Anda di halaman 1dari 40

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penerimaan negara dalam bidang pajak tidak terlepas dari kegiatan ekspor

impor, hal ini didasari dengan pengenaan tarif pajak atas penyerahan yang dilakukan

sebagai kaitannya dalam kegiatan ekspor impor. Peraturan tentang tatacara penyetoran

penerimaan negara dalam kegiatan ekspor impor ini diatur dalamPeraturan Menteri

Keuangan Nomor 30/PMK.04/2013. Lebih lanjut, Pengusaha Jasa freight forwarding

merupakan salah satu jenis usaha yang memiliki peran penting bagi kegiatan ekspor

maupun impor. Hal tersebut juga dapat dilihat dari jenis jasanya, freight forwarding

secara garis besar meliputi pemberian jasa transportasi barang dari pelabuhan asal ke

destinasi.

Menurut Manurung (2010) pada dasarnya, kegiatan usaha jasa freight

forwarding ini diperuntukkan untuk mempermudah perusahaan yang akan melakukan

kegiatan pengiriman barang agar barang yang dikirimkan dapat sampai ke tangan

pemakai jasa dalam waktu yang diinginkan. Hal mengenai peraturan tentang usaha ini

diatur dalam UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang

secara spesifik disebutkan pada pasal 4 angka 2 huruf k tentang Jasa Transportasi. Jasa

tersebut juga diatur dalam Peraturan Menteri

Perhubungan No. PM 74 Tahun 2015 tentang Penyelenggaran dan pengusahaan jasa

pengurusan transportasi. Melalui peraturan-peraturan yang diatur tersebut dapat


2

diketahui bahwa kegiatan jasa pengurusan transportasi memiliki hubungan dengan

kegiatan ekspor maupun impor. Data dari Badan Pusat Statistik menampilkan kegiatan

ekpor impor sampai dengan Juli 2016 sebagai berikut :

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah kembali oleh penulis

Kegiatan ekspor-impor ini mempengaruhi lahan bagi para pengusaha freight

forwarding dalam bisnisnya. Menurut SK Menteri Perhubungan No.KM/10 tahun 1998

jasa freight forwarding meliputi beberapa aspek pekerjaan yang mencakup kegiatan

penerimaan, penyimpanan,sortasi, pengepakan,penandaan,pengukuran, penimbangan,

pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, penghitungan biaya

angkutan, klaim asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-

biaya lainnya berkenaan

dengan pengiriman barang sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak

menerima barang sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

Perusahaan jasa freight forwarding memberikan jasa kepada konsumen saat

ingin melakukan kegiatan pengiriman barang baik didalam negeri maupun di luar

negeri. Sehingga dapat dikatakan memiliki pengaruh dalam kegiatan ekspor impor
3

karena apabila perusahaan jasa freight forwarding tidak ada maka proses pengiriman

barang dapat menjadi terkendala. Menurut Suyono (2005), freight forwarding

merupakan kegiatan usaha yang memberikan jasa pelayanan atas pengiriman,

pengangkutan, dan serta penerimaan barang mulai dari menggunakan angkutan darat,

laut maupun udara serta pengurusan dokumen legalitas berdasarkan peraturan negara

pengirim maupun negara penerima. Dalam beberapa kasus seperti PT XYZ, pengusaha

freight forwarding juga dapat menyediakan jasa yang dilakukan oleh para pengusaha

trucking. Sehingga pengusaha freight forwarding cenderung menciptakan entitas yang

berbeda tidak hanya sebagai

pengusaha jasa freight forwarding saja, namun juga sebagai pengusaha trucking

(Pengangkutan).

Pengusaha jasa freight forwarding selain melakukan kegiatan pengangkutan,

dapat juga melakukan kegiatan seperti jasa penyewaan gudang (Warehousing), serta

jasa pendistribusian (Distributing) karena kegiatan tersebut juga masih dalam ranah

ekspor-impor. Luasnya kegiatan freight forwarding ini menyebabkan timbulnya banyak

jenis jasa pada jenis perusahaan freight forwarding. Hal tersebut dapat tergambar dalam

contoh flowchart kegiatan ekspor impor berikut ini :


4

Dari flowchart tersebut dijelaskan bahwa dalam melakukan kegiatan ekspor-

impor diperlukan beberapa tahapan mulai dari pemesanan yang dilakukan dari pihak

shipper sampai barang tersebut sampai di tangan consignee/buyer. Jika ditarik ke jasa

yang diberikan oleh perusahaan freight forwarding, keterlibatan perusahaan jasa freight

forwarding (forwarder) ada pada seluruh aspek kegiatan usaha dalam proses ekspor

impor karena forwarder berperan sebagai pemegang kendali dokumentasi antar pihak

shipper, PPJK (Perusahaan Pengurus Jasa Kepabeanan), shipping line, sampai dengan

pihak consignee/Buyer. Dalam beberapa kasus seperti pada PT XYZ group pihak

consignee bisa jadi hanyalah parent company dari pihak buyer. Jadi consignee hanya

mengetahui barang yang di impor namun, barang tersebut sejatinya di kirimkan ke

buyer.

PT XYZ sebagaimana akan dibahas adalah perusahaan yang bergerak di bidang

jasa freight forwarding dan supply chain management seperti trucking, warehousing,

dan distributing. Dengan mengandalkan link dari pemakai jasa di luar negeri yang

memiliki anak perusahaan di Indonesia, PT XYZ cenderung memfokuskan kegiatan

usahanya dalam melayani consignee/shipper dari parent company karena X


5

international telah memenangkan tender dengan perusahaan asing dalam hal ini dengan

customer tersebut sehingga perusahaan asing tersebut mempercayakan pemakaian jasa

freight forwarding kepada PT XYZ untuk consignee/shipper perusahaan asing tersebut

yang berkegiatan di Indonesia. Jasa-jasa yang termasuk dalam supply chain

management dilakukan oleh PT XYZ dengan menggunakan PT lainnya yang masih

dalam grup PT XYZ.

Jika dilihat dari segi PPN, penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan freight

forwarding sudah diatur pengenaan tarifnya oleh pemerintah. Hal mengenai ketentuan

ini dituangkan dalam bentuk Undang Undang No 42 Tahun 2009 yaitu Perubahan

Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai

Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang mengatur tentang

pengenaan PPN atas penyerahan barang kena pajak (selanjutnya disebut dengan BKP)

atau Jasa Kena Pajak (selanjutnya disebut JKP) yang dilakukan dari dalam/luar daerah

pabean yang pemanfaatannya dilakukan di dalam daerah pabean.

Serta secara spesifik melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor.

121/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Serta peraturan

internal DJP (Direktorat Jenderal Pajak) terbaru mengenai pengenaan PPN atas jasa

freight forwarding yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) pendukung Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.011/2013 sebagaimana telah diubah menjadi

Peraturan Menteri Keuangan No 121/PMK.03/2015 yaitu PJ Nomor 33/PJ/2013

Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Pengurusan

Transportasi (freight forwarding) Yang Di Dalam Tagihannya Terdapat Biaya


6

Transportasi (freight charges.) Dimana dalam kedua peraturan tersebut dijelaskan

bahwa atas jasa freight forwarding dikenakan PPN dengan dasar pengenaan pajak nilai

lain sebesar 10% dari harga penyerahan jasa pengurusan transportasi yang didalamnya

terdapat jasa transportasi.

Dalam praktik pelaksanaan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah,

perusahaan jasa freight forwarding ada baiknya melakukan tax management yang

termasuk dalam ranah tax avoidance. Dalam bukunya Corporate Tax Management,

Santoso & Rahayu (2013 : 4) mengutip pernyataan Robert H.Anderson bahwa tax

avoidance atau pengindaran pajak adalah salah satu upaya perencanaan perpajakan

dalam mengurangi pajak dalam batas tertentu sesuai dengan ketentuan perpajakan yang

berlaku. Upaya yang dilakukan oleh wajib pajak tersebut selama masih sesuai dengan

peraturan perpajakan atau Undang-Undang yang berlaku dianggap legal karena tidak

melanggar aturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri.

Selanjutnya, menurut Santoso & Rahayu (2013) juga disebutkan bahwa ada 3

cara dalam melakukan penghindaran pajak. yaitu: dengan menahan diri (menghindari

aktivitas yang mengakibatkan individu tersebut dikenakan pajak), berpindah lokasi

(dengan melakukan perpindahan tempat kegiatan usaha untuk menghindari tarif pajak

yang tinggi di suatu tempat atau negara), dan dengan melakukan suatu upaya

manajemen dengan cara yang sedemikian rupa agar mendapatkan keuntungan yaitu

dalam meminimalisir kewajiban pajak sampai seminimum mungkin namun tetap sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

1.2 Pokok Permasalahan


7

PT XYZ sebagai perusahaan forwarder dalam rangka kontribusinya di kegiatan

ekspor maupun impor tidak terlepas dari bantuan perusahaan dengan jenis jasa

Trucking, Warehousing, dan Distribusi dimana kegiatan usaha freight forwarding yang

dilakukan PT XYZ adalah satu kesatuan proses ekspor-impor. Dalam hal ini pemerintah

dari segi PPN telah menetapkan peraturan yang secara spesifik membedakan antara

kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan freight forwarding maupun usaha jasa

transportasi. Hal ini diundangkan terakhir kali dalam PMK Nomor 121/PMK.03/2015

sebagai perubahan ketiga dari PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang nilai lain sebagai

dasar pengenaan pajak. Pada pasal 2 huruf M menjelaskan bahwa perusahaan jasa

pengurusan transportasi (freight forwarding) yang didalam tagihannya terdapat biaya

transportasi maka Dasar Pengenaan Pajaknya (selanjutnya disebut DPP) adalah 10%

dari penyerahan.

Terkait peraturan mengenai pengenaan DPP nilai lain tersebut, yang sebenarnya

telah diubah tiga kali oleh pemerintah, awalnya hanya berbentuk keputusan yang

tertuang dalam 567/KMK.04/2000 yang setelahnya diubah menjadi KMK

251/KMK.03/2002. PMK nomor 75/PMK.03/2010 merupakan bentuk konkrit dari

peraturan menteri keuangan yang menjelaskan tentang nilai lain sebagai dasar

pengenaan pajak. Di dalam peraturan ini, belum disebutkan peraturan yang secara

spesifik menjelaskan bagaimana mekanisme pengenaan

DPP 10% pada transaksi jasa pengurusan transportasi (freight forwarding). Barulah

pada PMK No. 38/PMK.011/2013 sebagaimana telah diubah beberapa kali menjadi

PMK No. 121/PMK.03/2015 dikeluarkan oleh menteri keuangan menjelaskan secara

spesifik tentang perlakuan DPP nilai lain atas jasa pengurusan transportasi atau freight
8

forwarding. Berikut adalah tabel perubahan peraturan menteri keuangan yang mengatur

tentang nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak.

Sementara itu di lapangan, atas dasar peraturan menteri keuangan

No.38/PMK.011/2013 tersebut PT XYZ pada kasus ini melakukan upaya manajemen

pajak guna memaksimalkan tagihan yang dikenakan PPN 10%. Hal ini dikarenakan

PPN masukkan yang dikeluarkan oleh pihak vendor-vendor baik vendor pihak ketiga

maupun vendor yang berasal dari perusahaan grup PT XYZ yang sejatinya merupakan

penyerahan yang tidak termasuk ke dalam kriteria freight forwarding tidak dapat

dkreditkan oleh PT XYZ. Padahal nantinya PT XYZ akan melakukan penagihan

kembali ke pihak consignee/buyer dalam hal ini sebagai customer dengan menyertakan

PPN yang DPP nya 10% dari penyerahan atas tagihan yang terkait pengurusan

transportasi dan jasa transportasi sehingga menyebabkan gap atas keuntungan bagi PT

XYZ atau bisa menjadi tanggungan buyer/consignee karena tarif yang meningkat jika di
9

lakukan mark up harga yang diakibatkan oleh adanya PPN masukan yang PPN nya 10%

dari penyerahan namun tidak dapat dikreditkan, terlebih lagi jika PT XYZ juga

memberikan jasa kepada forwarding lainnya. Peraturan tersebut juga memberikan celah

bagi para forwarder dengan secara tersirat membedakan pengenaan DPP atas jasa

transportasi dan jasa pengurusan transportasi sehingga memungkinkan bagi para

forwarder dalam melakukan manajemen pajak.

Berdasarkan kasus ini maka perumusan masalah yang akan diajukan adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya manajemen pajak atas PPN yang dilakukan oleh PT XYZ

group?

2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi PT XYZ group dalam melakukan

manajemen pajak atas PPN ?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian dari skripsi ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis upaya manajemen pajak dari segi PPN yang dilakukan oleh

PT XYZ.

2. Untuk menganalisis kendala-kendala yang dihadapi PT XYZ group dalam

melakukan manajemen pajak atas PPN.

1.4 Signifikansi Penelitian


10

Signifikasi penelitian ini mencakup hal signifikasi akademis dan signifikasi

praktis.

1.4.1. Signifikansi Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah dalampengetahuan mengenai

bagaimana cara melakukan manajemen pajak dari segi PPN serta penerapannya dalam

kegiatan usaha jasa freight forwarding. Penelitian ini juga dapat digunakan dalam

penelitian selanjutnya sebagai referensi dalam penelitian yang akan dilakukan dalam

rangka penelitian yang selanjutnya.

1.4.2 Signifikansi Praktis

Penelitian ini ditujukan dalam rangka memberikan arahan atau masukan bagi

perusahaan yang akan melakukan upaya manajemen pajak dalam jenis pengusaha

sejenis (freight forwarding company) sesuai dengan UU PPN No 42 Tahun 2009 dan

Peraturan Menteri Keuangan No. 121/PMK.03/2015.

1.5 Sistematika Penulisan

Berikut akan djelaskan bagaimana sistematika penulisan penelitian “Manajemen Pajak

atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa Freight Forwarding (Studi Kasus pada

PT XYZ Group)”:

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang penyusunan penelitian dan yang mendasari

pemilihan tema “Manajemen Pajak atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa

Freight Forwarding (Studi Kasus pada PT XYZ Group)”. Pada bab ini juga dijelaskan

mengenai pokok permasalahan, tujuan penelitian yang dilakukan, manfaat penelitian,

pembatasan penelitian, serta sistematika penulisan.


11

BAB 2 KERANGKA TEORITIS

Bab ini berisi tentang penelitian-penelitian sebelumnya mengenai penerapan PPN atas

jasa freight forwarding. Secara khusus pada bab ini juga dijelaskan lebih dalam

berbagai konsep yang berkaitan dengan apa itu PPN, prinsip pengenaan PPN,

Mekanisme pengkreditan PPN, Manajemen Pajak, hal yang perlu diperhatikan dalam

melakukan manajemen pajak atas PPN di perusahaan, serta pengertian hubungan antara

tax management dan Konsep KPI (Key Performance Indicator) dalam financial

performance perusahaan.

BAB 3 METODE PENELITIAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yangdigunakan dalam penelitian

terkait “Manajemen Pajak Atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa Freight

Forwarding Studi Kasus pada PT XYZ Group”, yaitu pendekatan penelitian, jenis

penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, informan, site penelitian, dan

keterbatasan penelitian.

BAB 4 GAMBARAN UMUM PT XYZ DAN ASPEK PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI ATAS FREIGHT FORWARDING

Bab ini akan menguraikan tentang perusahaan yang akan diteliti mulai dari sejarah

perusahaan, gambaran perusahaan, serta aspek legal PPN atas jasa freight forwarding.

BAB 5 ANALISIS MANAJEMEN PAJAK ATAS PPN PADA PT XYZ

GROUP

Bab ini akan menguraikan secara umum tentang upaya manajemen pajak dari segi PPN

yang dilakukan oleh PT XYZ group dalam rangka menghadapi peraturan terkait DPP
12

nilai lain atas penyerahan Jasa Transportasi yang didalam tagihannya terdapat biaya

transportasi serta menjelaskan tentang kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan

kegiatan manajemen pajak tersebut.

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini berisi simpulan dengan melakukan tinjauan terhadap bagian analisis,

sehingga pertanyaan atau permasalahan yang telah disusun di awal penelitian dapat

terjawab, serta dengan hasil penelitian ini bisa memberi masukan yang membangun

terhadap para pengusaha freight forwarding sejenis atas manajemen pajak yang

dilakukan oleh PT XYZ Group. Serta memberikan kemungkinan opsi lain bagi

pengusaha jasa freight forwarding dalam melakukan kegiatan manajemen Pajak atas

PPN.
13

BAB 2
KERANGKA TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

Sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas penelitian yang akan dilakukan

mengenai “Manajemen Pajak Atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa Freight

forwarding Studi Kasus Pada PT XYZ group”, penelitian ini dibuat dengan

berlandaskan penelitian-penelitian yang sudah ada terlebih dahulu. Tinjauan pustaka

dalam hal ini penelitian yang digunakansebagai referensi yaitu: Surya Manurung (2010)

dan Fachrul Rozi Nasution (2013). Tinjauan pustaka tersebut digunakan dengan tujuan

dalam rangka sebagai sebagai alat perbandingan dalam studi kasus yang dilakukan serta

dalam rangka membuka perspektif yang berbeda sehingga dapat menjelaskan secara

tepat sasaran dan komprehensif dalam menyelesaikan penelitian yang dilakukan.

Referensi pertama yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah

sebuah tesis yang ditulis oleh Surya Yohanes Manurung, seorang alumni program studi

Magister Akuntansi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang berjudul

“Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Jasa Freight Forwarding (Study

Kasus Pada PT. BBTI )”. Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk menganalisis

pengenaan PPN atas setiap transaksi jasa freight forwarding PT BBTI sehingga tidak

melanggar ketentuan pajak yang berlaku. Selanjutnya, referensi kedua yang menjadi

tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah sebuah skripsi yang ditulis oleh Fachrul

Rozi Nasution, seorang alumni program studi Administrasi bidang studi Administrasi

Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia yang berjudul
14

“Implementasi Kebijakan Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Bagi Perusahaan Freight Forwarding”. Penelitian tersebut memiliki beberapa tujuan

yaitu untuk mendeskripsikan perbedaan sebelum dan sesudah diterbitkannya kebijakan

nilai lain bagi perusahaan freight forwarding, untuk menganalisis implementasi

kebijakan penentuan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (tax base) tersebut pada

transaksi penyerahan perusahaan jasa freight forwarding, dan untuk mendeskripsikan

hambatan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan tersebut bagi pemerintah dan

industry jasa freight forwarding.

Berikut adalah tabel perbandingan penelitian yang dilakukan oleh peneliti

dengan penelitian-penelitian yang menjadi referensi dalam penelitian ini.

Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Penelitian

Penelitian I Penelitian II Penelitian III


Tesis Skrisi Skripsi
Nama Peneliti Surya Yohanes Fachrul Rozi Anisya Intaningtyas
Manurung Nasution
Tahun Penelitian 2010 2013 2018
Judul Penelitian Analisis Perlakuan Implementasi Manajemen Pajak
Pajak Pertambahan Kebijakan Nilai Lain Atas Pajak
Nilai Atas Jasa Sebagai Pertamnbahan Nilai
Freight Forwarding Dasar Pengenaan Perusahaan Jasa
(StudyKasus Pada Pajak Pertambahan Freight Forwarding
PT. BBTI ) Nilai Bagi (Studi Kasus pada PT
Perusahaan Freight XYZ Group)
Forwarding
Tujuan Penelitian Untuk menganalisis Untuk Untuk mengetahui
pengenaan PPN atas mendeskripsikan upaya manajemen
setiap transaksi jasa perbedaan sebelum pajak dari segi
freight forwarding PT dan sesudah PPN yang dilakukan
BBTI sehingga tidak diterbitkannya oleh PT
melanggar kebijakan nilai XYZ group dalam
ketentuan pajak yang lain bagi perusahaan memaksimalkan
berlaku. freight forwarding, pengkreditan PPN
untuk menganalisis serta untuk
15

implementasi memahami kendala


kebijakan dalam melakukan
penentuan nilai lain manajemen pajak atas
sebagai dasar PPN bagi PT XYZ
pengenaan pajak (Tax group.
Base) tersebut pada
transaksi penyerahan
perusahaan jasa
freight forwarding,
dan untuk
mendeskripsikan
hambatan yang
dihadapi dalam
implementasi
kebijakan tersebut
bagi pemerintah dan
industri jasa freight
forwarding
Pendekatan dan Kualitatif, Deskriptif Kualitatif, Deskriptif Kualitatif, Deskriptif
Jenis Penelitian
Hasil Penelitian 1. Tagihan dari pihak 1.Dari sisi Kelemahan
ketiga yang secara Kebijakan
langsung ditujukan ke a. Ada kesenjangan
pihak perlakuan perpajakan
konsumen/pemilik antara jasa
barang (tagihan yang pengiriman paket
bersifat dengan freight
Reimbursement) tidak forwarding
dikenakan PPN atas b. Belum ada
tagihan kejelasan peraturan
tersebut. Tagihan PPN mengenai
yang dikenakan perlakuan pajak bagi
hanya atas jasa freight forwarding
freight forwarding terutama dasar
yang diberikan oleh pengenaan pajak
forwarder. Lebih c. Belum adanya
lanjut, dalam tagihan kepastian hukum
tersebut tidak mengenai perlakuan
dilakukan pencatatan PPN atas jasa yang
dalam laporan dilakukan oleh freight
keuangan forwarding
forwarder karena d. Ada perbedaan
bukan termasuk pandangan pada
16

revenue yang industri


diperoleh Forwarder freight forwarding
itu sendiri. dalam pengenaan
2.Tagihan dari pihak PPN
ketiga yang terkait biaya
ditagihkan atas nama transportasi (freight
forwarder sehingga charges)
mengakibatkan 2.Dari sisi Kelebihan
forwarder membuat Kebijakan
tagihan baru kepada a. Keadilan atau
pemilik barang (Re- equity dalam
Invoicing) dikenakan peraturan
PPN atas seluruh perpajakan bagi
biaya penggantian freight forwarding
yang setelah
ditagihkan oleh pihak diterbitkannya PMK
ketiga ke 38
forwarder tersebut. b.Adanya kepastian
Lebih lanjut, biaya hukum bagi
atas tagihan yang perlakuan
ditagihkan oleh pihak PPN freight
ketiga ke forwarding
pihak forwarder c.Kemudahan
tersebut dicatat penghitungan PPN
di dalam laporan atas jasa yang
keuangan pihak dilakukan freight
forwarder karena forwarding
biaya tersebut dikarenakan jelasnya
dianggap sebagai DPP yaitu biaya
pendapatan forwarder transportasi (freight
itu charges)
sendiri. d.Tidak ada lagi
3. Transaksi jasa perbedaan pandangan
freight forwarding dalam industri freight
dimana ada marjin forwarding terkait
atas jumlah yang pengenaan PPN bagi
dimintakan dalam biaya transportasi
tagihan forwarder (freight charges)
dengan biaya 3.Dari sisi Teori
pengangkutan, Implementasi
biaya handling, biaya kebijakan Edward II
pergudangan, biaya a.Segi Sumber daya
adminitrasi, Pemerintah dan pihak
dan biaya lainnya freight forwarding
17

yang ada di dalam sama sama memiliki


tagihan dari pihak kompetensi dalam
ketiga dikenakan PPN melaksanakan
atas margin implementasi
tersebut dan dicatat kebijakan. Para
dalam laporan pemberi dan
keuangan pihak pelaksana kebijakan
forwarder karena memahami masing
dianggap sebagai masing perannya
pendapatan yang dalam implementasi
diterima oleh pihak kebijakan tersebut.
forwarder. Hal ini
terlihat dari hasil
wawancara yang
dilakukan oleh
Fachrul Rozi
Nasution yang
menyimpulkan bahwa
factor pendukung
sumber daya manusia
dalam proses
implementasi yaitu
kompetensi
implementor yang
telah terpenuhi.
b.Segi Birokrasi
Struktur birokrasi dari
pemerintah dan
asosiasi forwarding
baik dan tidak
berbelit
belit sehingga
implementasi
kebijakan tidak
terhambat
c. Komunikasi
Beberapa kendala
komunikasi terjadi
setelah kebijakan
tersebut terbit
sehingga
perlu adanya
komunikasi lebih
lanjut dari
18

pihak pemerintah
maupun pihak
asosiasi
secara timbal balik
meskipun sebelumnya
pada saat pemutusan
perlakuan kebijakan
sebenarnya
komunikasi tersebut
telah berjalan dengan
baik dari pihak
asosiasi
dengan pemerintah,
begitu pula
sebaliknya.
d. Disposisi
Proses implementasi
akan dapat berjalan
dengan baik sesuai
dengan harapan
karena masing
masing pihak
memberi respon
positif.
4. Hambatan menurut
Fachrul Rozi
Nasution
a. Dari sisi freight
forwarding
(i) Singkatnya waktu
penyesuaian
peraturan
bagi freight
forwarding
(ii) Selama kurun
waktu belum
terbitnya SE
33, freight forwarder
masih ragu terkait
dengan perlakuan
nilai lain untuk
komponen
reimbursement
(iii) Pemerintah
19

sebagai otoritas
pembuat kebijakan
hanya mencantumkan
undang undang
tentang pelayaran dan
angkutan di perairan
(ocean freight)
sebagai dasar
hukum
b.Dari sisi pemerintah
(i) Kurangnya
komunikasi pihak
freight forwarding
dengan pemerintah
setelah diterbitkannya
PMK 38 dan juga SE-
33 terkait tata cara
pelaksanaan dalam
perlakuan kebijakan
Nilai Lain

Alasan mendasar yang terjadi dalam rangka menjadikan kedua penelitian

tersebut sebagai referensi dikarenakan penelitian-penelitian tersebut merupakan

penelitian terdahulu dengan topik yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengenai

Manajemen Pajak atas Perusahaan Jasa Freight Forwarding yaitu sebuah studi kasus

pada PT XYZ Group. Pada kedua penelitian tersebut dijelaskan tentang transaksi-

transaksi yang dilakukan oleh perusahaan jasa freight forwarding tersebut sehingga

memberikan kemudahan dalam rangka menelaah kembali teori-teori yang berkenaan

dengan freight forwarding dalam perlakuan PPN atas jasa freight forwarding.

Penelitian-penelitian tersebut selanjutnya dapat menjadi acuan bagi penelitian ini

terlebih dalam rangka melakukan penelitian yang menjelaskan lebih spesifik tentang

upaya manajemen pajak serta kendala kendala atas kegiatan perusahaan jasa freight
20

forwarding dari segi perusahaan multinasional sesuai dengan tujuan penelitian yang

telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian penelitian sebelumnya dapat dilihat

dari pokok bahasan yang dibahas yaitu mengenai PPN atas freight forwarding.

Sementara itu, yang menjadi perbedaan tinjauan pustaka yang dijadikan sebagai

referensi tersebut dengan penelitian ini terlihat pada fokus penelitian. Fokus pada

penelitian ini lebih mengarah ke bagaimana upaya yang dilakukan oleh PT XYZ sebagai

perusahaan yang diteliti dalam rangka melakukan manajemen pajak atas PPN nya yang

berbeda dengan penelitian sebelumnya dimana penelitian tersebut hanya membahas

mengenai bagaimana penerapan PPN dan bagaimana implementasi PPN atas freight

forwarding tersebut. Sehingga hal ini yang menjadi dasar bahwa penelitian ini memiliki

signifikansi untuk diteliti.

2.2 Kerangka Teori

2.2.1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2.2.1.1 Konsep dan Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Rosdiana dan Irianto (2012 : 68) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak

penjualan yang dikenakan atas nilai tambah yang ada pada semua jalur produksi dan

distribusi (multiple stage levies) sehingga setiap pertambahan nilai yang berada dalam

jalur produksi serta distribusi tersebut dapat dipungut PPN. Nilai tambah merupakan

semua faktor produksi yang ada dalam jalur peredaran sebuah barang. Sebagai contoh:

bunga, sewa, upah kerja, serta biaya lainnya yang timbul dalam rangka meningkatkan

laba (The Addition Method). Menurut Alan Tait (1988), nilai tambah didefinisikan

sebagai :
21

“Value added is the value that a producer (whether a manufacturer, distributor,

advertising agent, hardresser, farmer, race horse trainer or circus owner) adds to his

raws, material or purchases (other than labor) before selling the new or improved

product or service.”

Selain itu, Gunadi (1999 : 99) juga berpendapat bahwa pengenaan pajak tersebut

pada dasarnya dikenakan pada tingkat kemampuan masyarakat untuk melakukan

konsumsi yang dikenakan secara tidak langsung bagi para konsumen, sehingga para

pengusaha/penjual yang melakukan kegiatan penyerahan barang dan jasa akan

memperhitungkan pajaknya di dalam harga jual barang dan jasa tersebut. Atau disebut

pajak konsumsi (Tax On Consumption). Lebih lanjut, Rosdiana dan Irianto

menyimpulkan bahwa PPN dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu: pertambahan nilai (upah

dan keuntungan) serta dari selisih output (harga penjualan) dikurangi input (harga

pembelian). Sehingga atas nilai tambah ini dikenakan PPN (Direct Substraction

Method). Berikut gambarannya :

Value Added = Wages + Profit = Output -

Gambar 2.1 Definisi Pajak


InputPertambahan Nilai
Sumber : Teori Pajak Pertambahan Nilai, Kebijakan dan Implementasinya di Indonesia.

P. 66-68

Jika dilihat dari perlakuan PPN di indonesia, maka metode yang digunakan

dalam menentukan value added serta pengenaan PPN nya digunakan metode Indirect

Substraction Method. Mirip dengan substraction method, metode ini melakukan seluruh

tahapan yang dilakukan dalam indirect substraction method. Yang membedakan metode

ini adalah mekanisme pengkreditan PPN dimana PPN atas penjualan dikurangi dengan
22

PPN atas pembelian barang/jasa sehingga PPN terutang menjadi lebih kecil.

(mekanisme PK-PM)

Berdasarkan legal character menurut Rosdiana,Irianto, Putranti (2011: 44-50)

PPN secara karakteristik dapat digambarkan sebagai berikut :

1. General

PPN merupakan pajak konsumsi yang bersifat umum. Pengertian secara umum

ini digunakan dalam rangka membedakan PPN dengan cukai karena cukai dikenakan

pada kasus yang spesifik. Seperti pada rokok, miras, dan lain-lain. Lebih lanjut, PPN

dikenakan atas semua pengeluaran masyarakat secara keseluruhan tanpa membedakan

baik pengeluaran tersebut merupakan barang ataupun jasa selama pengeluaran tersebut

dipergunakan dalam rangka konsumsi.

2 Indirect Tax

PPN merupakan pajak tidak langsung (indirect tax). Pengertian tentang pajak

tidak langsung ini dikarenakan pajak tersebut tidak dibebankan secara langsung kepada

satu pihak melainkan beban pajak tersebut dialihkan kepada pihak lain. Prinsip

penghalihan beban pajak ini dapat berupa backward shifting ataupun forward shifting.

Peralihan beban pajak pada PPN dilakukan dengan forward shifting dimana pajak

tersebut dialihkan bebannya kepada konsumen. Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005)

pajak tidak langsung ditanggung oleh konsumen tetapi pihak yang bertanggung jawab

secara administratif dalam rangka memungut, menyetor serta melaporkan pajak yang

terutang adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP).

3. Atas Dasar Konsumsi (On Consumption)

Menurut kriteria ini PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi (tax on

consumption) dimana konsumsi merupakan biaya yang dikeluarkan baik dalam bentuk barang
23

maupun jasa tanpa membedakan cara penggunaannya baik secara langsung maupun bertahap.

Lebih lanjut, PPN dikenakan terhadap penyerahan baik dalam negeri maupun kegiatan impor.

4. Non Cumulative

Kriteria non cumulative ini ada dikarenakan PPN hanya dikenakan atas nilai

tambah, hal ini disebut sebagai kelebihan dari PPN jika dibandingkan dengan pajak

penjualan karena tidak menimbulkan cascade effects bagi barang yang telah dikenakan

PPN. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme pengkreditan atas PPN masukkan

sehingga PPN hanya dikenakan atas nilai tambah dari barang/jasa tersebut

5. PPN adalah pajak objektif

Menurut Untung Sukardji (2012:3) objektivitas PPN terlihat dari timbulnya

beban pajak didasarkan pada adanya objek pajak tersebut. Sementara itu, menurut

Haula, Irianto dan Putranti (2011 : 81) Pajak objektif adalah suatu prinsip sudut

pandang pajak dimulai berdasarkan objek itu sendiri seperti keadaan, peristiwa,

perbuatan dan lain-lain lalu atas objek tersebut dilakukan pencarian terhadap

subjek/individu yang harus memikul tanggung jawab atas beban pajak tersebut. Berbeda

dengan pajak objektif, pajak subjektif terlebih dahulu melihat sudut pandang

subjek/individu yang harus memikul tanggung jawab atas beban pajak lalu melihat

keadaan, peristiwa, perbuatan dan lain lainnya. Jika ditarik ke prinsip PPN maka bisa

dikatakan bahwa PPN adalah pajak objektif.

6. PPN bersifat Multi Stage Levy

Multi stage levy merupakan pengertian bahwa pada setiap mata rantai jalur

produksi dan jalur distribusi barang kena pajak atau jasa kena pajak dikenakan PPN.

Untung Sukardji (2012:5)


24

7. PPN Indonesia Menganut Tarif Tunggal (Single Rate)

Tarif tunggal di indonesia menurut Untung Sukardji (2012:11) menjelaskan

bahwa berdasarkan UU PPN tahun 1984 tarif PPN di indonesia dikenakan sebesar 10%

UU tersebut juga menyebutkan bahwa tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi

15% dan paling rendah menjadi 5%. Namun dalam pelaksanaanya konsep mengenai

tarif tunggal ini sedikit terkaburkan dengan adanya peraturan mengenai pengenaan DPP

nilai lain sesuai dengan PMK 75 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah menjadi PMK

121 Tahun 2015 tentang nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Dimana secara aktual

tarif tersebut tidak diubah namun DPP nya diubah.

8. Penghitungan PPN Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Menggunakan

Indirect Substraction Method.

Pengertian mengenai penggunaan Indirect Substraction Method ini

dikemukakan oleh Untung Sukardji (2012:5) bahwa mekanisme pengurangan pajak atas

perolehan dengan pajak atas penyerahan barang dan jasa untuk mendapatkan angka

yang tepat untuk di laporkan ke kas negara atau bisa disebut dengan mekanisme Pajak

Keluaran-Pajak Masukan. Menurut Gunadi (2011 : 102-103) Ketentuan dalam hal

pengkreditan PPN di dalam regulasi pemerintah secara umum mengatur tentang:

1) Pajak Masukkan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak Keluaran yang

dipungut dalam masa pajak yang sama

2) Maksimal pengkreditan pajak masukkan adalah 3 bulan setelah penerbitan faktur

pajak keluaran selama belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan

pembukuan atau telah dilakukan pemeriksaan atas penyerahan yang telah dibuktikan

bahwa faktur pajak tersebut telah diakui dan faktur pajaknya terlambat diterima.
25

3) Keterlambatan atas pengkreditan PPN dapat diperbaiki dengan melakukan

pembetulan SPT PPN.

4) PPN masukan dapat dikreditkan meskipun belum ada pajak keluaran yang di

laporkan di SPT PPN

5) Dalam pengisian faktur pajak sebaiknya taat aturan sesuai dengan UU PPN sehingga

dapat dikreditkan sebagai pajak masukan

6) Dalam rangka penyerahan yang terjadi atas dasar penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, maka PPN masukan yang belum di

kreditkan dapat dikreditkan selama belum diakui sebagai biaya PPN ataupun

dikapitalisasi. Menurut Haula, Irianto dan Putranti (2011 : 82) PPN sebenarnya tidak

terlepas dari 2 prinsip pemungutan pajak yaitu witholding tax dan self assesment dimana

dalam witholding tax kewajiban memungut, menyetor serta melaporkan PPN yang

terutang dilakukan oleh penjual jika penyerahan tersebut dilakukan di indonesia.

Sementara itu, dalam self assessment konsumen adalah pihak yang memungut sendiri

PPN yang terutang, menyetorkan serta melaporkan PPN tersebut jika transaksi tersebut

terjadi di luar indonesia. Selain itu, Self assesment juga diterapkan dalam penyerahan

kepada bendaharawan serta kegiatan membangun sendiri.

2.2.2. Konsep Manajemen Pajak (Tax Management)

Wajib pajak melakukan strategi dalam mengantisipasi kebijakan pajak serta

mengurangi beban pajak (tax burden). Hal ini disebut sebagai Tax Planning. Tax

planning menurut Barry Spitz (1983 : 15) dalam adalah “arrangement of business and

personel affairs in such a way as to attract the lowest possible incindence of tax” and
26

“pre arrangement of facts in the most tax favored way.” Teori Barry tersebut dapat

diartikan bahwa perencanaan pajak adalah suatu proses dengan memperhatikan segi

perpajakan dan non perpajakan dimana hal terebut signifikan sehingga memiliki

pengaruh dalam menentukan apakah, kapan, bagaimana serta dengan siapa melakukan

transaksi, kegiatan dan hubungan. Hal ini secara spesifik memiliki tujuan untuk

memaksimalkan pajak atas objek dan subjek pajak dalam rangka mengamankan laba

perusahaan. Barry dan Miles (1980) juga menjelaskan bahwa latar belakang dari

kegiatan tax planning adalah tarif pajak. Yaitu : “the heavier the burden, the stronger

the move and the wider the scope for tax avoidance, since the taxpayer may avoid the

higher rates of tax while still remaining liable to the lower”. Yang jika diartikan secara

keseluruhan adalah bahwa sebenarnya wajib pajak tidak menghindari pajak namun

dengan adanya tarif pajak tersebut menyebabkan penurunan dari penghasilan para wajib

pajak. Dengan didasari hal tersebut wajib pajak berusaha untuk mencapai titik terendah

bagi beban pembayaran pajaknya.

Menurut Darussalam (2011) tax planning adalah upaya wajib pajak dalam

rangka meminimalisir pajak melalui skema yang memang jelas diatur dalam peraturan

perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara wajib

pajak dan otoritas pajak. Selain itu dalam hal fleksibilitas Hutagaol, Darussalam &

Septriandi (2007 : 216) berpendapat bahwa perencanaan pajak sebaiknya fleksibel

sehingga dapat disesuaikan dengan perubahan yang ada seperti perubahan tarif pajak

ataupun prosedur dalam revaluasi aktiva tetap. Tax Planning menurut Zain (2008 : 43)

adalah sebuah proses dalam mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib

pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-
27

pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini

dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun

secara komersial. Sehingga Santoso, dan Rahayu (2013 : 17) menyimpulkan bahwa Tax

Planning dilakukan dengan memanfaatkan kekurangan undang-undang maupun

peraturan tentang perpajakanbukan dalam rangka mengurangi kesanggupan wajib pajak

dalam memenuhi kewajiban serta melunasi utang pajaknya melainkan hanya

mengurangi beban pajak yang dilakukan secara legal. Secara teori, menurut Hoffman

(1961) tax planning didefinisikan sebagai effective tax planning, dimana seorang wajib

pajak berusaha mendapatkan penghematan pajak (tax saving) melalui prosedur

penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai dengan ketentuan undang-

undang perpajakan (Ompusunggu, 2011:3). Tax saving atau penghematan pajak itu

sendiri menurut Zain (2003:51) merupakan usaha dalam memperkecil utang pajak yang

tidak termasuk dalam ruang lingkup pemajakan. Pada umumnya perencanaan pajak (tax

planning) ini ditekankan pada upaya meminimalisir beban pajak. Hal ini dilakukan bisa

melalui pemaksimalan biaya usaha (deductible) yang secara kasat mata dalam undang-

undang diperbolehkan atau dengan mengupayakan sehingga penghasilan dapat

dikonversikan yang semula merupakan objek pajak menjadi bukan objek pajak ataupun

penghasilan yang dikenakan PPh (Pajak Penghasilan) final. Selanjutnya menurut

Ompusunggu (2011 : 17) berbagai celah-celah kekosongan (loopholes), baik nyata

maupun dalam area abu-abu (grey area), terdapat dalam ketentuan pasal-pasal undang-

undang perpajakan dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk meminimalkan beban

pembayaran pajak. Sehingga pemanfaatan grey area dan loopholes dapat digunakan

juga
28

dalam rangka perencanaan pajak. Lumbantoruan (1996) menyebutkan bahwa ada tiga

hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak. Ketiga hal itu adalah

sebagai berikut:

a. Tidak melanggar ketentuan perpajakan untuk menekan resiko pajak yang mengancam

keberhasilan perencanaan pajak tersebut

b. Secara bisnis masuk akal, karena perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari perencanaan menyeluruh (global strategy) perusahaan, baik jangka

panjang maupun jangkapendek.

c. Bukti – bukti pendukung harus memadai. Misalnya dengandukungan perjanjian

(agreement), faktur (invoice), dan jugaperlakuan akuntansinya.Sejalan dengan konsep

tax planning/perencanaan pajak, para ahlimemberikan definisi yang lebih luas mengenai

ruang lingkup manajamenpajak karena manajemen pajak tidak hanya merupakan

perencanaan pajak (tax planning) saja namun juga berarti melakukan pengorganisasian,

pengarahan, pengkordinasian terhadap perpajakan (Ladiman Dzaiz 1997). Pengertian

Manajemen pajak menurut Suandy (2006 : 7) adalah suatu cara dalam memenuhi

kewajiban perpajakan dengan benar dengan terlebih dahulu melakukan penekanan

dalam jumlah pajak yang bertujuan untuk memperoleh laba dan likuiditas yang

diharapkan. Sementara itu menurut Hutagaol, Darussalam, dan Septriandi (2007 : 215)

manajemen pajak adalah sebuah proses dalam melaksanakan kewajiban serta hak nya di

bidang perpajakan secara efektif dan efisien dengan melakukan perencanaan,

implementasi, serta pengendalian untuk mengurangi pemborosan serta dapat

memperhatikan kegiatan usaha secara lebih detail. Selain itu, Rahayu dan Santoso (2007

: 22) mendifinisikan tax management sebagai suatu usaha dalam memberikan kontribusi
29

maksimum bagi kelangsungan usaha wajib pajak tanpa mengorbankan penerimaan

negara dengan melakukan usaha menyeluruh yang dilakukan secara terusmenerus oleh

wajib pajak agar kegiatan dalam lingkup perpajakan dapat diatur dengan baik,

ekonomis, efektif serta efisien. Tujuan dari manajemen pajak adalah dalam rangka

meminimalisir ataupun memperbaiki beban pajak yang terlanjur ada. Hal ini dapat

ditempuh dengan melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyeludupan

pajak (tax evasion). Menurut Rahayu & Santoso (2007 : 24) tujuan pokok dari

manajemen pajak yaitu :

1. Secara finansial-mikro tujuan dari manajemen pajak adalah untuk meminimalisir

beban/utang pajak

2. Secara organizational-makro tujuan dari manajemen pajak adalah untuk

memaksimalkan laba setelah pajak yang secara praktis dengan meminimalisir kejutan-

kejutan jika terjadi pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak serta memenuhi kewajiban

perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Zain

(2003 : 66), tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai dengan memaksimalkan fungsi

dari perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota

organisasi dan proses penggunaan semua sumber daya organisasi.

2.2.2.1 Konsep Tax Avoidance & Tax Evasion

Chelvathurai (1985 : 5-8) mendefinisikan tax avoidance dan taxevasion sebagai dua

pengertian berikut ini :

“Tax avoidance is used to denote the reduction of tax liability thruoh legal means. In

extended or pejorative sense, however, the terms is also used to describe tax reductions

achieved by artificial arrangements of personal or


30

business affairs by taking advantage of loopholes and anomalies in the law”.

“Tax evasion is usually defined as the reduction of tax by illegal means, including the

ommision of taxable income or transaction from taxdeclaration by fraudulent means”.

Sementara itu menurut Balter dalam Zain (2003 : 49) penyeludupan pajak (Tax

Evasion) adalah usaha dalam rangka mengurangi atau menghapus utang pajak yang

dilakukan oleh wajib pajak baik berhasil atau tidak dimana berdasarkan ketentuan yang

berlaku dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan/undang-undang perpajakan.

Sementara itu penghindaran pajak (tax avoidance) adalah sebuah usaha yang sama

dengan tax evasion namun tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Berdasarkan konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tax avoidance

berbeda dengan tax evasion. Vanistendael dalam Irfansyah (2010) juga menjelaskan

pengertian tentang tax avoidance bahwa : “Tax avoidance is perfectly legal, because

most countries recognize the rights of tax payer to arrange his affairs in such a way to

pay less tax.” Yang berarti kegiatan penghindaran pajak itu pada dasarnya legal karena

kebanyakan negara memahami hak dari pembayar pajak untuk mengatur pembayaran

pajaknya dalam rangka membayar pajak secara optimal. Pendapat Vanistendael ini

berkaitan dengan sistem perpajakan di indonesia yang menganut Self-assesment dimana

kita diperbolehkan untuk menghitung besaran pajak terutang kita sendiri (Djuanda dan

lubis, 2002 : 65). Menurut Slamet (2007 : 8) dalam Darusallam, tax avoidance

umumnya menyangkut kegiatan yang masih berada di dalam koridor hukum namun

tidak berdasarkan bonafide dan adequate consideration atau berlawanan dengan tujuan

dari pembuat undang-undang. Indrayagus Slamet juga menyebutkan bahwa tax

avoidance dibagi menjadi dua yaitu penghindaran pajak yang diperkenankan


31

(acceptable tax avoidance), dan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan

(unacceptable tax avoidance) yang dikenal di negara lain sebagai penghindaran pajak

yang diperkenankan (defensive tax planning) dan penghindaran pajak yang tidak

diperkenankan (aggressive tax planning). Setelah memahami tentang pengertian tax

avoidance dan tax evasion kita perlu memahami mengapa para wajib pajak melakukan

penghindaranpajak. Menurut Hutagaol, Darussalam & Septriandi (2007 : 218)

penghindaran pajak dilakukan karena :

a. Adanya peluang untuk melakukan penghindaran pajak (level ofopportunity) karena

belum adanya peraturan yang mengatur dengan jelas

b. Kemungkinan perbuatannya diketahui relatif kecil (level of detection)

c. Manfaat yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan resikonya (level of benefit

compared with risk)

d. Sanksi perpajakannya tidak terlalu berat (level of fine)

e. Ketentuan peraturan perpajakan tidak berlaku sama bagi wajib pajak (level of playing

fields)

f. Bervariasinya pelaksanaan penegak hukum (level of law enforcement) Oleh karena

itu, sebenarnya tax avoidance dan tax evasion menurut Gunadi (2007) pengertiannya

dapat disimpulkan sebagai berikut: penghindaran pajak (tax avoidance) melibatkan

komersialiasi dan pemanfaatan efektif kebijakan pajak yang legitimate dan deviasi

teknis dan ambiguitas dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu,

penyeludupan pajak (tax evasion) terutama terjadi dengan penghilangan atau kurang

melaporkan objek pajak yang kadangkala didukung dengan rekayasa legal, akuntansi

dan administratif lainnya.


32

2.2.2.2 Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan Manajemen Pajak

atas PPN dalam rangka fungsi dan Tujuan Manajemen Pajak

Sebenarnya tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsifungsi

manajemen pajak yang menurut Suandy (2008:6) menyebutkan bahwa tujuan dari

manajemen pajak ada dua yaitu: dengan menerapkan peraturan perpajakan secara benar

dan usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. Dimana kedua

hal tersebut dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari:

1. Perencanaan pajak (tax planning);

2. Pelaksanaan kewajban perpajakan (tax implementation); dan

3. Pengendalian pajak (tax control).

Sebagai salah satu fungsi tax management yaitu tax planning sebaiknya kita

perlu memperhatikan beberapa langkah yang menurut Zain (2003 : 70) merupakan

tahapan-tahapan yang perlu dilakukan sebelum melakukan manajemen pajak yaitu :

1. Menetapkan tujuan atau sasaran dalam manajemen pajak

2. Melihat kondisi saat ini dan mengidentifikasi faktor pendukung serta penghambat

tujuan manajemen pajak

3. Pengembangan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan yang

dilakukan.

Menurut Santoso dan Rahayu (2013 : 36) berikut beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam rangka penyusunan strategi manajemen pajak :

1) Fakta Fakta yang relevan

Sebagai seorang advisor/penasihat/konsultan pajak, kita perlu menguasai situasi yang

sedang terjadi di lapangan secara menyeluruh dalam informasi


33

keuangan perusahaan yang akan melakukan tax planning.

2) Faktor-Faktor Perpajakan

Dalam melakukan tax planning, wajib pajak harus mengetahui apa saja yang akan

dihadapi dalam konteks kewajiban perpajakannya baik dalam aspek lokal maupun luar

negeri.

3 ) Faktor Faktor Non-Pajak

Selain aspek pajak, para pengusaha juga perlu memperhatikan aspek non pajak seperti

status badan hukum perusahaan tersebut (legal entities), mata uang (currency), sistem

pengawasan devisa (exchange control), program insentif investasi (investment incentive

programs), sistem peradilan hukum pajak serta administrasi negara, stabilitas ekonomi

dan politik negara, topografi tenaga kerja dan tingkat pengangguran, pasar (market),

fasilitas perbankan banking facilities, iklim usaha (business climate), bahasa (language).

Sistem akuntansi dan pembukuan (accounting and bookeeping systems). Ketiga faktor

tesebut adalah aspek yang perlu diperhatikan sebelum melakukan tax planning sehingga

tujuan dari tax planning tersebut dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dalam rangka

konsep tax implementation, Santoso & Rahayu (2013 : 246) juga menyebutkan tentang

tips yang dapat dilakukan bagi wajib pajak dalam

rangka manajemen pajak pada PPN yaitu :

1) Penghindaran pre-financing PPN bagi para penjual yang sudah dikukuhkan sebagai

PKP (Pengusaha Kena Pajak). Hal ini dilakukan dengan cara meminimalisir

keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli yang juga PKP dalam

membayar PPN guna meningkatkan cashflow perusahaan agar dapat membayarkan PPN

terutang saat akhir


34

masa PPN tersebut.

2) Optimalisasi PPN Masukan untuk dikreditkan oleh pembeli yang sudah PKP. Dengan

melakukan optimalisasi atas PPN masukan diharapkan dapat meningkatkan recovery

cost atas pajak yang telah dibayarkan dikarenakan jika PPN masukan hanya dijadikan

biaya PPN maka atas biaya tersebut hanya dapat dipulihkan sebesar 25% sesuai dengan

ketentuan PPh badan.

3) Melakukan Pemusatan PPN terutang. Dalam rangka mengurangi

kerumitan pelaporan dan pengelolaan arus kas secara efektif maka PKP dapat

melakukan pemusatan terhadap PPN terutangnya. Hal ini sesuai dengan UU PPN pada

pasal 12 ayat (2) yang menjelaskan bahwa PKP dapat melakukan pemusatan PPN jika

memiliki cabang kegiatan usaha lebih dari 1.

4) Dalam melakukan Klaim Pengembalian (Restitusi) PPN perlu diperhatikan data-data

terkait pengajuan restitusi secara lengkap dan benar serta mempersiapkan dokumen

pendukung yang lengkap pula. Lebih lanjut, kita perlu proaktif dalam menindaklanjuti

proses pemeriksaandalam rangka restitusi tersebut seperti dalam rangka konfirmasi PPN

ke vendor.

5) Dalam rangka Rekonsiliasi/Ekualiasasi PPN sebaiknya kita perlu memperhatikan

hasil audit dari pihak independen dan laporan keuangan kita yang dilaporkan dalam

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan (SPT PPh) sehingga tidak

terjadi missing antara penjualan yang kita laporkan pada SPT PPh dan SPT PPN.

Rekonsiliasi dilakukan dalam rangka membuktikan bahwa sebenarnya perbedaan

tersebut berasal dari internal perusahaan kita agar tidak dianggap tidak memungut PPN

jika penjualan di SPT PPN lebih besar daripada yang kita laporkan di SPT PPh ataupun
35

tidak melaporkan seluruh penghasilan kita jika penjualan di SPT PPh lebih besar dari

pada yang dilaporkan di SPT PPN.

6) Fasilitas (insentif) di bidang PPN. Kita harus lebih jeli dalam hal memahami

peraturan terhadap fasilitas PPN yang ada seperti PPN tidak dipungut dan PPN

dibebaskan. Atas PPN keluaran dengan insentif tersebut secara pajak kita tidak perlu

melakukan pembayaran PPN karena tarif yang diberikan adalah sebesar 0% namun

yang membedakan kedua fasilitas tersebut adalah kita dapat melakukan pengkreditan

PPN masukan atas fasilitas dipungut sementara untuk PPN dibebaskan kita tidak dapat

melakukan pengkreditan pajak masukannya.

7) PPN ditanggung (dibayar) oleh pemerintah. Selain insentif PPN tidak dipungut

ataupun dibebaskan, dikenal pula insentif PPN ditanggung (dibayar) pemerintah.

Insentif ini diberikan bagi PKP penjual yang memberikan barang ataupun jasanya ke

pihak pemerintah. Dalam hal memanfaatkan insentif ini perlu dilakukan analisa kembali

atas kelengkapan data dari pihak PKP pembeli (pemerintah) maupun dari pihak penjual

sendiri dalam rangka penerbitan PPN keluaran agar pihak penjual dapat terhindar dari

sanksi jika kita dianggap melakukan penyalahgunaan insentif tersebut. Setelah

menjalankan fungsi tax implementation maka dalam rangka menelaah kembali

kewajiban perpajakan kita perlu adanya fungsi tax controlling. Fungsi ini dapat

dilakukan dengan proses telaah perpajakan. Pelaksanaan telaah perpajakan tersebut

dapat dilakukan secara internal atau pun dengan cara mengundang konsultan pajak

dalam hal ini pihak eksternal. Nama yang sering muncul dalam istilah tax controlling

adalah tax diagnostic review ataupun tax due dilligence. Tujuan dari kegiatan ini pada

dasarnya adalah untuk menelaah kembali kewajiban perpajakan yang telah dilakukan
36

selama satu tahun pajak. Hasilnya biasanya berupa temuan potensi utang pajak dan

rekomendasi untuk perbaikan. (Budi 2013 : 36). Dalam hal ini, jika ditarik dari segi

PPN maka perlu di review lagi apakah kewajiban atas pelaporan serta pengenaan PPN

yang dilakukan selama setahun masa telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan

nantinya akan berbuah semacam perbaikan yang dilakukan di akhir tahun pajak.

2.2.3. Hubungan antara Tax Management dan Konsep KPI (Key Performance

Indicator) dalam Financial Performance perusahaan

Menurut Kuncoro (2007:151) kinerja adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh

struktur dan perilaku industri di mana hasil biasa diidentikkan dengan besarnya

penguasaan pasar atau besarnya keuntungan suatu perusahaan di dalam suatu industri.

Fisher Schoenfeldt dan Shaw (2006) juga berpendapat bahwa selalu meningkatkan

kinerja dan mempertahankan faktor-faktor yang menjadi keunggulan bisa menjadi alat

kompetisi sebagai sebuah organisasi yang dinamis. Tolak ukur efektifitas kinerja

menurut Hansen dan Mowen (2004) dapat dilihat dari input dan output atas aktivitas

yang dilakukan. Tolak ukur dari kinerja aktivitas tersebut bisa berbentuk keuangan

maupun non keuangan. Ukuran kinerja aktivitas berpusat pada tiga dimensi yaitu :

1) Efisiensi

Efisiensi berfokus pada hubungan antara input dan output aktivitas.

Contoh : Dengan menghasilkan output aktivitas yang sama dengan biaya lebih rendah

dari input yang digunakan adalah cara untuk memberbaiki efisiensi aktivitas.

2) Kualitas
37

Kualitas dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan secara benar pada saat pertama kali

dikerjakan karena dengan melakukan pengulangan menyebabkan tambahan biaya serta

menyebabkan turunnya efisiensi

3) Waktu

Waktu juga merupakan hal yang penting dalam melakukan suatu aktivitas, lebih banyak

waktu menyebabkan lebih banyak biaya serta lebih sedikit kemampuan dalam

melakukan aktivitas tersebut sehingga menyebabkan lambannya respon dalam

menghadapi pelanggan. Didalam perusahaan biasanya kinerja diukur dengan

menggunakan key performance indicator sebagai indikator dalam melihat performa

perusahaan tersebut. Hal ini menurut Parmenter (2007 : 3) Key Performance Indicator

(KPI) didefinisikan sebagai “a set of measures focusing on those aspects of

organizational performance that are the most critical for the current and future success

of the organization.” Sebuah paket pengukuran yang berfokus pada aspek performa

organisasi yang paling kritikal pada saat ini maupun untuk kesuskesan masa depan dari

organisasi tersebut. Ramyakim (2009 : 53) berpendapat bahwa key performance

indicator (KPI) pada suatu kegiatan dapat digunakan jika memenuhi syarat sebagai

berikut :

1) Jika terkait dengan pencapaian tujuan dari perusahaan baik secara langsung maupun

tidak langsung.

2) Dapat dicapai oleh orang/unit yang melakukan

3) Dapat diukur

4) Merupakan kegiatan yang dikendalikan


38

Ramyakim (2009 : 53 ) juga menyebutkan bahwa penetapan terhadap key

performance indicator ini sendiri dimulai dengan mengambil contoh dari level

perusahaan, lalu dilakukan diskusi dengan pihak manajemen divisi maupun departemen

yang akan dilakukan evaluasi sehingga mendapatkan key performance indicator yang

paling sesuai bagi setiap divisi. Setelah setiap bagian maupun divisi memiliki key

performance indicator, maka dilakukan review kembali agar secara menyeluruh key

performance indicator tersebut berbanding lurus antar divisi dan bagian baik secara

vertikal maupun horizontal dan saling terintegrasi satu sama lain.

Pengukuran kinerja sendiri terdiri atas pengukuran kinerja finansial dan non

finansial. Sistem pengukuran terhadap kinerja finansial (financial performance

measurement) merupakan suatu kunci dalam rangka mengembangkan perencanaan yang

strategis, mengevaluasi pencapaian tujuan dari organisasi, serta bagi tujuan manajer itu

sendiri. Menurut Venanzi (2012 : 9) “The measurement of financial performance

interms of accounting-based ratios has been viewed as inadequate, as firms began

focusing on shareholder value as the primary long-term objective of the organization.

Hence, value-based metricswere devised that explicitly incorporate the cost of capital

into performance calculations” yang berarti sebenarnya pengukuran terhadap kinerja

finansial masih dianggap kurang karena perusahaan biasanya lebih berfokus kepada

nilai pemegang saham dimana merupakan tujuan jangka panjang yang utama bagi

organisasi. Oleh sebab itu, pengukuran dilakukan dengan memasukkan biaya modal

dalam perhitungan kinerja tersebut. Linge & Schiemann (1996) juga menjelaskan

bahwa “good measurement is essential to good management” artinya dengan

pengukuran yang baik itu penting dalam manajemen yang baik. Sehingga dengan
39

melakukan pengukuran terhadap nilai ekonomis dari perusahaan dapat membantu para

pemilik saham dalam menentukan kebijakan di perusahaannya.

2.3 Kerangka Pemikiran


40

Anda mungkin juga menyukai