Anda di halaman 1dari 27

Kejahatan Seksual terhadap Anak di Bawah Umur

Mira Nur Indah

102014133
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Skenario

Anda bekerja sebagai dokter di IGD sebuah rumah sakit. Pada suatu sore hari datang
seorang laki-laki berusia 45 tahun membawa anak perempuannya yang berusia 14 tahun
menyatakan bahwa anaknya tersebut baru saja pulang “dibawa lari” oleh teman laki-laki yang
berusia 18 tahun selama 3 hari keluar kota. Sang ayah takut apabila telah terjadi sesuatu pada
diri sang putrinya. Ia juga bimbang apa akan diperbuatnya bila sang anak telah “disetubuhi”
laki-laki tersebut dan akan merasa senang apabila anda dapat menjelaskan berbagai hal
tentang aspek medikolegal dan hukum kasus anaknya.

Aspek Hukum
1. Kejahatan Seksual
Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasarannya yaitu membantu
pengadilan dengan sebaik-baiknya, dia harus menganal Undang-undang yang
bersangkutan dengan tindak pidana itu, seharusnya ia mengetahui unsur-unsur mana yang
dibuktikan secara medik atau yang memerlukan pendapat medik.1

KUHP 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasar memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah terjadi
paksaan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan
apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, dan apakah terdapat tanda-tanda kekerasan.
Tetapi ia tidak dapat menentukan apakah terdapat unsure paksaan pada tindak pidana ini.1
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat paksaan,
mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan paksaan.
Demikian pula, bila dokter tidak menemukan tanda kekerasan, maka hal itu belum

1
merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat
menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga
tidak mungkin menentukan apakah perkosaan telah terjadi.1
Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim karena perkosaan
adalah pengertian hukum bukan istilah Medis, sehingga dokter jangan menggunakan
istilah perkosaan dalam visum et Repertum.
Dalam bagian kesimpulan Visum et Repertum hanya dituliskan (1) ada tidaknya tanda
persetubuhan dan (2) ada tidaknya tanda kekerasan, serta jenis kekerasan yang
menyebabkannya.

KUHP pasal 286


Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa perempuan berada dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya ketika terjadi persetubuhan. Dokter harus mencatat dalam
anamnesa apakah korban sadar ketika terjadi persetubuhan, adakah penyakit yang diderita
korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau tdak berdaya,
misalnya epilepsi, katalepsi, syncope dsb. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan,
maka perlu diketahui bagaimana terjadinya keadaan pingsan itu, apakah terjadi setelah
korban diberi minuman atau makanan.1
Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas
hilang kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh alkohol, hipnotik atau
narkotik. Apabila ada petunjuk bahwa alkohol, hipnotik atau narkotik telah dipergunakan,
maka dokter perlu mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologik.1
Jika terbukti bahwa si terdakwa telah sengaja membuat wanita itu pingsan atau tak
berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan
membuat wanita itu pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.1

KUHP pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

2
Pasal 287 KUHP
1. Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita itu belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal
294.

Pasal 288 KUHP


(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan, yang diketahui
atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8
tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pudana penjara paling lama 12 tahun.

Pasal 289 KUHP


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9
tahun.

Pasal 290 KUHP


Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
(1) barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang pada hal diketahui, bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya.
(2) barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin;
(3) barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga,
bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau
bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
3
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut Undang-
Undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas
12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi
dengan keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada
pengaduan, tidak ada penuntutan.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:
a. Umur korban belum cukup 12 tahun; atau
b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat perbuatan
itu (KUHP ps. 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu adalah anaknya anak tirinya, muridnya, anak
yang berada dibawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya (ps 294).

Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan, walaupun tidak ada pengaduan
karena bukan lagi merupakan delik aduan.
Pada pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka
umur korban yang pasti tak diketahui. Dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan bentuk
badan korban sesuai dengan umur yang dikatakannya.
Keadaan perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu
dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh
(terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21
tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah mendapat haid bila
umur korban tidak diketahui.
Kalau korban menyatakan belum pernah haid, maka penentuan ada/tidaknya ovulasi
masih diperlukan. Muller menganjurkan agar dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah
sakit untuk menentukan adakah selama itu ia mendapat haid. Kini untuk menentukan apakah
seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan pemeriksaan
'vaginal smear'.
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun dan kalau
umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah
haid dianggap sebagai belum patut dikawin.1

4
KUHP pasal 291
1. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasa 286, 287, 288 dan 290 itu
berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara se-lama-lamanya 12 tahun.
2. Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam ps 285, 286, 287, 289 dan 290 itu
berakibat matinya orang dijajtuhkan hukuman penjara se-lama-lamanya 15 tahun.

KUHP pasal 294


Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak
piaraannya, anak yang dibawah pengawasannya, orang dibawah umur yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang
dibawah umur, dihukum dengan hukuman penjara se-lama-lamanya 7 tahun.

Dengan itu dihukum juga :


a. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya/orang
yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.
b. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, ditempat bekerja
kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, R.S. gila atau lembaga semua yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan disitu.

2. Child Abuse
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar
bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana penjara
atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang tuanya sendiri maka
hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut :
a. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6
bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
b. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
100.000.000.00.
Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling
lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004. Pidana dapat ditambah

5
sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila
yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya).1

Bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child abuse
prevention) yaitu :
 Kekerasan fisik (physical abuse)
Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap
anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya berada
dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung jawab, kepercayaan
atau kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya bukan kecelakaan yang membuat anak
terluka.
Contoh : menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar, menampar.
 Kekerasan seksual (sexual abuse)
Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena perkembangannya
belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau
pantangan masyarakat, atau merupakan segala tingkah laku seksual yang dilakukan antara
anak dan orang dewasa.
Contoh : pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan lain-
lain.
 Mengabaikan (Neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh
kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat
bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks sumber daya yang layaknya
dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin
mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, moral dan
sosial, termasuk didalamnya kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak
dari bahaya gangguan.
 Kekerasan emosi (Emotional Abuse)
Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai bagi
perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figur primer
sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan pencapaian kemampuan sosial dan

6
emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadina dalam konteks
lingkungannya. Segala tingkah laku atau sikap yang mengganggu kesehatan mental anak
atau perkembangan sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif, membandingkannya
dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan atau mengucapkan” aku sayang
kamu”.
 Eksploitasi anak (child exploitation)
Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang
lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman
traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan-
permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial.1

Prosedur Hukum
a. Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik
yang berwenang.2
b. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Kalau
korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, jangan diperiksa,
suruh korban kembali kepada polisi.2
c. Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada tubuh
korban pada waktu permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Bila dokter telah
memeriksa seorang korban yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif
sendiri, bukan atas permintaan polisi, dan beberapa waktu kemudian polisi mengajukan
permintaan dibuatkan Visum et Repertum, maka ia harus menolak, karena segala sesuatu
yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada permintaan untuk dibuatkan Visum
et Repertum merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP ps. 322).
Dalam keadaan seperti itu dokter dapat meminta kepada polisi supaya korban dibawa
kembali kepadanya dan Visum et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan
pada waktu permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan yang lalu tidak diberikan dalam
bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk surat keterangan.2Hasil pemeriksaan
sebelum diterimanya surat permintaan pemeriksaan dilakukan terhadap pasien dan bukan
sebagai corpus dilicti (benda bukti).
d. Ijin tertulis untuk pemeriksaan ini dapat diminta pada korban sendiri atau jika korban
adalah seorang anak, dari orang tua atau walinya. Menjelaskan terlebih dahulu tindakan-

7
tindakan apa yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan
ke pengadilan. Hal ini perlu diketahui walaupun pemeriksaan dilakukan atas permintaan
polisi, belum tentu korban akan menyetujui pemeriksaan itu dan tidak menolaknya. Selain
itu bagian yang akan diperiksa merupakan bagian terprivasi dari tubuh seorang wanita.2
e. Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu memeriksa korban.
f. Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama.
Hindarkan korban dari menunggu dengan perasaan waswas dan cemas di kamar periksa.
Apalagi bila korban adalah seorang anak. Semua yang ditemukan harus dicatat, jangan
tergantung pada ingatan semata.2
g. Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin.
Dengan adanya Visum et Repertum perkara cepat dapat diselesaikan. Seorang terdakwa
dapat cepat dibebaskan dari tahanan, bila ternyata ia tidak bersalah
h. Kadang-kadang dokter yang sedang berpraktek pribadi diminta oleh seorang ibu/ayah
untuk memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa sangsi apakah anaknya masih
perawan, atau karena ia merasa curiga kalau-kala-atas diri anaknya baru terjadi
persetubuhan.2
Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan dahulu maksud pemeriksaan, apakah sekedar ingin
mengetahui saja, atau ada maksud untuk melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan
melakukan penuntutan maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Katakan bahwa
pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan biasanya dilakukan di
rumah sakit. Mungkin ada baiknya dokter memberikan penerangan pada ibu/ayah itu,
bahwa jika umur anaknya sudah 15 tahun, dan jika pesetubuhan terjadi tidak dengan
paksaan maka menurut undang-undang, laki-laki yang bersangkutan tidak dapat dituntut.
Pengaduan mungkin hanya akan merugikan anaknya saja Lebih baik lagi jika orang tua itu
dianjurkan untuk minta nasehat dari seorang pengacara.3
Jika orang tua hanya sekedar ingin mengetahui saja maka dokter dapat melakukan
pemeriksaan. Tetapi jelaskan lebih dahulu bahwa hasil pemeriksaan tidak akan dibuat
dalam bentuk surat keterangan, karena kita tidak mengetahui untuk apa surat keterangan itu.
Mungkin untuk melakukan penuntutan atau untuk menuduh seseorang yang tidak bersalah.
Dalam keadaan demikian umumnya anak tidak mau diperiksa, sebaliknya orang tua malah
mendesaknya. Sebaiknya dokter meminta izin tertulis untuk memeriksa dan
memberitahukan hasil pemeriksaan kepada orang tuanya.3

Aspek Medikolegal
8
Prosedur medikolegal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai
aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar
prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia,
dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.
Pasal 133 KUHAP
(1)Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2)Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3)Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi
label yang memuatkan identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan
pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.4
Penjelasan pasal 133 KUHAP
Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan.
Keputusan Menkeh No. M.01PW.07-03tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP
Dari penjelasan Pasal 133 ayat (2) menimbulkan beberapa masalah antara lain sebagai
berikut:
a. Keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman itu alat bukti sah
atau tidak.
Sebab apabila bukan alat bukti yang sah tentunya penyidikan mengusahakan alat bukti lain
yang sah dan ini berarti bagi daerah-daerah yang belum ada dokter ahli kedokteran
kehakiman akan mengalami kesulitan dan penyidikan dapat terhambat.
Hal ini tidak menjadi masalah walaupun keterangan dari dokter bukan ahli kedokteran
kehakiman itu bukan sebagai keterangna ahli, tetapi keterangan itu sendiri dapat
merupakan petunjuk dan petunjuk itu adalah alat bukti yang sah, walaupun nilainya agak
rendah, tetapi diserahkan saja pada hakim yang menilainnya dalam sidang.4

9
Pasal 179 KUHAP
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.

Pasal 183 KUHAP


Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melalukannya.

Pasal 216 KUHAP


(1)Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat
berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa
tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak Sembilan ribu rupiah.
(2)Disamakan dengan pejabat tersebut diatas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-
undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan
umum.
(3)Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan
yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah
sepertiga4.

Pasal 222 KUHAP


Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.4

10
Bioetik Kedokteran
Peraturan pemerintah No. 10 tahun 1966 yang mengatur tentang kewajiban simpan
rahasia kedokteran mewajibkan seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala sesuatu
yang diketahuinya selama melakukan pekerjaan dibidang kedokteran sebagai rahasia. Namun
PP tersebut memberikan pengecualian sebagaimana terdapat dalam pasal 2, yaitu apabila
terdapat peraturan perundang-undangan yang sederajat (PP) atau yang lebih tinggi (UU) yang
mengatur lain.5
Baik UU kesehatan maupun UU praktik kedokteran juga mewajibkan tenaga
kesehatan untuk menyimpan rahasia peluang pengungkapan informasi kesehatan secara
terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien
b. Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum.
c. Permintaan pasien sendiri.
d. Berdasarkan ketentuan undang-undang.
Ketentuan pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana
oleh karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang memperkuat
peluang bagi tenaga kesehatan dalam keadaan dan situasi tertentu dapat membuka “rahasia
kedokteran” tanpa diancam pidana. Hal ini mengakibatkan “bebasnya” para dokter dan
tenaga administrasi kesehatan dalam membuat visum et repertum (kewajiban dalam KUHAP)
dan dalam menyampaikan pelaporan tentang statistic kesehatan, penyakit wabah dan
karantina (diatur dalam UU terkait).
Alasan lain yang memperbolehkan membuka rahasia kedokteran adalah adanya ijin
atau persetujuan atatu kuasa dari pasien itu sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP), daya
paksa (pasal 48 KUHP), dan dalam rangka membela diri (pasal 49 KUHP). Selain itu etika
kedokteran membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk kepentingan
konsultasi profesional, pendidikan dan penelitian. Permenkes No.749a juga memberi
peluang bagi penggunaan rekam medis untuk pendidikan dan penelitian.5
Dalam kaitannya dengan yang memaksa dikenal dua keadaan, yaitu pengaruh daya
paksa yang memadai (overmacht) dan keadaan yang memaksa (noodtoestand).
Noodstoestand dapat diakibatkan oleh tiga keadaan, yaitu adanya pertentangan antara dua
kepentingan hukum, pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum,
pertentangan antara dua kewajiban hukum. Dalam menggunakan alasan-alasan yang bersifat
hukum di atas haruslah dilakukan dengan pertimbangan yang matang, dan sebaiknya hanya
dilakukan oleh dokter yang bersangkutan dan atau pimpinan saran kesehatan tersebut.
11
Salah satu contoh dari noodstoestan diatas adalah apabila seorang dokter menemui
kasus korban child abuse yang berat atau patut diduga akan terjadi pengulangan yang lebih
berat dikemudian hari. Dalam hal ini, menjaga rahasia kedokteran adalah kewajiban hukum
bagi dokter, namun memberitahukan peristiwa ini kepada pihak yang berwenang adalah demi
membela kepentingan hukum pasien (si anak). Lebih jauh dapat dikatakan bahwa apabila ia
tidak memberitahukan kepada pihak yang berwenang maka keadlian akan tidak tercapai dan
si anak mungkin akan diperburuk keadaannya (bertentangan dengan prinsip etika kedokteran
beneficence dan non-malefance).5

Anamnesis
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat dipercaya,
sebaliknya anamnesis yang diperoleh dari korban tidak selalu benar. Terdorong oleh berbagai
maksud atau perasaan, misalnya maksud untuk memeras, rasa dendam, menyesal atau karena
takut pada ayah/ibu, korban mungkin mengemukakan hal-hal yang tidak benar.1
Anamnesis merupakan suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan oleh dokter
sehingga bukan merupakan pemeriksaan yang obyektif, sehingga seharusnya tidak
dimasukkan dalam Visum et Repertum. Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada
Visum et Repertum dengan judul "keterangan yang diperoleh dari korban". Dalam
mengambil anamnesis, dokter meminta pada korban untuk menceritakan segala sesuatu
tentang kejadian yang dialaminya dan sebaiknya terarah.1,6
Anamnesis terdiri dari bagian yang bersifat umum dan khusus.
Anamnesis umum meliputi :1
a. Umur, tanggal dan tempat lahir
b. status perkawinan
c. siklus haid
d. penyakit kelamin dan penyakit kandungan serta adanya penyakit lain: epilepsi, katalepsi,
syncope.
e. apakah pernah bersetubuh?
f. Persetubuhan yang terakhir?
g. Apakah menggunakan kondom?

Anamnesis khusus meliputi :1,2


a. Waktu kejadian (tanggal dan jam kejadian)

12
Bila waktu antara kejadian dan pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa
hari/minggu, dapat diperkirakan bahwa peristiwa itu bukan peristiwa perkosaan, tetapi
persetubuhan yang pada dasarnya tidak disetujui oleh wanita yang bersangkutan.
Karena berbagai alasan, misalnya perempuan itu merasa tertipu, cemas akan menjadi
hamil atau selang beberapa hari baru diketahui oleh ayah/ibu dan karena ketakutan
mengaku bahwa ia telah disetubuhi dengan paksa. Jika korban benar telah diperkosa
biasanya akan segera melapor. Tetapi saat pelaporan yang terlamba: mungkin juga
disebabkan karena korban diancam untuk tidak melapor kepada polisi. Dari data ini dokter
dapat mengerti mengapa ia tidak dapat menemukan lagi spermatozoa, atau tanda-tanda
lahir dari persetubuhan.
b. Tempat terjadinya. Sebagai petunjuk dalam pencarian trace evidence yang berasal dari
tempat kejadian misalnya rumput, tanah dan sebagainya yang mungkin melekat pada
pakaian atau tubuh korban. Sebaliknya petugas pun dapat mengetahui di mana harus
mencari trace evidence' yang ditinggalkan oleh korban/pelaku.
c. Apakah korban melawan. Jika korban melawan maka pada pakaian mungkin ditemukan
robekan, pada tubuh korban mungkin ditemukan tanda-tanda bekas kekerasan dan pada
alat kelamin mungkin terdapat bekas perlawanan. Kerokan kuku mungkin menunjukkan
adanya sel-sel epitel kulit dan darah yang berasal dari pemerkosa/penyerang.
d. Apakah korban pingsan. Ada kemungkinan korban menjadi pingsan karena ketakutan
tetapi mungkin juga korban dibuat pingsan oleh laki-laki pelaku dengan pemberian obat
tidur atau obat bius. Dalam hal ini jangan lupa untuk mengambil urin dan darah untuk
pemeriksaan toksikologik.
e. Apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi?

Pemeriksaan Fisik
Pakaian ditentukan helai demi helai dan dilihat apakah terdapat robekan lama atau
baru sepanjang jahitan atau melintang pada pakaian, kancing terputus akibat tatikan, bercak
darah, air mani, lumpur dan lain-lain yang mungkin berasal dari tempat kejadian. Dicatat juga
apakah pakaian rapi atau tidak, benda yang melekat dan pakaian yang mengandung trace
evidence dikirim ke laboratorium1.
Pemeriksaan Tubuh. Dijelaskan penampilan, keadaan emosional dan tanda-tanda
bekas hilang kesedaran atau diberikan obat seperti needle marks. Pada kasus yang diduga
terjadi kehilangan kesadaran hendaklah dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Dilihat

13
adanya atau tidak tanda-tanda kekerasan, memer atau luka lecet pada daerah mulut, leher,
pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam dan pinggang.
Dicatat perkembangan alat kelamin\ sekunder, pemeriksaan refleks cahaya pupil,
tinggi dan berat badan, tekanan darah, keadaan jantung dan abdomen. Dilihat juga apakah
terdapat trace evidence yang melekat pada tubuh korban dan sekiranya ada, diambil dan
diperlakukan seperti bahan bukti.

Pemeriksaan pada Pria Tersangka


Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi:
1) Pakaian
2) Rambut kemaluan
 Diambil sebagai bahan pembanding sekiranya terdapat rambut yang ditemukan di
kemaluan korban.
3) Bercak semen
 Dicatat apakah adanya bercak semen.
 Tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu ditentukan
4) Darah
 Kemungkinan darah dari deflorasi.
 Dilakukan pemeriksaan golongan darah yang ditemukan.
5) Tanda bekas kekerasan
 Akibat perlawanan oleh korban
6) Pemeriksaan sel epitel vagina pada glans penis
 Untuk menentukan apakah pria baru melakukan persetubuhan.
 Dilakukan dengan menekan kaca objek pada glans penis, daerah corona atau frenulum.
Kemudian diletakkan terbalik di atas cawan berisi lugol sehingga uap yodium
mewarnai lapisan kaca objek tersebut.
 Sitoplasma sel epitel vgina akan berwarna coklat tua karena mengandungi glikogen.
Dilakukan pemeriksaan secret urethra untuk menetukan apakah ada atau tidak penyakit
kelamin.1,5

Pemeriksaan Fisik Genitalia


Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan speculum hanya apabila pemeriksaan
mengijinkan dan sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis obstetrik dan ginekologi.
1) Rambut kemaluan
14
 Ada atau tidaknya rambut melekat karena air mani mengering.
 Rambut digunting untuk pemeriksaan laboratorium dan untuk perbandingan dengan
rambut kemaluan pria tersangka.
2) Cari bercak air mani sekitar alat kelamin, kerok dengan sisi tumpul skalpel atau swab
dengan kapas lidi dibasahi garam fisiologis
3) Vulva
 Tanda-tanda kekerasan seperti hiperemi,edema, memar dan luka lecet akibat goresan
kuku.
 Introitus vagina dilihat apakah ada tanda-tanda kekerasan.
 Bahan sampel dari vestibulum diambil untuk pemeriksaan sperma.
4) Selaput dara
 Apakah ruptur atau tidak,
 Tentukan apakah ruptur baru atau lama. Pada ruptur lama, robekan menjalar sampai
insertion disertai adanya jaringan parut di bawahnya.
 Catat lokasi ruptur dan apakah sampai insertion atau tidak.
 Ukur lingkaran orifisium dengan cara memasukkan ujung kelingking atau telunjuk
perlahan-lahan sehingga teraba selaput dara menjepit ujung jari. Ukur lingkaran ujung
jari pada batas ini. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5cm dan lingkaran yang
memungkinkan persetubuhan adalah 9cm.
 Harus ingat bahwa persetubuhan tidak selalu terjadi deflorasi.
5) Frenulum labiorum pudenda dan commisura labiorum posterior diperiksa untuk melihat
utuh atau tidak.
6) Perlu juga dilakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada atau tidak penyakit kelamin.
7) Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila terjadi
hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus

Pemeriksaan tanda kekerasan pada tubuh1


1. Cedera Akibat Kekerasan Fisik atau Perlawanan
- Menampar, memukul, menendang, dan menjatuhkan semuanya merupakan tindakan
yang dilakukan pada saat terjadi perlawanan. Bukti-bukti dari kekerasan ini sering kali
terlihat sebagai kontusio disekitar mata, pipi, bibir tetapi bukti ini juga ditemukan
tersebar hampir di seluruh bagian tubuh.

15
- Bagian belakang dari kepala biasanya dibenturkan ke tanah. Jika benturannya cukup
berat, hentakan yang mengenai bagian tulang akan menyebabkan laserasi, hidung
mungkin dapat patah; gigi-geligi tanggal; rahang mungkin akan mengalami fraktur.
- Goresan berbentuk garis pada perut dan lengan bawah memberikan kesan bahwa
korban terseret pada permukaan yang kasar. Partikel-partikel dari kotoran mungkin
membantu dalam mengidentifikasi tempat penyerangan.
- Luka-luka lainnya yang masih berhubungan dengan penyerangan termasuk memar pada
daerah ruas jari, daerah perbatasan ulnar pada sikut atau pada daerah betis.
- Kuku jari korban terkadang patah jika ia mencakar penyerangnya. Bahan-bahan di
bawah kuku seperti jaringan epitel dan darah dapat dikumpulkan dan sangat membantu
dalam mengidentifikasi sang pelaku.

2. Cedera pada Bagian Genital Ekxterna dan Anal


Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat
dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten pada
beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya)
- Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau perineum
- Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam
- Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa mengenai selaput dara
- Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti chron’s disease
atau akibat tindakan medis sebelumnya)
- Eritema (kemerahan/memar) vestibulum atau jaringan sekitar anus (dapat akibat zat iritan,
infeksi atau iritan)
- Adesi labia (mungkin akibat iritasi atau rabaan)
- Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau traksi labia mayor
pada pemeriksaan)
- Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena
infeksi atau trauma)
- Kulit genital semu
- Fisura ani (biasanya iritasi perianal)
- Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter aksterna)
- Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
- Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra, atau mungkin
akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental
16
3. Cedera akibat gigitan
Gigitan agresif ini dapat menyebabkan kerusakan dari jaringan. Goresan-goresan yang
tertinggal sebagai goresan dari gigi disepanjang kulit yang tergigit memiliki bentuk yang
beragam dengan bentuk dari ujung insisi, dan sekali lagi hal ini dapat berharga dalam
proses identifikasi. Tekanan dari gigi itu sendiri, biasanya jika dilakukan secara perlahan
oleh gigi seri, akan meninggalkan sebuah area berbentuk bulan sabit yang berwarna pucat,
masing-masing dikelilingi oleh sebuah gambaran leher yang livid, keseluruhan dari lesi
mencerminkan sebuah lengkungan dari gigi-geligi. Dimensi dan bentuknya akan
menolong untuk mengindikasi apakah si penggigit itu adalah seorang manusia atau bukan,
dan dapat memperkirakan usia dari sang penggigit. Cairan saliva yang ada dan imunologi
mungkin dapat membantu untuk penyelidikan dari sang pelaku. Dokter harus mengingat
bahwa swabdilakukan sebelum sang korban mencuci badannya.1

4. Cedera Seksual Orogenital1


- Sindroma Fellatio Cedera oral akibat fellatio diduga disebabkan oleh kombinasi dari
tekanan negatif intraoral dan dampak langsung dari penis pada daerah palatum. Lesi
patologis yang terjadi biasanya berupa perdarahan submukosa, dengan temuan klinis
meliputi eritema, petekie, atau ekimosis pada sambungan antara palatum durum dan
mole. Lesi dapat unilateral atau bilateral, dapat terpisah atau membentuk gabungan, dan
biasanya tidak melibatkan uvula atau dinding faring. Lesi yang timbul tersebut biasanya
tidak nyeri dan rata (datar).
- Sindroma Cunnilingus Saat melakukan cunnilingus, lidah terjulur jauh ke luar, dan
bergerak-gerak, secara tidak disadari akan menggesek frenulum lingual pada gigi
insisivus mandibular. Temuan klinis menunjukkanlesi ulseratif kecil dengan eksudat
fibrin berwarna keputihan dengan tepi eritem pada bagian tengah dari frenulum lingual.
Pada aktivitas cunnilingus berulang dapat menyebabkan fibroma traumatik kecil.
Gejala meliputi nyeri pada lidah dan tenggorokan.

Pemeriksaan Laboratorium1
a. Pemeriksaan cairan mani dan sel mani dalam lendir vagina, lakukan dengan mengambil
lendir vagina menggunakan pipet pasteur atau diambil dengan ose batang gelas, atau swab.
Bahan diambil dari forniks posterior, bila mungkin dengan spekulum. Pada anak-anak atau
bila selaput dara utuh, pengambilan sahan sebaiknya dibatasi dari vestibulum saja.
17
b. Pemeriksaan terhadap kuman N. gonorrhoea: dari sekret urether (urut dengan jari) dan
dipulas dengan Pewarnaan Gram.
Pemeriksaan dilakukan pada hari ke-I, III, V dan VII. Jika pada pemeriksaan didapatkan
N. gonorrhoea berarti terbukti adanya kontak seksual dengan seseorang penderita, bila
pada pria tertuduh juga ditemukan N. gonorrhoea, ini merupakan petunjuk yang cukup
kuat. Jika terdapat ulkus, sekret perlu diambil untuk pemeriksaar serologik atau
bakteriologik.
c. Pemeriksaan kehamilan dan pemeriksaan toksikologik terhadap urin dan darah juga
dilakukan bila ada indikasi.

Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium pada korban persetubuhan1


Jenis Nama Bahan Yang diperiksa Hasil positif
pemeriksaan pemeriksaan pemeriksaan bila terdapat
Penyaring Fosfatase Swab/bilas Mani Warna ungu <
asam vagina 30 detik
Bercak pakaian
Penentu Berberio Swab/bilas Mani Spermin
vagina
Bercak pakaian
Fluorence Swab/bilas Mani Kholin
vagina peryodida
Bercak pakaian
Puranen Swab/bilas Mani Spermin
vagina flavinat
Bercak pakaian
Penentu Langsung Swab/bilas Sperma Sperma motil
vagina
Penentu Pewarnaan Swab/bilas Sperma Sperma
vagina
Penentu Baechi Bercak pakaian Sperma Sperma

18
Psikososial
Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau timbulnya
penyakit kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal terakhir,
pencegahan dengan memberikan pil kontrasepsi serta antibiotic lebih bijaksana dilakukan
ketimbang menunggu sampai komplikasi tersebut muncul.
1. Pelaku perkosaan
Aspek pelaku perkosaan merupakan merupakan aspek yang paling sering dilupakan
oleh dokter. Padahal tanpa adanya pemeriksaan ke arah ini, walaupun telah terbukti
adanya kemungkinan perkosaan. amatlah sulit menuduh seseorang sebagai pelaku
pemerkosaan. Untuk mendapatkan informasi ini dapat dilakukan pemeriksaan kutikula
rambut dan pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA dari sampel yang positip
sperma/maninya.
2. Dampak Bagi Korban
Dampak secara fisik yang dapat terjadi pada anak korban kekerasan seksual adalah
mengalami infeksi di saluran reproduksinya. Misalnya, mengalami keputihan dan memar
di bagian kelamin. Selain itu mereka juga sangat beresiko terhadap penyakit menular
seksual dan mengalami kehamilan. Padahal, kehamilan di usia dini bisa membahayakan
bagi yang mengandung maupun janin yang dikandung. Dengan demikian anak korban
yang mengalami kehamilan membutuhkan pengawasan medis secara intensif.
Akibat lain dari kasus kekerasan seksual adalah dampak psikologis berupa trauma
yang dialami sebagian besar korban. Bentuk trauma berbeda antara satu korban dengan
korban lainnya. Trauma ini tergantung dari usia korban serta bentuk kekerasan yang
dialami korban. Trauma dapat berupa ketakutan bertemu dengan orang lain, mimpi buruk
atau ketakutan saat sendiri.
3. Dampak pada lingkungan sekitar korban
Dampak lebih besar terjadi apabila lingkungan korban tidak mendukung korban.
Akibatnya, korban menjadi malu dan rendah diri. Banyak korban yang akhirnya harus
pindah dari sekolah karena selalu menjadi bahan perbincangan guru dan teman di
sekolahnya. Bahkan ada keluarga korban yang harus pindah tempat tinggal karena
dianggap telah membuat cemar lingkungan tempat tinggalnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan
seksual. Pendampingan psikologis dapat dilakukan melalui dukungan kepada korban dan
keluarga korban. Dukungan ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi korban dan keluarga

19
ketika menghadapi kasus tersebut. Anak-anak korban ini rentan terhadap infeksi dan harus
mendapatkan perawatan agar tidak mengganggu kesehatan reproduksi mereka di masa
yang akan datang. Karena itulah, pelayanan medis secara intensif sangat diperlukan bagi
korban.
Selain dukungan medis dan psikologis, korban juga membutuhkan pendampingan di
bidang hukum, mulai dari pendampingan di kepolisian sampai dengan proses di
pengadilan. Selama mendampingi proses hukum, pengawalan terhadap proses hukum yang
terjadi dalam setiap tahapnya sangatlah penting. Hal yang perlu ‘dikawal’ antara lain,
apakah semua proses sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; apakah
dalam penyidikan polisi sudah memperhatikan hak-hak anak; apakah hakim mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang lebih berperspektif pada korban; apakah jaksa yang
merupakan wakil korban di pengadilan juga sudah berperspektif pada korban.5,7

Terapi
Secara garis besar meliputi 3 tujuan, yaitu pencegahan infeksi penyakit menular
seksual, pencegahan kehamilan, dan penatalaksanaan trauma korban.
Infeksi yang dideteksi dalam 24 jam setelah kejadian sebagian besar telah diderita
sebelum kejadian. Untuk mencegah penyakit menular seperti gonore dan sifilis, berikan
penisilin 4,8 juta unit atau amoksisilin 3 g dan probenesid 1 g atau seftriakson 250 mg
intramuskular. Bila alergi penisilin, berikan spektinomisin 2 g intramuskular diikuti
doksisiklin 100 mg 2 kali sehari peroral selama 7 hari. Wanita hamil diberikan eritromisin
500 mg 4 kali sehari selama 7 hari, sedangkan anak-anak 30-50 mg/kg BB/hari dibagi dalam
4 dosis. Pemberian tergantung pula pada hasil sensitivitas bakteri lokal. Untuk klamidia dapat
diberikan azitromisin 1 g dosis tunggal oral. Untuk anak-anak tidak direkomendasikan
profilaksis, kecuali tersangka diketahui infeksi.
Pemeriksaan dan penatalaksanaan HPV, HIV, hepatitis dan hespes simpleks masih
menjadi kontroversi karena masa latennya yang panjang. Untuk mencegah kehamilan dapat
diberikan pil kontrasepsi pascasenggama bila masih dalam waktu yang ditentukan
(keterangan mengenai pil yang digunakan dapat dibaca dalam subbab Kontrasepsi). Lakukan
tes kehamilan yang efektif sebelum dilakukan pengobatan bila dicurigai terdapat kehamilan
sebelumnya.
Trauma fisik umumnya bila perlu diberikan suntikan tetanus toksoid pada luka yang
cukup dalam. Yang paling penting adalah trauma psikologis yang diderita, biasanya terdiri
dari fase akut dan fase jangka panjang. Mula-mula pasien dapat bersikap ekspresif, termasuk
20
marah, sedih, dan ansietas, atau bersikap terkontrol. Gangguan paling umum diderita adalah
somatisasi dan dapat berlangsung selama 3-6 bulan. Fase jangka panjang dapat berlangsung
bertahun-tahun, termasukdepresi, disfungsi seksual, penyalahgunaan zat, percaya diri yang
rendah, obesitas, dan nyeri panggul kronik. Dilakukan pemeriksaan ulang 7-14 hari kemudian
untuk tes serologi dan kultur gonore tetap negatif, pasien tidak hamil, dan terapi psikologis
yang diperoleh sesuai.8

Peranan LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang
didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari
kegiatannya.
Dalam hal kejahatan seksual terhadap anak, LSM berperan penting. Peran LSM
tersebut mencakup:
a. Memberikan konseling dan rasa aman
b. Menerangkan mengenai hak-hak korban
c. Memberikan dan menyediakan tempat yang aman bagi korban (bila pelaku kejahatan
tinggal di rumah yang sama)
d. Melakukan koordinasi terpadu dengan pelayanan kesehatan dan polisi
e. Mendampingi korban secara objektif dan menyeluruh
f. Menguatkan psikologis dan fisik pasien

Peran LSM dalam Penanganan Masalah Kejahatan Seksual


1. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
Peran (Pasal 76): Melakukan sosialisasi Perundangan, mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.Memberikan laporan, saran,
masukan dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak.
2. KOMNAS ( Komisi Nasional Perlindungan Anak)
Prinsip organisasi :Memiliki prinsip sebagai organisasi yang independen dan memegang
teguh prinsip pertanggungjawaban publik serta mengedepankan peluang dan kesempatan
pada anak dan partisipasi anak serta menghargai dan memihak pada prinsip dasar anak.
Menjamin hak anak untuk menyatakan pendapatnya secara bebas dalam semua hal yang
menyangkut dirinya dan pandangan anak selalu dipertimbangkan sesuai kematangan anak.
21
Secara khusus akan mengupayakan dan membela hak untuk berpartisipasi dan didengar
pendapatnya dalam setiap kegiatan, proses peradilan dan administrasi yang mempengaruhi
hidup anak.
Komisi Nasional Perlindungan Anak memiliki peran :
1. Pemantauan dan Pengembangan Perlindungan Anak
2. Advokasi dan Pendampingan pelaksanaan Hak-Hak Anak
3. Kajian strategis terhadap berbagai kebijakan yang menyangkut Kepentingan Terbaik Anak
4. Kordinasi antar Lembaga, baik tingkat Regional, Nasional maupun Internasional

Komisi Nasional Perlindungan Anak memiliki fungsi :


1. Melakukan pengumpulan data, informasi dan investigasi terhadap pelanggaran hak-hak
anak di Indonesia.
2. Melakukan kajian hukum dan Kebijakan Regional dan Nasional yang tidak memihak pada
kepentingan terbaik anak.
3. Memberikan penilaian dan pendapat kepada pemerintah dalam rangka mengintegrasikan
hak-hak anak dalam setiap kebijakan.
4. Memberikan pendapat dan laporan independen tentang hukum dan kebijakan berkaitan
dengan anak.
5. Menyebarluaskan, publikasi dan sosialisasi informasi tentang hak-hak anak dan situasi
anak di Indonesia.
6. Menyampaikan pendapat dan usulan tentang pemantauan, (pemajuan atau kemajuan), dan
perlindungan hak-hak anak kepada parlemen, pemerintah dan lembaga terkait.
7. Mempunyai mandat untuk membuat laporan alternative kemajuan perlindungan anak di
tingkat nasional.
8. Melakukan perlindungan khusus.

22
Visum et Repertum

RUMAH SAKIT UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


BAGIAN /INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
Telp Jl. Arjuna Utara No. 7 Telp. (021) 56942061, Jakarta 11510

Nomor: 007/VER/RSUKRIDA/I/2015 Jakarta, 21 Desember 2017


Lamp. : 3 halaman
Perihal : Hasil Pemeriksaan Atas Korban Mawar

PROJUSTITIA

VISUM ET REPERTUM
NO: KF 25/VR/IV/2013
Yang bertanda tangan di bawah ini, dr Lydia Natasha, dokter ahli kedokteran forensik
pada Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
Wacana Jakarta, menerangkan bahwa atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Polisi
Jakarta No.Pol: B/790/VR/I/15/Serse tertanggal dua puluh satu desember dua ribu tujuh
belas, maka pada tanggal dua puluh satu desember dua ribu tujuh belas, pukul satu siang
Waktu Indonesia Bagian Barat, bertempat di ruang pemeriksan Bagian Forensik Fakultas
Kedokteran universitas kristen krida wacana telah melakukan pemeriksaan atas korban yang
menurut surat permintaan tersebut adalah:
Nama : Rose
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : Empat belas tahun
Kewarganegaraan : Indonesia

23
Pekerjaan..........
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
BAGIAN /INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
Telp Jl. Arjuna Utara No. 7 Telp. (021) 56942061, Jakarta 11510

Lanjutan Visum et Repertum Nomor:


007/VER/RSUKRIDA/I/2015
Halaman ke 2 dari 3 halaman

Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jalan daan Mogot No. 20 Jakarta Barat

Hasil pemeriksaan
Pada pemeriksaan ditemukan:
a. Perempuan tersebut adalah seorang wanita berumur empat belas tahun dengan kesadaran
baik, emosi tegang, rambut rapi, penampilan bersih, sikap selama pemeriksaan membantu
b. Pakaian rapi, tidak ditemukan robekan -----------------------------------------------------------
c. Tanda kelamin sekunder sudah berkembang dengan baik----------------------------------------
d. Keadaan umum jasmaniah baik, tekanan darah seratus dua puluh per delapan puluh
milimeter air raksa, denyut nadi delapan puluh sembilan kali per menit, pernapasan dua
puluh kali per menit----------------------------------------------------------------------------------
e. Ditemukan adanya luka memar dan lecet pada daerah mulut, leher, pergelangan tangan,
paha bagian dalam, bokong, pinggang, dan jejas gigit pada daerah payudara-----------------
f. Pemeriksaan Alat Kelamin:
 Rambut kemaluan : Saling melekat menjadi satu karena air mani yang mengering
dan adanya bercak mani sekitar alat kelamin-------------------------------------------------
 Mulut alat kelamin : Pada kedua bibir kecil kemaluan tampak kemerahan, terdapat

24
Luka lecet tekan...........
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
BAGIAN /INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
Telp Jl. Arjuna Utara No. 7 Telp. (021) 56942061, Jakarta 11510

Lanjutan Visum et Repertum Nomor:


007/VER/RSUKRIDA/I/2015
Halaman ke 3 dari 3 halaman

luka lecet tekan dan memar yang merupakan tanda kekerasan------------------------------


 Selaput dara : Terdapat robekan pada selaput dara hingga ke dasar sesuai
dengan arah jarum jam enam--------------------------------------------------------------------
 Leher rahim : Tampak merah keunguan dengan permukaan licin, lunak---------
g. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya sel mani dalam leher rahim--------------

KESIMPULAN
Pada anak perempuan yang baru berumur 14 tahun ini ditemukan sel mani dalam liang
vagina, selanjutnya ditemukan robekan selaput dara pada lokasi pukul enam sesuai dengan
arah jarum jam.---------------------------------------------------------------------------------------------
-
Ditemukan juga luka memar dan lecet akibat kekerasan tumpul di daerah mulut, leher,
pergelangan tangan, paha bagian dalam, bokong, pinggang, dan jejas gigit pada daerah
payudara.-------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium memang benar yang bersangkutan
telah terjadi persetubuhan.------------------------------------------------------------------------------
Demikian saya uraikan dengan sebenar-benarnya berdasarkan keilmuan saya yang sebaik-
baiknya mengingat sumpah sesuai dengan KUHAP------------------------------------------------
Dokter yang memeriksa,
dr. Mira Nur Indah

Kesimpulan

25
Untuk menyelesaikan kasus kejahatan seksual, tidak hanya membutuhkan intervensi
medis semata tapi menuntut diambilnya langkah penanganan yang holistic dan komprehensif
termasuk dukungan psikososial yang secara otomatis memerlukan dukungan optimal dari
keluarga dan masyarakat. Tugas dokter tidak hanya menjalankan
fungsi maksimal dalam bidang kesehatan, namun dokter tersebut dituntut untuk
memanfaatkan ilmu pengetahuan kedokteran seoptimal mungkin dan mematuhi tuntutan
undang-undang terhadapnya terutama dalam kasus yang melibatkan proses hukum. Pada
keterangan yang dibuat oleh dokter dicantumkan apakah adanya tanda-tanda persetubuhan
atau tidak. Dokter tidak mempunyai wewenang untuk menilai apakah suatu kasusadalah
pemerkosaan atau tidak. Penting untuk dokter melakukan observasi lebih lanjut terhadap
korban untuk mengetahui penemuan yang dapat dianalisa lebih lanjut. Selain dari segi fisik,
dokter juga harus memperhatikan bagaimana kesehatan mental korban. Untuk itu, untuk
kasus dengan adanya tanda-tanda persetubuhan diperlukan observasi yang cukup lama.

26
Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Hertian S, Sampurna B, Purwadianto A, et al.
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1997.h.5-16, 147-158, 177-206.
2. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1994.h.33-7.
3. Untoro E, Atmadja DS, Pu CE, Wu FC. Allele Frequency of CODIS 13 in Indonesian
Population. Legal Medicine; 2009.h.11.
4. Slamet P, Djaja SA, Yuli B. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1994. h.33-6
5. S. Budi, S. Zulhasmar, D.S. Tjetjep. Bioetik dan Hukum Kedokteran, rahasia kedokteran,
Cetakan Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.56-8
6. Wibisana W, Mun’im TWA, dkk. Pemeriksaan Medik pada Kasus Kejahatan Seksual.
Ilmu Kedokteran Forensik. Ed 1, Cetakan ke-2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI;
1997.h.147-58.
7. Idries, A.M., Tjiptomartono, A.L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto; 2008.h.113-32
8. Videbeck SL. Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC; 2008.h.288-90

27

Anda mungkin juga menyukai