Uts Metodologi Penelitian Intan
Uts Metodologi Penelitian Intan
BAB 1
PENDAHULUAN
Penerimaan negara dalam bidang pajak tidak terlepas dari kegiatan ekspor
impor, hal ini didasari dengan pengenaan tarif pajak atas penyerahan yang dilakukan
sebagai kaitannya dalam kegiatan ekspor impor. Peraturan tentang tatacara penyetoran
penerimaan negara dalam kegiatan ekspor impor ini diatur dalamPeraturan Menteri
merupakan salah satu jenis usaha yang memiliki peran penting bagi kegiatan ekspor
maupun impor. Hal tersebut juga dapat dilihat dari jenis jasanya, freight forwarding
secara garis besar meliputi pemberian jasa transportasi barang dari pelabuhan asal ke
destinasi.
kegiatan pengiriman barang agar barang yang dikirimkan dapat sampai ke tangan
pemakai jasa dalam waktu yang diinginkan. Hal mengenai peraturan tentang usaha ini
diatur dalam UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang
secara spesifik disebutkan pada pasal 4 angka 2 huruf k tentang Jasa Transportasi. Jasa
kegiatan ekspor maupun impor. Data dari Badan Pusat Statistik menampilkan kegiatan
jasa freight forwarding meliputi beberapa aspek pekerjaan yang mencakup kegiatan
angkutan, klaim asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-
dengan pengiriman barang sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak
ingin melakukan kegiatan pengiriman barang baik didalam negeri maupun di luar
negeri. Sehingga dapat dikatakan memiliki pengaruh dalam kegiatan ekspor impor
3
karena apabila perusahaan jasa freight forwarding tidak ada maka proses pengiriman
pengangkutan, dan serta penerimaan barang mulai dari menggunakan angkutan darat,
laut maupun udara serta pengurusan dokumen legalitas berdasarkan peraturan negara
pengirim maupun negara penerima. Dalam beberapa kasus seperti PT XYZ, pengusaha
freight forwarding juga dapat menyediakan jasa yang dilakukan oleh para pengusaha
pengusaha jasa freight forwarding saja, namun juga sebagai pengusaha trucking
(Pengangkutan).
dapat juga melakukan kegiatan seperti jasa penyewaan gudang (Warehousing), serta
jasa pendistribusian (Distributing) karena kegiatan tersebut juga masih dalam ranah
jenis jasa pada jenis perusahaan freight forwarding. Hal tersebut dapat tergambar dalam
impor diperlukan beberapa tahapan mulai dari pemesanan yang dilakukan dari pihak
shipper sampai barang tersebut sampai di tangan consignee/buyer. Jika ditarik ke jasa
yang diberikan oleh perusahaan freight forwarding, keterlibatan perusahaan jasa freight
forwarding (forwarder) ada pada seluruh aspek kegiatan usaha dalam proses ekspor
impor karena forwarder berperan sebagai pemegang kendali dokumentasi antar pihak
shipper, PPJK (Perusahaan Pengurus Jasa Kepabeanan), shipping line, sampai dengan
pihak consignee/Buyer. Dalam beberapa kasus seperti pada PT XYZ group pihak
consignee bisa jadi hanyalah parent company dari pihak buyer. Jadi consignee hanya
buyer.
jasa freight forwarding dan supply chain management seperti trucking, warehousing,
dan distributing. Dengan mengandalkan link dari pemakai jasa di luar negeri yang
international telah memenangkan tender dengan perusahaan asing dalam hal ini dengan
Jika dilihat dari segi PPN, penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan freight
forwarding sudah diatur pengenaan tarifnya oleh pemerintah. Hal mengenai ketentuan
ini dituangkan dalam bentuk Undang Undang No 42 Tahun 2009 yaitu Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang mengatur tentang
pengenaan PPN atas penyerahan barang kena pajak (selanjutnya disebut dengan BKP)
atau Jasa Kena Pajak (selanjutnya disebut JKP) yang dilakukan dari dalam/luar daerah
75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Serta peraturan
internal DJP (Direktorat Jenderal Pajak) terbaru mengenai pengenaan PPN atas jasa
freight forwarding yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) pendukung Peraturan
bahwa atas jasa freight forwarding dikenakan PPN dengan dasar pengenaan pajak nilai
lain sebesar 10% dari harga penyerahan jasa pengurusan transportasi yang didalamnya
perusahaan jasa freight forwarding ada baiknya melakukan tax management yang
termasuk dalam ranah tax avoidance. Dalam bukunya Corporate Tax Management,
Santoso & Rahayu (2013 : 4) mengutip pernyataan Robert H.Anderson bahwa tax
avoidance atau pengindaran pajak adalah salah satu upaya perencanaan perpajakan
dalam mengurangi pajak dalam batas tertentu sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku. Upaya yang dilakukan oleh wajib pajak tersebut selama masih sesuai dengan
peraturan perpajakan atau Undang-Undang yang berlaku dianggap legal karena tidak
Selanjutnya, menurut Santoso & Rahayu (2013) juga disebutkan bahwa ada 3
cara dalam melakukan penghindaran pajak. yaitu: dengan menahan diri (menghindari
(dengan melakukan perpindahan tempat kegiatan usaha untuk menghindari tarif pajak
yang tinggi di suatu tempat atau negara), dan dengan melakukan suatu upaya
manajemen dengan cara yang sedemikian rupa agar mendapatkan keuntungan yaitu
dalam meminimalisir kewajiban pajak sampai seminimum mungkin namun tetap sesuai
ekspor maupun impor tidak terlepas dari bantuan perusahaan dengan jenis jasa
Trucking, Warehousing, dan Distribusi dimana kegiatan usaha freight forwarding yang
dilakukan PT XYZ adalah satu kesatuan proses ekspor-impor. Dalam hal ini pemerintah
dari segi PPN telah menetapkan peraturan yang secara spesifik membedakan antara
kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan freight forwarding maupun usaha jasa
transportasi. Hal ini diundangkan terakhir kali dalam PMK Nomor 121/PMK.03/2015
sebagai perubahan ketiga dari PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang nilai lain sebagai
dasar pengenaan pajak. Pada pasal 2 huruf M menjelaskan bahwa perusahaan jasa
transportasi maka Dasar Pengenaan Pajaknya (selanjutnya disebut DPP) adalah 10%
dari penyerahan.
Terkait peraturan mengenai pengenaan DPP nilai lain tersebut, yang sebenarnya
telah diubah tiga kali oleh pemerintah, awalnya hanya berbentuk keputusan yang
peraturan menteri keuangan yang menjelaskan tentang nilai lain sebagai dasar
pengenaan pajak. Di dalam peraturan ini, belum disebutkan peraturan yang secara
DPP 10% pada transaksi jasa pengurusan transportasi (freight forwarding). Barulah
pada PMK No. 38/PMK.011/2013 sebagaimana telah diubah beberapa kali menjadi
spesifik tentang perlakuan DPP nilai lain atas jasa pengurusan transportasi atau freight
8
forwarding. Berikut adalah tabel perubahan peraturan menteri keuangan yang mengatur
pajak guna memaksimalkan tagihan yang dikenakan PPN 10%. Hal ini dikarenakan
PPN masukkan yang dikeluarkan oleh pihak vendor-vendor baik vendor pihak ketiga
maupun vendor yang berasal dari perusahaan grup PT XYZ yang sejatinya merupakan
penyerahan yang tidak termasuk ke dalam kriteria freight forwarding tidak dapat
kembali ke pihak consignee/buyer dalam hal ini sebagai customer dengan menyertakan
PPN yang DPP nya 10% dari penyerahan atas tagihan yang terkait pengurusan
transportasi dan jasa transportasi sehingga menyebabkan gap atas keuntungan bagi PT
XYZ atau bisa menjadi tanggungan buyer/consignee karena tarif yang meningkat jika di
9
lakukan mark up harga yang diakibatkan oleh adanya PPN masukan yang PPN nya 10%
dari penyerahan namun tidak dapat dikreditkan, terlebih lagi jika PT XYZ juga
memberikan jasa kepada forwarding lainnya. Peraturan tersebut juga memberikan celah
bagi para forwarder dengan secara tersirat membedakan pengenaan DPP atas jasa
Berdasarkan kasus ini maka perumusan masalah yang akan diajukan adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya manajemen pajak atas PPN yang dilakukan oleh PT XYZ
group?
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian dari skripsi ini dapat
1. Untuk menganalisis upaya manajemen pajak dari segi PPN yang dilakukan oleh
PT XYZ.
praktis.
bagaimana cara melakukan manajemen pajak dari segi PPN serta penerapannya dalam
kegiatan usaha jasa freight forwarding. Penelitian ini juga dapat digunakan dalam
penelitian selanjutnya sebagai referensi dalam penelitian yang akan dilakukan dalam
Penelitian ini ditujukan dalam rangka memberikan arahan atau masukan bagi
perusahaan yang akan melakukan upaya manajemen pajak dalam jenis pengusaha
sejenis (freight forwarding company) sesuai dengan UU PPN No 42 Tahun 2009 dan
atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa Freight Forwarding (Studi Kasus pada
PT XYZ Group)”:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang penyusunan penelitian dan yang mendasari
pemilihan tema “Manajemen Pajak atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa
Freight Forwarding (Studi Kasus pada PT XYZ Group)”. Pada bab ini juga dijelaskan
Bab ini berisi tentang penelitian-penelitian sebelumnya mengenai penerapan PPN atas
jasa freight forwarding. Secara khusus pada bab ini juga dijelaskan lebih dalam
berbagai konsep yang berkaitan dengan apa itu PPN, prinsip pengenaan PPN,
Mekanisme pengkreditan PPN, Manajemen Pajak, hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan manajemen pajak atas PPN di perusahaan, serta pengertian hubungan antara
tax management dan Konsep KPI (Key Performance Indicator) dalam financial
performance perusahaan.
Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yangdigunakan dalam penelitian
terkait “Manajemen Pajak Atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa Freight
Forwarding Studi Kasus pada PT XYZ Group”, yaitu pendekatan penelitian, jenis
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, informan, site penelitian, dan
keterbatasan penelitian.
Bab ini akan menguraikan tentang perusahaan yang akan diteliti mulai dari sejarah
perusahaan, gambaran perusahaan, serta aspek legal PPN atas jasa freight forwarding.
GROUP
Bab ini akan menguraikan secara umum tentang upaya manajemen pajak dari segi PPN
yang dilakukan oleh PT XYZ group dalam rangka menghadapi peraturan terkait DPP
12
nilai lain atas penyerahan Jasa Transportasi yang didalam tagihannya terdapat biaya
Pada bab ini berisi simpulan dengan melakukan tinjauan terhadap bagian analisis,
sehingga pertanyaan atau permasalahan yang telah disusun di awal penelitian dapat
terjawab, serta dengan hasil penelitian ini bisa memberi masukan yang membangun
terhadap para pengusaha freight forwarding sejenis atas manajemen pajak yang
dilakukan oleh PT XYZ Group. Serta memberikan kemungkinan opsi lain bagi
pengusaha jasa freight forwarding dalam melakukan kegiatan manajemen Pajak atas
PPN.
13
BAB 2
KERANGKA TEORITIS
mengenai “Manajemen Pajak Atas Pajak Pertambahan Nilai Perusahaan Jasa Freight
forwarding Studi Kasus Pada PT XYZ group”, penelitian ini dibuat dengan
dalam hal ini penelitian yang digunakansebagai referensi yaitu: Surya Manurung (2010)
dan Fachrul Rozi Nasution (2013). Tinjauan pustaka tersebut digunakan dengan tujuan
dalam rangka sebagai sebagai alat perbandingan dalam studi kasus yang dilakukan serta
dalam rangka membuka perspektif yang berbeda sehingga dapat menjelaskan secara
Referensi pertama yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah
sebuah tesis yang ditulis oleh Surya Yohanes Manurung, seorang alumni program studi
“Analisis Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Jasa Freight Forwarding (Study
Kasus Pada PT. BBTI )”. Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk menganalisis
pengenaan PPN atas setiap transaksi jasa freight forwarding PT BBTI sehingga tidak
melanggar ketentuan pajak yang berlaku. Selanjutnya, referensi kedua yang menjadi
tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah sebuah skripsi yang ditulis oleh Fachrul
Rozi Nasution, seorang alumni program studi Administrasi bidang studi Administrasi
Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia yang berjudul
14
“Implementasi Kebijakan Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
kebijakan penentuan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (tax base) tersebut pada
hambatan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan tersebut bagi pemerintah dan
pihak pemerintah
maupun pihak
asosiasi
secara timbal balik
meskipun sebelumnya
pada saat pemutusan
perlakuan kebijakan
sebenarnya
komunikasi tersebut
telah berjalan dengan
baik dari pihak
asosiasi
dengan pemerintah,
begitu pula
sebaliknya.
d. Disposisi
Proses implementasi
akan dapat berjalan
dengan baik sesuai
dengan harapan
karena masing
masing pihak
memberi respon
positif.
4. Hambatan menurut
Fachrul Rozi
Nasution
a. Dari sisi freight
forwarding
(i) Singkatnya waktu
penyesuaian
peraturan
bagi freight
forwarding
(ii) Selama kurun
waktu belum
terbitnya SE
33, freight forwarder
masih ragu terkait
dengan perlakuan
nilai lain untuk
komponen
reimbursement
(iii) Pemerintah
19
sebagai otoritas
pembuat kebijakan
hanya mencantumkan
undang undang
tentang pelayaran dan
angkutan di perairan
(ocean freight)
sebagai dasar
hukum
b.Dari sisi pemerintah
(i) Kurangnya
komunikasi pihak
freight forwarding
dengan pemerintah
setelah diterbitkannya
PMK 38 dan juga SE-
33 terkait tata cara
pelaksanaan dalam
perlakuan kebijakan
Nilai Lain
penelitian terdahulu dengan topik yang relevan dengan penelitian ini yaitu mengenai
Manajemen Pajak atas Perusahaan Jasa Freight Forwarding yaitu sebuah studi kasus
pada PT XYZ Group. Pada kedua penelitian tersebut dijelaskan tentang transaksi-
transaksi yang dilakukan oleh perusahaan jasa freight forwarding tersebut sehingga
dengan freight forwarding dalam perlakuan PPN atas jasa freight forwarding.
terlebih dalam rangka melakukan penelitian yang menjelaskan lebih spesifik tentang
upaya manajemen pajak serta kendala kendala atas kegiatan perusahaan jasa freight
20
forwarding dari segi perusahaan multinasional sesuai dengan tujuan penelitian yang
dari pokok bahasan yang dibahas yaitu mengenai PPN atas freight forwarding.
Sementara itu, yang menjadi perbedaan tinjauan pustaka yang dijadikan sebagai
referensi tersebut dengan penelitian ini terlihat pada fokus penelitian. Fokus pada
penelitian ini lebih mengarah ke bagaimana upaya yang dilakukan oleh PT XYZ sebagai
perusahaan yang diteliti dalam rangka melakukan manajemen pajak atas PPN nya yang
mengenai bagaimana penerapan PPN dan bagaimana implementasi PPN atas freight
forwarding tersebut. Sehingga hal ini yang menjadi dasar bahwa penelitian ini memiliki
Menurut Rosdiana dan Irianto (2012 : 68) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak
penjualan yang dikenakan atas nilai tambah yang ada pada semua jalur produksi dan
distribusi (multiple stage levies) sehingga setiap pertambahan nilai yang berada dalam
jalur produksi serta distribusi tersebut dapat dipungut PPN. Nilai tambah merupakan
semua faktor produksi yang ada dalam jalur peredaran sebuah barang. Sebagai contoh:
bunga, sewa, upah kerja, serta biaya lainnya yang timbul dalam rangka meningkatkan
laba (The Addition Method). Menurut Alan Tait (1988), nilai tambah didefinisikan
sebagai :
21
advertising agent, hardresser, farmer, race horse trainer or circus owner) adds to his
raws, material or purchases (other than labor) before selling the new or improved
product or service.”
Selain itu, Gunadi (1999 : 99) juga berpendapat bahwa pengenaan pajak tersebut
konsumsi yang dikenakan secara tidak langsung bagi para konsumen, sehingga para
memperhitungkan pajaknya di dalam harga jual barang dan jasa tersebut. Atau disebut
menyimpulkan bahwa PPN dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu: pertambahan nilai (upah
dan keuntungan) serta dari selisih output (harga penjualan) dikurangi input (harga
pembelian). Sehingga atas nilai tambah ini dikenakan PPN (Direct Substraction
P. 66-68
Jika dilihat dari perlakuan PPN di indonesia, maka metode yang digunakan
dalam menentukan value added serta pengenaan PPN nya digunakan metode Indirect
Substraction Method. Mirip dengan substraction method, metode ini melakukan seluruh
tahapan yang dilakukan dalam indirect substraction method. Yang membedakan metode
ini adalah mekanisme pengkreditan PPN dimana PPN atas penjualan dikurangi dengan
22
PPN atas pembelian barang/jasa sehingga PPN terutang menjadi lebih kecil.
(mekanisme PK-PM)
1. General
PPN merupakan pajak konsumsi yang bersifat umum. Pengertian secara umum
ini digunakan dalam rangka membedakan PPN dengan cukai karena cukai dikenakan
pada kasus yang spesifik. Seperti pada rokok, miras, dan lain-lain. Lebih lanjut, PPN
baik pengeluaran tersebut merupakan barang ataupun jasa selama pengeluaran tersebut
2 Indirect Tax
PPN merupakan pajak tidak langsung (indirect tax). Pengertian tentang pajak
tidak langsung ini dikarenakan pajak tersebut tidak dibebankan secara langsung kepada
satu pihak melainkan beban pajak tersebut dialihkan kepada pihak lain. Prinsip
penghalihan beban pajak ini dapat berupa backward shifting ataupun forward shifting.
Peralihan beban pajak pada PPN dilakukan dengan forward shifting dimana pajak
tersebut dialihkan bebannya kepada konsumen. Menurut Rosdiana dan Tarigan (2005)
pajak tidak langsung ditanggung oleh konsumen tetapi pihak yang bertanggung jawab
secara administratif dalam rangka memungut, menyetor serta melaporkan pajak yang
Menurut kriteria ini PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi (tax on
consumption) dimana konsumsi merupakan biaya yang dikeluarkan baik dalam bentuk barang
23
maupun jasa tanpa membedakan cara penggunaannya baik secara langsung maupun bertahap.
Lebih lanjut, PPN dikenakan terhadap penyerahan baik dalam negeri maupun kegiatan impor.
4. Non Cumulative
Kriteria non cumulative ini ada dikarenakan PPN hanya dikenakan atas nilai
tambah, hal ini disebut sebagai kelebihan dari PPN jika dibandingkan dengan pajak
penjualan karena tidak menimbulkan cascade effects bagi barang yang telah dikenakan
PPN. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme pengkreditan atas PPN masukkan
sehingga PPN hanya dikenakan atas nilai tambah dari barang/jasa tersebut
beban pajak didasarkan pada adanya objek pajak tersebut. Sementara itu, menurut
Haula, Irianto dan Putranti (2011 : 81) Pajak objektif adalah suatu prinsip sudut
pandang pajak dimulai berdasarkan objek itu sendiri seperti keadaan, peristiwa,
perbuatan dan lain-lain lalu atas objek tersebut dilakukan pencarian terhadap
subjek/individu yang harus memikul tanggung jawab atas beban pajak tersebut. Berbeda
dengan pajak objektif, pajak subjektif terlebih dahulu melihat sudut pandang
subjek/individu yang harus memikul tanggung jawab atas beban pajak lalu melihat
keadaan, peristiwa, perbuatan dan lain lainnya. Jika ditarik ke prinsip PPN maka bisa
Multi stage levy merupakan pengertian bahwa pada setiap mata rantai jalur
produksi dan jalur distribusi barang kena pajak atau jasa kena pajak dikenakan PPN.
bahwa berdasarkan UU PPN tahun 1984 tarif PPN di indonesia dikenakan sebesar 10%
UU tersebut juga menyebutkan bahwa tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi
15% dan paling rendah menjadi 5%. Namun dalam pelaksanaanya konsep mengenai
tarif tunggal ini sedikit terkaburkan dengan adanya peraturan mengenai pengenaan DPP
nilai lain sesuai dengan PMK 75 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah menjadi PMK
121 Tahun 2015 tentang nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Dimana secara aktual
dikemukakan oleh Untung Sukardji (2012:5) bahwa mekanisme pengurangan pajak atas
perolehan dengan pajak atas penyerahan barang dan jasa untuk mendapatkan angka
yang tepat untuk di laporkan ke kas negara atau bisa disebut dengan mekanisme Pajak
1) Pajak Masukkan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak Keluaran yang
pajak keluaran selama belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pembukuan atau telah dilakukan pemeriksaan atas penyerahan yang telah dibuktikan
bahwa faktur pajak tersebut telah diakui dan faktur pajaknya terlambat diterima.
25
4) PPN masukan dapat dikreditkan meskipun belum ada pajak keluaran yang di
5) Dalam pengisian faktur pajak sebaiknya taat aturan sesuai dengan UU PPN sehingga
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, maka PPN masukan yang belum di
kreditkan dapat dikreditkan selama belum diakui sebagai biaya PPN ataupun
dikapitalisasi. Menurut Haula, Irianto dan Putranti (2011 : 82) PPN sebenarnya tidak
terlepas dari 2 prinsip pemungutan pajak yaitu witholding tax dan self assesment dimana
dalam witholding tax kewajiban memungut, menyetor serta melaporkan PPN yang
Sementara itu, dalam self assessment konsumen adalah pihak yang memungut sendiri
PPN yang terutang, menyetorkan serta melaporkan PPN tersebut jika transaksi tersebut
terjadi di luar indonesia. Selain itu, Self assesment juga diterapkan dalam penyerahan
mengurangi beban pajak (tax burden). Hal ini disebut sebagai Tax Planning. Tax
planning menurut Barry Spitz (1983 : 15) dalam adalah “arrangement of business and
personel affairs in such a way as to attract the lowest possible incindence of tax” and
26
“pre arrangement of facts in the most tax favored way.” Teori Barry tersebut dapat
diartikan bahwa perencanaan pajak adalah suatu proses dengan memperhatikan segi
perpajakan dan non perpajakan dimana hal terebut signifikan sehingga memiliki
pengaruh dalam menentukan apakah, kapan, bagaimana serta dengan siapa melakukan
transaksi, kegiatan dan hubungan. Hal ini secara spesifik memiliki tujuan untuk
memaksimalkan pajak atas objek dan subjek pajak dalam rangka mengamankan laba
perusahaan. Barry dan Miles (1980) juga menjelaskan bahwa latar belakang dari
kegiatan tax planning adalah tarif pajak. Yaitu : “the heavier the burden, the stronger
the move and the wider the scope for tax avoidance, since the taxpayer may avoid the
higher rates of tax while still remaining liable to the lower”. Yang jika diartikan secara
keseluruhan adalah bahwa sebenarnya wajib pajak tidak menghindari pajak namun
dengan adanya tarif pajak tersebut menyebabkan penurunan dari penghasilan para wajib
pajak. Dengan didasari hal tersebut wajib pajak berusaha untuk mencapai titik terendah
Menurut Darussalam (2011) tax planning adalah upaya wajib pajak dalam
rangka meminimalisir pajak melalui skema yang memang jelas diatur dalam peraturan
pajak dan otoritas pajak. Selain itu dalam hal fleksibilitas Hutagaol, Darussalam &
sehingga dapat disesuaikan dengan perubahan yang ada seperti perubahan tarif pajak
ataupun prosedur dalam revaluasi aktiva tetap. Tax Planning menurut Zain (2008 : 43)
adalah sebuah proses dalam mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib
pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-
27
pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini
secara komersial. Sehingga Santoso, dan Rahayu (2013 : 17) menyimpulkan bahwa Tax
mengurangi beban pajak yang dilakukan secara legal. Secara teori, menurut Hoffman
(1961) tax planning didefinisikan sebagai effective tax planning, dimana seorang wajib
penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai dengan ketentuan undang-
undang perpajakan (Ompusunggu, 2011:3). Tax saving atau penghematan pajak itu
sendiri menurut Zain (2003:51) merupakan usaha dalam memperkecil utang pajak yang
tidak termasuk dalam ruang lingkup pemajakan. Pada umumnya perencanaan pajak (tax
planning) ini ditekankan pada upaya meminimalisir beban pajak. Hal ini dilakukan bisa
melalui pemaksimalan biaya usaha (deductible) yang secara kasat mata dalam undang-
dikonversikan yang semula merupakan objek pajak menjadi bukan objek pajak ataupun
maupun dalam area abu-abu (grey area), terdapat dalam ketentuan pasal-pasal undang-
pembayaran pajak. Sehingga pemanfaatan grey area dan loopholes dapat digunakan
juga
28
dalam rangka perencanaan pajak. Lumbantoruan (1996) menyebutkan bahwa ada tiga
hal yang harus diperhatikan dalam suatu perencanaan pajak. Ketiga hal itu adalah
sebagai berikut:
a. Tidak melanggar ketentuan perpajakan untuk menekan resiko pajak yang mengancam
b. Secara bisnis masuk akal, karena perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak
tax planning/perencanaan pajak, para ahlimemberikan definisi yang lebih luas mengenai
perencanaan pajak (tax planning) saja namun juga berarti melakukan pengorganisasian,
Manajemen pajak menurut Suandy (2006 : 7) adalah suatu cara dalam memenuhi
dalam jumlah pajak yang bertujuan untuk memperoleh laba dan likuiditas yang
diharapkan. Sementara itu menurut Hutagaol, Darussalam, dan Septriandi (2007 : 215)
manajemen pajak adalah sebuah proses dalam melaksanakan kewajiban serta hak nya di
memperhatikan kegiatan usaha secara lebih detail. Selain itu, Rahayu dan Santoso (2007
: 22) mendifinisikan tax management sebagai suatu usaha dalam memberikan kontribusi
29
negara dengan melakukan usaha menyeluruh yang dilakukan secara terusmenerus oleh
wajib pajak agar kegiatan dalam lingkup perpajakan dapat diatur dengan baik,
ekonomis, efektif serta efisien. Tujuan dari manajemen pajak adalah dalam rangka
meminimalisir ataupun memperbaiki beban pajak yang terlanjur ada. Hal ini dapat
pajak (tax evasion). Menurut Rahayu & Santoso (2007 : 24) tujuan pokok dari
beban/utang pajak
memaksimalkan laba setelah pajak yang secara praktis dengan meminimalisir kejutan-
kejutan jika terjadi pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak serta memenuhi kewajiban
(2003 : 66), tujuan dari manajemen pajak dapat dicapai dengan memaksimalkan fungsi
Chelvathurai (1985 : 5-8) mendefinisikan tax avoidance dan taxevasion sebagai dua
“Tax avoidance is used to denote the reduction of tax liability thruoh legal means. In
extended or pejorative sense, however, the terms is also used to describe tax reductions
“Tax evasion is usually defined as the reduction of tax by illegal means, including the
Sementara itu menurut Balter dalam Zain (2003 : 49) penyeludupan pajak (Tax
Evasion) adalah usaha dalam rangka mengurangi atau menghapus utang pajak yang
dilakukan oleh wajib pajak baik berhasil atau tidak dimana berdasarkan ketentuan yang
Sementara itu penghindaran pajak (tax avoidance) adalah sebuah usaha yang sama
perpajakan. Berdasarkan konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tax avoidance
berbeda dengan tax evasion. Vanistendael dalam Irfansyah (2010) juga menjelaskan
pengertian tentang tax avoidance bahwa : “Tax avoidance is perfectly legal, because
most countries recognize the rights of tax payer to arrange his affairs in such a way to
pay less tax.” Yang berarti kegiatan penghindaran pajak itu pada dasarnya legal karena
kebanyakan negara memahami hak dari pembayar pajak untuk mengatur pembayaran
pajaknya dalam rangka membayar pajak secara optimal. Pendapat Vanistendael ini
kita diperbolehkan untuk menghitung besaran pajak terutang kita sendiri (Djuanda dan
lubis, 2002 : 65). Menurut Slamet (2007 : 8) dalam Darusallam, tax avoidance
umumnya menyangkut kegiatan yang masih berada di dalam koridor hukum namun
tidak berdasarkan bonafide dan adequate consideration atau berlawanan dengan tujuan
(unacceptable tax avoidance) yang dikenal di negara lain sebagai penghindaran pajak
yang diperkenankan (defensive tax planning) dan penghindaran pajak yang tidak
avoidance dan tax evasion kita perlu memahami mengapa para wajib pajak melakukan
c. Manfaat yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan resikonya (level of benefit
e. Ketentuan peraturan perpajakan tidak berlaku sama bagi wajib pajak (level of playing
fields)
itu, sebenarnya tax avoidance dan tax evasion menurut Gunadi (2007) pengertiannya
komersialiasi dan pemanfaatan efektif kebijakan pajak yang legitimate dan deviasi
penyeludupan pajak (tax evasion) terutama terjadi dengan penghilangan atau kurang
melaporkan objek pajak yang kadangkala didukung dengan rekayasa legal, akuntansi
manajemen pajak yang menurut Suandy (2008:6) menyebutkan bahwa tujuan dari
manajemen pajak ada dua yaitu: dengan menerapkan peraturan perpajakan secara benar
dan usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. Dimana kedua
hal tersebut dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri dari:
Sebagai salah satu fungsi tax management yaitu tax planning sebaiknya kita
perlu memperhatikan beberapa langkah yang menurut Zain (2003 : 70) merupakan
2. Melihat kondisi saat ini dan mengidentifikasi faktor pendukung serta penghambat
dilakukan.
Menurut Santoso dan Rahayu (2013 : 36) berikut beberapa hal yang perlu
2) Faktor-Faktor Perpajakan
Dalam melakukan tax planning, wajib pajak harus mengetahui apa saja yang akan
dihadapi dalam konteks kewajiban perpajakannya baik dalam aspek lokal maupun luar
negeri.
Selain aspek pajak, para pengusaha juga perlu memperhatikan aspek non pajak seperti
status badan hukum perusahaan tersebut (legal entities), mata uang (currency), sistem
programs), sistem peradilan hukum pajak serta administrasi negara, stabilitas ekonomi
dan politik negara, topografi tenaga kerja dan tingkat pengangguran, pasar (market),
fasilitas perbankan banking facilities, iklim usaha (business climate), bahasa (language).
Sistem akuntansi dan pembukuan (accounting and bookeeping systems). Ketiga faktor
tesebut adalah aspek yang perlu diperhatikan sebelum melakukan tax planning sehingga
tujuan dari tax planning tersebut dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dalam rangka
konsep tax implementation, Santoso & Rahayu (2013 : 246) juga menyebutkan tentang
1) Penghindaran pre-financing PPN bagi para penjual yang sudah dikukuhkan sebagai
PKP (Pengusaha Kena Pajak). Hal ini dilakukan dengan cara meminimalisir
keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli yang juga PKP dalam
membayar PPN guna meningkatkan cashflow perusahaan agar dapat membayarkan PPN
2) Optimalisasi PPN Masukan untuk dikreditkan oleh pembeli yang sudah PKP. Dengan
cost atas pajak yang telah dibayarkan dikarenakan jika PPN masukan hanya dijadikan
biaya PPN maka atas biaya tersebut hanya dapat dipulihkan sebesar 25% sesuai dengan
kerumitan pelaporan dan pengelolaan arus kas secara efektif maka PKP dapat
melakukan pemusatan terhadap PPN terutangnya. Hal ini sesuai dengan UU PPN pada
pasal 12 ayat (2) yang menjelaskan bahwa PKP dapat melakukan pemusatan PPN jika
terkait pengajuan restitusi secara lengkap dan benar serta mempersiapkan dokumen
pendukung yang lengkap pula. Lebih lanjut, kita perlu proaktif dalam menindaklanjuti
proses pemeriksaandalam rangka restitusi tersebut seperti dalam rangka konfirmasi PPN
ke vendor.
hasil audit dari pihak independen dan laporan keuangan kita yang dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan (SPT PPh) sehingga tidak
terjadi missing antara penjualan yang kita laporkan pada SPT PPh dan SPT PPN.
tersebut berasal dari internal perusahaan kita agar tidak dianggap tidak memungut PPN
jika penjualan di SPT PPN lebih besar daripada yang kita laporkan di SPT PPh ataupun
35
tidak melaporkan seluruh penghasilan kita jika penjualan di SPT PPh lebih besar dari
6) Fasilitas (insentif) di bidang PPN. Kita harus lebih jeli dalam hal memahami
peraturan terhadap fasilitas PPN yang ada seperti PPN tidak dipungut dan PPN
dibebaskan. Atas PPN keluaran dengan insentif tersebut secara pajak kita tidak perlu
melakukan pembayaran PPN karena tarif yang diberikan adalah sebesar 0% namun
yang membedakan kedua fasilitas tersebut adalah kita dapat melakukan pengkreditan
PPN masukan atas fasilitas dipungut sementara untuk PPN dibebaskan kita tidak dapat
7) PPN ditanggung (dibayar) oleh pemerintah. Selain insentif PPN tidak dipungut
Insentif ini diberikan bagi PKP penjual yang memberikan barang ataupun jasanya ke
pihak pemerintah. Dalam hal memanfaatkan insentif ini perlu dilakukan analisa kembali
atas kelengkapan data dari pihak PKP pembeli (pemerintah) maupun dari pihak penjual
sendiri dalam rangka penerbitan PPN keluaran agar pihak penjual dapat terhindar dari
kewajiban perpajakan kita perlu adanya fungsi tax controlling. Fungsi ini dapat
dapat dilakukan secara internal atau pun dengan cara mengundang konsultan pajak
dalam hal ini pihak eksternal. Nama yang sering muncul dalam istilah tax controlling
adalah tax diagnostic review ataupun tax due dilligence. Tujuan dari kegiatan ini pada
dasarnya adalah untuk menelaah kembali kewajiban perpajakan yang telah dilakukan
36
selama satu tahun pajak. Hasilnya biasanya berupa temuan potensi utang pajak dan
rekomendasi untuk perbaikan. (Budi 2013 : 36). Dalam hal ini, jika ditarik dari segi
PPN maka perlu di review lagi apakah kewajiban atas pelaporan serta pengenaan PPN
yang dilakukan selama setahun masa telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan
nantinya akan berbuah semacam perbaikan yang dilakukan di akhir tahun pajak.
2.2.3. Hubungan antara Tax Management dan Konsep KPI (Key Performance
Menurut Kuncoro (2007:151) kinerja adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh
struktur dan perilaku industri di mana hasil biasa diidentikkan dengan besarnya
penguasaan pasar atau besarnya keuntungan suatu perusahaan di dalam suatu industri.
Fisher Schoenfeldt dan Shaw (2006) juga berpendapat bahwa selalu meningkatkan
kinerja dan mempertahankan faktor-faktor yang menjadi keunggulan bisa menjadi alat
kompetisi sebagai sebuah organisasi yang dinamis. Tolak ukur efektifitas kinerja
menurut Hansen dan Mowen (2004) dapat dilihat dari input dan output atas aktivitas
yang dilakukan. Tolak ukur dari kinerja aktivitas tersebut bisa berbentuk keuangan
maupun non keuangan. Ukuran kinerja aktivitas berpusat pada tiga dimensi yaitu :
1) Efisiensi
Contoh : Dengan menghasilkan output aktivitas yang sama dengan biaya lebih rendah
dari input yang digunakan adalah cara untuk memberbaiki efisiensi aktivitas.
2) Kualitas
37
Kualitas dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan secara benar pada saat pertama kali
3) Waktu
Waktu juga merupakan hal yang penting dalam melakukan suatu aktivitas, lebih banyak
waktu menyebabkan lebih banyak biaya serta lebih sedikit kemampuan dalam
perusahaan tersebut. Hal ini menurut Parmenter (2007 : 3) Key Performance Indicator
organizational performance that are the most critical for the current and future success
of the organization.” Sebuah paket pengukuran yang berfokus pada aspek performa
organisasi yang paling kritikal pada saat ini maupun untuk kesuskesan masa depan dari
indicator (KPI) pada suatu kegiatan dapat digunakan jika memenuhi syarat sebagai
berikut :
1) Jika terkait dengan pencapaian tujuan dari perusahaan baik secara langsung maupun
tidak langsung.
3) Dapat diukur
performance indicator ini sendiri dimulai dengan mengambil contoh dari level
perusahaan, lalu dilakukan diskusi dengan pihak manajemen divisi maupun departemen
yang akan dilakukan evaluasi sehingga mendapatkan key performance indicator yang
paling sesuai bagi setiap divisi. Setelah setiap bagian maupun divisi memiliki key
performance indicator, maka dilakukan review kembali agar secara menyeluruh key
performance indicator tersebut berbanding lurus antar divisi dan bagian baik secara
Pengukuran kinerja sendiri terdiri atas pengukuran kinerja finansial dan non
strategis, mengevaluasi pencapaian tujuan dari organisasi, serta bagi tujuan manajer itu
Hence, value-based metricswere devised that explicitly incorporate the cost of capital
finansial masih dianggap kurang karena perusahaan biasanya lebih berfokus kepada
nilai pemegang saham dimana merupakan tujuan jangka panjang yang utama bagi
organisasi. Oleh sebab itu, pengukuran dilakukan dengan memasukkan biaya modal
dalam perhitungan kinerja tersebut. Linge & Schiemann (1996) juga menjelaskan
pengukuran yang baik itu penting dalam manajemen yang baik. Sehingga dengan
39
melakukan pengukuran terhadap nilai ekonomis dari perusahaan dapat membantu para