Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti dekomposisi atau
pembusukan. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersamaan dengan
manifestasi infeksi sistemik Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis ditambah
disfungsi organ sepsis dengan hipoperfusi jaringan.Septic shock didefinisikan sebagai
sepsis dengan hipotensi yang menetap meskipun telah diberikan resusitasi cairan yang
adekuat.1

Sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang diketahui ditambah manifestasi


sistemik dari infeksi (sindrom respons inflamasi sistemik seperti takikardia, takipnea,
perubahan jumlah sel darah putih, demam/ hipotermia serta gangguan metabolik
lainnya atau disfungsi organ).1 Sepsis berat adalah penyebab utama kematian di rumah
sakit. Diagnosis dini, pemberian antibiotik awal, dan resusitasi cairan yang cukup
merupakan kunci dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas sepsis. Sepsis hampir
diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Insidennya diperkirakan
sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap
tahunnya.2

Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat yang sama seperti serangan
jantung atau stroke karena ada gangguan dalam distribusi oksigen dan nutrisi ke
jaringan sehingga dibutuhkan penanganan kegawat daruratan segera. Hal tersebut yang
menjadikan sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan
intensif (ICU). Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis sebesar
3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000
pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka
perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total kunjungan ICU. Angka
kejadian sepsis di Inggris berkisar 16% dari total kunjungan ICU. Syok akibat sepsis
merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat.2
Risiko mortalitas akibat sepsis dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti umur, jenis
kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal napas akut,
gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai
penyebabnya. Diperkirakan angka mortalitas akibat sepsis, sepsis berat, dan syok
sepsis masing-masing mencapai 10-20%, 20-50%, dan 40-80%. Insiden mortalitas
yang lebih tinggi umumnya lebih sering ditemukan di negara berkembang daripada
negara maju.3
BAB II

TINJAUAN PUSTKA

2.1 Definisi
Menurut International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic
Shock: 2012, Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi
infeksi sistemik.2 Sepsis merupakan penyakit yang mengancan nyawa ditandai
disfungsi organ yang disebabkan karena respon tubuh terhadap infeksi. Ini merupakan
definisi baru dari sepsis yang menekankan keutamaan respon host nonhomeostatis
terhadap infeksi, potensi mematikan jauh lebih besar dari proses infeksi yang
berlangsung dan membutuhkan penanganan segera.1
Sepsis berat disebabkan oleh infeksi ataupun non-infeksi. Pasien dengan
penyebab infeksi biasanya akan menunjukan Systemic inflammatory respon syndrome
(SIRS). Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis ditambah dengan disfungsi suatu
organ atau hipoperfusi jaringan. Sepsis dengan hipotensi adalah keadaan ketika tekanan
darah sistole <90 mm Hg atau Mean Arterial Pressure (MAP) < 70 mm Hg atau tekanan
darah sistole berkurang >40 mm Hg dari nilai standar berdasarkan usia.1,2
Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2016 : Sepsis didefinisikan sebagai
disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh disregulassi respon host
terhadap infeksi. Syok sepsis adalah bagian dari sepsis terdapat kelainan sirkulasi,
seluler atau metabolik yang cukup mendalam dan meningkatkan mortalitas. Pasien
dengan syok septik dapat diidentifikasi melalui klinis sepsis dimana didapatkan
hipotensi yang persisten membutuhkan vasopressor untuk menjaga MAP ≥65 mm Hg
dan memiliki serum laktat tingkat >2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun telah diberikan
resusitasi volume yang memadai. Pada keadaan ini, kematian di rumah sakit adalah
lebih dari 40%.4
2.2 Epidemiologi
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan
peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok akibat sepsis merupakan penyebab
kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat.2
Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa insidensi sepsis di Amerika terjadi pada 3
dari 1000 populasi, 51,1% dirawat di ICU dan 17,3% mendapat bantuan ventilasi
mekanik.2
Dalam 10-15 tahun terakhir terjadi penurunan angka kematian yang
disebabkan oleh sepsis, walaupun masih tetap tinggi (30-50%). Early Goal Directed
Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers pada tahun 2001 dapat menurunkan
angka kematian dari 46,5% menjadi 30,5%. CDC National Center of Hospital Statistics
tahun 2011 melaporkan bahwa beban ekonomi sangat tinggi pada pasien sepsis berat
dan syok sepsis, diperkirakan 14,6 juta dolar telah dihabiskan untuk perawatan
septikemia, dan sejak tahun 1997 sampai 2008 terjadi peningkatan biaya perawatan
pasien di rumah sakit sekitar rata-rata 11,9%.2,3,5
2.3 Etiologi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif dengan presentase
60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun
yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.6

Lipopolisakarida (LPS) merupakan produk yang paling berperan dalam


terjadinya sepsis. LPS merupakan komponen utama membran terluar bakteri Gram
negatif yang merangsang inflamasi jaringan, demam, dan syok. LPS dapat
mengaktifkan sistem imun selular dan humoral, tidak mempunyai sifat toksik namun
dapat merangsang mediator inflamasi.6

Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri Gram positif jarang


menyebabkan sepsis (20-40%) dari keseluruhan kasus.
Tabel 1. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis 7

Mikroorganisme Pada infeksi Pada infeksi Total, % (n=866)


hematogen, % lokal, % (n=430)
(n=436)
Gra-negatif 35 44 40
Gram-positif 40 24 31
Jamur 7 5 6
Polimikroba 11 21 16
Patogen klasik <5 <5 <5

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan melalui suatu sistem tingkatan


Predispositionu, Infection, Response,and Organ dysfunction untuk menentukan
pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala
dan resiko individual.
2.4 Patogenesis
Severe sepsis dan septic syok berkembang dari systemic inflammatory dan
coagulase respon sebagai bukti infeksi. Bakteri gram negatif bacilli (seperti
Escherichia colli, Klebsiella spp. dan Pseudomonas aeruginosa) dan Gram positif
cocci (seperti staphylococci dan streptococci) merupakan patogen umum yang
berhubungan dengan perkembangan sepsis, walaupun jamur, virus dan parasite juga
dapat menyebabkan sepsi. Jamur, terbanyak seperti candida, hanya menyebabkan 5%
dari semua kasus severe sepsis. 7
Patofisiologi dari sepsis bakteri dimulai oleh kedua komponen membran luar
dari organisme gram negatif (lipopolysaccharide, Lipid A, flagellin dan
peptidoglycan) dan organisme gram positif (teichoic acid, lipotechoic acid,
peptidoglycan). Komponen membran luar dan komponen dinding sel tersebut dapat
mengikat reseptor CD14, suatu protein yang melekat pada bagian luar monosit.Baru-
baru ini, beberapa reseptors yang biasa disebut reseptors Toll-like teriidentifikasi dan
menunjukkan bahwa komponen bakteri juga berinteraksi dengan reseptor ini.
Sepuluh anggota dari reseptor Toll-like yang diidentifikasi, masing-masing
menunjukan derajat spesifisitas untuk mikroorganime pathogen dan produk selular
(misalnya TLR2 untuk peptidoglycan, lipoteichoic acid atau TLR4 untuk
lipopolysaccharide).8
Pengikatan reseptor Toll-like akan mengaktivasi sinyal jalur intraseluler yang
memicu faktor transkripsi, seperti factor-ƘB yang pada gilirannya mengontrol
ekspresi gen respon imun, mengakibatkan pelepasan cytocines.Sytocines dengan sifat
inflamasi (termasuk TNF-α, IL-1, IL-2. IL6) atau cytocines dengan sifat anti
inflamasi (IL-4 dan IL-10).8

Gambar 1. Pengaktifan komplemen dan sitokin pada sepsis

Jaringan mediator inflamasi mengaktifkan leukosit, mempromosikan adhesi


endotel leukosit-pembuluh darah dan memicu kerusakan endotel. Kerusakan
andothelial ini, pada gilirannya menyebabkan ekspresi faktor jaringan dan aktivasi
kaskade jaringan faktor-dependent pembekuane diawali dengan trombin, sehingga
microaggregates fibrin, trombosit, neutrofil dan sel darah merah mengganggu aliran
darah kapiler, sehingga mengurangi oksigen dan pengiriman nutrisi. 8
Khususnya, sitokin proinflamasi meningkatkan ekspresi enzim-induksi nitric
oxide synthase (iNOS) di sel endothelial yang akan meningkatkan sintesis dari
vasodilator kuat nitrat oksida yang akan menyebabkan penurunan dalam karakteristik
resistensi sistemik vascular.

Gambar 2. Patogenesis sepsis bakterial

2.5 Gejala klinis

Gejala klinis sepsis tidak spesifik dan ditandai oleh gejala demam, menggigil,
lelah, malaise, gelisah dan kebingungan. Gejala sepsis akan lebih berat pada penderita
lanjut usia, diabetes, kanker, gagal organ utama dan penderita granulosiopenia. Yang
akan diikuti gejala MODS (Multiple Organ Dysfunctions) hingga syok sepsis.6
2.6 Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan kecermatan tinggi dalam menggali perjalanan
penyakit, membutuhkan pemeriksaan fisik yang cermat, uji laboratorium yang sesuai
dan tindak lanjut hemodinamik.6

Tabel 2. Kriteria diagnosis sepsis2

Gambaran umum
Demam (>38,3 C)
Hipotermia (suhu <36 C)
Nadi > 90x/menit
Takipneu
Perubahan status mental
Hipeglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl) tanpa riwayat diabetes
Edema
Gambaran inflamasi
Leukositosis (leukosit > 12,000 uL)
Leukopenia (leukosit < 4,000 uL)
Leukosit normal dengan > 10% sel imatur
Peningkatan C- reaktive protein
Peningkatan prokalsitonin plasma
Hemodinamik
Hipotensi arterial ( TD <90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau penurunan TD > 40
mmHg pada dewasa)
Disgungsi organ
Hipoksemia (PaO2/FiO2 <300)
Oliguria akut ( urin output <0,5 mL/kgBB/jam setelah 2 jam resusitasi cairan yang
adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dl
Abnormalitas faktor koagulasi (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik)
Ileus
Trombositopenia ( trombosit < 100,000 ul )
Hiprbilirubinemia ( bilirubin total > 4mg/dL )
Perfusi jaringan
Hiperlactatemia (>1 mmol/L)
Penurunan CRT atau mottling

Tabel 3. Kriteria diagnosis sepsis berat, SSC 2012

Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipotensi
Peningkatan laktat diatas nilai normal
Urine output < 0,5 mg/KgBB/jam setelah 2 jam pemberian cairan yang adekuat
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien yang tidak pneumonia
sebagai sumber infeksinya
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien pneumonia sebagai sumber
infeksinya
Kreatinin >2,0 mg/dl
Bilirubin >2 mg/dl
Platelet <100,000 Ul
Koagulopati (INR >1,5)

Data laboratorium meliputi Complete Blood Count, hitung diferensial,


urinalisis, faktor koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, fungsi
hati, asam laktat, analisa gas darah. Lalu dapat dilakukan biakan kultur dari darah, urin,
sputum dan tempat lain yang terinfeksi. Lakukan Gram stain pada daerah steril seperti
darah, CSF, dan ruang pleura.6

Tabel 4. Temuan klinis uji laboratorium pada keadaan sepsis

Uji Laboratorium Temuan Keterangan


Hitung leukosit Leukositosis atau Endotoksemia dapat
leukopenia menyebabkan leukopenia
dini
Hitung trombosit Trombositosis atau Nilai tinggi dapat timbul
trombositopenia pada respons fase akut. Nilai
rendah ditemukan pada KID
Kaskade koagulasi Defisiensi protein C, Nilai abnormal dapat
defisiensi antitrombin, ditemukan sebelum onset
peningkatan D-dimer, PT kegagalan fungsi organ
& APTT memanjang tanpa disertai perdarahan.
Kadar kreatinin Meningkat Peningkatan sebesar dua kali
lipat nilai normal
menandakan gagal ginjal
akut
Kadar asam laktat Meningkat >4 mmol/L Menandakan hipoksia
(36mg/dL) jaringan
Kadar enzim hepar Peningkatan alkalin Menandakan kerusakan
fosfatase, SGOT, SGPT, hepatoselular akibat
bilirubin hipoperfusi
Kadar fosfat serum Hipofosfatemia Berbanding terbalik dengan
kadar sitokin proinflamasi
Kadar protein reaktif C Meningkat Menandakan respons fase
(CRP) akut
Kadar prokalsitonin Meningkat Membedakan antara SIRS
infeksius dan SIRS
noninfeksius
Tabel 5. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)2
Terdapat dua atau lebih kriteria berikut:
Suhu >380C atau < 360C
Nadi > 90x/menit
Pernapasan > 20x/menit atau
PaCO2< 32mmHg (4,3 kPa)
Leukosit >12.000/mm3 atau < 4000/mm3

Tabel 6 . Kriteria Disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan akibat sepsis2


Terdapat salah satu dari di bawah ini akibat sepsis:
Hipotensi akibat sepsis
Kadar laktat > 2 mmol/L
Produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, lebih dari 2 jam
meskipun sudah diresusitasi cairan adekuat
ARDS dengan PaO2/FiO2< 250 tanpa ada pneumonia
(sebagai fokus infeksi)
ARDS dengan PaO2/FiO2< 250 dengan pneumonia
(sebagai fokus infeksi)
Kreatinin > 2 mg/dl
Bilirubin > 2 mg/dl
Trombosit < 100.000
Koagulopati (INR > 1,5)

2.7 SOFA (Sequential (Sepsis-related) Organ Filure Assessment)


Sistem skoring SOFA pertama kali dikembangkan melalui konsensus
konferensi di Paris, Prancis tahun 1994. Pada mulanya sistem skoring ini digunakan
untuk menilai pasien sepsis namun telah divalidasi dan dapat digunakan untuk populasi
lain. Enam sistem organ ( respirasi, kardiovaskular, ginjal, hati,sistem saraf pusat, dan
koagulasi) dipilih berdasarkan telaah dari literatur, dan setiap fungsi diberi nilai dari 0
(fungsi normal) hingga 4 (sangat abnormal), yang memberikan.9
Kemungkinan nilai dari 0 sampai 24. Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada
hari pertama saja, namun dapat dinilai harian dengan mengambil nilai yang terburuk
pada hari tersebut. Variabel paremeter penilaian dikatakan ideal untuk menggambarkan
disfungsi atau kegagalan organ.9
Perubahan pada skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi. Pada studi
prospektif dari 352 pasien ICU, peningkatan skor SOFA selama 48 jam pertama
perawatan memberikan mortalitas paling sedikit 50%, sementara penurunan skor
SOFA memberikan mortalitas hanya 27%.Tujuan utama dari skoring kegagalan fungsi
organ adalah untuk menggambarkan urutan dari komplikasi, bukan untuk memprediksi
mortalitas. Meskipun demikian, ada hubungan antara kegagalan fungsi organ dan
kematian.9
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut pada skor total
SOFA (Sequential (Sepsis-related) Organ Filure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi
dari adanya infeksi. Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ yaitu respirasi, koagulasi,
liver, kardiovaskular, central nervous system, dan ginjal yang masing-masing memiliki
gradasi nilai 0 sampai 4. Dasar penentuan skor SOFA dasar nilai nol diasumsikan
bahwa pada pasien yang tidak diketahui memiliki disfungsi organ sebelumnya. Skor
SOFA ≥2 mencerminkan risiko kematian 10% pada populasi rumah sakit umum yang
dicurigai terkena infeksi.9
Tabel 7. Skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assesment

2.8. qSOFA (quickSOFA)


Pada Sepsis-3 juga direkomendasikan penggunaan qSOFA (quick SOFA) untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan dan dan
memprediksi lama pasien dirawat baik pasien di ICU atau non ICU. Pasien-pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat 2 atau lebih dari 3
kriteria klinis: perubahan status mental (GCS<15), kecepatan pernapasan ≥22
kali/menit, dan tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg. Untuk mendeteksi apakah pasien
akan memiliki kecenderungan mengalami sepsis dapat dilakukan uji qSOFA yang
dilanjutkan dengan SOFA.9
Tabel 8. Skor quick Sequential Organ Failure Assesment (qSOFA
Tabel 9. Kriteria Klinis untuk Mengidentifikasi Syok Septik8

2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan sepsis dan syok sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaig 20122

Harus diselesaikan dalam waktu 3 jam pertama:


1) Mengukur kadar asam laktat
2)Pemeriksaan kultur darah sebelum memberikan antiniotik
3) Pemberian antibiotic spectrum luas
4) Pemberian kristaloid 30 mL/kg untuk pasien hipotensi dan nilai asam laktat
4mmol/L
Harus diselesaikan dalam waktu 6 jam pertama:
5) Pemberian vasopressor (untuk pasien hipotensi yang tidak respon dengan
resusitasi cairan) untuk menaikkan MAP > 65 mmHg
6) Pada keadaan hipotensi yang persisten meskipun telah diberikan resusitasi
(syok sepsis) atau nilai awal laktat 4 mmol/L (36 mg/dL):
- Dilakukan pengukuran central venous pressure (CVP)*
- Dilakukan pengukuran saturasi oksigen vena sentral (ScvO2)*
7) Pengukuran kembali kadar laktat jika nilai awalnya *

Gambar 3. Algoritma tatalaksana sepsis.12

MANAJEMEN ANESTESI

Dokter anestesi sering terlibat dalam perawatan pasien sepsis berat di


bagian emergensi, ruang operasi, ataupun ICU. Pengontrolan sumber infeksi,
yang melibatkan drainase abses secara bedah atau debridemen jaringan nekrotik
ditambah dengan terapi antimikroba awal yang efektif, merupakan sumber
keberhasilan penanganan pasien dengan sepsis berat. Pada operasi dengan resiko
tinggi atau pasien trauma dengan sepsis, mengoptimalkan hemodinamik awal
sebelum terjadinya perkembangan kegagalan organ mengurangi angka kematian
23% dibandingkan dengan mereka yang pengoptimalan hemodinamik setelah
terjadinya kegagalan organ.10
Penilaian Praoperasi
Meskipun tidak semua pasien dengan sepsis berat memiliki fokus infeksi,
namun tetap penting untuk memeriksa pasien secara sistematis untuk mencari
sumber infeksi. Sumber utama mungkin jelas (seperti trauma, luka bakar,
pembedahan) atau malah mungkin lebih sulit untuk diidentifikasi (seperti
emfiema pada kantung empedu, pankreatitis, sepsis ginekologis, infeksi jaringan
lunak atau tulang) terlebih lagi pada pasien yang tidak kooperatif. Pemeriksaan
harus berfokus pada derajat keparahan SIRS, keadaan hidrasi intravaskular,
adanya tanda syok atau disfungsi multi organ, dan resusitasi hemodinamik yang
adekuat.11
Terapi Antibiotik
Sangat penting bahwa antibiotik intravena harus dimulai secepat mungkin
setelah didiagnosis dengan sepsis berat dan syok septik. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa menunda pemberian sampai awal prosedur bedah atau
sampai hasil kultur mikrobiologi tersedia memberikan hasil yang lebih baik.
Sampel yang sesuai untuk kultur harus didapatkan terlebuh dahulu sebelum
pemberian terapi antibiotik lini pertama. Obat-obat antimikroba lebih baik
diberikan secara intravena dan dengan dosis yang cukup untuk mencapai
konsentrasi terapetik. Pemilihan agen antimikroba harus berdasarkan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemberian optimal obat antimikroba terhadap
jaringan yang terinfeksi, dan pola sensitivitas lokal agen antimikroba. Agen
spektrum luas harus diberikan terlebih dahulu dengan satu atau lebih agen aktif
terhadap semua kemungkinan bakteri/jamur patogen.2
Resusitasi Hemodinamik
Tujuan tindakan resusitasi preoperatif adalah untuk cepat mengembalikan
penghantaran oksigen ke jaringan perifer. Jika pasien dalam kondisi
hemodinamik tidak stabil, monitoring tekanan arteri secara invasif, akses vena
sentral, dan ICU atau unit dengan perawatan khusus harus tersedia. Penempatan
kateter vena sentral (CVC) memungkinkan dilakukan pengukuran tekanan vena
sentral (CVP), ditambah dengan saturasi oksigen vena (SvO2), pemberian cairan
intravena, dan obat-obatan vasopresor. (9) Tindakan resusitasi yang dimulai
ketika di ruang emergensi (IGD) dapat tetap dilanjutkan jika pasien membutuhkan
pemeriksaan diagnostik imaging atau jika pasien akan ditransfer ke ruangan ICU
sebelum dipindahkan ke ruang operasi. Resusitasi 6 jam pertama pada pasien
sepsis, disebut “golden hours”, yang penting dan sering bertepatan dengan waktu
pembedahan emergensi. Ada sedikit perbedaan pendapat antara dokter bahwa
pasien septik hipotensi dengan laktat >3 mmol/liter, volume resusitasi
menggunakan kristaloid atau koloid harus digunakan terlebih dahulu, dengan
tujuan untuk mencapai titik akhir klinis: CVP 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-
rata 65 mmHg, urin output 0,5 ml/kg/jam, saturasi oksigen vena sentral: >70%.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa suatu jenis cairan intravena lebih baik
dari jenis lainnya sehubungan dengan perawatan selama di ICU, durasi ventilasi
mekanis, durasi terapi pengganti ginjal, dan 28 hari outcome. Terapi dengan
koloid dikaitkan dengan kejadian gagal ginjal akut yang lebih tinggi dan terapi
pengganti ginjal dibandingkan dengan ringer laktat dan toksisitasnya meningkat
sesuai dengan akumulasi dosis.12
Bantuan vasopresor dengan norepinefrin mungkin bisa juga
dipertimbangkan sebelum pengoptimalan pemberian cairan intravena dicapai.
Dosis rendah vasopresin (0,03 unit/menit) mungkin dapat ditambahkan untuk
mengurangi kebutuhan dosis norepinefrin itu sendiri. Inotropik ditambahkan
kedalam volume resusitasi dan vasopresor, jika terdapat bukti curah jantung tetap
rendah meskipun dengan resusitasi cairan dan pengisian jantung yang adekuat.
Kampanye sepsis survival merekomendasikan dobutamin sebagai terapi inotropik
lini pertama yang ditambahkan pada vasopresor pasien septik.11
Namun, penelitian pada pasien septik menunjukkan tidak ada perbedaan
efektifitas dan keamanan dengan hanya epinefrin dibandingkan dengan
norepinefrin ditambah dobutamin dalam manajemen syok septik. Tidak ada bukti
yang mendukung bahwa penggunaan dobutamin untuk mencapai penghantaran
oksigen yang luar biasa dalam hal meningkatkan outcome. Upaya resusitasi harus
tetap diberikan selama perbaikan hemodinamik pada setiap tahapnya. Lebih
lanjut pemberian cairan intravena harus dihentikan ketika tekanan sudah terlalu
tinggi dan tidak ada perbaikan yang terlihat pada perfusi jaringan (misalnya serum
laktat tidak menurun). Transfusi sel darah merah juga dapat dipertimbangkan jika
penghantaran oksigen ke jaringan tidak adekuat.12
Levosimendan mungkin berguna sebagai tambahan terapi konvensional inotropik
pada kasus disfungsi miokardial refraktori pada sepsis. Efek inotropik
meningkatkan sensitivitas troponin C jantung terhadap kalsium. Efek vasodilator
sistemik dan pulmonal berkaitan dengan pembukaan chanel pottasium dependent-
ATP. Uji acak terkontrol pada 28 pasien dengan syok septik dan fraksi ejeksi
<45% menetap >48jam setalah terapi konvensional ditemukan bahwa indeks
jantung dan fungsi ginjal mengindikasikan perbaikan setelah pemberian
levosimendan, dibandingkan dengan dobutamin. Namun, studi lebih besar
dibutuhkan sebelum levosimendan diterima secara luas sebagai terapi syok
septik.12
Terapi oksigen tambahan juga memperbaiki kondisi pada pasien sepsis
berat bahkan jika mereka tidak memiliki tanda-tanda gangguan pernapasan.
Segera intubasi trakea dan ventilasi mekanik paru dapat dipertimbangkan jika
derajat kesadaran pasien rendah atau jika ada distress yang progresif dan hipoksia.
Jika respon inadekuat terhadap tindakan resusitasi, penting untuk
mempertimbangkang kemungkinan diagnosis lain. Non-infeksi menyebabkan
SIRS atau komplikasi iatrogenik seperti contoh tension pneumothorax setelah
pemasangan CVC, harus juga diperhatikan.11
Diagnostik Imaging
Diagnostik imaging semakin penting dalam menentukan fokus infeksi,
termasuk juga patologi alternatif dan membantu mengarahkan dalam prosedur
radiologi atau pembedahan. Jika dari studi diagnostik imaging dianggap sudah
tepat, hal ini penting bahwa semua langkah-langkah terapi lain (misalnya
resusitasi cairan, terapi antimikroba, ventilasi mekanis) dapat dilanjutkan secara
komprehensif. CT-Scan merupakan modalitas imaging paling berguna untuk
infeksi jaringan lunak yang kompleks dan infeksi mendalam di perut dan dada.
USG dari saluran empedu dan saluran kemih juga dapat dipertimbangkan.
Interpretasi ahli dari semua studi imaging harus dicari untuk membantu dalam
perencanaan strategi pengelolaan yang optimal.11
Kontrol Sumber
Tindakan pengontrolan sumber termasuk drainase atau prosedur
debridemen dan koreksi definitif kelainan anatomi yang menyebabkan
kontaminasi pada jaringan yang sebelumnya steril. Prosedur drainase diterapkan
pada infeksi yang dapat di drainase baik secara perkutaneus dibawah arahan
imaging atau dengan pembedahan terbuka. Debridemen mengacu kepada
pembuangan jaringan padat yang tidak viabel lagi biasanya dengan pembedahan
terbuka. Intervensi bedah definitif ditujukan untuk memperbaiki kelainan anatomi
dan mencegah kontaminasi lebih lanjut. Seorang ahli bedah dengan pengalaman
dalam menangani infeksi yang kompleks pada pasien penyakit kritis bagus untuk
dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai prosedur kontrol sumber ini.
Tujuan langsung adalah untuk mencapai kontrol yang adekuat terhadap sumber
infeksi. Intervensi kontrol sumber dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut
seperti perdarahan, fistula, atau cedera organ. Waktu optimal dalam intervensi
pembedahan bergantung pada diagnosis dan perjalanan klinis pasien. Pada
beberapa pasien, pembedahan segera atau dalam jangka waktu 1-2 jam dari
presentasi ( sepert infeksi saluran napas atas yang menyebabkan gangguan jalan
napas, nekrotik) dapat menyelamatkan nyawa. Ada juga sejumlah infeksi sering
terjadi berat (abses intaabdomen, infeksi terkait dengan intravaskular,
endokarditis infektif dengan kerusakan jantung struktural yang mengarah ke syok
kardiogenik) yang mungkin memerlukan intervensi bedah segera. Pengecualian
untuk aturan ini adalah nekrosis peripankreatik terkait dengan pankreatitis akut,
dimana drainase perkutaneus dan fasilitas terapi suportif penuh dapat menunda
tindakan bedah dimana hal ini berkaitan dengan perbaikan outcome. Komunikasi
yang jelas antara dokter anestesi, dokter bedah, ahli mikrobiologi-penyakit
infeksi, dan ahli radiologi dibutuhkan untuk rencana penerapan terapi yang segera
dan efektif, yang dapat didiskusikan dengan pasien dan keluarganya. Sangat
penting untuk mengasumsikan dokter anestesi memiliki peran sentral dalam tim
multidisiplin ini.11,13
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Tujuan utama dari dokter anestesi selama dalam periode intraoperatif
adalah memberikan keamanan dan perawatan yang optimal untuk pasien-pasien
sepsis dengan penyakit kritis, sehingga mereka mendapatkan manfaat yang
maksimal dari prosedur kontrol sumber baik secara operasi atau radiologikal.
Kebanyakan prosedur kontrol sumber secara pembedahan dilakukan di ruang
operasi di bawah anestesi umum.
Sebelum induksi
Banyak prosedur kontrol sumber yang dilakukan selama hitungan jam,
sehingga sangat penting bahwa dokter anestesi membantu dalam ruang operasi.
Beberapa pemikiran harus disampaikan pada pasien seperti kebutuhan akan ICU
sebagai manajeman setelah operasi. Perhatikan pengiriman sample mikrobiologi
untuk kultur, kapan memulai pemberian agen antimikroba, dan waktu untuk
jadwal pemberian dosis berikutnya merupakan hal-hal yang penting dalam
mengoptimalkan terapi antimikroba intraoperatif. Konsentrasi terapetik dari agen
antimikroba yang efektif harus dipertahankan selama intraoperatif, karena
prosedur itu sendiri dapat menyebabkan bakterimia dan kerusakan klinis.
Monitoring hemodinamik invasif cendrung ditambahkan sebagai standar dalam
monitoring intraoperatif. Pengukuran secara berkala terhadap gas darah arteri dan
konsentrasi laktat harus harus disediakan peralatan pemeriksaannya di dekat
pasien. Kehilangan banyak volume darah harus dapat diantisipasi selama
prosedur operasi, sehingga perlu dipertimbangkan untuk menyiapkan peralatan
resusitasi intravaskular.2
Induksi Anestesi dan Inisiasi Ventilasi Mekanik
Pasien yang menjalani prosedur kontrol sumber dalam kondisi
kardiovaskular tidak stabil dapat diakibatkan dari kondisi sepsis, anestesi,
kehilangan volume intravaskular, perdarahan, dan stres pembedahan.
Denitrogenasi paru, pernapasan O2 100% melalui facemask selama 3 menit, dapat
dipertimbangkan sebelum induksi anestesi. Karena banyak prosedur operasi pada
pasien sepsis berat terjadi kondisi emergensi, diperlukan modifikasi cepat urutan
induksi, mungkin dengan menggunakan recuronium dibandingkan dengan
succinylcholine untuk memfasilitasi intubasi trakea, mungkin dibutuhkan. Pilihan
untuk teknik induksi sangat banyak, termasuk ketamine, etomidate, dan
pemberian lambat sering digunakan pada agen seperti propofol. Kebanyakan agen
anestesi intravena atau inhalasi menyebabkan vasodilatasi atau mempengaruhi
kontraktilitas ventrikel. Induksi anestesi idealnya menggunakan proses dimana
penggunaan agen anestesi intravena dalam dosis kecil, titrasi untuk respon klinis.
Pilihan agen induksi atau narkotik kurang dipertimbangkan. Ketamine atau
midazolam dapat memberikan tingkat hemodinamik stabil dan opioid jangka
pendek seperti fentanyl atau alfentanil dapat mengurangi dosis agen induksi
anestesi. Dengan pengecualian pada remifentanil, efek dan durasi kerja dari
opioid intravena ini meningkatkan kerusakan perfusi hepar dan ginjal.
Remifentanil infus, baik sebagai agen primer atau sebagai tambahan lain dalam
induksi obat, direkomendasikan dalam induksi anestesi pada pasien septik, pasien
tidak stabil. Meskipun hal ini dapat menyebabkan bradikardi, kebanyakan dari
pasien mengalami takikardi, dan berefek pada kontraktilitas miokard menjadi
minimal. Lebih lanjut, remifentanil menghindari reduksi tiba-tiba pada resistensi
vaskular sistemik. Penggunaan tabung trakeal cuffed difasilitasi dengan
penggunaan agen blok neuromuskular (sebaiknya agen yang melepaskan non-
histamin).11
Resusitasi volume dan peningkatan dosis vasopresor membantu
mencegah efek hipotensi dari agen anestesi dan tekanan positif ventilasi mekanik.
Pilihan penggunaan vasopresor termasuk efedrin, penilefrin, dan metaraminol,
tapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan yang satu lebih baik
dari pada penggunaan yang lain. Infus norepinefrin mungkin dapat digunakan
untuk efek yang lebih lama. Tujuan dari ventilasi mekanik pada pasien dengan
sepsis berat adalah untuk membantu peningkatan fraksi konsentrasi oksigen
insipirasi (FIO2) untuk mempertahankan oksigen yang memadai (Pa O2 12 kPa).
Terdapat baukti baru yang kuat strategi ventilasi volume tidal, untuk
meminimalisir dampak ventilasi tekanan positif pada jaringan paru itu sendiri,
dan juga aliran balik vena dan kardiak output. Gaya geser yang disebabkan oleh
tingginya volume tidal atau tekanan insirasi yang tinggi akan menyebabkan
cedera pada paru. Oleh karena itu, oksigenasi yang adekuat, konsep “hiperkapnia
permisif” timbul, dimana ventilasi permenit alveolar yang rendah dapat
meminimalisir kerusakan ventilasi paru menghasilkan derajat hiperkapnia
(biasanya PaCO2 8-9 kPa), dimana hal ini dapat ditoleransi dan aman dalam
jangka pendek. (lebih dari 3-4 hari).11
Anestesi Menetap
Tidak ada bukti yang menunjukkan yang satu lebih baik dari yang lainnya
dari segi outcome dalam tindakan anestesi menetap melalui rute inhalasi atau
intravena. Pilihan untuk anestesi menetap termasuk agen inhalasi, agen intravena,
dan opioids, sebagai contoh, remifentanil infus penggunaannya 0,25-0,5
mg/kg/menit. Dokter anestesi harus memilih teknik yang dipercayai terbaik yang
sesuai dengan penilaian mereka terhadap faktor resiko pada pasien dan komorbid,
dan berdasarkan keahlian dan pengalaman mereka. MAC agen anestesi inhalasi
berkurang pada sepsis berat. (15) Pada pasien dengan disfungsi paru yang
signifikan, mempertahankan konsentrasi stabil dari agen anestesi pada otak dapat
lebih andal dicapai bila menggunakan intravena bukan agen inhalasi. Apapun
teknik yang digunakan, kedalaman anestesi yang dicapai dapat diperkirakan
dengan menggunakan monitoring indeks bispektral. Selama operasi, status
hemodinamik mungkin dapat berkomplikasi akibat dari kehilangan darah atau
pelepasan bakteri atau endotoksin ke sistemik. Transfusi darah harus dilakukan
pada prosedur bedah yang rumit dan mengakibatkan kehilangan darah yang
banyak.11
Resusitasi volume intravaskuler harus tetap sesuai dengan prosedur
pembedahan keseluruhan. Meskipun CVP 8-12 cm H2O sering digunakan
sebagai tujuan dalam mempertahankan hemodinamik pada resusitasi awal pasien
septik, hasil CVP intraoperatif dapat meningkat dengan tekanan intra-toraks dan
intra-abdomen. Perubahan pada marker dinamik (variasi tekanan nadi, variasi
struk volum) menunjukkan prediksi volume lebih akurat dari tekanan berdasarkan
perkiraan (CVP atau tekanan oklusi arteri pulmonal). Perubahan marker dinamik
pada volume responsif dapat digunakan dalam intraoperatif untuk memandu
terapi volume intravena, khususnya pada pasien dengan ritme sinus jantung
reguler dan ventilasi paru dikontrol oleh ventilasi mekanik. Bersamaan dengan
ekokardiografi transesofagus atau dopler esofagus dapat digunakan untuk
menentukan perubahan variasi struk volum.11
Ada banyak alat untuk memantau perubahan pada curah jantung secara
terus-menerus ( kateter arteri pulmonal, dopler esofagus, pletismografi impedan)
atau diskrit interval waktu (ekokardiografi transthorak atau transesofagus, atau
serial pengukuran saturasi O2 vena campuran). Sepanjang prosedur pembedahan,
parameter kardiovaskular (denyut jantung, tekanan pengisian jantung, status
inotropik, tekanan arteri sistemik) dapat disesuaikan untuk optimalisasi
penghantaran oksigen ke jaringan dibandingkan dengan untuk mncapai nilai
curah jantung atau tekanan arteri. Adekuatnya penghantaran oksigen secara
keseluruhan dapat dinilai dengan laktat serum <2 mmol/liter dan sturasi O2 vena
campuran >70%.11
Oksigenasi dapat terganggu oleh edema paru non-kardiogenik, yang
disebabkan permeabilitas kapiler meningkat pada saat sepsis. Pilihan manajemen
untuk hipoksemia selama anestesi menetap termasuk meningkatkan konsentrasi
oksigen inspirasi dan secara bertahap meningkatkan PEEP. Konsentrasi oksigen
inspirasi dapat ditingkatkan sampai SaO2 paling kurang 90% dan penggunaan
PEEP dapat dipertimbangkan selama prosedur pembedahan. PEEP dapat
meningkatkan stabilitas hemodinamik pasien yang akan meningkatkan tekanan
intrakranial, kompensasi asidosis metabolik, atau tahap akhir kehamilan. Pada
semua keadaan lain, hiperkarbia dapat ditoleransi dan terdapat beberapa bukti
bahwa hiperkapnia permisif memiliki efek protektif yang melekat. 11
Strategi perlindungan paru dianjurkan dalam ventilasi mekanik paru.
Perbedaan tekanan di dalam dan di luar dari ruang udara alveolus pada akhir
inspirasi adalah tekanan transpulmonal. Plateau tekanan udara, diukur selama
volume-kontrol ventilasi mekanik ketika jeda akhir inspirasi, merupakan
indikator dari tekanan maksimal di dalam kantung alveolar. Tekanan di luar
kantung alveolar tidak dapat diukur secara langsung namun dapat diperkirakan
secara klinis dengan menilai perubahan pada tekanan pleura. Tekanan luar
alveolar atau tekanan pleura dapat tiba-tiba meningkat dengan menempatkan
pasien dalam posisi Trendelenberg atau dengan meningkatkan tekanan
intrandominal terkait dengan inflasi dari pneumoperitonium untuk operasi
laparoskopi. Pertukaran gas paru dapat memburuk jika tekanan pleura meningkat
dan tekanan plateu tetap konstan (yaitu penurunan tekanan transpulmonal). Disisi
lain, tekanan transpulmonal tinggi berkaitan dengan cedera paru. Pada pasien
early akut lung injury, strategi ventilasi harus bertujuan untuk mencapai
keseimbangan antara penurunan yang signifikan dalam tekanan udara
transpulmonal (misalnya, <20-25 cm H2O, dengan penurunan ventilasi alveolar),
dan tekanan transpulmonal berlebihan (misalnya >25-30 cm H2O, dan berkaitan
dengan barotrauma). Penanganan alveoli yang kolaps adalah dengan ventilasi
manual pada pasien untuk mencapai tekanan puncak jalan napas sekitar 30-40
mmHg untuk periode jangka pendek dapat mengurangi aliran balik dan
memperbaiki oksigenasi intraoperatif. Hati-hati dalam melakukan manuver ini
pada pasien dengan resiko pneumothoraks, seperti pasien dengan bula
emfisematus atau penyakit paru obstruktif kronis yang berat. Selama proses
operasi, penghitungan analisis gas darah, penghitungan darah lengkap, koagulasi,
elektrolit, laktat, dan konsentrasi glukosa sangat dianjurkan. Setiap upaya harus
dilakukan untuk menghindari hipotermi intraoperatif yang berkaitan dengan
gangguan platelet dan disfungsi faktor koagulasi. 11
Aturan dalam anestesi regional dan blok saraf pada anestesi untuk pasien
sepsis11
Blok saraf perifer mungkin efektif untuk meminimalkan respon simpatik
terhadap stimulus nyeri yang diberikan, sehingga menghindari efek sistemik
opioid dan dapat digunakan dalam penilaian keseimbangan resiko-manfaat pada
infividu, dimana hal ini dibenarkan dalam keadaan khusus. Namun, adanya
koagulopati, penyebaran infeksi baik lokal ataupun sistemik, dan fakta bahwa
anestesi lokal tidak dapat bekerja pada kondisi infeksi atau asidosis sehingga
dapat membatasi penerapan teknik regional pada pasien septik. Blok neuroaksial
(anestesi spinal dan epidural) harus dilakukan dengan hati-hati, karena efek
hemodinamik dari teknik ini dalam penanganan sepsis yang disebabkan gangguan
kardiovaskular. Tes darah terbaru mengkonfirmasi koagulasi normal sangatlah
penting.
Akhir prosedur operasi
Pada akhir prosedur bedah, pemberian agen blok neuromuskular untuk
memfasilitasi penutupan dari bedah abdomen atau thorak dapat dipertimbangkan.
Tingkat kehilangan darah harus minimal sebelum meninggalkan ruang operasi.
Dosis tambahan agen antimikroba dapat dipertimbangkan juga. Pada pasien yang
membutuhkan operasi lebih lanjut dan semua pasien penyakit kritis, analgesi,
sedasi, dan ventilasi mekanis dipertahankan sampai akhir operasi. Keamanan
pemindahan pasien ke ICU sangat penting. Sebuah laporan operasi sangat
membantu petugas ICU dalam memantau klinis yang muncul, penilaian terhadap
respon resusitasi, penggunaan agen antimikroba, detail tentang prosedur operasi,
produk darah yang digunakan selama intraoperatif, dan masalah khusus yang
harus diantisipasi dalam periode postoperatif. 11
MANAJEMEN POSTOPERATIF PASIEN DENGAN SEPSIS BERAT
Penting untuk dicatat bahwa penilaian pre-resusitasi harus digunakan
untuk menghitung skor APACHE kebutuhan perawatan intensif, bukan orang-
orang yang telah membaik setelah resusitasi dan prosedur pembedahan. Infus obat
vasopresor berkelanjutan harus disesuaikan agar cocok dengan volume
intravaskular dan pengaturan ventilasi mekanik baru. Setelah mengamankan jalan
napas pasien, pengaturan ventilasi mekanik dapat dihentikan, dengan tujuan
meminimalkan volutrauma dan barotrauma pada paru. Hal ini kemungkinan besar
akan dicapai dengan menggunakan pengaturan tekanan rendah, konsentrasi
oksigen inspirasi fraktional tinggi (FIO2), dan penyesuaian batas sesuai limit.
Volume tidal yang rendah (lebih dari 6 ml/kg berdasarkan perkiraan berat badan)
dan hiperkapnia permisif dapat dipertimbangkan, asalkan pH arteri tidak menurun
di bawah 7,20. Kontrol tekanan dan kontrol volume ventilasi mekanik dapat
digunakan. Ketika jeda inspirasi akhir termasuk siklus respirasi pada model
kontrol volume, tekanan transpulmonal yang dicapai (tekanan plateu-tekanan
pleura) harus mencapai batas 25-30 cm H2O untuk meminimalisir kerusakan
ventilasi parenkim paru. Penggunaan PPEP tinggi (10-15 cm H2O) mungkin
dibatasi oleh tingkat ketidakstabilan hemodinamik terkait. FIO2 dapat menurun
(<60%) untuk mencapai SPO2 93-95%.2,11
Hal ini penting bahwa terapi antimikroba, yang dimulai sebelum operasi,
harus dilanjutkan di ICU dan jadwal waktu pemberian dosis berikutnya tercatat.
Regimen antimikroba dapat ditinjau kembali setiap hari sesuai dengan hasil kultur
mikrobiologi, dan disesuaikan untuk memastikan keberhasilan, mencegah
resistensi, dan menghindari toksisitas. Durasi terapi harus dibatasi 7-10 hari. Hal
ini telah dibuktikan bahwa pasien yang menjalani strategi transfusi sel darah
merah (transfusi dihindari kecuali Hb<7 g/dl) memiliki angka kematian yang
lebih rendah ( 22% vs 28%) daripada mereka yang dilakukan transfusi pada nilai
Hb yang lebih tinggi, dengan pengecualian pada pasien infark miokard akut dan
angina tidak stabil. Plasma beku yang masih segar dapat digunakan untuk
memperbaiki pembekuan laboratorium yang abnormal hanya jika ada klinis
perdarahan atau prosedur invasif direncanakan. Platelet ditransfusikan jika
nilainya ≤ 5.000/mm3 tanpa perdarahan, atau jika antara 5.000 – 30.000/mm3
dengan resiko perdarahan yang signifikan. Trombosis vena tromboprofilaksis
harus dipertimbangkan masalah koagulopati telah ditangani. Recombinant human
activated protein C (rhAPC) dapat dipertimbangkan pada pasien dewasa dengan
sepsis yang dapat menginduksi disfungsi organ dengan penilaian resiko klinis
yang tinggi terhadap kematian (khususnya skor APACHE >25 atau gagal organ
multipel) jika tidak ada kontraindikasi terhadap rhAPC. Pasien dewasa dengan
sepsis berat dan resiko kematian yang rendah (khususnya, APACHE II <20 atau
satu gagal organ) tidak harus menerima rhAPC. 11
Kontrol glikemia adekuat yang berkelanjutan ( <8,5 mmol/liter) penting
dalam kontrol proses sepsis. Lebih luas, internasional, uji acak pada pasien ICU,
tidak terdapat perbedaan signifikan antara kontrol glikemi ketat (glukosa darah 4-
6 mmol/liter) dan kontrol glikemi bebas (glukosa darah 6-10 mmol/liter) di
tingkat kematian atau rata-rata skor kegagalan organ. Namun, tingkat keparahan
hipoglikemia (kadar glukosa ≤2,2 mmol /liter) lebih tinggi pada kelompok terapi
intensif dibandingkan dengan kelompok terapi konvensional (1,7% vs 4%,
p<0,001), dan rata-rata kejadian adverse event yang serius. Oleh karena itu, pada
pasien septik berat, glukosa darah harus dipertahankan dalam rentang 6-10
mmol/liter. 11
Nutrisi adalah merupakan salah satu pilar manajemen dalam pasien septik
penyakit kritis. Nutrisi enteral melalui selang nasogastrik merupakan pilihan yang
terbaik untuk mempertahankan integritas enterocyte dan pemelihaaran pasien.
Langkah perlindungan gastrointestinal (profilkasis stres ulcer) dan obat
antiemetik juga ditentukan. Total nutrisi perenteral (TPN) harus dipertimbangkan
jika ada kontaindikasi pembedahan terhadap nutrisi enteral atau jika kebutuhan
nutrisi tidak dapat tercukupi hanya dengan nutrisi enteral saja. Pasien bisa
menjadi hipoglikemia dalam waktu cepat jika TPN atau nutrisi enteral dihentikan
selama periode perioperatif. 2
Hidrokortison intravena dipertimbangkan ketika respon hipotensi sangat
buruk terhadap resusitasi cairan dan vasopresor. Percobaan selama 7 hari dengan
hidrokortison dosis rendah dan fludokortison signifikan mengurangi resiko
kematian pada pasien syok septik dan insufisiensi adrenal relatif tanpa
peningkatan adverse event (P<0,05). Pada studi ini, terdapat 81 kematian (70%)
pada kelompok plasebo dan 66 kematian (58%) pada kelompok kortikosteroid
pada akhir rawatan di ICU. Meskipun penelitian ini dilakukan di ICU, tampaknya
tepat untuk mengekstrapolasi temuan pada pasien yang dipilih dalam periode
perioperatif. 11
hidrokortison pada dosis 200mg per hari dibagi dalam 4 dosis ataupun
infus menetap dengan dosis 240mg per hari (10 mg/jam) selama 7 hari
direkomendasikan untuk syok septik di ICU. Apakah pemberian steroid dosis
rendah selama manajemen intraoperatif pasien septik akan meningkatkan
stabilitas hemodinamik atau outcome yang tidak diketahui dan tampaknya tidak
mungkin. Peran glukokortikoid dalam pengelolaan pasien dengan sepsis berat
membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Dalam multisenter, acak, blinded, uji
kontrol pasien dengan syok septik yang ditangani dengan kortikosteroid, terdapat
penurunan signifikan terhadap kematian pada pasien yang menerima vasopresin
dibandingkan dengan norepinefrin. Sebaliknya, pada pasien septik yang tidak
menerima kortikosteroid, penggunaan vasopressin dikaitkan dengan peningkatan
angka kematian dibandingkan dengan norepinefrin. Tampaknya ada manfaat
dalam penggunaan dosis rendah glukokortikoid (misalnya hidrokortison 50 mg,
4 kali sehari, dimana pasien septik normovolemik tampaknya refrakter terhadap
terapi vasopressor untuk mempertahankan perfusi organ utama dan stabilitas
hemodinamik). 11
Gagal ginjal akut terjadi pada 23% pasien dengan sepsis berat. Terapi
pengganti ginjal dapat dilakukan untuk memperbaiki asidosis, hiperkalemia, atau
kelebihan cairan dan dapat dilanjutkan sampai nekrosis tubular akut telah pulih.
Natrium biakrbonat tidak dianjurkan untuk mengoreksi asidosis kecuali pH <7,1.
Filtrasi hemodial vena tidak memberi manfaat apapun terhadap kelangsungan
hidup bila dibandingkan dengan hemodialisis intermiten, kematian diamati
menjadi 67% untuk hemodialiasis intermiten vs 65% untuk hemodiafiltrasi terus
menerus, dengan RR 1,03. Namun, penggantian ginjal lebih praktis pada pasien
yang hemodinamik tidak stabil. Sebuah studi menemukan bahwa hemodialisis
harian menghasilkan kontol yang baik terhadap uremia, episode hipotensi selama
hemodialisis, dan resolusi yang cepat terhadap gagal ginjal akut dibandingkan
dengan hemodialiasis menetap konvensional. Meskipun bukti yang berat saat ini
menunjukkan bahwa dosis yang lebih tinggi dari pengganti ginjal dapat
berhubungan dengan perbaikan outcome, hasil ini tidak dapat diterapkan pada
pasien dengan sepsis berat. 11
Sebagai kesimpulan, sepsis berat merupakan isu kesehatan yang lebih
sering, dengan angka kematian yang lebih tinggi. Pasien dengan sindrom sepsis
berat sering membutuhkan tindakan pembedahan untuk penanganan kontrol
sumber infeksi. Dokter anestesi memiliki peranan yang penting dalam
mengkoordinasi dan resusitasi dan strategi terapeutik untuk mengoptimalkan
angka harapan hidup pasien. Pemberian segera terapi antimikroba efektif secara
intravena sangatlah penting. Resusitasi preoperatif, bertujuan untuk
mengoptimalkan perfusi organ mayor, berdasarkan jenis penggunaan cairan,
vasopressor, dan inotropik. Manajemen intraoperatif membutuhkan tindakan
induksi anestesi yang hati-hati, menggunakan dosis efektif yang paling rendah
diantara agen. Anestesi menetap merupakan tantangan , membutuhkan
pencapaian status volume yang optimal, mencegah injury paru selama ventilasi
mekanik, dan montoring analisa gas darah arteri, indeks hematologi dan renal,
dan derajat elektrolit. Perawatan post operasi tumpang tindih dengan manajemen
berkelanjutan dari pasien sepsis berat di ICU. Perawatan pasien sepsis penyakit
kritis membutuhkan anestesi dan operasi akan lebih ditingkatkan dengan menguji
strategi terapi yang lebih baik, misalnya penggunaan levosimendan untuk
dukungan inotropik intraoperatif, dalam uji klinis yang dirancang dengan baik. 11
BAB III
KESIMPULAN

Sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang diketahui ditambah manifestasi


sistemik dari infeksi (sindrom respons inflamasi sistemik seperti takikardia,
takipnea, perubahan jumlah sel darah putih, demam/ hipotermia serta gangguan
metabolik lainnya atau disfungsi organ).2 Sepsis berat adalah penyebab utama
kematian di rumah sakit. Diagnosis dini, pemberian antibiotik awal, dan resusitasi
cairan yang cukup merupakan kunci dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas sepsis.

Rekomendasi dari SSC memberikan bimbingan bagi dokter dalam


merawat pasien dengan sepsis berat atau syok septik. Rekomendasi dari SSC tidak
dapat menggantikan kapabilitas pengambilan keputusan klinisi menemui pasien
dengan berbagai variabel klinis. Sebagian besar rekomendasi SSC ini dapat
diterapkan pada kasus sepsis berat di ICU dan non-ICU. Komite dari Surviving
Sepsis Campaign (SSC) Guideline berharap dari waktu ke waktu, khususnya
melalui program pendidikan dan audit yang resmi dan kinerja umpan balik,
pedoman tersebut dapat mempengaruhi bedside healthcare praktisi kesehatan
yang akan mengurangi beban sepsis seluruh dunia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Halstead RMa. Definition , Epidemiology and Pathophysiology. The Open
Inflammation Journal. 2011.
2. R. P. Dellinger, et al. Intensive Care Medicine.Surviving Sepsis Campaign:
International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock,
2012. February 2013, Volume 39, Issue 2, pp 165–228. ISSN: 0342-4642
3. Martin GS. Sepsis, Severe Sepsis and Septic Shock: Changes In Incidence,
Pathogens and Outcomes. Expert Rev Anti Infect Ther. 2012 Jun; 10(6): 701-
706.
4. A. Rhodes, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines
for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Maret 2017. Intensive Care
Med (2017) 43:304–377.
5. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep.
2001;49:1-6
6. Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbit IPD FKUI. 2009: 1862-65
7. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of Severe Sepsis In The
United States. Crit Care Med. 2001;20:1303-31.
8. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Juang DT, et al. A randomized
trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med 2014;
370(18):1683-169
9. Paul, Mark. Sirs, qSOFA and new sepsis definition.Journal Of Thoracic
Disease. April 2017. Vol:9
10. Russel W. Interaction of vasopressin infusion, corticosteroid treathmen, and
mortality of septic shock. Crit Care Med. 2009;: p. 811-8.
11. Eissa D C. Anaesthetic management of patient with severe sepsis. CME. 2010.
12. JD H. Sepsis and the heart. Br J Anaesth. 2010
13. Marshall. Principle of source control in the management sepsis. Crit Care Clin.
2009;: p. 753-68.

Anda mungkin juga menyukai