Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Dan Karakteristik Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

MEA adalah bentuk


integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya system perdagaangan bebas antara Negara-
negara asean. Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati
perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC).

Pengertian Dan Karakteristik Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Pada KTT di Kuala Lumpur pada Desember 1997 Para Pemimpin ASEAN memutuskan untuk
mengubah ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan sangat kompetitif dengan
perkembangan ekonomi yang adil, dan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi
(ASEAN Vision 2020).

Pada KTT Bali pada bulan Oktober 2003, para pemimpin ASEAN menyatakan bahwa
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menjadi tujuan dari integrasi ekonomi regional pada
tahun 2020, ASEAN Security Community dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN dua pilar yang
tidak terpisahkan dari Komunitas ASEAN. Semua pihak diharapkan untuk bekerja secara yang
kuat dalam membangun Komunitas ASEAN pada tahun 2020.

Selanjutnya, Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang diselenggarakan pada bulan Agustus
2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sepakat untuk memajukan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) dengan target yang jelas dan jadwal untuk pelaksanaan.

Pada KTT ASEAN ke-12 pada bulan Januari 2007, para Pemimpin menegaskan komitmen
mereka yang kuat untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 yang
diusulkan di ASEAN Visi 2020 dan ASEAN Concord II, dan menandatangani Deklarasi Cebu
tentang Percepatan Pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 Secara khusus, para
pemimpin sepakat untuk mempercepat pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun
2015 dan untuk mengubah ASEAN menjadi daerah dengan perdagangan bebas barang, jasa,
investasi, tenaga kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.
Karakteristik Dan Unsur Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang
dianut dalam Visi 2020, yang didasarkan pada konvergensi kepentingan negara-negara anggota
ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui inisiatif yang ada dan
baru dengan batas waktu yang jelas. dalam mendirikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
ASEAN harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip terbuka, berorientasi ke luar, inklusif, dan
berorientasi pasar ekonomi yang konsisten dengan aturan multilateral serta kepatuhan terhadap
sistem untuk kepatuhan dan pelaksanaan komitmen ekonomi yang efektif berbasis aturan.

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan membentuk ASEAN sebagai pasar dan basis
produksi tunggal membuat ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme dan
langkah-langkah untuk memperkuat pelaksanaan baru yang ada inisiatif ekonomi; mempercepat
integrasi regional di sektor-sektor prioritas; memfasilitasi pergerakan bisnis, tenaga kerja
terampil dan bakat; dan memperkuat kelembagaan mekanisme ASEAN. Sebagai langkah awal
untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN,

Pada saat yang sama, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mengatasi kesenjangan
pembangunan dan mempercepat integrasi terhadap Negara Kamboja, Laos, Myanmar dan
VietNam melalui Initiative for ASEAN Integration dan inisiatif regional lainnya.
Bentuk Kerjasamanya adalah :

1. Pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas;


2. Pengakuan kualifikasi profesional;
3. Konsultasi lebih dekat pada kebijakan makro ekonomi dan keuangan;
4. Langkah-langkah pembiayaan perdagangan;
5. Meningkatkan infrastruktur
6. Pengembangan transaksi elektronik melalui e-ASEAN;
7. Mengintegrasikan industri di seluruh wilayah untuk mempromosikan sumber daerah;
8. Meningkatkan keterlibatan sektor swasta untuk membangun Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA).

Pentingnya perdagangan eksternal terhadap ASEAN dan kebutuhan untuk Komunitas ASEAN
secara keseluruhan untuk tetap melihat ke depan,
karakteristik utama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA):

1. Pasar dan basis produksi tunggal,


2. Kawasan ekonomi yang kompetitif,
3. Wilayah pembangunan ekonomi yang merata
4. Daerah terintegrasi penuh dalam ekonomi global.

Karakteristik ini saling berkaitan kuat. Dengan Memasukkan unsur-unsur yang dibutuhkan dari
masing-masing karakteristik dan harus memastikan konsistensi dan keterpaduan dari unsur-unsur
serta pelaksanaannya yang tepat dan saling mengkoordinasi di antara para pemangku
kepentingan yang relevan.
Referensi
www.asean.org

WTO adalah organisasi dunia yang khusus mengatur masalah perdagangan dunia. WTO
dibentuk oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. WTO secara resmi berdiri pada
tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu.
Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) – Persetujuan Umum
mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun
1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan
menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.

Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu
badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia).
Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di
Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak
berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun
sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat
dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang
mengatur perdagangan internasional.

Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan
beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa
negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan
melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan”
(trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.

Indonesia sejak menjadi anggota WTO telah melaksanakan penyesuaian berbagai peraturan
kebijakan perdagangannya menurut ketentuan World Trade Organization/WTO.Kebijakan
perdagangan yang menyangkut perijinan import. Persetujuan ini mengharuskan setiap Anggota
membuat peraturan kebijakan impor sesederhana mungkin, transparan, proses cepat, dan
terprediksi. Meskipun demikian, upaya penyesuaian kebijakan impor tersebut menghadapi
beberapa kendala.

Sejumlah peraturan impor masih dianggap bermasalah baik oleh negara mitra dagang maupun
dari pemangku kepentingan dalam negeri. Mereka menganggap bahwa kebijakan impor
Indonesia sebagai proteksi terselubung dan mendistorsi pasar. Dalam sidang ILA – WTO,
tanggal 30 Oktober 2006, Amerika Serikat mempermasalahkan peraturan impor tekstil
sebagaimana termuat di dalam SK No. 732/MPP/Kep/10/2002. Indonesia diminta untuk
mencabut peraturan tersebut karena mendistorsi pasar dan tidak konsisten dengan ILA – WTO
demi memproteksi industri tekstil domestik.

Di dalam negeri sendiri, kebijakan impor dianggap oleh sejumlah pihak sengaja dibuat tidak
transparan, memihak demi mendukung keuntungan sekelompok kepentingan tertentu saja.
Melalui media massa, masyarakat non-produsen hingga anggota DPR bahkan mengecam
kebijakan impor gula dan beras sebagai kebijakan yang tidak pro–rakyat. Meskipun demikian,
ketika terjadi krisis kelangkaan pangan, tidak ada satu pihakpun dari pemrotes bertanggung
jawab atas komentar mereka. Masalah domestik pada akhirnya juga akan menjadi masalah
internasional, mengingat kedudukan importir tersebut merupakan representasi dari posisi negara
mitra dagang yang mengekspor ke Indonesia.

Permasalahan yang terjadi pada WTO.


Munculnya berbagai masalah kemungkinan diduga berasal dari adanya kendala
mentransformasikan garis-garis besar ketentuan Import Licensing WTO ke dalam bentuk
peraturan pelaksananya. Masalah tersebut juga diperberat oleh kompleksitas ketentuan AIL –
WTO, belum meratanya pengetahuan mengenai ILA – WTO, sering terjadinya pergantian
struktur dan pejabat pemerintah, serta adanya kendala teknis untuk pembuatan dan
penyebarluasan peraturan.

Putaran-putaran perundingan

Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya
pengurangan tariff.
Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan
Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).

Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil
yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9
negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi
4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” –
yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Serangkaian
persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam
beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.

Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO.
Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang
perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi
pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak
diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam
permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2
tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-
produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para
anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan
langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.

Persetujuan-persetujuan WTO
Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:
- Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT)
- Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS)
- Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs)
- Penyelesaian sengketa

Persetujuan Bidang Pertanian


Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) yang berlaku sejak tanggal 1
Januari 1995 bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian
dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar.
Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi
domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan
disiplin GATT yang kuat dan efektif.

Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan,
perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment –
S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan
akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.

Dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mengacu pada sistem klasifikasi HS (harmonized
system of product classification), produk-produk pertanian didefinisikan sebagai komoditi dasar
pertanian (seperti beras, gandum, dll.) dan produk-produk olahannya (seperti roti, mentega, dll.)
Sedangkan, ikan dan produk hasil hutan serta seluruh produk olahannya tidak tercakup dalam
definisi produk pertanian tersebut.

Persetujuan Bidang Pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan


perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi domestik dan
subsidi ekspor. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, para anggota WTO berkomitmen
untuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi subsidi-subsidi yang mendistorsi perdagangan
melalui skedul komitmen masing-masing negara. Komitmen tersebut merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari GATT.

Pembubaran WTO

Konfrensi Tingkat Menteri (KTM) WTO Ke-IV akan diselenggarakan di Hongkong pada tanggal
13-18
Desember 2005. Ini adalah pertemuan yang diselengarakan untuk melakukan negosiasi
perjanjian
perdagangan antar Negara. Dalam rangka perdagangan bebas, World Trade Organisation (WTO)
memaksa Negara-negara di dunia ketiga untuk membuka akses pasar bagi kepentingan
perdagangan
korporasi (TNC/MNC) Negara maju. Dengan menggunakan instrument perjanjian yang
mengikat antara
Negara, WTO berubah menjadi rezim perdagangan internasional yang paling berkuasa di dunia.

Alasan kita harus melawan WTO adalah:


Pertama, karena WTO merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan-perusahaan internasional
(TNC/MNC) dan negara maju (Amerika, Ingrris, Jepang, Francis, dll.) untuk mengeruk sumber
daya alam
dan menjajah kembali Indonesia.

Kedua, karena WTO berusaha menghancurkan sektor pertanian yang menjadi tulang punggung
bagi
mayoritas petani Indonesia, serta merupakan mata pencaharian utama rakyat Indonesia. WTO
juga
menghalangi/melarang pemerintah Indonesia berpegang pada kedaulatan pangan, serta
menyediakan
akses terhadap air, lahan pertanian dan pengamanan terhadap impor produk pertanian. Sektor
pertanian
menjadi penting karena berkaitan langsung dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani,
penghapusan kemiskinan, serta pembangunan pedesaan.

Ketiga, karena WTO mendorong paradigma/pola pikir pengembangan industri nasional yang
yang bersifat
eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam dan manusia. Sejalan dengan ini, IMF dan
Bank
Dunia akan bekerja memberi utang dan memastikan perusahaan asing dapat beroperasi dengan
menggunakan buruh murah dan menguras Sumber Daya Alam di Indonesia.

Keempat, karena WTO mendorong impor perdagangan jasa di Indonesia. Akibatnya adalah
komersialisasi
sejumlah pelayanan dasar rakyat seperti pendidikan dan kesehatan. WTO hanya akan menjadikan
pelayanan pendidikan dan kesehatan hanya seperti barang dagangan. Siapa yang punya uang
dialah yang
akan pintar dan sehat. Sementara orang miskin, harus puas dengan kebodohan dan penyakitnya.

Peluang, Tantangan, dan Risiko Bagi


Indonesia Dengan Adanya Masyarakat
Ekonomi ASEAN
PELUANG, TANTANGAN, DAN RISIKO BAGI INDONESIA DENGAN ADANYA
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Ditulis oleh: Arya Baskoro (Associate Researcher)

Siapkah anda menghadapi persaingan di tahun 2015? Sudah seharusnya kita bersiap menghadapi
ketatnya persaingan di tahun 2015 mendatang. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia
Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi
di kawasan Asia Tenggara.
Terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu
momentum yang baik untuk Indonesia. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini
akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan
pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah
yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di
kawasan Asia Tenggara.

Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi,
yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection,
Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta
iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen
perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan
transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan;
meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online.

Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang
merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing
dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi
terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan,
keuangan, serta teknologi.

Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Dengan dengan
membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota.
Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan
pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara-negara Anggota
ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada
skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.

Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil
kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan
meningkatkan ketergantungan anggota-anggota didalamnya. MEA dapat mengembangkan
konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok perdagangan tunggal
yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN.

Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan
akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada
peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi lain, muncul
tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas komoditas yang
diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang
elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini competition risk akan muncul dengan banyaknya
barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam
industri lokal dalam bersaing dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal
ini pada akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia sendiri.
Pada sisi investasi, kondisi ini dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign
Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan
teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan
akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Meskipun begitu, kondisi tersebut dapat
memunculkan exploitation risk. Indonesia masih memiliki tingkat regulasi yang kurang
mengikat sehingga dapat menimbulkan tindakan eksploitasi dalam skala besar terhadap
ketersediaan sumber daya alam oleh perusahaan asing yang masuk ke Indonesia sebagai negara
yang memiliki jumlah sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lainnya. Tidak
tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing dapat merusak
ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi investasi yang ada di Indonesia belum cukup kuat
untuk menjaga kondisi alam termasuk ketersediaan sumber daya alam yang terkandung.

Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para pencari kerja
karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian yang
beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari pekerjaan
menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan tertentu. MEA juga menjadi
kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan
kriteria yang diinginkan. Dalam hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakarejaan bagi
Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan
tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri yang bagi
Indonesia sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN (Republika
Online, 2013).

Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan
skala ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun demikian, Indonesia
masih memiliki banyak tantangan dan risiko-risiko yang akan muncul bila MEA telah
diimplementasikan. Oleh karena itu, para risk professional diharapkan dapat lebih peka terhadap
fluktuasi yang akan terjadi agar dapat mengantisipasi risiko-risiko yang muncul dengan tepat.
Selain itu, kolaborasi yang apik antara otoritas negara dan para pelaku usaha diperlukan,
infrastrukur baik secara fisik dan sosial(hukum dan kebijakan) perlu dibenahi, serta perlu adanya
peningkatan kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di Indonesia. Jangan
sampai Indonesia hanya menjadi penonton di negara sendiri di tahun 2015 mendatang.

Referensi:

N.n. (2013). Indonesia Hanya Menduduki Peringkat Empat di ASEAN.

Association of Southeast ASIAN Nations (2008). ASEAN ECONOMIC COMMUNITY


BLUEPRINT. Jakarta: Asean Secretariat.

Fernandez, R. A. (2014, Januari). YEARENDER: Asean Economic Community to play major


role in SEA food security.

Plummer, M, G., &Yue, C, S. (2009). Realizing the ASEAN Economic Community: A


Comprehensive Assessment. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Santoso, W. et.al (2008). Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi ekonomi ASEAN
dan prospek perekonomian nasional. Jakarta: Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter.

Anda mungkin juga menyukai