Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi

2.1.1 Pengertian Hipertensi

Pudiastuti (2013 dalam Normala, 2016) menyatakan bahwa, penyakit

darah tinggi atau hipertensi (hypertension) adalah suatu keadaan dimana

seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang ditunjukkan

oleh angka systolik (bagian atas) dan diatolik (angka bawah) pada pemeriksaan

tekanan darah menggunakan alat pengkur tekanan darah baik yang berupa cuff air

raksa (sphygmomanometer) atau alat digital lainnya. Hipertensi atau penyakit

tekanan darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah

yang mengakibatkan suplai oksegen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah,

terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Tubuh akan bereaksi

lapar, yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Bila kondisi tersebut berlangsung lama dan menetap,

timbullah gejala yang disebut sebagai penyakit tekanan darah tinggi (Vitahealth,

2004). Pudiastuti (2012 dalam Khasanah, 2017) menyatakan bahwa, tekanan

darah tinggi atau hipertensi merupakan suatu gangguan pada pembuluh darah dan

jantung yang megakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

terlambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

Dalam hubungannya dengan faktor penyebab munculnya penyakit tekanan

darah seseorang, hipertensi itu sendiri dibedakan menjadi hipertensi

esensial/primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan suatu


kondisi tekanan darah tinggi yang tidak diketahui penyebab terjadinya hipertensi

atau tanda-tanda kelainan organ di dalam tubuh. Para ahli memperkirakan bahwa

munculnya hipertensi jenis ini ditandai dengan kacaunya mekanisme

pengendalian tekanan darah oleh sistem saraf, humoral dan hemodinamik.

Hipertensi jenis ini biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor

keturunan, pola makan dan minuman yang kurang tepat yang ditandai dengan

tinggi kadar natrium di dalam bahan makanan atau minuman tersebut merupakan

salah satu faktor yang turut meningkatkan prevalensi seseorang terkena hipertensi.

Faktor lainnya yang menyebabkan seseorang terkena hipertensi adalah stress dan

tekanan hidup yang tinggi. Kondisi stress dapat mengakibatkan

ketidakseimbangan fungsi fisiologis dan psikis seseorang. (Ridwan, 2009)

Apabila hipertensi primer penyebabnya belum diketahui, maka pada

hipertensi sekunder penyebab munculnya hipertensi dapat diketahui. Penyakit

hipertensi dapat diakibatkan oleh kelainan korteks adrenalis, feokromositoma,

tosemia gravidarium, serta pemakaian obat-obatan sejenis dengan kortikosteroid.

Pada diagnosis awal, apabila ditemukan gejala hipertensi, maka sebaiknya

menggunakan klasifikasi JNC 6 atau Joint Comittee on Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatmeent on High blood Pressure. (Ridwan, 2009: 6)


Tabel 1. Klasifikasi JNC 6

Kategori Tekanan Darah (mmHg)


Optimal < 120/80
Normal 120/80 – 129/84
Borderline 130/85 – 139/89
Hipertensi > 140/90
Stadium 1 140/90 – 159/99
Stadium 2 160/100 – 179/109
Stadium 3 > 180/110

(sumber: Ridwan, 2009: 6)

Dalam klasifikasi hipertensi terbaru terdapat klasifikasi JNC 7. Pada

klasifikasi ini terdapat prehipertensi yang dikategorikan bukan sebagai penyakit.

Kategorisasi tersebut digunakan untuk mengidentifikasi tingkat resiko seseorang

terhadap hipertensi. Hal ini sangat bermanfaat baik bagi pasien maupun dokter

untuk mencegah atau setidak-tidaknya memperlambat munculnya penyakit

hipertensi. (Ridwan, 2009: 7)

Tabel 2. Klasifikasi JNC 7

Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik


Klasifikasi
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 - 139 80 - 89
Hipertensi Stadium 1 140-159 90 – 99
Hipertensi Stadium 2 > 160 > 100
(sumber : Ridwan, 2009)

2.1.3 Penyebab

Hipertensi sering dialami oleh seseorang tanpa didahului oleh gejala-gejala

yang dapat didiagnosa oleh dokter. Oleh karena itu, dokter biasanya akan mencari
tanda awal hipertensi untuk menentukan langkah-langkah medis berikutnya bagi

penyembuhan serta rehabilitasi penderita hipertensi. Jika penderita hipertensi

tidak didiagnosis sesegera mungkin maka penyakit bawaan lainnya yang

mengiringi munculnya penyakit hipertensi dapat muncul secara sporadic yang

ditunjukkan kelainan pada organ-organ vital manusia seperti otak, jantung, ginjal,

dan bagian tubuh lainnya. (Ridwan, 2009)

Hipertensi ternyata tidak saja diakibatkan oleh tekanan darah yang

abormal namun dapat juga diakibatkan oleh komplikasi penyakit dan kelainan

pada organ target utama organ vital sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Selain itu adanya sindrom X atau Reaven pada orang yang mengalami hipertensi

yang diikuti dengan gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus,

dislipidemia, serta obesitas. Oleh karena itu, orang mengalami hipertensi biasanya

akan diikuti dengan penyakit ikutan lainnya. Ketika menguraikan tentang jenis

hipertensi, terdapat hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer sekalipun

tidak diketahui penyebabnya namun diduga bahwa munculnya hipertensi ini

berkaitan dengan peningkatan tekanan darah dari waktu ke waktu, yang

mempengaruhi perubahan pada jantung dan pembuluh darah lainnya. Penderita

hipertensi-sekitar-90%-merupakan hipertensi primer. Pada penderita hipertensi

sekunder, diperkirakan sekitar 5% - 10% disebabkan oleh penyakit ginjal,

kemudian sekitar 1% - 2% diakibatkan oleh kelainan hormonal atau dapat juga

diakibatkan oleh pemakaian obat tertentu seperti pil KB. (Ridwan, 2009)

Mengkonsumsi makanan berkadar garam tinggi juga dapat memicu

terjadinya hipertensi. Jika kadar garam dalam makanan diatas 5,8 gram setiap hari

sudah cukup meningkatkan tekanan darah seseorang. Secara genetik, penyakit


hipertensi memiliki hubungan yang signifikan dengan gen-gen pemicu hipertensi

yang terdapat dalam kromosom manusia. Sekalipun gen-gen pemicu hipertensi

belum bisa diidentifikasikan secara akurat namun faktor-faktor genetik yang

terdapat gen manusia sangat mempengaruhi rennin-angiotensin-aldosterone.

Mekanisme ini, sangat membantu dalam pengaturan tekanan darah melalui

pengontrolan keseimbangan garam serta kelenturan arteri. (Ridwan, 2009)

Penderita hipertensi biasanya memiliki kelainan pada arteri-arteri di dalam

pembuluh darahnya. Arteri yang dimilikinya ini kehilangan kelenturannya

sehingga menjadi kaku. Selain arteri, komponen pembuluh darah lainnya seperti

peripheral ateris atau arteriol juga mengalami kekakuan. Penyebabnya belum

diketahui secara pasti, namun pada umumnya orang yang menderita hipertensi

akan ditandai dengan kondisi tersebut. Secara garis besar, orang yang menderita

hipertensi diakibatkan oleh volume pukulan jantung (cardiac output) yaitu jumlah

volume darah yang terdapat pada setiap kontraksi ketika dipompa keluar jantung.

Semakin tinggi cardiac output akan meningkatkan kemungkinan terkena

hipertensi. Selain cardiac output yang semakin tinggi, penyebab munculnya

hipertensi dapat diakibatkan pengendapan kolesterol dan lemak (arteriosclerosis)

yang dapat menyebabkan tekanan darah semakin tinggi. Oleh karena itu, pola

makan yanng kurang sehat dengan tidak memperhatikan menu sehat dengan gizi

seimbang cenderung memicu penumpukkan lemak dan kolesterol di dalam

pembuluh darah. Kemudian faktor lainnya adalah terlepasnya neurohormon-

neurohormon yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah seseorang. (Ridwan,

2009)
2.1.4 Faktor Risiko

Menurut Wolff faktor risiko yang dapat mengakibatkan hipertensi

meliputi :

(a) Berat badan berlebihan

Hal ini meningkatkan berkembangnya berbagai faktor risiko

dan oleh karena itu, berat badan itu sendiri merupakan suatu bahaya

terhadap kesehatan. Sebanyak 85% dari semua pengidap diabetes,

80% dari semua orang memiliki kadar kolesterol darah dan/atau

trigliserida yang abnormal, 70% dari semua hiperurisemia

(berlebihnya asam urat dalam darah), dan 60% dari semua orang yang

mengidap hipertensi adalah orang-orang yang yang kelebihan berat

badan. Penyebab utama dari kelebihan berat badan adalah terlalu

banyak makan. Penyebab lebih jauh lagi adalah kurangnya olahraga,

yaitu gangguan yang berhubungan dengan pekerjaan pada begitu

banyak orang yang menghabiskan waktu kerja di belakang meja,

bangku pabrik, atau di belakang kemudi mobil.

(b) Metabolisme lemak yang abnormal

Lemak serum, yang dikenal sebagai lipid, memasok tubuh

dengan energi dan bahan pembangunan. Sebagian lemak diperoleh

dari makanan yang kita konsumsi dan sebagian lagi diciptakan tubuh

sendiri. Jika, sebagai akibat makanan yang buruk, tubuh menerima

lebih banyak lemak daripada yang dibutuhkan, kadar lemak tubuh pun

meningkat. Suatu kondisi lemak darah tinggi yang kronis

(hiperlipidemia) bisa memicu dan mempercepat proses perusakan


dinding arteri−kondisi yang kita sebut arteriosklerosis. Dua jenis

lemak darah−kolesterol dan trigliserida, dan terutama

kolesterol−memainkan peran penting di dalamnya. Kolesterol

sebagian besar diproduksi oleh tubuh sendiri, tetapi kadar kolesterol

darah dikaitkan dengan makanan kita, dengan jenis lemak yang kita

makan dan kolesterol yang terkandung dalam makanan kita.

(c) Merokok

Merokok adalah suatu faktor risiko penting dalam penyakit

kardiovaskuler, menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1965. Dan penelitian

Framingham mendukung penemuan ini. Walaupun orang yang

merokok satu pak rokok sehari tiga kali lebih mungkin menderita

serangan jantung dibandingkan orang yang tidak merokok, risikonya

bertambah seiring dengan meningkatnya konsumsi rokok. Pada orang

yang merokok secara terus-menerus, kemungkinan terjadinya

serangan jantung enam kali lebih besar dibandingkan mereka yang

tidak merokok.

(d) Diabetes

Penelitian Framingham juga memperjelas bahwa suatu dari

setiap dua orang pengidap diabetes cepat atau lambat akan menderita

kerusakan pembuluh darah dan mengalami peningkatan risiko

serangan jantung. Terjadinya tekanan darah tinggi di antara pengidap

diabetes lebih besar daripada yang tidak mengidap diabetes pada

kelompok umur yang sama, dan sama tinggi pada pria dan wanita.
Kaitan antara kedua faktor risiko tersebut, diabetes dan tekanan darah

tinggi, menjelaskan frekuensi relatif dari penyakit koroner pada orang

yang mengidap kedua faktor tersebut.

(e) Hiperurisemia (akumulasi asam urat dalam darah)

Hiperurisemia dalah kelainan metabolisme dengan

konsekuensi yang berpotensi sangat menyakitkan. Tubuh mengubah

kelebihan asam urat ini menjadi kristal-kristal kecil yang bisa menetap

di jaringan sendi. Hasilnya adalah penyakit menyakitkan yang disebut

gout. Bahkan pada tahun 1899, seorang dokter Perancis yang bernama

Huchard menyatakan bahwa kelebihan asam urat ini memengaruhi

bukan hanya persendian melainkan juga arteri. Karena kemunculan

hiperurisemia sering kali diasosiasikan dengan kelebihan berat,

tekanan darah tinggi, diabetes, dan metabolisme lemak yang abnormal,

kita masih belum yakin apakah penyakit ini bisa diobati sebagai faktor

risiko itu sendiri. Sebuah aspek penting adalah bahwa pengidap

hiperurisemia yang juga mengidap tekanan darah tinggi akan tiga kali

lebih mungkin menderita penyakit jantung koroner dibandingkan

pengidap darah tinggi dengan kadar asam urat yang normal dalam

darah.

(f) Stres

Stres telah menjadi suatu istilah populer yang digunakan untuk

menjelaskan segala sesuatu, mulai dari sakit kepala ringan sampai

gangguan serius.
2.1.5 Tanda dan Gejala

Ridwan (2009: 12) menyatakan bahwa beberapa gejala yang sering

terdapat pada penderita hipertensi meskipun secara tidak sengaja muncul secara

bersamaan antara lain berupa sakit kepala, pendarahan di hidung, wajah

kemerahan, serta cepat capai. Apabila hipertensinya berat dan menahun, selain

gejala yang telah disebutkan juga diikuti dengan mual, muntah, sesak napas,

gelisah, sampai pandangan menjadi kabur akibat terjadinya kerusakan otak, mata,

jantung, dan ginjal.

Menurut Wolff keluhan dan gejala orang yang mengalami tekanan darah

tinggi adalah sebagai berikut: (1) gejala tidak spesifik sebelum terjadinya

komplikasi hipertensi apapun. –Pasien dengan ketidakstabilan saraf. Maksudnya

adalah ketidakseimbangan sistem saraf otonom, yang bereaksi lebih labil dan

lebih kuat daripada yang dibutuhkan atau bermanfaat. Orang yang lebih muda

dengan “hipertensi labil” sering kali memiliki satu atau lebih gejala

ketidakstabilan saraf yang berbeda-beda kadar frekuensinya. Gejala itu termasuk

keringat berlebihan, masalah pencernaan dan tidur, kelelahan, dan emosi yang

mudah meledak-ledak. Namun itu tidak selalu khas tekanan darah yang normal

memiliki gejala yang persis sama. Dalam kasus tertentu, sistem saraf simpatik

bisa bekerja berlebihan sehingga keluhan kardiovaskuler akan sepenuhnya

mendominasi gambaran klinis. –orang yang lebih tua dengan “defisiensi

fungsional”. Pria-pria yang berusia di atas 45 tahun yang menderita hipertensi

sering kali mengeluh tidak bisa berfungsi dengan paling baik. Mereka tidak

berprestai dalam pekerjaan sebaik sebelumnya, lebih mudah lelah, daya ingat dan

konsentrasi mereka menurun, serta dorongan seksual berkurang. Pada wanita pada
kelompok usia yang sama memliki faktor tambahan yang harus ditanggung yaitu

menopause; (2) sinyal tekanan darah tinggi ketika komplikasi sudah mulai terjadi.

Banyak orang yang mengidap hipertensi tidak mencari pertolongan medis sampai

beberapa komplikasi telah terjadi. Hanya pada saat itulah mereka mendapati diri

mereka memiliki tekanan darah tinggi. Di bawah ini adalah beberapa keluhan

yang umum: -dimulainya gagal jantung. Indikasi pertama adalah pendeknya napas

setelah pengerahan tenaga yang minimal sekalipun, sering kali juga batuk yang

bertahan lama (penyumbatan pulmonari), serta buang-buang air kecil pada malam

hari (yang mungkin juga memiliki penyebab lain). Sebuah gejala yang lebih

spesifik dari gagal jantung kongestif adalah pembengkakan pergelangan kaki

(yang disebut edema) pertama-tama hanya pada waktu siang, bukan malam (yang

menjelaskan dorongan buang air kecil), tetapi kemudian menjadi suatu kondisi

permanen yang melibatkan baik kaki bagian atas maupun bawah; -tidak cukupnya

aliran darah yang melalui pembuluh-pembuluh koroner. Rasa sakit yang mirip

angina pektoris yang dipicu oleh kegembiraan atau stres, yaitu rasa sesak di dada,

rasa tertekan, dan rasa sakit yang mungkin menyebar ke leher, bahu kiri, lengan

kiri, dan tangan kiri; - tidak cukupnya aliran darah ke arteri-arteri serebral. Gejala-

gejala awal yang tidak spesifik seperti rasa pusing, kehilangan ingatan sepotong-

sepotong, ketidakmampuan berkonsentrasi diikuti oleh gejala khas kekurangan

darah berkala pada berbagai otak: pingsan, masalah berbicara temporer, sulit

berjalan, melemahnya tangan dan/atau kaki secara berkala; - penyumbatan parsial

pada kaki ketika berjalan (berkala), biasanya pada satu kaki, jarang pada keduanya.

Dengan berlalunya waktu, jarak yang mampu ditempuh sesorang tanpa sering

berhenti untuk istirahat menjadi semakin pendek.


2.1.6 Patofisiologi

Menurut Kowalak (2011: 180) menyatakan bahwa tekanan darah arteri

merupakan produk total resistensi perifer dan urah jantung. Curah jantung

meningkat karena keadaan yang meningkatkan frekuensi jantung, volume

sekuncup atau keduanya. Resistensi perifer meningkat karena faktor-faktor yang

meningkatkan viskositas darah atau yang menurunkan ukuran lumen pembuluh

darah, khususnya pembuluh darah arteriol. Beberapa teori membantu menjelaskan

terjadinya hipertensi. Teori-teori tersebut meliputi: 1) perubahan pada bantalan

dinding pembuluh darah arteriolar yang menyebabkan peningkatan resistensi

perifer; 2) peningkatan tonus otot pada sistem saraf simpatik yang abnormal dan

berasal dari dalam pusat sistem vasomotor, peningkatan tonus otot ini

menyebabkan peningkatan resisten vaskuler perifer; 3) penambahan volume darah

yang terjadi karena disfungsi renal atau hormonal; 4) peningkatan penebalan

dinding arteriol akibat faktor genetik yang menyebabkan peningkatan reistensi

vaskuler perifer; 5) pelepasan renin yang abnormal sehingga terbentuk

angiotensin II yang menimbulkan konstriksi aretriol dan meningkatkan volume

darah.

Ridwan (2009: 4) menyatakan bahwa tekanan darah dapat meningkat

melalui beberapa mekanisme. Pertama, jantung memompa lebih kuat sehingga

darah mengalir dengan kecepatan yang tinggi setiap detiknya. Kedua, arteri besar

mengalami kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku. Hal ini mengakibatkan

ketika jantung berdenyut darah harus mengalir melalui pembuluh darah yang lebih

sempit daripada biasanya sehingga menyebabkan naiknya tekanan darah. Kondisi

ini terjadi pada lansia, yang dinding arterinya telah mengalami penebalan dan
menjadi kaku akibat penumpukan kolesterol dalam pembuluh darah. Ketiga,

kelainan fungsi ginjal dimana ginjal tidak dapat membuang sejumlah garam dan

cairan dari dalam tubuhnya sehingga menigkatkan volume darah, hal ini dapat

memicu terjadinya tekanan darah tinggi.

Hipertensi yang berlangsung lama akan meningkatkan beban kerja jantung

karena terjadi peningkatan resistensi beban kerja jantung karena terjadi

peningkatan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kiri. Untuk meningkatkan

kekuatan kontraksinya, ventrikel kiri mengalami hipertrofi sehingga kebutuhan

akan oksigen dan beban kerja jantung meningkat. Dilatasi dan kegagalan jantung

dapat terjadi ketika keadaan hipertrofi tidak lagi mampu mempertahankan curah

jantung yang memadai. Karena hipertensi memicu proses aterosklerosis arteri

koronaria, maka jantung dapat mengalami gangguan lebih lanjut akibat penurunan

pektoris atau infark miokard. Hipertensi juga menyebabkan kerusakan pembuluh

darah yang semakin mempercepat proses arterosklerosis serta kerusakan organ

seperti cedera retina, gagal ginjal, stroke, dan aneurisma derta diseksi aorta.

(Kowalak, 2011: 180)

2.1.7 Penatalaksanaan

Menurut Adib hipertensi mungkin dapat dikendalikan dengan terapi tanpa

obat (non-farmakoterapi) atau terapi dengan obat (farmakoterapi). Semua pasien

tanpa memperhatikan apakah terapi dengan obat dibutuhkan, sebaiknya

dipertimbangkan juga untuk terapi tanpa obat, caranya antara lain: (1)

mengendalikan berat badan; (2) pembatasan asupan garam; (3) menjaga kondisi

tubuh agar tetap rileks; serta (4) meninggalkan kebiasaan merokok dan minum

alkohol. Tujuan pengobatan tersebut adalah untuk mengurangi morbiditas atau


mortalitas kardiovaskuler akibat tekanan darah tinggi seinimal mungkin agar tidak

mengganggu kualitas hidup pasien. Artinya, tekanan darah harus diturunkan

serendah mungkin yang tidak mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun

kualitas hidup sambil dilakukan pengendalian faktor risiko kardiovaskuler. Hal ini

dicapai dengan mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg dan juga

mengendalikan faktor-faktor risiko kardiovaskuler lainnya.

Tekanan darah (Blood Pressure=BP) adalah perkalian antara Curah

Jantung (Cardiac Output=CO) dan Tekanan Vaskuler Perifer (Peripheral

Vascular Resistance=PVR). Semua obat anti-hipertensi harus bekerja

mengurangi CO dan PVR ini. Berdasarkan cara kerjanya, obat hipertensi terbagi

menjadi beberapa golongan, yaitu diuretik, beta bloker, penghambat ACE,

antagonis kalsium, dan sebagainya. Mayoritas pasien dengan tekanan darah tinggi

akan memerlukan obat-obatan selama hidup mereka untuk mengontrol tekanan

darah mereka. Pada beberapa kasus, dua atau tiga obat hipertensi dapat diberikan.

Penjelasan masing-masing obat anti-hipertensi ini adalah sebagai berikut: (1)

penghambat saraf simpatis. Golongan ini bekerja dengan menghambat aktivitas

saraf simpatis sehingga mencegah naiknya tekanan darah, contohnya: Metildopa

250 mg (Medopa, Dopament), Klonidin 0.075 & 0,15 mg (Catapres) dan reserpin

0,1 & 0,25 mg (Serpasil, Resapin); (2) Beta Bloker. Bekerja dengan menurunkan

daya pompa jantung sehingga pada gilirannya menurunkan tekanan darah.

Contoh : Propanolol 10 mg (Inderal, Farmadal), Atenolol 50, 100 mg (Tenormin,

Farnormin), atau Bisoprolol 2,5 mg & 5 mg (Concor); (3) vasodilator. Bekerja

langsung pada pembuluh darah dengan merelaksasi otot pembuluh darah; (4)

Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor. Bekerja dengan menghambat


pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan

tekanan darah). Contoh: Kaptopril 12,5 ,25, 50 mg (Capoten, Captensin,

Tensicap), Enalapril 5 & 10 mg (Tenase); (5) calsium antagonis. Golongan obat

ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung

(kontraktilitas). Contohnya: Nifedipin 5 & 10 mg (Adalat, Cordalat, Farmalat,

Nifedipin), Diltiazem 30, 60, 90 mg (Herbesser, Farmabes); (6) antagonis reseptor

angiotensin II. Cara kerjanya dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II

pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Contoh:

Valsartan (Diovan); (7) diuretik. Obat ini bekerja dengan cara mengeluarkan

cairan tubuh (lewat urine) sehingga volume cairan tubuh berkurang, sehingga

mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan. Contoh:

Hidroklorodiatiazid (HCT). (Adib, 2009)

Pengobatan hipertensi selain dengan pengobatan farmakologi terdapat juga

pengobatan non-farmakalogi yang dapat diterapkan dan menjadi penunjang dari

pengobatan farmakologi. Berdasarkan Vitahealth tahun 2004 terdapat beberapa

kiat menurunkan tekanan darah serta pengobatan non-farmakologi lainnya yaitu

sebagai berikut :

(1) Menurunkan kelebihan berat badan

Diantara semua faktor risiko yang dapat dikendalikan, berat badan

adalah salah satu yang paling erat kaitannya dengan hipertensi.

Dibandingkan dengan orang yang kurus, orang yang gemuk lebih besar

peluangnya kena hipertensi.


(2) Bergerak (olahraga)

Olahraga sangat bermanfaat bagi kesehatan kardiovaskuler anda,

juga mencegah munculnya darah tinggi dan dapat menurunkan berat badan.

“Gerak fisik hingga taraf tertentu dibutuhkan tubuh untuk menjaga

mekanisme pengatur tekanan darah agar tetap bekerja sebagaimana

mestinya ” kata Dr. Martin. Dari penelitian terungkap bahwa banya arteri-

arteri kecil yang mulai mengerut karena kurangnya kegiatan fisik. Horon

pengatur tekanan darah juga dapat menjadi malas dan tidak terkontrol

kerjanya.

(3) Diet

Selain efek samping, obat penurun tekanan darah dapat membuat

pasiennya menjadi tergantung seterusnya pada obat tersebut. Diet adalah

salah satu cara untuk mengatasi hipertensi tanpa efek samping yang serius,

karena metode pengendaliannya yang alami. Hanya saja banyak orang

yang mengaggap diet hipertensi sebagai sesuatu yang merepotkan dan

tidak menyenangkan. Banyak makanan kesukaan bisa masuk daftar

terlarang, misalnya garam penyedap, popcorn, asin, keju, dan keripik

kentang. Tujuan diet hipertensi adalah : (1) mengurangi asupan garam.

Mengurangi garam sering juga diimbangi dengan asupan lebih banyak

kalsium, magnesium, dan kalium (bila diperlukan untuk kasus tertentu).

Puasa garam untuk kasus tertentu dapat menurunkan tekanan darah secara

nyata. Umumnya kita mengkonsumsi lebih banyak garam daripada yang

dibutuhkan tubuh. Idealnya, kita cukup menggunakan sekitar satu sendok

teh saja atau sekitar 5 gram per hari; (2) memperbanyak serat.
Mengkonsumsi lebih banyak sayur atau makanan rumahan yang

mengandung banyak serat akan memperlancar buang air besar dan

menahan sebagian asupan natrium. Sebaiknya penderita hipertensi

menghindari makanan kalengan dan makanan siap saji dari restoran, yang

dikuatirkan mengandung banyak pengawet dan kurang serat. Dari

penelitian lain ditemukan bahwa dengan mengkonsumsi 7 gram serat

perhari dapat membantu menurunkan tekanan darah sistolik sebanyak 5

poin. Konsumsi serat juga dapat memperlancar buang air, menyebabkan

makan lebih sedikit dan mengurangi asupan natrium. Serat pun mudah

didapat dalam makanan, misalnya semangkuk sereal mengandung sekitar 7

gram serat; (3) menghentikan kebiasan buruk. Mengehentikan merokok,

kopi, dan alkohol dapat mengurangi beban jantung, sehingga jantung dapat

bekerja dengan baik. Rokok dapat meningkatkan risiko kerusakan

pembuluh darah dengan mengendapkan kolesterol pada pembuluh darah

jantung koroner, sehingga jantung bekerja lebih keras. Sedangkan alkohol

dapat memacu tekanan darah. Karena itu 90 mililiter perminggu adalah

batas tertinggi yang boleh dikonsumsi. Selain itu, kopi dapat memacu

detak jantung. Menghentikan atau mengurangi kopi berarti menyayangi

jantung agar tidak terbebani lebih berat; (4) manfaatkan sayuran dan

bumbu dapur. Sayuran dan bumbu dapur yang bermanfaat untuk

pengontrolan tekanan darah, adalah tomat, wortel, seledri, bawang putih,

kunyit, serta bumbu lain seperti lada hitam, adas, kemangi dan rempah

lainnya.
(4) Mengontrol stres

Penelitian pada Cornell Medical College menemukan bahwa

tekanan jiwa selama bertahun-tahun di tempat kerja meningkatkan risiko

kena hipertensi sebanyak tiga kali lebih besar. Orang-orang yang

berpikiran positif peluangnya mendapat hipertensi. Untuk bisa mengelola

stres (stress management) perlu diketahui lebih dahulu apa pemicunya.

Pemicu stres akan berbeda-beda bagi setiap orang. Tanda-tanda stres

antara lain, adalah (1) peningkatan denyut jantung; (2) kekakuaan otot,

terutama sekitar bahu dan leher; (3) sulit tidur; (4) konsentrasi menurun;

(5) makan terlalu banyak atau terlalu sedikit.

Selain melalui terapi diatas terdapat pengobatan komplementer yang dapat

digunakan untuk mengatasi hipertensi. Berdasarkan Vitahealth, 2004 pengobatan

komplementer bagi penderita hipertensi adalah sebagai berikut : (1) terapi herba.

Obat-obatan herba untuk menangani hipertensi antara lain, bawang putih,

seledri/celery, bawang merah/onion, serta tomat; (2) relaksasi progresif; (3)

meditasi; (4) akupuntur; (5) akupresur; (6) hemeopati; (7) terapi musik; (8)

aromaterapi; (9) terapi bach flower remedy; dan (10) refleksologi.

2.2 Konsep Latihan Relaksasi Otot Progresif

2.2.1 Relaksasi

Menurut Ramdhani (2006 dalam Normala, 2016) menyatakan bahwa

relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara

kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Menurut Neila dan Adhiyos (2011

dalam Normala, 2016) dari sudut pandang ilmiah relaksasi merupakan 2

perpanjangan serabut otot skeletal, sedangkan ketegangan merupakan kontraksi


terhadap perpindahan serabut otot. Menurut Lany (2012 dalam Normala, 2016)

menyatakan bahwa, relaksasi atau meditasi berguna untuk mengurangi stress atau

ketegangan jiwa. Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan

melonggarkan otot tubuh sambil membayangkan sesuatu dengan damai, indah dan

menyenangkan.

2.2.2 Relaksasi Otot Progresif

Menurut Subandi (2002 dalam Resti, 2014) menyatakan bahwa, di dalam

sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem

saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki misalnya

gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi

mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, proses

kardiovaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua

subsistem yaitu sistem saraf simpatetis dan sistem saraf parasimpatetis yang

kerjanya saling berlawanan. Jika sistem simpatetis meningkatkan rangsangan atau

memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya denyut jantung dan

pernafasan, serta menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi (peripheral)

dan pembesaran pembuluh darah pusat maka sebaliknya sistem saraf

parasimpatetis menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem

saraf simpatetis dan menaikkan semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf

simpatetis.

Menurut Purwanto (2013 dalam Tyani, 2015) menyatakan bahwa, teknik

relaksasi otot progresif adalah memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot,

dengan mengidentifikasikan otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan

dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks. Menurut


Hartono (2007 dalam, Tyani, 2015) menyatakan bahwa, respon relaksasi

merupakan bagian dari penurunan umum kognitif, fisiologis, dan stimulasi

perilaku. Relaksasi dapat merangsang munculnya zat kimia yang mirip dengan

beta blocker di saraf tepi yang dapat menutup simpul-simpul saraf simpatis yang

berguna untuk mengurangi ketegangan dan menurunkan tekanan darah.

Menurut Ramdhani (2009 dalam Normala 2016) menyatakan bahwa,

teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang

didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Teknik

relaksasi dapat dilakukan mengurangi ketegangan, insomnia, asma dan serta dapat

dilakukan pada penderita hipertensi. Alimansur (2013 dalam Khasanah, 2017)

menyatakan bahwa, efek dari terapi relaksasi otot progresif adalah dapat

menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi tanpa adanya efek samping.

Smeltzer & Bare (2011 dalam Khasanah, 2017) menyatakan bahwa, tujuan latihan

relaksasi adalah untuk menghasilkan respon yang dapat memerangi respon stres.

Bila tujuannya telah tercapai maka aksi hipotalamus akan menyesuaikan dan

terjadi penurunan aktifitas sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Urutan efek

fisiologi dan gejala maupun tandanya akan terputus dan stres psikologis akan

berkurang.

Menurut Murti (2011 dalam Tyani; Utomo & Hanesli, 2015) menyatakan

bahwa, keadaan rileks mampu menstimulasi tubuh untuk memproduksi molekul

yang disebut oksida nitrat (NO). Molekul ini bekerja pada tonus pembuluh darah

sehingga dapat mengurangi tekanan darah. Muttaqin (2009 dalam Tyani; Utomo

& Hanesli, 2015) menyatakan bahwa, relaksasi otot progresif dapat meningkatkan

relaksasi dengan menurunkan aktivitas saraf simpatis dan meningkatkan aktivitas


saraf parasimpatis sehingga terjadi vasodilatasi diameter arteriol. Sistem saraf

parasimpatis melepaskan neurotransmitter asetilkolin untuk menghambat aktivitas

saraf simpatis dengan menurunkan kontraktilitas otot jantung, vasodilatasi arteriol

dan vena kemudian menurunkan tekanan darah.

Menurut Scanlon & Sanders dalam Tyani; Utomo & Hanesli, 2015

menyatakan bahwa pada saat otot berkontraksi suatu impuls saraf tiba pada akson

terminal, terjadi pelepasan asetilkolin yang akan berdifusi menyebrang sinaps.

Asetilkolin membuat sarkolema lebih permeabel terhadap ion Na+, yang akan

segera masuk ke dalam sel. Sarkolema mengalami depolarisasi, menjadi

bermuatan positif didalam dan bermuatan negatif diluar. Depolarisasi

menstimulasi pelepasan ion Ca2+ dari retikulum sarkoplasma, ion Ca2+ akan

terikat dengan kompleks troponin-tropomiosin, yang akan menyebabkannya

bergeser menjauh dari filamen aktin. Miosin memecah ATP untuk melepaskan

energinya, jembatan pada miosin kemudian akan melekat pada filamen aktin dan

menariknya menuju ke tengah sarkomer, yang akan menyebabkan sarkomer

menjadi lebih pendek. Seluruh sarkomer pada serabut otot akan memendek

sehingga terjadi kontraksi pada saat sarkolema mengalami repolarisasi kembali,

ion K+ meninggalkan sel, mengembalikan muatan positif diluar sel dan muatan

negatif didalam sel. Pompa ini kemudian akan mengembalikan ion Na+ keluar dan

ion K+ ke dalam sel. Kolineterase dalam sarkolema akan menonaktifkan

asetilkolin. Kemudian, impuls saraf akan memperpanjang kontraksi (asetilkolin

dilepaskan lebih banyak). Apabila sudah tidak ada impuls lagi, serabut otot akan

relaksasi dan kembali kepanjangnya semula. Aaronson & Ward (2008 dalam

Tyani; Utomo & Hanesli, 2015) menyatakan bahwa, asetilkolin membantu


mengatur memori di otak dan mempengaruhi tindakan otot rangka dan otot polos

di sistem saraf perifer. Neurotransmitter asetilkolin yang dibebaskankan oleh

neuron kedinding pembuluh darah akan merangsang sel-sel endhotelium pada

pembuluh tersebut untuk mensitesis dan membebaskan NO, NO akan

memberikan sinyal kepada sel-sel otot polos disekitarnya untuk berelaksasi,

sehingga pembuluh berdilatasi (membesar).

Menurut Richmond (2010 dalam Normala) hal-hal yang disarankan dan

diperhatikan dalam relaksasi otot progresif:

1) selalu latihan di tempat yang tenang, sendirian tanpa atau menggunakan

audio untuk membantu pada kelompok otot;

2) melepaskan sepatu dan pakaian tebal;

3) hindari makan, merokok dan minum, yang terbaik melakukan latihan

sebelum makan;

4) tidak boleh latihan setelah minum minuman keras;

5) latihan dilakukan dengan posisi duduk, tetapi dapat juga dengan posisi

tidur;

6) jangan terlalu menegangkan otot berlebihan karena dapat melukai diri

sendiri. Latihan membutuhkan waktu 15 sampai 20 menit.

2.3 Konsep Tekanan Darah

Ridwan (2009: 1) menyatakan hipertensi merupakan penyakit yang

berhubungan dengan tekanan darah manusia. Tekanan darah itu sendiri

didefinisikan sebagai tekanan yang terjadi di dalam pembuluh arteri manusia

ketika darah dipompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh. Menurut Perry &

Potter (2005 dalam Normala, 2016) menyatakan bahwa, tekanan darah adalah
kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang di dorong dengan tekanan

dari jantung. Menurut Adib (2011 dalam Normala, 2016) tekanan darah

merupakan ukuran tekanan darah di dalam arteri yang didapat dari setiap denyut

jantung, masalah yang dapat terjadi pada hipertensi yaitu nyeri kepala, perdarahan

pada hidung dan peningkatan tekanan darah itu sendiri. Peningkatan tekanan

darah pada hipertensi harus segera di tangani karena jika tidak segera dilakukan

pengobatan dapat mengakibatkan penurunan kesadaran bahkan koma karena

pembengkakan otak.

Anda mungkin juga menyukai