Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Famotidin merupakan salah satu jenis obat histamin H-2 reseptor antagonis

atau H-2 blocker untuk mengurangi sekresi asam lambung berlebih. Famotidin

berikatan dengan reseptor H2 pada sel parietal (Katzung, 2002). Pada tablet

famotidin konvensional diketahui bahwa bioavailabilitas famotidin oral hanya 40-

45%, dengan waktu paruh eliminasi sekitar 2,5-4 jam. Tablet konvensional

famotidin juga ditemukan beberapa kekurangan seperti efek samping yang

ditimbulkan akibat dari akumulasi obat yang dengan dosis ganda dan juga

rendahnya kepatuhan pasien (Rajesh, dkk., 2010). Sediaan tablet floating akan

mengapung di lambung, penghantaran lokal ke reseptor yang terdapat pada dinding

sel parietal dapat meningkatkan bioavailabilitas dan efikasi famotidin dalam

menurunkan sekresi asam lambung (Jaimini, dkk., 2007). Melalui sediaan tablet

lepas lambat sistem floating gastroretentive dengan frekuensi penggunaan obat

yang lebih sedikit, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam

mengkonsumsi obat.

Salah satu komponen penting dalam tablet floating yaitu menggunakan

matriks yang dapat memperlambat pelepasan zat aktif dari sediaan sehingga dapat

diperoleh absorpsi yang lebih lama. Hidroksipropil metilselulosa (HPMC)

merupakan polimer hidrofilik nonionik yang dapat berinteraksi dengan air

membentuk lapisan gel. Pembentukan gel tersebut dapat menghalangi pelepasan

obat dari sediaan. HPMC memiliki kelebihan dalam hal mengendalikan pelepasan

1
2

obat, yaitu HPMC dapat membentuk lapisan gel bila kontak dengan cairan sehingga

matriks sulit mengalami erosi dan obat berdifusi keluar dari matriks dengan sangat

lambat. Namun HPMC memiliki kekurangan, yaitu sifat alirnya buruk karena sukar

membentuk aglomerat (Iskandarsyah, dkk., 2010). Pada umumnya HPMC

digunakan sebagai rate-controlling polymer, agen peningkat viskositas dan

pengabsorbsi air dalam sediaan lepas lambat (Rowe, dkk., 2009). Natrium alginat

merupakan matriks hidrofilik dan mampu mengembang, diikuti oleh erosi dari

bentuk gel sehingga obat dapat terdisolusi dalam media air. Dalam penelitian ini,

HPMC dikombinasikan dengan natrium alginat untuk memperbaiki sifat alir dari

granul sebab natrium alginat memiliki ukuran partikel yang lebih besar. Natrium

alginat juga dapat meningkatkan kekerasan tablet karena HPMC bersifat

higroskopis sehingga menyerap air dan menyebabkan tablet menjadi lembab. Pada

keadaan asam, natrium alginat akan sulit membentuk gel sehingga diperlukan

matriks HPMC yang bersifat nonionik untuk membantu pembentukan gel yang

dapat menahan pelepasan obat dalam lambung.

Sediaan tablet lepas lambat yang dibuat dengan sistem floating effervescent

membutuhkan bahan yang dapat menghasilkan gas untuk memberikan kemampuan

pada tablet agar dapat mengapung. Hal ini dapat dihasilkan dengan mereaksikan

natrium bikarbonat dan asam sitrat sehingga terbentuk gas CO 2.

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsentrasi optimum

kombinasi kedua matriks HPMC dan natrium alginat dan pengaruhnya terhadap

sifat fisik tablet floating sehingga memenuhi persyaratan yang baik.


3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Berapakah konsentrasi optimum kombinasi HPMC K100M dan natrium

alginat sebagai matriks formula optimum tablet floating famotidin yang

memenuhi persyaratan sifat fisik tablet floating?

2. Bagaimanakah pengaruh kombinasi konsentrasi HPMC K100M dan

natrium alginat sebagai matriks tablet floating famotidin terhadap sifat fisik

tablet floating famotidin?

C. Pentingnya Penelitian Dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula tablet floating

famotidin yang optimum sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif obat anti

tukak. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahui pengaruh kombinasi

matriks HPMC K100M dan natrium alginat terhadap sifat fisik dan profil disolusi

tablet floating famotidin dengan metode granulasi basah.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi formula optimum tablet floating famotidin dengan matriks

kombinasi HPMC dan natrium alginat.

2. Mengidentifikasi pengaruh kombinasi HPMC K100M dan natrium alginat

sebagai matriks formula tablet floating famotidin lepas lambat sistem floating

gastroretentive.
4

4. Tinjauan Pustaka

1. Sistem penghantaran obat gastroretentive

Sistem penghantaran gastroretentive adalah sediaan yang dirancang untuk

dapat bertahan di lambung dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat

memperbaiki pengontrolan penghantaran obat yang memiliki absorbansi baik di

lambung, dan meningkatkan bioavailabilitas obat (Garg dan Gupta, 2008).

Sistem gastroretentive dapat diterapkan pada obat-obat yang beraksi di

lambung atau bagian atas usus kecil seperti pada penyakit tukak lambung.

Peningkatan bioavailabilitas diharapkan dapat terjadi pada obat yang dilepaskan di

lambung.

Berbagai desain sediaan dapat digunakan untuk aplikasi sistem

gastroretentive diantaranya adalah sebagai berikut (Garg dan Gupta, 2008):

a. Floating drug delivery system

Sistem floating didasarkan pada kemampuan tablet untuk mengapung

sehingga berada di lambung pada waktu yang lama, terhindar dari keceptan

pengosongan lambung. FDDS terbagi atas 2 sistem yaitu sistem non-

effervescent dan sistem effervescent.

b. Expendable system

Sediaan dengan sistem ini dapat ditelan dengan mudah dan membentuk

ukuran yang lebih besar di dalam lambung akibat pembengkakan sehingga tidak

dapat keluar dari pilorus dan obat akan tertahan di dalam lambung dalam waktu

yang lama.
5

c. Muchoadhesive system

Sistem mucoadhesive merupakan suatu sistem yang menyebabkan tablet

dapat terikat pada permukaan sel epitel lambung atau mucin dan

memperpanjang waktu tinggal dilambung dengan peningkatan durasi kontak

antara sediaan dan membran biologis.

d. High density system

Sistem ini mempunyai berat jenis yang besar sehingga akan tenggelam

dan tertahan pada rugae yaitu suatu tempat yang berada dekat dengan daerah

pilorus lambung sehingga akan bertahan dari gerakan peristaltik lambung.

2. Floating Drug Delivery System

Sistem mengapung (floating drug delivery system) merupakan sediaan yang

memiliki bobot jenis dengan densitas lebih rendah dibanding cairan lambung

sehingga dapat mengapung di lambung dalam waktu yang cukup lama tanpa

dipengaruhi kecepatan pengosongan lambung. Tablet floating dapat meningkatkan

waktu retensi obat di lambung. Tablet floating merupakan formulasi yang sesuai

untuk jenis obat yang bermasalah dalam hal disolusi dan/atau stabilitasnya dalam

cairan usus halus, diharapkan memberikan efek lokal di lambung, serta hanya

diabsorbsi di bagian atas intestin (Arunachalam, dkk., 2011).

Sistem floating dapat dibagi menjadi 2 sistem, yaitu (Garg dan Gupta,

2008):

a. Sistem non-effervescent

Sistem ini akan mengembang ketika kontak dengan cairan lambung.

Salah satu metode formulasi sistem ini yaitu menggunakan gel yang dapat
6

membengkak ketika kontak dengan cairan lambung saat ditelan dan

mempertahankan bentuk dan kerapatan bulk kurang dari satu, udara yang

terperangkap oleh polimer yang membengkak memberi daya apung pada

sediaan ini. Eksipien yang sering digunakan adalah bahan yang memiliki

kemampuan untuk mengembang yang tinggi seperti HPMC, karbopol, polivinil

asetat, natrium alginat, kalsium klorida, polietilen oksida, dll.

b. Sistem effervescent

Sistem ini memanfaatkan reaksi effervescent yang terjadi antara asam

(asam sitrat ataupun cairan asam lambung-HCl) dan basa (NaHCO3) sehingga

menghasilkan gas CO2 yang dapat menurunkan densitas tablet. Perbandingan

komponen asam sitrat dan natrium bikarbonat yang optimal adalah 0,76:1 (Shah

dkk., 2009). Pembentukan sistem mengapung dalam sistem effervescent

dikendalikan oleh 2 komponen yaitu gas-generating agent dan pembentuk gel

penghambat. Sistem ini menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti

HPMC. Ketika sediaan bertemu dengan cairan lambung yang bersifat asam,

matriks polimer akan mengembang membentuk lapisan gel, cairan lambung

akan menembus lapisan gel dan bereaksi dengan basa yang terdispersi pada

matriks yang telah mengembang sehingga menghasilkan gas CO2. Gas CO2

akan terperangkap oleh lapisan gel sehingga menurunkan densitas sediaan

menjadi lebih rendah dibanding densitas cairan lambung dan menyebabkan

sediaan dapat mengapung dalam cairan lambung. Mekanisme sistem floating

dapat dilihat pada gambar 1.


7

Gambar 1. Tablet floating dengan sistem effervescent (Arunachalam, dkk., 2011)

Bentuk sistem floating banyak diformulasi dengan menggunakan

matriks-matriks hidrofilik karena saat polimer berhidrasi, intensitasnya

menurun akibat matriks yang mengembang, dan dapat menjadi gel penghalang

dipermukaan bagian luar (Sulaiman, dkk., 2007).

3. Tablet lepas lambat

Tablet lepas lambat dirancang untuk melepaskan zat aktif dengan cara yang

telah ditentukan selama periode yang diperpanjang (Allen, dkk., 2011). Sediaan

lepas lambat yang digunakan peroral dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu

(Shargel dan Yu, 2016):

a. Extended release drug products

Extended release merupakan bentuk sediaan yang memungkinkan

pengurangan frekuensi pemberian dosis sebanyak dua kalinya dibandingkan

sediaan konvensional. Sediaan extended release dapat dibagi beberapa yaitu:

1) Sustained release

Dirancang untuk melepaskan suatu dosis terapi awal obat (loading

dose) secara tepat yang diikuti pelepasan obat yang lebih lambat dan
8

konstan. Kecepatan pelepasan obat dirancang sedemikian rupa agar jumlah

obat yang hilang dari tubuh karena eliminasi diganti secara konstan.

Keunggulannya adalah dihasilkan kadar obat dalam darah yang merata

tanpa perlu mengulangi pemberian dosis.

2) Prolonged action

Dirancang untuk melepaskan obat secara lambat dan memberi suatu

cadangan obat secara terus-menerus selama selang waktu yang panjang,

mencegah absorbsi yang sangat cepat yang dapat mengakibatkan

konsentrasi puncak obat dalam plasma yang sangat tinggi.

3) Controlled release

Menunjukkan bahwa pelepasan obat dari sediaan terjadi sesuai

dengan yang direncanakan, dapat diramalkan dan lebih lambat dari

biasanya.

Kurva hubungan antara kadar obat dalam darah terhadap waktu dari

berbagai sistem pelepasan obat dapat dilihat pada gambar 2. Obat

konvensional hanya memberikan kadar puncak tunggal dan sementara,

kemudian akan tereleminasi dalam waktu yang cepat. Pada sistem sustained

release memberikan pelepasan yang lebih bertahan lama. Pada sistem

prolonged action, obat dilepaskan secara lambat, dan lebih terprediksi

dengan waktu yang lebih lama.


9

Gambar 2. Kurva konsentrasi obat untuk obat konvensional, sustained release, dan
controlled release (Karna, dkk., 2015)

b. Delayed release drug products

Delayed release drug products merupakan bentuk sediaan yang

melepaskan obat pada beberapa waktu yang terpisah. Pelepasan yang berurutan

ini diatur oleh suatu time barier atau enteric coating.

c. Targeted release drug products

Targeted release drug products merupakan bentuk sediaan yang dapat

menempatkan obat dekat pada daerah reseptor.

d. Orally disintegrating tablets (ODTs)

ODT merupakan bentuk sediaan yang dapat dengan segera pecah dalam

air liur setelah pemberian, obat terdispersi dalam air liur dan ditelan sedikit demi

sedikit tanpa air.

4. Matriks

Matriks merupakan pembawa yang terdapat di dalam obat dan tercampur

secara merata. Matriks dibagi menjadi 3, yaitu (Lachman, dkk., 1994):

a. Matriks tidak larut (inert)

Polimer inert yang tidak larut seperti polietilen, polivinil klorida,

kopolimer akrilat, dan etilselulosa digunakan sebagai dasar untuk banyak


10

formula di pasaran. Pelepasan obat tergantung kemampuan penetrasi cairan ke

dalam matriks untuk mendorong permease matriks oleh air yang menyebabkan

disolusi dan difusi obat dari saluran-saluran yang dibentuk dalam matriks

tersebut.

b. Matriks tidak larut (terkikis)

Matriks ini mengontrol pelepasan obat melalui difusi pori dan erosi.

Bahan yang termasuk dalam golongan matriks tidak larut yang terkikis adalah

asam stearat, stearil, alkohol, malam carnauba dan polietilen glikol.

c. Matriks hidrofilik

Sistem ini mampu mengembang dan diikuti oleh erosi dari bentuk gel

sehingga obat dapat terdisolusi dalam media air. Matriks hidrofilik diantaranya

adalah metil selulosa, hidroksietil selulosa, hidroksipropil metilselulosa,

natrium karboksimetilselulosa, natrium alginat, xanthan gum dan karbopol. Bila

bahan-bahan tersebut kontak dengan air, maka akan terbentuk lapisan matriks

terhidrasi. Bagian luar dari lapisan tersebut akan mengalami erosi sehingga

menjadi terlarut.

5. Metode pembuatan tablet

Metode pembuatan tablet ada 3 metode yaitu metode kempa langsung,

metode granulasi basah, dan metode granulasi kering (Allen, dkk., 2011).

a. Metode kempa langsung

Metode cetak langsung digunakan untuk bahan-bahan yang memiliki

sifat alir yang baik sebagaimana juga sifat-sifat kohesifnya yang


11

memungkinkan untuk langsung dikompresi dalam mesin tablet tanpa

memerlukan granulasi basah atau kering.

b. Metode granulasi basah

Granulasi basah adalah proses dimana suatau cairan ditambahkan pada

serbuk dalam sebuah bejana yang dilengkapi pengaduk yang akan

menghasilkan aglomerat atau granul. Dalam granulasi basah, bahan pengikat

umumnya cukup untuk mengikat dalam penambahan yang sedikit (Bandelin,

1980). Metode granulasi basah merupakan metode yang paling sering

digunakan dalam memproduksi tablet kompresi. Teknik ini membutuhkan

larutan, suspensi, atau bubur yang mengandung pengikat yang biasanya

ditambahkan ke campuran serbuk. Metode granulasi basah digunakan untuk

memperbaiki sifat alir dari granul.

c. Metode granulasi kering

Metode granulasi kering adalah dengan slugging, granul dibentuk oleh

pelembaban atau penambahan bahan pengikat ke dalam campuran serbuk obat

tetapi dengan cara memadatkan massa yang jumlahnya besar dari campuran

serbuk, kemudian memecahkannya menjadi granul yang lebih kecil. Metode ini

khususnya untuk bahan-bahan yang tidak dapat diolah dengan metode granulasi

basah karena kepekaannya terhadap uap air dan suhu.

Pada pembuatan tablet floating famotidin ini digunakan metode granulasi

basah yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas sifat alir granul.


12

6. Verifikasi metode analisis

Verifikasi metode uji adalah konfirmasi ulang dengan cara menguji suatu

metode dengan melengkapi bukti-bukti yang obyektif, apakah metode tersebut

memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan. Verifikasi sebuah

metode uji bermaksud untuk membuktikan bahwa laboratorium yang bersangkutan

mampu melakukan pengujian dengan metode tersebut dengan hasil yang valid.

Beberapa parameter yang diuji dalam verifikasi metode adalah akurasi, presisi, LoD

dan LoQ (Riyanto, 2014).

a. Presisi

Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil

uji individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada

sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi ditentukan

melalui nilai standar deviasi relatif (RSD) atau koefisien variasinya (CV)

(Riyanto, 2014). Standar deviasi relatif umumnya dinyatakan dalam persen.

RSD dirumuskan dengan persamaan 1.

RSD =

Keterangan:
RSD = Relative Standard Deviation (%)
SD = Standard Deviation
= rata-rata

b. Akurasi

Akurasi menyatakan kedekatan nilai pengukuran dengan nilai

sebenarnya. Akurasi metode analisis famotidin dilihat dari nilai perolehan

kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Riyanto, 2014). Persen perolehan

kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang
13

sebenarnya. Perhitungan persentase perolehan kembali dapat dilihat pada

persamaan 2.

% Perolehan kembali =

Keterangan:
A = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan baku
B = konsentrasi sampel sebelum penambahan baku
C = konsentrasi baku yang ditambahkan

c. LoD (limit of detection) dan LoQ (limit of quantification)

LoD atau batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang

dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan

dengan blangko. Perhitungan batas deteksi dapat dilihat pada persamaan 3.

LoQ atau batas kuantitasi adalah konsentrasi terendah analit dalam

sampel yang dapat diterima dibawah kondisi yang disepakati. Uji batas

kuantitasi dilakukan dengan menghitung data dari kurva kalibrasi. Perhitungan

batas kuantitasi dapat dilihat pada persamaan 4.

Batas deteksi =

Batas kuantitasi =
Keterangan:
S(y/x) = simpangan baku residual
b = slope

7. Pemeriksaan kualitas granul

a. Uji pengetapan

Pengukuran sifat alir dengan metode pengetapan dilakukan dengan

menggunakan tapping device. Hasil uji pengetapan didapatkan dengan

mengamati perubahan volume sebelum pengetapan (Vo) dan volume setelah


14

konstan (Vt) (Sulaiman,2007). Perhitungan indeks pengetapan dapat dilihat dari

persamaan 5.

T (%) = (5)

Keterangan:
T = Indeks pengetapan (%)
Vo = Volume awal serbuk sebelum perlakuan (mL)
Vt = Volume serbuk akhir (mL)

b. Uji daya serap granul

Daya serap granul berpengaruh pada waktu hancur tablet. Faktor

yang mempengaruhi penetrasi medium adalah porositas tablet dimana

tergantung pada kompresi dan kemampuan penyerapan air dari material yang

dipakai. Bahan penghancur berfungsi diantaranya melalui proses

pengembangan, reaksi kimia maupun secara enzimatis setelah air masuk ke

dalam tablet (Boyland, 2002).

8. Pemeriksaan kualitas fisik tablet

a. Uji keragaman bobot

Untuk menjamin konsistensi satuan sediaan, masing-masing satuan

dalam bets harus mempunyai kandungan zat aktif dalam rentang sempit yang

mendekati kadar yang tertera pada etiket. Keseragaman sediaan didefinisikan

sebagai derajat keseragaman jumlah zat aktif dalam satuan sediaan. Uji

keseragaman sediaan ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu

keragaman bobot dan keseragaman kandungan (Departemen Kesehatan, 2014).

Dihitung jumlah zat aktif dari tablet yang dinyatakan dalam persen

jumlah yang tertera pada etiket dari hasil penetapan kadar masing-masing

tablet, lalu dihitung nilai penerimaan yang dinyatakan pada persamaan 6.


15

(6)

Tablet dapat dinyatakan seragam ketika memenuhi syarat bahwa nilai

penerimaan 10 unit sediaan tidak kurang atau sama dengan L1%. Jika nilai NP

maka dilakukan pengujian pada 20 sediaan tambahan dan dihitung nilai

penerimaan. Memenuhi syarat jika nilai penerimaan akhir dari 30 unit sediaan

lebih kecil atau sama dengan L1% dan tidak ada satu unit pun kurang dari [1-

(0,01)(L2)]M atau tidak satu unit pun lebih dari [1+(0,01)(L2)]M. Kecuali

dinyatakan lain L1 adalah 15,0 dan L2 adalah 25,0 (Departemen Kesehatan,

2014).

b. Uji kekerasan tablet

Kekerasan merupakan parameter yang menggambarkan ketahanan

tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, kikisan dan

terjadinya keretakan tablet selama pembungkusan, pengangkutan dan

pemakaian. Alat penguji kekerasan tablet yang digunakan adalah Hardness

Tester.

c. Uji kerapuhan tablet

Keregasan atau kerapuhan tablet merupakan tolak ukur ketahanan tablet

terhadap abrasi permukaan selama penanganan dan pengemasan. Persentase

kerapuhan dilihat dari selisih bobot tablet sebelum dan sesudah dilakukan uji

pada alat friability tester. Nilai friabilitas yang dikehendaki adalah sebesar 1%

atau kurang untuk tablet konvensional. Perhitungan persentase kerapuhan dapat

dilihat pada persamaan 7.


16

7)

Keterangan:
M1 = bobot tablet rata-rata awal
M2 = bobot tablet rata-rata akhir

d. Uji disolusi

Disolusi adalah proses pelarut memasuki suatu zat solid sehingga

menghasilkan suatu larutan. Bentuk sediaan farmasetik solid akan terlepas dari

sediaannya dan mengalam disolusi dalam medium biologis, diikuti dengan

absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik dan menghasilkan respon klinis

(Siregar dan Wikasa, 2010).

Uji disolusi digunakan untuk mengetahui profil obat secara in-vitro,

dimana tablet dimasukkan dalam alat dissolution tester berisi medium disolusi.

Melalui uji disolusi, dapat diketahui profil farmakokinetik obat dalam tubuh.

Alat yang digunakan dalam uji ini didasarkan pada metode yang terdapat pada

USP yang mencakup monografi volume yang dipakai, kecepatan (rpm) dan

batas waktu (Lachman dkk., 1994). Beberapa alat disolusi yang umum

digunakan yaitu (Departemen Kesehatan, 2014):

1) Alat 1 (tipe keranjang)

Alat terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau

bahan transparan lain yang inert, sebuah motor, suatu batang logam yang

digerakkan oleh motor, dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup

sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai, berukuran sedemikian

sehingga dapat mempertahankan suhu di dalam wadah pada 37o±0,5o


17

selama pengujian berlangsung dan menjaga agar pergerakan air dalam

tangan air halus dan tetap.

2) Alat 2 (tipe dayung)

Sama seperti Alat 1, kecuali pada alat ini digunakan dayung yang

terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi

sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari

sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang

berarti. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai

diputar. Pemberat (sinker) dapat digunakan untuk mencegah

mengapungnya sediaan.

3) Alat 3 (silinder kaca bolak-balik)

Alat terdiri dari satu rangkaian labu kaca beralas rata bebentuk

silinder, rangkaian silinder kaca yang bergerak bolak balik, penyambung

inert dari baja tahan karat dan kaca polipropilen yang terbuat dari bahan

yang sesuai, inert dan tidak mengabsorbsi, dirancang untuk

menyambungkan bagian atas dan alas silinder yang bergerak bolak- balik.

4) Alat 4 (sel yang dapat dialiri)

Alat terdiri dari sebuah wadah dan sebuah pompa untuk media

disolusi, sebuah sel yang dapat dialiri, sebuah tangas air yang dapat

mempertahankan suhu media disolusi pada 37o±0,5o. Ukuran sel dinyatakan

dalam masing-masing monografi.

Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat

dilakukan uji disolusi dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:


18

1) Metode klasik

Metode ini menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t.

Karena metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja, maka proses yang terjadi

di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat

aktif yang terlarut pada waktu tertentu.

2) Metode Khan (Khan, 1975)

Metode ini dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE).

Disolusi efisiensi dapat diasumsikan sebagai rentang nilai terhadap interval

waktu untuk diinterpretasikan, sehingga dapat diketahui seberapa efektif

proses disolusi berlangsung dengan asumsi bahwa zat terlarut selanjutnya

akan mengalami proses penyerapan, maka DE juga menggambarkan

efektifitas penyerapan obat dalam tubuh. Nilai DE dapat dihitung

menggunakan persamaan 8.

DE = ..........................(8)

3) Metode Wagner

Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan

berdasarkan pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink,

proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara

eksponensial terhadap waktu.

Pada sediaan sustained release dilakukan pegamatan pelepasan obat di

berbagai waktu yaitu pada menit ke-120, 240, dan 480. L120 menyatakan jumlah

persentase obat yang terdisolusi pada menit ke-120. L240 menyatakan jumlah

persentase obat yang terdisolusi pada menit ke-240. L480 menyatakan jumlah
19

persentase obat yang terdisolusi pada menit ke-480. Pelepasan dapat dinyatakan

baik jika L120 berada pada rentang 20-50%, L240 pada rentang 45-75% dan L480

lebih besar dari 75% (Akbar, dkk., 2012)

Similarity factor (f2) dapat menggambarkan kedekatan antara dua

formulasi dan merupakan metode paling sederhana untuk menginvestigasi

perbandingan profil disolusi, reliable, dan merupakan metode yang telah

disetujui oleh badan regulator internasional, misalnya Food and Drug

Administration (FDA) dan European Medicines Agency (EMEA) (Sulaiman,

2014). Jika nilai f2 sebesar 50 atau lebih (50-100) maka kedua formula memiliki

profil disolusi yang sebanding atau ekivalen. Jika nilai f2 = 100 maka dapat

dikatakan bahwa kedua formula memiliki profil disolusi yang identik.

Perhitungan f2 dapat dilihat pada persamaan 9.

Keterangan:
f2 = kesebandingan profil disolusi
Rt = persen obat terlarut innovator
Tt = persen obat terlarut selain innovator

e. Uji swelling index

Swelling merupakan suatu sistem dimana tablet membengkak jika

kontak dengan cairan lambung. Polimer yang digunakan adalah polimer yang

dapat mempertahankan sediaan untuk tetap di lambung dengan jangka waktu

yang lama dan melepaskan obat secara perlahan tanpa mempengaruhi sediaan.

Uji daya mengembang dilakukan untuk mengetahui kekuatan

mengembang sediaan dengan polimer tertentu dalam medium asam sehingga


20

dapat membentuk lapisan gel yang bulk (Lhodiya, dkk., 2009). Kemampuan

mengembang dihitung dengan persamaan 10.

Keterangan:
S = Daya mengembang (%)
W1 = Berat tablet sebelum mengembang
W2 = Berat tablet sesudah mengembang

f. Uji floating lag time dan total floating time

Uji floating lag time menggambarkan kecepatan mengapung tablet pada

medium disolusi sesuai dengan kondisi tablet di dalam lambung. Total floating

time adalah lamanya suatu tablet dapat mengapung. Semakin lama sediaan

mengapung, maka semakin lama sediaan dapat bertahan di lambung (Abdul dan

Lila, 2011).

9. Pemerian bahan

a. Famotidin

Famotidin juga dikenal dengan nama [1-Amino-3[[[2-

[(diaminometilen)amino]-4-tiazolil]-metil]tio]propiliden]sulfamida [76824-

35-6] dengan rumus molekul C8H15N7O2S3. Struktur famotidin ditunjukkan

pada gambar 3.

Gambar 3: Struktur molekul Famotidin


21

Famotidin mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari

101,0% C8H15N7O2S3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan

(Departemen Kesehatan, 2014).

Famotidin merupakan antagonis histamin reseptor H2 yang yang kuat

dan sangat selektif di permukaan sel-sel parietal, sehingga efektif dalam

mengurangi sekresi asam lambung. Famotidin digunakan untuk pengobatan

tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misalnya

sindrom Zollinger Ellison, juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum

(Katzung, 2002). Dosis famotidin secara oral adalah 40 mg sekali sehari pada

waktu tidur atau 20 mg dua kali sehari.

Panjang gelombang maksimum spektrum UV famotidin dalam asam

encer adalah 265 nm dan dalam basa adalah 286 nm (Moffat, 1986).

Bioavailibilitas pemakaian oral famotidin memiliki bioavailibilitas yang rendah

(40-45%) dengan waktu paro eleminasi yang pendek (2,5-4 jam). Pengobatan

oral penyakit lambung dengan antagonis H2 seperti famotidin memungkinkan

penghantaran lokal ke reseptor yang terdapat pada dinding sel parietal.

Penghantaran lokal akan meningkatkan bioavailibilitas obat pada daerah

reseptor di dinding asam lambung dan meningkatkan efikasi obat dalam

menurunkan sekresi asam lambung (Jamini, dkk., 2007).

b. Hidroksipropil metilselulosa (HPMC)

HPMC merupakan turunan dari metilselulosa yang memiliki ciri-ciri

serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam
22

eter, etanol atau aseton. Dapat mudah larut dalam air panas dan akan segera

menggumpal membentuk koloid (Rogers, 2009).

HPMC merupakan polimer glukosa yang panjang dan tersubtitusi

dengan hidroksipropil dan metil pada gugus hidroksinya, sehingga HPMC dapat

berinteraksi dengan air membentuk gel. Semakin panjang rantai polimer dapat

menyebabkan pembentukan lapisan gel yang makin tebal, sehingga penghalang

yang harus dilewati zat aktif obat dalam berdifusi keluar dari matrik semakin

sulit (Buang, 2006). Struktur HPMC dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Struktur HPMC (Rogers, 2009)

Sifat swelling dan kelarutan HPMC tergantung pada berat molekul,

derajat substitusi cross-linking dan grafting. Pembentukan lapisan gel adalah

hal yang penting untuk pelepasan obat dari sistem HPMC. Pada keadaan awal

HPMC membentuk seperti kaca (glassy state), akibat penetrasi air kedalam

sediaan maka terjadi penurunan tegangan HPMC. Pada suatu konsentrasi air

tertentu maka polimer mengalami transisi dari glassy state menjadi rubbery

state sehingga terjadi peningkatan mobilitas cincin makromolekul sehingga

koefisien difusi obat lebih besar (Bodmeier dan Siepmann, 1999). Untuk

mempercepat pembasahan tablet diperlukan eksipien yang bersifat hidrofilik


23

(HPMC) yang akan mempercepat kontak dengan medium sehingga

meningkatkan kecepatan pelarutan.

HPMC terdiri dari berbagai jenis dengan viskositas yang berbeda.

Beberapa HPMC yang dapat ditemui di pasaran misalnya HPMC E50LV,

K100LV, K4M, K15M, dll. Angka tersebut menunjukkan nilai viskositas

seperti dapat dilihat pada HPMC K100M berarti memiliki viskositas 100.000

cPs.

c. Natrium alginat

Natrium alginat memiliki rumus molekul (C6H7O6Na)n. Natrium alginat

mempunyai pemerian halus, berwarna putih hingga kekuningan, berbentuk

tepung atau serat, hamper tidak berbau dan berasa dengan kadar abu yang

tinggi, disebabkan adanya unsur natrium. Kandungan air yang tinggi

disebabkan oleh pengaruh garam yang bersifat higroskopis. Kandungan air

dalam alginat bervariasi bergantung pada kelembapan relative dari

lingkungannya (Yunizal, 2004). Natrium alginat larut dalam air dan mengental

(larutan koloid), tidak larut dalam alkohol dan larutan hidroalkoloid dengan

kandungan alkohol lebih dari 30%, dan tidak larut dalam khloroform, eter dan

asam dengan pH kurang dari 3 (National Research Council, 1981)

Natrium alginat merupakan polisakarida alami yang dapat diperoleh dari

ekstraksi ganggang coklat. Natrium alginat sebagai matriks hidrofilik pada

sediaan lepas lambat mampu membentuk gel dengan viskositas yang tinggi

sehingga dapat menjadi suatu rintangan alami untuk terjadinya difusi obat dari

tablet dan pada akhirnya menyebabkan pelepasan obat menjadi lambat.


24

d. Natrium bikarbonat

Natrium bikarbonat memiliki rumus molekul NaHCO3 dengan pemerian

serbuk putih atau hablur monoklin kecil, tidak berbau, rasa asin, memiliki bobot

molekul sebesar 84,01. Natrium bikarbonat larut dalam 11 bagian, praktis tidak

larut dalam etanol (95%) P.

Natrium bikarbonat merupakan zat pengalkali yang memberikan ion

bikarbonat. Bikarbonat merupakan komponen basa konjugat dari buffer

ekstraselular yang penting dalam tubuh yaitu buffer asam karbonat dan

bikarbonat (Departemen Kesehatan, 2014).

e. Asam sitrat

Asam sitrat atau juga bisa dikenal dengan nama acidum citricum,

memiliki pemerian berupa hablur bening tidak berwarna atau serbuk hablur

granul sampai halus, putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa sangat

asam, bentuk hidrat mekar dalam udara kering. Kelarutan sangat mudah larut

dalam air, mudah larut dalam etanol, sukar larut dalam ester.

Asam sitrat berbentuk anhidrat atau mengandung satu molekul air.

Mengandung tidak kurang dari 99,5 % dan tidak lebih dari 100,5 % C6H8O7,

dihitung terhadap zat anhidrat (Departemen Kesehatan, 2014).

f. Magnesium stearat

Magnesium stearat merupakan senyawa magnesium dengan campuran

asam-asam organik padat yang diperoleh dari lemak, terutama terdiri dari

magnesium stearat dan magnesium palmitat dalam berbagai perbandingan.

Mengandung setara dengan tidak kurang dari 6,8% dan tidak lebih dari 8,3%
25

MgO. Magnesium stearat memiliki pemerian berupa serbuk halus, putih, licin

dan mudah melekat pada kulit, bau lemah khas. Kelarutan praktis tidak larut

dalam air, dalam etanol (95%) P dan dalam eter P (Departemen Kesehatan,

2014).

Magnesium stearat banyak digunakan pada bidang makanan, kosmetik,

serta formulasi sediaan farmasi sebagai pelicin pada konsentrasi 0,25 5% w/w

(Allen dan Luner, 2009).

g. Avicel PH 102

Avicel merupakan mikrokristalin selulosa dengan pemerian berupa

serbuk kristalin berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa, tersusun atas

partikel-partikel berpori dan bersifat higroskopis. Avicel digunakan sebagai

bahan pengisi untuk memenuhi bobot tablet yang diharapkan. Avicel yang

digunakan yaitu avicel PH 102, karena avicel PH 102 berbentuk granul dengan

sifat alir yang baik sehingga menghasilkan tablet dengan kekerasan yang

memenuhi syarat.

h. Amilum manihot

Amilum manihot memiliki pemerian berupa serbuk halus, putih, tidak

berbau, tidak berasa, dengan kelarutan yaitu praktis tidak larut dalam air dingin

dan etanol 95% dingin. Amilum mengembang cepat dalam air pada suhu 37°C.

Amilum adalah jenis polisakarida yang banyak terdapat di alam, yaitu

sebagian besar tumbuhan terdapat pada umbi, daun, batang, dan biji-bijian

(Departemen Kesehatan, 2014).


26

F. Landasan Teori

Famotidin merupakan salah satu jenis obat histamin antagonis reseptor H-2

atau H-2 blocker. Famotidin umumnya diresepkan pada penderita tukak lambung,

sindrom Zollinger-Ellison, untuk mengurangi sekresi asam lambung berlebih

dengan cara mem-blok kerja dari histamin atau berkompetisi dengan histamin untuk

berikatan dengan reseptor H2 pada sel parietal. Pengobatan efektif umumnya

membutuhkan 20 mg Famotidin dan dikonsumsi sebanyak 2 kali dalam sehari,

tablet konvensional famotidin dengan dosis 20 mg hanya dapat menghambat sekresi

dari asam lambung selama 5 jam, tetapi tidak untuk 10 jam. Famotidin dengan dosis

40 mg dapat mengakibatkan fluktuasi dari plasma. Juga diketahui bahwa

bioavailabilitas famotidin oral hanya 40-45%, dengan waktu paruh eliminasi sekitar

2,5-4 jam, sehingga sediaan lepas lambat famotidin diharapkan dapat memberikan

solusi yang baik (Sankar, dkk., 2011). Sediaan tablet floating akan mengapung di

lambung dan dapat digunakan untuk meningkatkan efikasi famotidin dalam

mengobati penyakit lambung (Jaimini, dkk., 2007).

Matriks hidroksipropil metilselulosa (HPMC) merupakan polimer hidrofilik

yang dapat membentuk lapisan hidrogel yang viskositasnya tinggi bila kontak

dengan medium sehingga menyebabkan tablet dapat mengapung, juga dapat

memperlambat penetrasi air dan bertindak sebagai penghalang untuk melepaskan

obat (Saigal, dkk., 2009). Natrium alginat yang merupakan matriks hidrofilik

mampu mengembang dan diikuti oleh erosi dari bentuk gel sehingga obat dapat

terdisolusi dalam media air.


27

Natrium alginat jika dikombinasikan dengan HPMC akan mengakibatkan

viskositas dari gel meningkat dan mampu menghambat difusi zat aktif melalui

matriks (Choi, dkk., 2002). Natrium alginat memiliki ukuran partikel yang besar

sehingga dapat memperbaiki sifat alir dari HPMC. HPMC yang bersifat higroskopis

sehingga dapat menarik air dan menyebabkan tablet menjadi lembab, oleh karena

itu diperlukan natrium alginat untuk meningkatkan kekerasan tablet. Natrium

alginat sulit terbentuk bentuk gel pada suasana asam dengan pH dibawah 3,7,

sehingga diperlukan matriks HPMC yang bersifat nonionik untuk membantu

pembentukan gel yang menjadi barrier penghalang agar obat dapat terlepas secara

lambat dalam lambung (McHugh, 2003).

Menurut Rowe (2009), HPMC dapat digunakan sebagai matriks yang dapat

menghambat pelepasan obat jika digunakan pada jumlah 10-80% dari bobot total

tablet. HPMC pernah diteliti pada formulasi tablet floating ofloxacin, dalam

penelitian tersebut penggunaan HPMC pada konsentrasi 30% menghasilkan

floating lag time 5 detik dan pelepasan obat bertahap selama kurang dari 10 jam.

Jumlah kumulatif obat yang terlepas sebesaar 80% (Padmavathy, dkk., 2011).

Penelitian pada tablet floating lamivudine menyimpulkan bahwa kombinasi

HPMC dengan konsentrasi 40% dan natrium alginat 20% memberikan fomula

optimum yang menghasilkan floating lag time kurang dari 50 detik dan total

floating time lebih dari 24 jam (Rao, dkk., 2013).

Penelitian pada tablet floating metoprolol succinate menyimpulkan bahwa

kombinasi HPMC K100M dengan konsentrasi 20% dan natrium alginat dengan

konsentrasi 10% memberikan fomula optimum yang menghasilkan floating lag


28

time antara 20 hingga 80 detik dan melepaskan obat sebesar 100% pada jam ke-12

(Thulluru, dkk., 2015).

Sediaan tablet lepas lambat yang dibuat dengan sistem floating effervescent

membutuhkan bahan yang dapat menghasilkan gas untuk memberikan kemampuan

pada tablet agar dapat mengapung. Hal ini dapat dihasilkan dengan menambahkan

bahan berupa gabungan natrium bikarbonat dan asam sitrat.

Metode yang digunakan dalam membuat sediaan tablet floating adalah

granulasi basah. Dalam metode granulasi basah, diharapkan dapat memperbaiki

sifat alir dari granul sehingga dapat diperoleh tablet yang homogen.

G. Hipotesis

1. Kombinasi HPMC dan natrium alginat pada jumlah HPMC 20-40% dan

natrium alginat 10-20% dari bobot tablet dapat menghasilkan formula optimum

tablet floating famotidin dengan metode Simplex Lattice Design.

2. Peningkatan jumlah HPMC akan menurunkan floating lag time dan

meningkatan total floating time dan menghambat pelepasan obat, peningkatan

natrium alginat akan menurunkan kerapuhan meningkatkan kekerasan.

Kombinasi konsentrasi HPMC dan natrium alginat sebagai matriks dapat

memperbaiki sifat alir granul.

Anda mungkin juga menyukai