla spinalis.

Pada sentral cord syndrome yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga pada
ekstremitas atas, lebih besar disbanding ekstremitas bawah, dengan tambahan
adanya kehilangan adanya sensasi yang bervariasi. Biasanya hal ini terjadi biasanya
terjadi cidera hiperekstensi pada penderita dengan riwayat adanya stenosis kanalis
sevikalis (sering disebabkan oleh osteoarthritis degeneratif). Dari anamnesis
umumnya ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang menyebabkan tumbukan pada
wajah yang dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi tulang servikal.
Penyembuhannya biasanya mengikuti tanda yang khas dengan penyembuhan
pertama pada kekuatan ekstremitas bawah. Kemudian fungsi Kandung kencing lalu
kearah proksimal yaitu ekstremitas atas dan berikutnya adalah tangan. Prognosis
penyembuhannya sentral cord syndrome lebih baik dibandingkan cedera lain yang
tidak komplit. Sentral cord syndrome diduga disebabkan karena gangguan vaskuler
pada daerah medulla spinalis pada daerah distribusi arteries spinalis anterior. Arteri
ini mensuplai bagian tengah medulla spinalis. Karena serabut saraf motoris ke
segmen servikal secara topografis mengarah ke senter medulla spinalis, inilah
bagian yang paling terkena.

Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan


dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi komna posterior

22
(kesadaran posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih ditemukan.Biasanya anterior cord
syndrome disebabkan oleh infark medulla spinalis pada daerah yang diperdarahi
oleh arteri spinalis anterior. Sindrom ini mempunyai prognosis yang terburuk
diantara cidera inkomplik.

Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla spinalis dan akan
jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik cukup sering
ditemukan.Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari kehilangan motoris
opsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan kesadaran posisi (kolumna
posterior) yang berhubungan dengan kehilangan disosiasi sensori kontralateral
dimulai dari satu atau dua level dibawah level cedera (traktus spinotalamikus).
Kecuali kalau syndrome ini disebabkan oleh cedera penetrans pada medulla
spinalis,penyembuhan (walaupun sedikit) biasanya akan terjadi.

D. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera medulla
spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera penetrans. Setiap
pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan tidak
stabil.Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu seerhana dan
ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat. Karena itu terutama pada
penatalaksanaan awal penderita, semua penderita dengan deficit neurologist,harus
dianggap mempunyai cedera tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu penderita
ini harus tetap diimobolisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah saraf/
ortofedi.

Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari mekanisme cedera ;
(1) pembebanan aksial (axial loading), (2) fleksi, (3) ekstensi, (4) rotasi, (5) lateral
bending, dan (6) distraksi. Cedera dibawah ini mengenai kolumna spinalis, dan
akan diuraikan dalam urutan anatomis, dari cranial mengarah keujung kaudal tulang
belakang.

23
 Dislokasi atlanto – oksipita (atlanto – occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi
yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan batang otak.
Kerusakan neurologist yang berat ditemukan pada level saraf karanial
bawah.kadang –kadang penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat
kejadian.

 Fraktur atlas (C-1)


Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar. Fraktur C-
1 yang palig umum terdiri dari burst fraktur (fraktur Jefferson).mekanisme
terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertical oleh
benda berat atau penderita terjatu dengan puncak kepala terlebih dahulu. Fraktur
jefeferson berupa kerusakan pada cincin anterior maupun posterior dari C-1, dengan
pergeseran masa lateral. Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi open mouth
dari daerah C-1 dan C-2 dan dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini
harus ditangani secara awal dengan koral sevikal.

 Rotary subluxation dari C-1


Cedera ini banyak ditemukan pada anak –anak. Dapat terjadi spontan setelah terjadi
cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau penderita dengan rematoid
arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. .pada cedera ini
jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan rotasi dengan
paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan imobilisasi. Dan segera
rujuk.

 Fraktur aksis(C-2)

Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang istimewah
karena itu mudah mengalami cedera.

1. fraktur odontoid

24
kurarng 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu tonjolan tulang
berbentuk pasak. Fraktur ini daoat diidentifikasi dengan foto ronsen
servikal lateral atau buka mulut.

2. fraktur dari elemen posterior dari C-2


fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars interartikularis 20 %
dari seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan
oleh trauma tipe ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi
eksternal.

 Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)


Fraktur C-3 saangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan letaknya berada
diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang tulang
servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi tulang
servikal terbesar.

 Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)


Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori : (1) cedera
baji karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera bursi, (3) fraktur Chance,
(4) fraktur dislokasi.

Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi pada bagian
anterior. Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst disebabkan oleh
kompresi vertical aksial. Fraktur dislokasi relative jarang pada daerah T-1 sampai
T-10.

 Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1)fraktur lumbal


Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang servikal, tetapi
dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali atau terlambat
mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi mobil
memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resiko

25
mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada level ini , radiks
saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah torakolumbal.

 Trauma penetrans
Tipe trauma penetrans yang paling umum dijumpai adalah yang disebabkan karena
luka tembak atau luka tusuk. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkombinasikan
informasi dari anamnesis, pemeriksaan klinis, foto polos dan CT scan. Luka
penetrans pada tulang belakang umumnya merupakan cedera yang stabil kecuali
jika disebabkan karena peluru yang menghancurkan bagian yang luas dari columna
vertebralis.

5. PENATALAKSANAAN

Tujuan peñatalaksanaan adalah mencegah cedera medulla spinalis lanjut dan


mengopservasi gejala penurunan neurologik. Pasiaen diresusitasi bila perlu, dan
stabilitas oksigenasi dan kardiovaskuler dipertahankan.

1. Penilaian Dan Pengelolaan Cedera Medulla Spinalis ( Fase Akut )


 Primari survey resusitasi – penilaian cedera tulang belakang
a. Airway
Menilai airway sewaktu mempertahankan posisi tulang leher membuat airway
defenitif apabila diperlukan.

b. Breathing
Menilai dan memberikan oksigenasi yang adekuat dan bantuan ventilasi bila
diperlukan.

2. Circulation
 Bila terdapat hipotensi, harus dibedakan antara syok hipovolemik ( penurunan
takanan darah, peningkatan denyut jantung, ekstremitas yang dingin) dari

26
syok neurogenik (penurunan tekanan darah, penurunan denyut jantung,
ekstremitas hangat).
 Penggantian cairan untuk menanggulangi hipovolemia
 Bila terdapat cedera medulla spinalis, pemberian cairan harus dipandu dengan
monitor CVP.
 Bila melakukan pemeriksaan colok dubur sebelum memasang kateter, harus
dinilai kekuatan spinkter serta sensasi
3. Disability – pemeriksaan neurologik singkat
 Tentukan tingakat kesadaran dan menilai pupil.
 Tentukan AVPU atau lebih baik dengan Glasgow coma scale
 Kenali paralysis/paresis.

 Survey sekunder – penilaian neurologist


a) Memperoleh anamnesis AMPLE
 Anamnesis dan mekanisme trauma
 Riwayat medis
 Identifikasi dan mencatat obat yang diberikan kepada penderita sewaktu
datang dan selama pemeriksaan dan penatalaksanaan
b) Penilaian ulang tingkat kesadaran dan pupil
c) Penilaian ulang skor GCS
d) Penilaian tulang belakang
 Palpasi
Rabalah seluruh bagian posterior tulang belakang dengan melakukan log
roll penderita secara hati – hati yang dinilai;

1) Deformitas dan bengkak


2) Krepitus
3) Peningkatan rasa nyeri sewaktu dipalpasi
4) Kontusio dan laserasi / luka tusuk.

27
 Nyeri,paralysis,parastesia
1) Ada/tidak
2) Lokasi
3) Level neurologis
 Sensasi
Tes pinprick untuk mengetahui sensasi, dilakukan pada seluruh dermatom
yang memberikan rasa.

 Fungsi motoris
 Refleks tendo dalam (kurang memberikan imformasih
 Pencatatan dan pemeriksaan ulang
e) Evaluasi ulang akan adanya cedera penyerta/cedera yang tersembunyi.
 Pemeriksaan untuk level cedera medulla spinalis
Penderita dengan cedera medulla spinalis mungkin mempunyai level yang
bervariasi dari deficit neurologist. Level fungsi motoris dan sensasi harus diliai
ulang secara betkala dan secara hati-hati, dan didokumentasikan , karena tidak
terlepas kemungkinan terjadi perubahan level.

1) Pemeriksaan motoris terbaik


 Menentukan level kuadriplegia, level radiks saraf
Mengangkat siku sampai setinggi bahu – deltoid,C-5(,fleksi lengan bawah-
bisepsC-6, ekstensi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan dan jari – C-8,
membuka jari- T-1)

 Menentukan level paraplegia, level radiks saraf


Fleksi panggul – iloopsoas, L – 2 ,ekstensi lutut – kuadriseps,

L – 3, dorsofleksi ankle – tibialis anterior L -4,, plantar fleksi ankle –


gastroknemius S – 1.

2) Pemeriksaan sensoris

28
Menentukan level sensasi terutama dengan melakukan level dermatom.

 Prinsip terapi bagi penderita cedera medulla spinalis


a. Perlindungan terhadap trauma lebih lanjut
Perlingdungan ini meliputi pemasangan kolar servikal semi rigid dan long back
board, melakukan modoifikasi teknik log roll untuk mempertankan kesegarisan
bagi seluruh tulang belakang, dan melepaskan long spine board secepatnya.
Immobilisasi dengan long spine board pada penderita yang mengalami paralysis
akan meningkatkan resiko terjadinya ulkus decubitus pada titik penekanan.

b. Resusitasi cairan dan monitorin


 Monitoring CVP
Cairan intara vena yang dibutuhkan pada umumnya tidak banyak, hanya
untuk maintenance saja, kecuali untuk keperluan pengelolaan syok.

 Kateter urin
Pemasangan kateter dialakukan pada primary survey dan resusitasi.

 Kateter lambung
Dipasang pada penderita dengan paraplegia dan kuadriplegia untuk
mencegah terjadinya distensi kandung kemih

c. Penggunaan steroid

 Prinsip melakukan imobilisasi tulang belakang dan log roll


A. Penderita dewasa
Empat orang dibutuhkan untuk melakukan modifikasi log roll dan immobilisasi
penderita dan immobilisasi penderita, seperti pada long spine board : (1) satu untuk
mempertahankan immobilisasi segaris kepala dan leher penderita; (2) satu untuk
badan(termasuik pelvis dan panggul); (3) satu untuk pelvis dan tungkai dan,(4) satu
mengatur prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam kesegarisan,

29
tetapi masih terdapat gerakan minimal pada tulang belakang. Saat melakukan
prosedur ini, immobilisasi sudah dilakukan pada ekstremitas yang diduga
mengalami fraktur;

 Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi penderita
 Dilakukan in line immobilisasi kepala dan leher secara manual, kemudian
dipasang kolar servikal semirigid.
 Lengan penderita diluruskan dan diletakkan disamping badan
 Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati – hati dan diletakkan dalam
posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang belakang, ke2 pergelangan kaki
diikat satu sama lainnya dengan plester.
 Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang kedua
memegang penderita pada daerah bahu dan pergelangan tangan.
 Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala dan leher,
dilakukan log roll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada pada
sisis penderita, hanya memerlukan spine board dibawah penderita.
 Spine board terletak dibawah penderita, dan dilakukan log roll kearah spine
board.
 Demi mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita maka
diperlukan bantalan yang diletakkan dibawah leher penderita.
 Bantalan, selimut yang dibulatkan diletakkan atau alat penyangga lainnya
diletakkan disebelah kiri dan kanan kepala dan leher penderitadan kepala diikat
dengan spine board.
B. Penderita anak
 Untuk immobilisasi anak diperlukan long spine board pediatric. Bila tidak ada
maka dapat menggunakan long spine board untuk dewasa dengan gulungan
selimut diletakkan diseluruh sisi tubuh untuk mencegah pergerakan kearah
lateral.

30
 Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa,
olehnya itu harus dipasang bantalang dibah bahuuntuk menaikkan badan
sehingga kepala yang besar pada anak tidak menyebabkan fleksi tulang leher,
sehingga dapat mempertahankan kesegarisan tulang belakan anak.
 Pengelolaan umum
 Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan immobilisasi sebelum transper
penderita ke UGD. Setiap penderita yang dicurigai harus dilakukan imobilisasi
dibagian atas dan bawah yang dicurigai menderita cedera, sampai fraktur dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan rongsen. Imobilisasi yang tepat dilakukan
pada penderita yaitu dengan posisi netral, seperti berbaring terlentang tanpa
rotasi atau membengkokkan tulang belakang. Perlu digunakan bantalan yang
tepat untuk mencegah terbentuknya dekubitus. Bila terdapat deficit neurologist
secepatnya melepas penderita dari long spine board untuk mencegah terjadinya
dekubitus. Tempat tersering adalah pada daerah oksiput dan sacrum.

6. Komplikasi dan pencegahan trauma medulla spinalis


1.Komplikasi
 Syok neurogenik versus syok spinal
 Syok neurogenik merupakan hasiol dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung. Keadaan ini
menyebapkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ektremitas bawah,
terjadi penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya terjadi hipotensi.
Sebagai akibat kehilangan cardiac sympatik tone. Penderita akan
mengalami bradikardia atau setidak –tidaknya gagal untuk menjadi
takhikardia sebagai respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan
darah tidak akan membaik hanya dengan impus saja dan usaha untuk
menormalisasi tekanan darah akan menyebabkan kelebihan cairan dan
udema paru. Tekanan darah biasanya dapat diperbaiki dengan penggunaan

31
vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat akan dapat dipertahankan walaupun
tekanan darah belum normal.
 Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya repleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit, walaupun tidak seluruh bagian rusak.

 Efek terhadap organ lain.


 Hipoventilasi yang disebabkan karena paralysis otot interkostal dapat
merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis didaerah
servikal bawah atau torakal atas. Bila bagian atas atu tengah medulla
spinalis didaerah servikal mengalami cedera, diagframa akan mengalami
paralysis yang disebabkan segmen
 C3 –C5 terkena, yang mempersarafi diagfragma melalui
 frenikus.

 Trombosis vena profunda adalah komplikasi umum pada cedera medulla


spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal.
 Komplikasi lain adalah hiperfleksia autonomic(dikarakteristikkan oleh sakit
kepala berdenyut, keringat banyak,kongesti nasal,piloereksi, bradikardi dan
hipertensi), komplikasi lain yaitu berupa dekubitus dan infeksi(infeksi
urinarius,dan tempat pin ).
2. pencegahan
factor –faktor resiko dominant untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan
cedera medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan
primer.untuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah
berikut perlu dilakukan : (1) menurungkan kecepatan berkendara., (2)
menggunakan sabuk pengaman, (3) menggunakan helm untuk pengendara motor
dan sepeda, (4) program pendidikan langsung untuk mencegah berkendara sambil

32
mabuk, (5) mengajarkan penggunaan air yang aman, (6) mencegah jatuh,(7)
menggunakn alat – alat pelindung dan tekhnik latihan.

3.2 ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA MEDULLA SPINALIS

 Pengkajian
1. Aktivitas isterahat
Tanda : kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok spinal ) pada/ dibawah
lesi. Kelemahan umum/kelemahan otot ( trauma dan adanya kompresi saraf)

2. Sirkulasi
Gejala: Berdebar –Debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak.

Tanda : hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ektremias dingin dan pucat.


Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.

3. Eliminasi
Tanda : inkontinensia defekasi dan berkemih.

Retensi urine. Distensi abdomen, peristaltic usus hilang. Melena, emesis berwarna
seperti kopi tanah/hematemesis

4. Integritas Ego
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.

Tanda : takut, cemas, gelisah , menari diri.

5. Makanan/ Cairan
Tanda : mengalami distensi abdomen, peristaltic usus hilang ( ileus paralitik)

6. Higyene
Tanda : sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari

7. Neurosensori

33
Gejala : kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan /kaki. Paralysis
flaksid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung pada area spinal
yang sakit.

Tanda : Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan


pada syok spinal.

Kehilangan sensasi, kehilangan tonus otot/ vasomotor, kehilangan refleks/ refleks


asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil,ptosis, kehilangan
keringat dari bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.

8. Nyeri/kenyamanan
Gejala ; Nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah trauma.

Tanda : Mengalami deformitas, postur,nyeritekan vertebral.

9. Pernapasan
Gejala : napas pendek, “ lapar udara” sulit bernapas.

Tanda : pernapasan dangkal/labored,periode apnea, penurunan bunyi napas,


ronki,pucat, sianosis.

10. Keamanan
gejala : suhu yang berfluktuasi

11. Seksualitas
gejala : keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.

Tanda : Ereksi tidak terkendali (pripisme), menstruasi tidak teratur.

12. Penyuluhan / pembelajaran

 Diagnosa

34
1. Resiko Tinggi pola napas tidak efektif b/d kerusakan persarafan dari
diagfragma, kehilangan komplit atau campuran dari fungsi otot interkostal.
2. Resiko tinggi trauma b/d kelemahan temporer/ketidakstabilan kolumna
spinalis.
3. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler ditandai dengan
ketidakmampuan untuk bergerak sesuai keinginan, paralisis,atropi.
4. Nyeri akut b/d cedera psikis, alat traksi
 Intervensi
1. Resiko tinggi pola napas tidak efektif
Kriteria evaluasi : Mempertahankan ventilasi adekuat dibuktikan oleh
takadanya distress pernapasan dan GDA dalam batas normal

Lakukan pengisapan bila perlu. Catat jumlah, jenis, dan karakteristik sekresi
Rasional ; jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan secret, meningkatkan distribusi udara, dan mengurangi resiko
infeksi pernapasan.

Kaji fungsi pernapasan dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan


napas dalam.
Rasional ; Trauma pada C1 – C2 menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan secara menyeluruh, trauma C4-5 mengakibatkan hilangnya
fungsi pernapasan yang bervariasi tergantung pada tekanan saraf
frenikusdan fungsi diafragma.

Auskultasi suara napas.


Rasional; Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan
akumulasi/atelektasis atau pneumonia (komplikasi yang sering terjadi).

Observasi warna kulit , adanya sianosis, keabu-abuan


Rasional; Menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang memerlukan
evaluasi dan intervensi medis dengan segera.

35
.berikan oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul oksigen,
masker,intubasi
Rasional; Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma,
keadaan insufisiensi pernapasan, dan banyaknya fungsi otot pernapasan
yang sembuh setelah fase syok spinal.

2. resiko tinggi trauma b/d kelemahan temporer


Kriteria evaluasi : Mempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal tanpa
cedera medulla spinalis lanjut

Pertahankan tirah baring dan alat-alat imobilisasi seperti traksi, halo


brace, kolar leher, bantal pasir dll.
Rasional; Menjaga kestabilan dari kolumna vertebra dan membantu
proses penyembuhan.

Tinggikan bagian atas dari kerangka traksi atau tempat tidur jika
diperlukan.
Rasional; Membuat keseimbangan untuk mempertahankan posisi
pasien dan tarikan traksi..

Ganti posisi, gunakan alat Bantu untuk miring dan menahanseperti alat
pemutar, selimut terrgulung, bantal dsb.
Rasional; Mempertahankan posisis kolumna spinalis yang tepat
sehingga dapat mengurangi resiko trauma.

Siapkan pasien untuk tindakan operasi, seperti laminektomi spinal atau


fusi spinal jika diperlukan.
Rasional; Operasi mungkin dibutuhkan pada kompresi spinal atau
adanya pemindahan fragmen –framen tulang yang fraktur

3. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler

36
Kriteria evaluasi : mempertahankan posisi posisi fungsi dibuktikan oleh tidak
adanya kontraktur footdrop. Meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit
atau kompensasi

Kaji secara teratur fungsi motorik


Rasional; mengevaluasi keadaan secara khusus karena pada beberapa
lokasi trauma mempengaruhi tipe dan pemilihan intervensi,

Bantu atau lakukan latihan room pada semua ekstremitas dan sendi
dengan perlahan dan lembut.
Rasional; Meningkatkan sirkulasi ,mempertahankan tonus otot,dan
mobilisasi sendi, dan mencegah kontraktur dan atrofi otot.

Gantilah posisi secaca periodik walaupun dalam keadaan duduk


Rasional; Mengurangi tekanan pada salah satu area dan meningkatkan
sirkulasi perifer.

Kaji rasa nyeri, kemerahan,bengkak, ketegangan otot jari


Rasional; Banyak sekali pasien denga trauma saraf servikal mengalami
pembentukan trombus karena gangguan sirkulasi perifer,imobilisasi dan
kelumpuhan flaksid.

Konsultasi dengan ahli terapi fisik


Rasional; membantu dalam merencanakan dan melaksanakan latihan
secara individual dan mengidentifikasi alat-alat Bantu untuk
mempertahankan fungsi mobilisasi dan kemandirian pasien.

4. Nyeri akut b/d cedera psikis, alat traksi


Kriteria evaluasi : mengidentifikasi cara – cara untuk mengatasi nyeri

Kaji terhadap adanya, Bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung


nyeri.

37
Rasional; Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera. Mis
dada, punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer.

Bantu pasien dalam mengidentifikasi factor pencetus


Rasional; Nyeri terbakar dan spasme otot dicetuskan/
diperberat oleh banyak factor mis,ansietas,tegangan, suhu eksternal.

Berikan tindakan kenyamanan, mis perubahan posisi,masase,kompres


hangat/dingin.
Rasional; Tindakan alternative mengontrol nyeri digunakan untuk
keuntungan emosianal, selain menurunkan kebutuhan obat/efek tak
diinginkan pada fungsi pernapasan.

Berikan obat sesuai indikasi : relaxan otot mis, dantern (dantrium)


Rasional; Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau
untuk menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat.

38
DAFTAR PUSTAKA

Marilynn E Doenges, dkk., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit Buku


Kedokteran, EGC, Jakarta.

Sylvia & Lorraine, 1994, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Brunner & suddarth. Keperawatan Medical Bedah. Penerbit buku Kedokteran

Volume 3 ,EGC. Jakarta 2001

Manjoer , Arif M, dkk. Kapita Selekta Kedoteran . penerbit media aeculapius FKUI

Edisi III. Jakarta 2000

Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV
Sagung Seto; 2001.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC;
1996.
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC;
2000.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta:
EGC; 1999.

39

Anda mungkin juga menyukai