Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDUHULUAN

A. Latar Belakang

Teori Deontologi adalah konsep yang menitik beratkan pada kewajiban.Konsep ini
menyiratkan adanya pembedaan antara sekian kewajiban yang hadir bersamaan. Satu
persoalan kadang terlihat baik satu sudut pandangtetapi buruk dari sudut pandang lain.
Penilaian baik dan buruk nya tidak semata-mata bertolak dari nilai kebaikan dan keburukan
begitu saja (David Mc Naugton). Baik dan buruk di nilai berdasarkan konteks terjadinya
suatu perbuatan bisa saja perbuatan A benar berdasarkan prinsip-prinsip umun yang diterima
oleh masyarakat, tetapi konteksnya menyebabkan perbuatan itu terlihatburuk dan berdampak
negative manakala dilakukan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian secara umum Etika Deontologi?
2. Bagaimana ajaran pokok etika deontology menurut kant ?
3. Bagaimana contoh dari Etika Deontologi?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian Etika Deontologi
2. Dpat mengetahui pokok etika deontology
3. Dapat mengetahui contoh dari etika deontology

1
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Deontologi

Etika deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti
kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu
harus ditolak sebagai keburukan, deontologi menjawab, ‘karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’.

Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika
deontology yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan
deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika
yang terpenting.

Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :

1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu
melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari
tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.

Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada
dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu
tindakan dinilai buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan.
Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian.
Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah tindakan
yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari.

Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif
kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan
tempat.Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki
akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan dikehendaki
oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa
syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya
tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.

Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan
tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk
menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi subyektivitas
dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban moral.

2
Contoh: Misalkan kita tidak boleh mencuri, berdusta untuk membantu orang lain, mencelakai
orang lain melalui perbuatan ataupun ucapan, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak
bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu keharusan.

Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauna baik dan watak
yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. Bahkan menurut Kant, kemauan baik harus
dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apa pun juga. Maka, dalam menilai tindakan kita,
kemauan baik harus dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.

Ada dua kesulitan yang dapat diajukan terhadap teori deontologi. Pertama, dalam
kehidupan sehari-hari ketika menghadapi situasi yang dilematis, etika deontologi tidak memadai
untuk menjawab pertanyaan bagaimana saya harus bertindak dalam situasi konkret yang
dilematis itu. Ketika ada dua atau lebih kewajiban yang saling bertentangan, ketika kita harus
memilih salah satu sambil melanggar yang lain, etika deontologi tidak banyak membantu karena
hanya mengatakan, bertindaklah sesuai dengan kewajibanmu.Persoalan kedua, sebagaimana
dikatakan oleh John Stuart Mill, para penganut etika deontologi sesungguhnya tidak bisa
mengelakkan pentingnya akibat dari suatu tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik
atau buruk.para penganut etika deontologi secara diam-diam menutup mata terhadap pentingnya
akibat suatu tindakan supaya bias memperlihatkan pentingnya nilai suatu tindakan moral itu
sendiri.

Kedua persoalan tersebut tapi dapat dipecahkan, persoalan pertama dipecahkan oleh W.D
Ross dengan mengajukan prinsip prima facie. Menurut Ross, dalam kenyataan hidup ini, kita
menghadapi berbagai macam kewajiban moral bahkan bersamaan dalam situasi yang sama.
Dalam situasi seperti ini kita pertlu menemukan kewajiban yang terbesar dengan membuat
perbandingan antara kewajiban-kewajiban itu. Untuk itu, Ross memperkenalkan perbedaan
antara kewajiban prima facie dan kewajiban-kewajiban actual. Kewajiban prima facie adalah
kewajiban yang selalu harus dilaksanakan kecuali kalau bertentangan dengan kewajiban lain
yang sama atau lebih besar.

Pandangan Adam Smith, mengenai persoalan kedua adalah suatu tindakan dapat dinilai
baik atau buruk berdasarkan motif pelakunya serta berdasarkan akibat atau tujuan dari tindakan
itu. Hanya saja dipihak lain, bagi Adam Smith, motif dan kemauan saja tidak dengan sendirinya
menentukan nilai suatu tindakan. Juga motif tidak dengan sendirinya membebaskan seseorang
dari kesalahan moral karena tindakannya.Misalnya, seseorang tanpa sengaja membuang kulit
pisang dipinggir jalan, kemudian kulit pisang itu menyebabkan seseorang yang lain terjatuh
hingga terluka bahkan menemui kematian, jelaslah melakukan suatu tindakan yang salah secara
moral, bukan karena motifnya untuk melukai atau membunuh, melainkan karena tindakannya itu
berakibat merugikan orang lain.

3
Ajaran pokok etika deontologis menurut Kant

Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan
itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar
kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'. Istilah "deontology" dipakai pertama kali
oleh C.D. Broad dalam bukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering
disebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk
diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialist theory of ethics).

Para penganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagai pelopornya
misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari
apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma
moral "jangan bohong" atau "bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu
apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus
ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalk semua manusia sebagai
makhluk rasional.

Menurut paham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk
egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral dengan akibat
baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong hanya kalau itu menguntungkan si
pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik yang lebih besar dari akibat buruknya, akan
merendahkan martabat moral. Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh
apabila ia secara prinsipial tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka
kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu sikap atau
tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk,
melainkan apakah sesuai dengan norma-norma atau hukum moral atau tidak.

Tujuan filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam
guna menentukan keabsahan (validitas) peraturan-peraturan moral. Ia berusaha untuk
menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi murni, dan bukan pada
kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan kerangka dasar prinsip dan peraturan
yang bersifat rasional dan yang mengikat serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-
tujuan dan keinginan-keinginan pribadinya. Norma moral mengikat setiap orang di mana pun
dan kapan pun tanpa kecuali. Dasar moralitas mesti ditemukan dalam prinsip-prinsip akal budi
(rasio) yang dimiliki secara umum oleh setiap orang. Suatu sikap atau tindakan secara moral
betul hanya kalau itu sesuai dengan norma atau hukum moral yang dengan sendirinya mengikat
setiap orang yang berakal budi.

Kant sangat menekankan pelaksanaan kewajiban moral demi tugas itu sendiri dan bukan
demi tujuan-tujuan lain. Kalimat pertama dalam bukunya Grundlegung zür Metaphysik der
Sitten (Prinsip-prinsip Dasar Metafisika Moral) adalah pernyataan bahwa yang baik sungguh-
sungguh (tanpa syarat apa-apa) adalah kehendak baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi
sebagai ciri pokok tindakan moral, dan kemurnian ini nampak dari sikap mentaati kewajiban
moral demi hormat terhadap hukum/norma yang mengatur tingkah lakunya, bukan demi alasan
lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang mesti bertindak tidak hanya sesuai dengan

4
tugas dan kewajibannya tetapi juga demi tugas dan kewajibannya tersebut. Pelaksanaan tugas
dan kewajiban moral karena itu dianggap menguntungkan untuk dirinya atau orang lain,
dianggap tidak ada kaitannya dengan moralitas.

Karena tujuan menjaga kemurnian motivasi ini, maka Kant memberikan norma dasar
moral yang melulu bersifat formal. Ia tidak menunjukkan apa yang secara konkret merupakan
kewajiban manusia. Dengan kata lain, ia tidak memberi isi material tentang hal yang mesti
dilakukan oleh seorang pelaku moral dalam situasi konkret. Norma dasar moral yang melulu
bersifat formal itu dia sebut sebagai imperatif kategoris (perintah yang mengikat mutlak setiap
mahkluk rasional dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri). Rumusan pokok imperatif
kategorisnya yang menegaskan prinsip universalisasi kaidah tindakan berbunyi sebagai berikut:
"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip atau kaidah tindakanmu itu bisa sekaligus kau
kehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum". Sedangkan rumusan keduanya yang menegaskan
prinsip hormat terhadap manusia sebagai person atau pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri
adalah: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan entah
dalam dirimu sendiri atau dalam diri orang lain senantiasa sebagai tujuan dalam dirinya sendiri,
dan tidak pernah melulu sebagai sarana."

2. Kekuatan etika deontologis

2.1. Memberi dasar kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral

Dengan menekankan bahwa prinsip moralitas bisa diturunkan secara apriori dari akalbudi
murni dan tidak ditentukan baik oleh objek tindakan, oleh akibat-akibatnya, maupun oleh
kepentingan-kepentingan subjek pelaku, maka etika deontologis Kant memberi dasar yang kokoh
bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral. Seperti sudah pernah kita bicarakan,
rasionalitas kesadaran moral menuntut bahwa penentuan benar salahnya tindakan atau baik
buruknya kelakuan manusia itu bukan hanya perkara selera atau perasaan belaka dari orang yang
memberi penilaian, melainkan bahwa itu berdasarkan suatu prinsip yang nalar (masuk akal).
Keputusan moral itu bisa dan perlu dipertang-gungjawabkan sehingga kebenarannya dapat diuji
oleh orang lain. Objektivitas kesadaran moral juga dijamin oleh etika deontologis melawan arus
subjektivisme dan relativisme, karena prinsip yang secara apriori diturunkan dari akalbudi murni
itu prinsip yang berlaku umum dan mengikat secara mutlak setiap manusia sejauh ia mahkluk
yang berakalbudi (rasional).

2.2. Memberi tolok ukur yang perlu dan penting untuk menilai moralitas suatu
tindakan, yakni prinsip universalitas

Imperatif kategoris Kant sebagaimana dirumuskan di atas, kendati, seperti masih akan
kita lihat di bawah, belum mencukupi sebagai tolok ukur penilaian moralitas tindakan, sudah
memberi salah satu unsur yang memang perlu dan penting, yakni prinsip universalitas. Tindakan
yang secara moral betul setidak-tidaknya mesti didasarkan atas prinsip yang tidak hanya berlaku
untuk subjek pelaku tertentu dan pada waktu serta kondisi tertentu, melainkan pada prinsip yang
bisa disetujui dan berlaku untuk semua orang di mana dan kapan saja mereka berada.

5
2.3. Menjamin otonomi dan keluhuran martabat manusia

Etika deontologis Kant yang menekankan peranan akalbudi sendiri sebagai sumber
hukum yang wajib ditaati secara mutlak, menolak segala bentuk heteronomi atau penentuan dari
luar. Akalbudi praktis atau kehendak yang rasional bagi Kant adalah otonom, karena ia tidak
tunduk pada hukum lain selaian yang telah ditetapkannya sendiri. ["Autonomy of the will is that
property of the will by which it gives a law to itself (irrespective of any property of the object of
volition). This then is the principle of autonomy: never to choose otherwise than so that the
maxims of one's choice be also comprehended in the same volition as universal law" -[1] Kant
barusaha menghindarkan bahaya heteronomi etika teonom dengan menempatkan Tuhan, sebagai
sumber hukum yang tertinggi dan tujuan akhir yang bersifat mutlak, di luar ruang lingkup
moralitas. Hukum-hukum Tuhan secara moral mengikat mutlak sejauh itu disadari begitu oleh
akalbudi. Adanya Tuhan dalam filsafat Kant hanyalah salah satu postulat untuk moralitas dan
bukan bagian hakiki dan konstitutif darinya.

Etika deontologis Kant juga menjamin keluhuran martabat manusia, karena seperti
nampak dari perumusan kedua imperatif kategoris di atas, manusia mesti diperlakukan sebagai
tujuan dalam dirinya sendiri dan tidak pernah melulu sebagai sarana. Setiap manusia sebagai
pengada rasional (rational being) adalah seorang pribadi (a person) yang bermartabat luhur.
Manusia dalam etika Kant tak pernah boleh diperalat untuk suatu tujuan-tujuan tertentu yang
pencapaiannya mengorbankan manusia tersebut. Dalam hal ini etika Kant misalnya bisa
berfungsi kritis terhadap sikap utilitarian yang sering muncul sebagai argumen bagi pembenaran
tindakan penggusuran atau pengorbanan seseorang/kelompok demi kepentingan orang banyak.

3. Kesulitan pokok etika deontologis Kant

3.1. Tidak memberi tempat bagi adanya dilema moral dan tidak bisa memberi jalan
keluar bila terjadi konflik prinsip moral

Dilema moral adalah situasi ketika seorang pelaku S secara moral wajib untuk melakukan
A dan sekaligus juga secara moral wajib untuk melakukan B, namun ia tak dapat melakukan
keduanya sekaligus, entah karena dengan melakukan A itu berarti ia tidak melakukan B, atau
karena keterbatasannya sebagai manusia tidak memungkinkan untuk melakukan keduanya
sekaligus. Sebagai contoh misalnya dalam ceritera drama Sophocles yang berjudul Antigone,
raja Creon menetapkan bahwa upacara penguburan untuk Polyneices kakak Antigone dianggap
melawan hukum setempat yang melarang memeberikan penghormatan terhadap seorang
pengkianat seperti Polyneices. Dengan demikian Antigone telah melanggar kewajibannya
terhadap negara. Di lain pihak sebagai adik kandung Plyneices ia secara keagamaan dan
kekeluargaan berkewajiban untuk melakukan upacara penguburan itu. Dalam ceritera sendiri
Antigone memilih untuk mengikuti kewajibannya yang kedua, tetapi sebenarnya kasus itu bisa
merupakan contoh adanya dilemma moral. Etika deontologis Kant menganggap bahwa orang
tidak mungkin terikat oleh dua kewajiban moral yang sama. Bagi Kant kalau Antigone wajib
secara moral untuk melakukan upacara penguburan untuk kakaknya, ia tidak terikat oleh
kewajiban moral untuk tunduk pada peraturan negara yang telah ditetapkan oleh rajanya.
Menurut dia salah satu kewajiban itu pasti keliru. Dalam praktek hidup, halnya tidak sesederhana

6
itu. Bahkan seandainya orang akhirnya terpaksa memilih salah satu, tetap dia merasa bahwa
kewajibannya yang lain bukanlah hal yang begitu saja dapat diabaikan.

Karena etika deontologis Kant tidak memberi ruang pada adanya dilemma moral, maka ia
juga tidak bisa memberi jalan keluar bila terjadi konflik prinsip moral. Misalnya, seorang dokter
berdasarkan prinsip informed consent wajib secara moral memberitahukan kepada pasiennya apa
yang menjadi penyakit dia sesungguhnya, sehingga ia perlu menjalani treatmenttertentu. Akan
tetapi pasien tersebut juga mengidap penyakit jantung dan ada kemungkinan besar bahwa
pemberitahuan apa adanya mengenai penyakitnya akan menyebabkan dia terkejut dan malah
mati mendadak. Dalam hal ini prinsip informed consent dan sekaligus prinsip larangan untuk
berbohong, bertabrakan dengan prinsip hormat terhadap hidup manusia. Karena dalam sistem
etika deontologis semua kewajiban moral mengikat setiap makhluk rasional secara mutlak, maka
dalam kasus tersebut dokter berhadapan dengan suatu dilema moral yang sulit dicari jalan
keluarnya. Etika deotologis tidak memberi tempat bagi penentuan kewajiban kongkrit
berdasarkan pertimbangan akibat tindakan.

3.2. Kemutlakan norma tanpa kemungkinan pengecualian dengan mengindahkan


akibat tindakan, sulit diterima

Teori etika deontologis tidak mengenal kekecualian; ada norma ada kewajiban yang
mengikat mutlak; jadi harus dilaksanakan entah apa pun akibatnya. Kant misalnya memberi
contoh bahwa orang wajib untuk mengatakan yang benar, meskipun dalam kasus ada seorang
pembunuh bayaran yang mencari seseorang yang saya tahu di mana dia bersembunyi. Argumen
dia yang mengatakan bahwa kalau kita berdusta dengan maksud untuk melindungi atau
menyelamatkan nyawa orang itu lalu menunjuk suatu tempat lain, padahal kebetulan orang yang
dimaksud tanpa sepengetahuan kita sudah pindah ke tempat yang kita tunjuk itu, sehingga si
pembunuh tadi berhasil menemukan dan membunuh dia, kita salah dua kali: pertama melanggar
kewajiban untuk berkata benar, dan yang kedua menyebabkan orang itu mati dibunuh.
Sedangkan kalau kita mengatakan sebenarnya, andaikan orang itu lalu terbunuh, maka
pembunuhan itu bukanlah karena kesalahan kita. Argumen ini rupanya tidak begitu meyakinkan.

3.3. Imperatif kategoris Kant melulu formal, hingga tidak membantu mengerti
kewajiban mana yang secara konkret mengikat seorang pelaku moral

Dengan mengembalikan semua norma norma kepada satu prinsip saja, yakni imperatif
kategoris, Kant bisa menghindarkan diri dari adanya konflik norma, tetapi dia tidak berhasil
untuk menunjukkan bagaimana dari satu norma dasar yang melulu bersifat formal itu dapat
disimpulkan norma-norma material konkret yang wajib diikuti. Imperatif kategoris hanya
menegaskan apa yang tidak boleh dilakukan (misalnya: jangan ingkar janji, jangan dusta, jangan
bunuh diri etc.), bukan apa yang secara positif perlu dilakukan. Mengenai kegiatan-kegiatan apa
yang harus dilakukan, tujuan-tujuan mana perlu dikejar, imperatif kategoris tidak memberi
keterangan apa-apa. Moralitas dalam hal ini lalu hanya menetapkan batas-batas ruang lingkup
kegiatan hidup kita, tetapi tidak memberi arah. Imperatif kategoris Kant memberi tolok ukur
untuk menguji benar tidaknya suatu kaidah tindakan, tetapi tidak membantu mengetahui dari
mana seorang pelaku moral memperoleh kaidah yang mau diuji tersebut. Dengan demikian
moralitas dalam teori etika Kant mengandaikan adanya suatu praktek moral yang sudah berlaku.

7
4. Keberlakuan prima facie

Salah satu jalan keluar dari konflik prinsip moral dalam teori etika deontologis Kant
ditunjuk oleh Sir W.D. Ross (1877-1971). Ross membedakan antara kewajiban yang sungguh-
sungguh berlaku. Menurut Ross, semua kewajiban moral memang berlaku tanpa kekecualian,
tetapi hanya prima facie. Berlaku prima facie berarti: berlaku kalau masalahnya hanya dilihat
dari segi kewajiban itu saja, jadi kalau tidak ada alasan-alasan moral dari segi kewajiban lain
yang perlu diperhatikan. Dengan demikian suatu kewajiban hanya mengikat, kalau tidak ada
kewajiban lain yang juga mengikat. Kalau ada kewajiban yang bertentangan, orang yang
bersangkutan harus memilih menurut keinsafannya sendiri, dan untuk itu tidak ada peraturan
lagi. Jadi suatu norma moral dengan sendirinya hanya berlaku prima facie, tidak sungguh-
sungguh. Manakah kewajiban yang sungguh-sungguh berlaku bagi seseorang, artinya yang betul-
betul mengikat dia dalam batin, tidak dapat dipastikan secara teoretis. Jadi kita secara teoretis
hanya dapat mengatakan norma mana saja yang berlaku dan sejauh mana kekuatannya, tetapi
bagaimana suatu tabrakan antara dua norma yang seimbang dipecahkan hanya dapat disadari dan
diputuskan oleh yang bersangkutan, jadi yang berada secara konkret dalam situasi itu. Dengan
demikian teori deontologis menurut paham Ross juga menjamin apa yang menjadi inti usaha
Etika Situasi: bahwa tidak mungkin suatu masalah konkret dapat dipecahkan seratus persen dari
balik meja saja.

5. Kritik Hegel terhadap teori moral Kant

Kritik Hegel terhadap teori moral Kant dapat ditemukan dalam bukunya:
(1) Phenomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh), pada bagian yang membicarakan tentang
"Akalbudi" ('Akalbudi sebagai pemberi hukum', 'Akalbudi sebagai hakim atas hukum', dan pada
bagian tentang "Roh", waktu bicara tentang 'Moralitas'.
(2) Philosophie der Recht

Bagi Hegel teori moral Kant yang menekankan otonomi kehendak manusia yang rasional
dan yang memandang akalbudi sebagai pemberi hukum merupakan teori yang cukup maju dan
lebih memadai daripada misalnya teori moral Hedonisme ataupun Utilitarisme. Pengertian Kant
tentang norma moral sebagai 'tugas' yang mengikat mutlak dan universal setiap manusia sebagai
mahluk rasional bagi Hegel merupakan suatu pengertian etika yang benar. Dalam pola
pemahaman Hegel, yang memandang teorinya sendiri sebagai suatu sintesis, teori moral Kant
merupakan antitesis, sedangkan tesisnya adalah tatamoral tradisional sebagaimana terungkap
dalam adat kebiasaan Yunani kuno (the Greek immemorial customs).

Dalam tesis, unsur isi atau substansi moral, sebagaimana terungkap dalam tradisi yang
sudah berabad-abad berlaku, sudah terkandung, tetapi kesadaran individu belum muncul,
sehingga individu tenggelam dalam moralitas kelompok. Dalam teori moral Kant, sebagai
antitesis, kesadaran moral individu sudah muncul, bahkan moralitas dalam pemikiran Kant pada
dasarnya ditentukan oleh subjek yang berakal budi. Akan tetapi, dengan prinsip moralnya yang
melulu bersifat formal, isi atau substansi moral sebagaimana terungkap dalam tradisi yang
menjamin kelangsungan suatu komunitas, oleh Kant kurang diindahkan. Dalam sintesis, Hegel
bermaksud untuk memberi tempat pada otonomi dan kesadaran individu sebagai warga suatu

8
komunitas, tetapi sekaligus individu-individu tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan
merupakan bagian organis suatu komunitas dengan nilai-nilai dan tujuan yang disetujui bersama.

Secara garis besar kritik Hegel terhadap teori moral Kant bisa dirinci menjadi dua.
Pertama, kritiknya atas prinsip dasar moral Kant (imperatif kategoris) sebagai terlalu formal
mengandung bahaya ke arah individualisme subjektif atau liberalisme. Dalam teori etika Kant,
moralitas didasarkan atas penentuan akalbudi murni. Hukum moral diturunkan secara apriori dari
akalbudi, lepas dari segala kondisi empiris. Hanya akalbudi lah yang menjadi otoritas yang
berwenang untuk menentukan dan mengevaluasikan apa yang secara universal baik untuk
dilakukan oleh pelaku moral. Hegel berpendapat bahwa akalbudi sebagai prinsip yang melulu
abstrak tidak dapat secara syah mengatur tingkah laku. Tidak betul bahwa akalbudi murni bisa
secara langsung mengenali apa yang berlaku secara universal dalam situasi konkret.

Karena imperatif kategoris itu melulu formal, maka berdasarkan prinsip tersebut seorang
pelaku moral tidak dapat menentukan secara jelas apa yang dalam situasi konkret mesti dia
lakukan. Karena kekosongan ini, maka dalam keadaan konkret, seringkali lalu apa yang
dianggap sebagai kewajiban objektif sebenarnya hanyalah apa yang ditentukan oleh subjek
pelaku tindakan itu sendiri. Di sinilah terkandung bahaya jatuh ke dalam individualisme
subjektif. Bahaya ini semakin menjadi lebih tajam dengan prinsip Kant yang sangat menekankan
kehendak baik sebagai penentu moralitas tindakan. Tanpa memperhatikan konteks sosial-historis
yang merupakan medan konkretisasi penentuan akalbudi, adanya kehendak atau maksud baik
dari si pelaku moral saja tidaklah mencukupi. Misalnya tidak jarang penentuan-penentuan dan
pembatasan yang diberikan oleh orang tua terhadap anaknya, ataupun negara terhadap
masyarakatnya, diberikan dengan kehendak baik, tetapi akibatnya malah fatal, karena kondisi
faktual empiris tidak diindahkan.

Prinsip universalitas sebagai pedoman untuk menilai apakah suatu kaidah tindakan bisa
dibenarkan secara moral, sebagaimana dikemukakan oleh Kant, juga belum mencukupi untuk
dapat dipakai sebagai pedoman menentukan tindakan mana yang wajib diambil. Prinsip tersebut
seringkali juga tidak effektif, karena tidak semua kaidah yang bisa diuniversalisasikan dengan
sendirinya merupakan suatu kaidah moral atau suatu kewajiban yang mengikat. Sebagai contoh
misalnya, kaidah untuk menggosok gigi terlebih dulu sebelum mandi dan bukan sebaliknya dapat
saja dijadikan kaidah yang berlaku umum, tetapi kaidah itu bukanlah kaidah moral dan bukan
merupakan suatu kewajiban yang mengikat setiap orang.

Pokok kritik Hegel yang kedua menyatakan bahwa teori moral Kant dengan ketiga
postulatnya membawa ke dualisme yang bersifat kontradiktif. Menurut Hegel pemahaman Kant
akan moralitas sebagai penekanan (suppression) kecenderungan kodrati, karena memandang
kecenderungan kodrati sebagai sesuatu yang melulu negatif atau irrasional, membawa ke
pemahaman dualistik tentang manusia. Hegel mengakui bahwa kadang-kadang ada pertentangan
antara akalbudi dan dorongan-dorongan kodrati (termasuk keinginan-keingininan dan nafsu-
nafsu), antara hukum moral yang berlaku umum dan keinginan masing-masing individu. Kendati
begitu, tidak semua dorongan kodrati itu jahat dan perlu ditekan (suppressed). Dorangan-
dorongan tersebut memang perlu disalurkan dan diatur oleh akalbudi, tetapi tidak dimatikan.
Manusia dalam teori moral Kant terpecah atau hilang kesatuannya sebagai pribadi, karena ada

9
pemisahan antara diri manusia empiris (the empirical self) dan diri manusia moral (the moral
self).

Menurut Hegel postulat-postulat moralitas dalam Kant membawa ke situasi kontradiktif.


Postulat pertama akan adanya keabadian jiwa untuk mengalami harmoni antara moralitas dan
kodrat. Pelaksanaan kewajiban moral di dunia ini tidak dengan sendirinya membawa
kebahagiaan. Seandainya jiwa tidak abadi, tetapi habis dengan habisnya kehidupan di dunia ini,
maka hidup menjadi tragis. Dari postulat ini nampaknya Kant mengharapkan adanya
kebahagiaan. Di lain pihak ia menekankan bahwa pelaksanaan kewajiban moral, untuk menjaga
kemurnian motivasi, harus melulu atas dasar sikap hormat terhadap hukum atau demi kewajiban
itu sendiri. Si pelaku moral harus mengalahkan segala keinginan kodrati, termasuk keinginan
untuk bahagia. Tetapi supaya kewajiban bisa dilaksanakan pelaku moral perlu merasa bahagia
dalam melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan kewajiban senantiasa membawa rasa bahagia
pada si pelaku. Menolak adanya dorongan atau keinginan kodrati untuk bahagia samasekali,
sama saja menggagalkan apa yang diinginkan si pelaku moral tersebut.

Postulat kedua adalah adanya kebebasan; dalam kaitan dengan ini Hegel menunjuk
pertentangan antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan rasa sebagai suatu hal yang
sentral dalam moralitas Kant. Hidup moral = hidup bebas = sepenuhnya menentukan diri
berdasarkan prinsip akalbudi. Kontradiksinya menurut Hegel terletak dalam pemikiran berikut.
Di satu pihak, setiap orang wajib untuk berjuang mencapai kesempurnaan dengan sepenuhnya
hidup menentukan diri melulu berdasarkan prinsip akalbudi dan berjuang menundukkan segala
kecenderungan perasaan. Di lain pihak kalau kesempurnaan/ kebebasan penuh ini tercapai,
moralitas sudah tidak ada artinya lagi, karena inti moralitas justru terletak dalam kenyataan
bahwa ada konflik antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan perasaan. Tugas untuk
menjadi sempurna rupanya suatu tugas yang terus tidak ada habisnya.

Postulat ketiga, mengenai adanya Tuhan sebagai penjamin keluhuran pelaksanaan tugas
dan penjamin kebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral, karena Tuhan pada dasarnya
penguasa segala hukum alam semesta. Postulat ini, menurut Hegel, bertentangan dengan usaha
Kant untuk menekankan otonomi moral melawan segala bentuk heteronomi, termasuk
heteronomi etika teonom. Sebab, dengan postulat akan adanya Tuhan yang diharapkan sebagai
penjamin kebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral karena Tuhan merupakan penguasa
hukum alam semesta, apa yang semula dimaksudkan sebagai otonomi ternyata pada akhirnya
jatuh ke heteronomi.

10
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Inggris: deontology; dari Yunani deon (keharusan, kewajiban ). Jadi secara harfiah istilah
ini semacam “teori tentang kewajiban‘. Deontik kadang-kadang digunakan untuk deontologis.
Secara umum deontik menunjukan pada apa saja yang bertalian dengan konsep keniscayaan
(keharusan) atau dengan kewajiban (tugas).
1. Istilah “ Etika Deontologis “ menunjukan sistem-sistem yang sebenarnya tidak ditentukan
berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya.
2. Studi tentang konsep kewajiban (tanggung jawab, komitmen) dan konsep-konsep terkait
dengan konsep kewajiban.
3. Deontologi merupakan suatu cabang etika. Ilmu ini bergumul dengan kewajiban, tuntutan dan
perintah moral, dan gagasan mengenai kewajiban pada umumnya sebagai keharusan sosial yang
khusus bagi etika. Istilah ini diperkenalkan Bentham untuk menunjukan teori etika.
4. Deontologi dibedakan dari aksiologi- studi tentang nilai, pada umumnya, teori tentang
perbaikan dan kejahatan. Kewajiban (sesuatu yang harus dijalankan) mengungkapkan tuntutan-
tuntutan hukum-hukum sosial, termasuk kebutuhan-kebutuhan individu dan masyarakat secara
keseluruhan.
5. Dalam arti lebih sempit, deontologi adalah etika profesional para pekerja medis. Etika ini
diarahkan untuk menjamin hasil maksimum pengobatan misalnya dengan bantuan psikoterapi,
dan menaati etika medis.

11

Anda mungkin juga menyukai