Anda di halaman 1dari 47

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komoditi kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi

pertanian Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai

peran strategis dalam perekonomian nasional. Dari segi pangan, minyak sawit

atau minyak inti sawit umumnya digunakan sebagai bahan untuk membuat

minyak goreng, lemak pangan, margarin, lemak khusus, kue, biskuit atau es

krim (Simeh, 2004).

Minyak sawit yang sekarang banyak kita jumpai di pasaran sebagai

minyak goreng berasal dari daging buah dan inti (kernel) sawit.

Perkembangan industri minyak goreng sawit pada dasawarsa terakhir

mengalami peningkatan sejalan dengan beralihnya pola konsumsi masyarakat

dari minyak goreng kelapa ke minyak goreng kelapa sawit (Simeh, 2004).

Pola konsumsi masyarakat terhadap minyak goreng kelapa sawit yang

terus meningkat tentu harus diiringi dengan perkembangan teknologi dalam

menghasilkan minyak goreng kelapa sawit dan produk sampingan dari

minyak goreng sawit yang bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, minyak

sawit dapat diolah lebih lanjut menjadi asam lemak maupun asam lemak

bebas yang dapat difungsikan sebagai bahan dasar bagi industri ban,

makanan, kosmetik, plastik, cat, detergen, dan sabun (Wijaya, 2011).

Kadar asam lemak bebas yang tinggi pada minyak goreng kelapa

sawit akan menyebabkan turunnya mutu minyak tersebut, misalnya

menyebabkan ketengikan pada minyak, membuat rasanya tidak enak,

1
terjadinya perubahan warna dan juga rendemen minyak menjadi turun, agar

asam lemak bebas pada minyak goreng kelapa sawit tersebut dapat

dimanfaatkan pada industri asam lemak maka perlu dilakukan suatu proses

pemisahan asam lemak bebas dari minyak goreng kelapa

sawit (Wijaya, 2011). Industri asam lemak di Indonesia juga belum mampu

mencukupi kebutuhan produk asam lemak di Indonesia, sehingga untuk

memenuhi kebutuhan asam lemak tersebut, Indonesia masih mengimpor dari

luar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu langkah dalam pemenuhan

kebutuhan asam lemak di Indonesia (Sulistyono, 2005).

Asam lemak dapat diperoleh lewat proses pemutusan struktur

trigliserida yang disebut juga hidrolisis. Produksi asam lemak lewat hidrolisis

dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: high pressure steam splitting,

hidrolisis basa, dan hidrolisis enzimatis. Sekarang ini, hidrolisis enzimatis

lebih diminati dibandingkan high pressure steam splitting maupun hidrolisis

basa. Secara sederhana, asam lemak bebas dapat diperoleh ketika trigliserida

bereaksi dengan air. Namun dalam kondisi ini, asam lemak bebas diperoleh

secara langsung dari proses hidrolisis enzimatis itu sendiri. Produksi asam

lemak secara enzimatis membutuhkan kondisi operasi yang optimum.

Penggunaan kondisi optimum akan menghasilkan asam lemak yang semakin

banyak (Wijaya, 2011).

Proses hidrolisis enzimatis dilakukan pada temperatur serta tekanan

ruang sehingga tidak merusak produk dan dapat mengurangi biaya operasi.

Selain itu, enzim memiliki substrat serta sifat yang spesifik sehingga dapat

mencegah terjadinya reaksi samping seperti saponifikasi, polimerisasi, dan

2
oksidasi yang dapat mengurangi rendemen produk asam lemak (Hermansyah,

2006).

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian

mengenai penggunaan kondisi operasi yang optimum untuk menghasilkan

asam lemak bebas dengan memperhatikan variabel yang berpengaruh

terhadap perolehan asam lemak bebas, seperti temperatur, rasio katalis, dan

variasi air pada rasio w/o (jumlah air yang terdispersi dalam fase minyak).

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh temperatur,

rasio katalis, dan variasi air pada rasio w/o (jumlah air yang terdispersi dalam

fase minyak), dalam optimasi proses produksi asam lemak bebas yang

diperoleh dari proses hidrolisis enzimatis minyak goreng kelapa sawit.

Kegunaan penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi bagi

dunia industri oleokimia maupun industri pangan di Indonesia dalam

menghasilkan asam lemak bebas yang efektif dan efisien dari minyak goreng

kelapa sawit sehingga dapat menghasilkan asam lemak bebas yang optimum.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit (Elaeis Guineensis) dihasilkan dari inti kelapa

sawit yang dinamakan minyak inti sawit (palm kernel oil). Minyak sawit dan

inti sawit digolongkan kepada minyak yang dapat dikonsumsi secara langsung.

Selain digunakan sebagai bahan baku untuk industri makanan, minyak sawit

mempunyai potensi yang cukup besar untuk digunakan di industri-industri non

pangan dan industri oleokimia, sabun, dan kosmetika (Damanik, 2008).

Habitat asli tanaman sawit adalah daerah semak belukar. Buah sawit

dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini

tumbuh sempurna pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan

kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil,

2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan

tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memperngaruhi

perilaku penyerbukan dan produksi buah sawit (Anonim, 2011).

Minyak kelapa sawit berwarna kuning muda hingga merah muda.

Warna ini disebabkan karena adanya kandungan karoten yang memberikan

warna merah. Secara umum minyak kelapa sawit tersusun atas asam-asam

lemak dengan panjang rantai lebih dari 12 atom karbon. Asam lemak yang

paling dominan adalah asam palmitat (C16) dan asam oleat (C18:1).

Komposisi asam-asam lemak ini akan sangat mempengaruhi sifat minyak sawit

dan produk-produk olahannya (Musthofa, 2009).

4
2.1.1 Ciri-ciri Fisik Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit diperoleh dari mesokarp buah kelapa sawit

melalui ekstraksi dan mengandung sedikit air serta serat halus yang berwarna

kuning sampai merah dan berbentuk semi solid pada suhu ruang yang

disebabkan oleh kandungan asam lemak jenuh yang tinggi (Naibaho, 1998

dalam Setiawan, 2011).

Minyak kelapa sawit dihasilkan oleh bagian buah. Kandungan minyak

akan terus bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang,

kandungan asam lemak bebas meningkat dan buah akan rontok dengan

sendirinya. Buah sawit bergerombol dalam tandan yang muncul dari setiap

pelepah. Pada bagian buah terdapat biji yang disebut juga inti dari sawit.

Bagian ini biasa disebut juga sebagai kernel merupakan endosperma dan

embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas

tinggi (Mangoensoekardjo, 2003).

Inti sawit mengandung lemak, protein, serat dan air. Kadar minyak

dalam inti kering adalah 44-53%. Sifat-sifat fisik minyak inti sawit lengkapnya

sebagai berikut:

Tabel 1. Sifat Fisik Minyak Inti Sawit


Sifat Nilai
Bobot jenis pada 250C, g/ml 0,90
Indeks bias pada 400C 1,4565 – 1,4505
Bilangan Iodium 48 – 56
Bilangan penyabunan 196 – 205
Titik leleh, 0C 30,5 – 37,5
Sumber : (Ketaren, 1986)

5
2.1.2 Komposisi Kimia Minyak Kelapa Sawit

Minyak sawit tersusun dari unsur-unsur Carbon (C), Hidrogen (H)

dan Oksigen (O). Minyak sawit ini terdiri dari fraksi padat dan fraksi cair

dengan perbandingan yang seimbang. Penyusun fraksi padat terdiri dari asam

lemak jenuh antara lain asam miristat (1%), asam palmitat (45%), asam stearat

(4,5%). Sedangkan fraksi cair tersusun atas asam lemak tak jenuh yang terdiri

dari asam oleat (39%) dan asam linoleat (11%) (Sitinjak, 1983).

Minyak adalah substansi dari tumbuhan dan hewan yang terdiri dari

ester gliseril dari asam lemak atau trigliserida yang tidak larut dalam air.

Trigliserida dapat berwujud padat maupun cair, hal ini tergantung dari

komposisi asam lemak yang menyusunnya. Dalam pemakaian secara umum,

trigliserida yang berbentuk padat atau semipadat pada suhu ruangan disebut

dengan lemak sedangkan yang berbentuk cair pada kondisi yang sama dikenal

dengan minyak (Sulistyono, 2005).

Minyak kelapa sawit mengandung trigliserida yang merupakan ester

dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak berdasarkan Arianto (2008)

dapat dinyatakan pada reaksi dibawah ini:

CH2 – COOR1 CH2 – OH + R1-COOH


CH – COOR2 + 3H2O CH – OH + R2-COOH
CH2 – COOR3 CH2 – OH + R3-COOH
Trigliserida Air Gliserol Asam Lemak

Bila R1 = R2 = R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama, maka

trigliserida ini disebut trigliserida sederhana, sedangkan asam lemak yang

penyusunnya tidak sama disebut trigliserida campuran. Sifat trigliserida akan

bergantung pada jenis asam lemak yang menyusunnya. Minyak sawit sebagian

6
besar terdiri dari gliserida dan kandungan non gliserida pada jumlah yang

sedikit. Agar minyak sawit dapat digunakan sebagai minyak goreng yang boleh

dikonsumsi, maka perlu dilakukan penghilangan kandungan non-gliserida

tersebut. Kandungan non-glliserida terdiri dari asam lemak bebas, sedikit

logam, karotenoid, hasil oksidasi, serta sterol. Kandungan ini lebih sulit

dipisahkan karena sifatnya yang larut dalam air (Arianto, 2008).

Reaktivitas kimia dari trigliserida dicerminkan oleh reaktivitas ikatan

ester dan derajat ketidakjenuhan dari rantai hidrokarbon. Asam lemak bebas

yang terbentuk hanya terdapat dalam jumlah kecil dan sebagian besar terikat

dalam bentuk ester (trigliserida) (Ketaren, 1986).

2.2 Minyak Goreng Kelapa Sawit

Lebih dari 80% minyak goreng yang ada di Indonesia terbuat dari

minyak sawit. Kelebihan minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng

adalah kandungan asam oleat yang relatif tinggi yaitu sekitar 40%. Minyak

sawit memiliki karakteristik yang unik dibandingkan minyak nabati lainnya.

Lebih lanjut, dengan kandungan asam oleat yang relatif tinggi, minyak sawit

cocok digunakan sebagai medium penggorengan. Asam oleat juga diketahui

relatif stabil terhadap suhu penyimpanan. Minyak sawit juga dapat

difraksionasi menjadi dua bagian, yaitu fraksi padat (stearin) dan fraksi cair

(olein). Karakteristik yang berbeda pada fraksi-fraksi tersebut menyebabkan

aplikasinya sangat luas untuk produk-produk pangan ataupun nonpangan

(Siahaan et al., 2002).

7
2.3 Asam Lemak

Asam lemak merupakan oleokimia dasar yang paling banyak

diperlukan. Dapat dikatakan bahwa asam lemak merupakan ‘’induk’’ dari

oleokimia dasar, karena beberapa oleokimia dasar yang lain seperti fatty ester,

fatty alcohol dan fatty amina dapat disintesis dari asam lemak. Akibat

meningkatnya kebutuhan oleokima dasar tersebut, diperkirakan kebutuhan

asam lemak dunia meningkat 3 % per tahun, dari 2,65 juta ton pada tahun 1995

menjadi 4 juta ton pada tahun 2010 (Siahaan et al., 2002).

Asam lemak merupakan senyawa pembangun senyawa lipida

sederhana, fosfogliserida, glikolipida, ester, kolesterol, lilin dan lain-lain. Asam

lemak biasanya memiliki jumlah atom karbon genap, yaitu antara 14 sampai

22. Asam lemak jenuh yang paling banyak ditemukan dalam bahan pangan

adalah asam palmitat, yaitu 15-50% dari seluruh asam-asam lemak yang ada

(Aisjah, 1993).

Asam lemak secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Asam lemak jenuh adalah asam lemak yang tidak memiliki ikatan

rangkap (hanya memiliki ikatan tunggal) pada rantai karbonnya.

2. Asam lemak tidak jenuh adalah asam lemak yang memiliki ikatan

rangkap pada rantai karbonnya.

Asam lemak tak jenuh mempunyai titik cair lebih rendah jika

dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Biasanya lemak netral yang

mengandung banyak asam lemak tak jenuh berbentuk cairan pada suhu sampai

50C atau bahkan lebih rendah titik cair beberapa asam lemak. Sifat-sifat asam

lemak ditentukan oleh rantai hidrokarbonnya. Asam lemak berantai jenuh yang

8
mengandung 1 sampai 8 atom karbon berupa cairan sedangkan lebih dari 8

atom karbon berupa padatan (Naibaho, 1996).

Pengggunaan asam lemak dalam dunia industri sangat

beranekaragam. Asam lemak dan turunannya sangat berperan penting dalam

dunia industri oleokimia dan pangan. Beberapa fungsi dari asam lemak serta

gliserol yang dihasilkan berdasarkan (Shahidi, 2005) adalah:

1. Asam lemak dapat dijadikan sabun dan surfaktan.

2. Hidrogenasi asam lemak dapat dijadikan sebagai surfaktan, metal soaps,

dan slipping agent.

3. Fatty acid ester dapat diolah menjadi plastik, pengolahan tekstil, dan

pengolahan logam.

4. Bila direaksikan dengan nitrogen, dapat digunakan dalam pengolahan

limbah yang fungsinya untuk mengurangi limbah-limbah yang bersifat

unbiodegradable sehingga menjadi biodegradable.

5. Gliserol digunakan pada industri farmasi, kosmetik, dan industri makanan.

2.4 Pembuatan Asam Lemak

Hidrolisa CPO dengan H2O merupakan metoda yang umum dipakai

untuk menghasilkan asam lemak. Reaksi ini akan menghasilkan gliserol

sebagai produk samping. Reaksi yang terjadi berdasarkan (Tambun, 2002)

adalah sebagai berikut:

9
Reaksi ini dilakukan pada suhu 2400C – 2600C dan tekanan 45 – 50

bar. Pada proses ini derajat pemisahan mampu mencapai 99%. Hal yang

membuat proses ini kurang efisien adalah karena proses ini memerlukan energi

yang cukup besar dan komponen-komponen minor yang ada di dalamnya

seperti β-karoten mengalami kerusakan (Tambun, 2002).

Hidrolisis dalam pembuatan asam lemak dapat dibagi menjadi 2, yaitu

hidrolisis enzimatis dan hidrolisis non-enzimatis. Beberapa proses dalam

pembuatan asam lemak melalui hidrolisis enzimatis dapat dilihat pada

penjelasan berikut.

2.4.1. Hidrolisis Enzimatis

Studi tentang pembuatan asam lemak dengan bantuan enzim sudah

dilakukan eksperimennya. Splitting enzimatis ini menggunakan katalis lipase

dari Candida rugosa, Aspergillus niger, dan Rhizopus arrhizus telah dilakukan

pada temperatur antara 26-46oC selama 48-72 jam. Hasil yang didapat adalah

konversi asam lemak sebesar 98%. Semua enzim, yang termasuk golongan

lipase, mampu menghidrolis lemak netral (trigliserida). Sehingga menghasilkan

asam lemak bebas dan gliserol, namun enzim tersebut inaktif oleh

panas (Serri, 2008).

Kecepatan hidrolisa oleh enzim lipase yang terdapat dalam jaringan

relatif lambat pada suhu rendah, sedangkan pada kondisi yang cocok, proses

hidrolisa oleh enzim lipase akan lebih intensif daripada dengan enzim lipolitik

yang dihasilkan oleh bakteri (Ketaren, 1986).

10
Fat splitting menggunakan enzim mempunyai kelebihan yaitu reaksi

hidrolisis dapat dilakukan pada temperatur ruang, mengurangi konsumsi

energi, prosedur yang mudah dan meminimalkan degradasi thermal dari

produk. Fat splitting menggunakan katalis C. rugosa telah banyak digunakan

(Serri, 2008).

2.5 Hidrolisis Enzimatis Asam Lemak

Pembuatan asam lemak melalui hidrolisis enzimatis mempunyai kinetika

yang berbeda dengan hidrolisis non-enzimatis. Kondisi operasi dan parameter-

parameter tertentu memberikan pengaruh terhadap laju reaksi dan konversi

asam lemak. Parameter-parameter tersebut antara lain temperatur reaksi, air,

rasio w/o, aktivitas enzim, dan pengaruh katalis.

2.5.1 Pengaruh Temperatur

Temperatur reaksi sangat berperan penting dalam kinetika reaksi

terutama dalam penggunaan katalis. Perubahan temperatur juga akan

mempengaruhi aktivitas enzim yang digunakan, yaitu lipase dari C. rugosa.

Apabila temperatur yang digunakan terlalu tinggi maka dapat terjadi denaturasi

terhadap enzim sehingga enzim menjadi tidak aktif. Perubahan temperatur

selain menyebabkan denaturasi pada enzim juga akan mempengaruhi laju

reaksi hidrolisis. Seiring dengan bertambahnya temperatur maka laju reaksi

cenderung akan bertambah cepat. Akan tetapi dengan mempertimbangkan

adanya katalis yang digunakan terutama enzim maka kenaikan temperatur

belum tentu mempercepat laju reaksi. Perubahan suhu akan mengakibatkan

perubahan tidak hanya koefisien laju reaksi melainkan juga koefisien diaktivasi

enzim. Pada temperatur rendah, laju penurunan kerja enzim dapat diabaikan

11
dibandingkan laju reaksi berkatalis. Seiring bertambahnya temperatur, laju

penurunan kerja enzim akan semakin bertambah dan apabila laju penurunan

kerja enzim lebih besar dibandingkan laju reaksi maka laju reaksi akan

menurun (Laidler, 1979).

Reaksi – reaksi enzim sangat tergantung kuat pada temperatur.

Temperatur dapat menentukan aktifitas maksimum dari enzim. Temperatur

optimum tergantung pula pada jenis enzim, susunan cairan dan lamanya

percobaan. Pada umumnya setiap kenaikan 10 0C, kecepatan reaksi dapat

meningkat menjadi 2 atau 3 kali lipat. Tetapi pada suhu diatas 50 0C, umumnya

enzim sudah mengalami kerusakan (Siregar, 2010).

Adanya kemungkinan penurunan kerja enzim maka diperlukan pemilihan

suhu yang tepat. Penggunaan suhu optimum pada reaksi hidrolisis akan

menghasilkan laju reaksi yang paling maksimum. Untuk mengurangi

kemungkinan penurunan kerja enzim maka dapat dilakukan beberapa cara.

Salah satunya adalah dengan melakukan imobilisasi pada enzim yang dapat

meningkatkan stabilitas enzim pada suhu tinggi (Haas et al., 1994).

2.5.2 Pengaruh Air

Jumlah air yang digunakan berperan penting dalam mempercepat reaksi

hidrolisis. Pada penggunaan jumlah air yang rendah akan mengakibatkan

derajat hidrolisis yang rendah. Derajat hidrolisis yang rendah disebabkan oleh

lipase tidak hanya melakukan reaksi hidrolisis saja tetapi juga melakukan

reaksi reverse esterification secara simultan. Jumlah air yang cukup banyak

diperlukan agar kesetimbangan bergeser ke arah reaksi hidrolisis. Aktivitas dari

lipase sangat bergantung pada jumlah air yang digunakan. Penggunaan air

sangat beranekaragam bergantung pada jenis lipase yang digunakan dan

12
konsentrasi substrat yang digunakan. Peningkatan jumlah air dapat

menurunkan sintesa reaksi, tetapi dapat meningkatkan proses

hidrolisis (Haas et al., 1994).

2.5.3 Rasio W/O

Sistem yang terdiri atas tetesan air yang terdispersi dalam fase minyak

disebut emulsi air dalam minyak (emulsi w/o) sedangkan untuk menentukan

jumlah air yang terdispersi dalam fase minyak disebut rasio w/o. Emulsi

merupakan sistem terdispersi yang terdiri atas dua cairan tak saling campur

(biasanya merupakan minyak dan air). Salah satu dari cairan tersebut

terdispersi dalam bentuk tetesan dalam cairan lainnya (McClements, 2005).

Enzim yang digunakan pada reaksi hidrolisis akan bercampur pada

fasa air. Enzim akan bereaksi dengan fasa minyak di lapisan antar dua fasa.

Penggunaan jumlah air pada fasa tersebut (rasio w/o) akan mempengaruhi

perolehan asam lemak (Wijaya, 2011).

2.5.4 Pengaruh Aktivitas Enzim

Penggunaan aktivitas enzim (dalam kLU/ml) berperan dalam

mempercepat reaksi. Penggunaan jumlah katalis yang sama dengan aktivitas

enzim yang berbeda akan membuat kecepatan reaksi yang berbeda. Aktivitas

enzim yang semakin tinggi akan semakin mempercepat reaksi berjalan.

Aktivitas enzim dipengaruhi oleh kejenuhan enzim pada area interfasa antara

fasa minyak dan fasa air. Peningkatan aktivitas enzim yang digunakan secara

terus menerus akan mencapai fasa statis pada rendemen FFA dan tidak

meningkat secara signifikan (McNeill, 1996).

13
2.5.5 Pengaruh Katalis

Katalis adalah bahan yang digunakan untuk mempercepat reaksi.

Katalis dapat mempercepat reaksi karena kemampuannya mengadakan

interaksi dengan paling sedikit satu molekul reaktan untuk menghasilkan

senyawa yang lebih aktif. Katalis ada dua macam yaitu heterogen dan

homogen. Katalis homogen adalah katalis yang mempunyai fasa yang sama,

misalnya KOH dan NaOH. Sedangkan katalis heterogen adalah katalis yang

fasanya berbeda misalnya zeolit (Alamsyah, 2006).

Enzim lipase yang digunakan akan mempercepat reaksi. Enzim yang

digunakan semakin banyak maka kesetimbangan akan dicapai dengan waktu

yang lebih cepat. Pemilihan jumlah katalis yang tepat akan menghasilkan

produk yang semakin banyak dan cepat. Selain mempertimbangkan rendemen

FFA yang dihasilkan harus juga diperhatikan nilai keekonomisannya

(McNeill, 1996).

Gambar 1. Pengaruh Katalis terhadap Energi Aktivasi

Penggunaan katalis juga berfungsi untuk menurunkan energi aktivasi

yang digunakan. Pada gambar 1 dapat diketahui bahwa dengan adanya

penggunaan katalis (garis merah) maka reaksi dapat berlangsung dengan

konsumsi energi yang lebih rendah. Penggunaan katalis dengan jumlah yang

14
berbeda akan menghasilkan kecepatan reaksi yang berbeda

pula (McNeill, 1996).

Pada jumlah lipase yang rendah, derajat hidrolisis yang dihasilkan

biasanya rendah. Penambahan waktu reaksi juga tidak akan meningkatkan

rendemen secara signifikan (Shimada et al.,1997). Peningkatan derajat

hidrolisis perlu dilakukan penambahan katalis dalam jumlah besar. Pada level

rendah dan menengah, penambahan jumlah air untuk peningkatan kinerja

enzim hanya berdampak kecil. Pada level tinggi penambahan air pada katalis

tidak membuat perubahan yang signifikan terhadap perolehan

FFA (McNeill, 1996).

2.6 Enzim Lipase

Lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi

dalam hidrolisis lemak, mono-, di-, dan trigliserida untuk menghasilkan asam

lemak bebas dan gliserol. Lipase mikroba dapat diproduksi dari bakteri

(Bacillus subtilis), khamir (Candida rugosa, dan Rhodotorula pilimanae),

dan fungi (Aspergillus niger dan Rhizopus spp.). Fungi merupakan penghasil

lipase yang baik (McNeill, 1996).

Keunggulan penggunaan lipase dalam industri makanan adalah

mengkatalis hidrolisis secara spesifik, proses dapat dilakukan pada suhu

rendah, dan relatif aman dari risiko terbentuknya produk samping yang tidak

dikehendaki (McNeill, 1996).

15
2.7 Sifat Fisis Asam Lemak

Secara fisika, lemak dan atau minyak dapat dianalisis titik cair, bobot

jenis, dan indeks biasnya (Rohman, 2007). Pengamatan sifat fisis minyak atau

lemak penting untuk mengenal jenis minyak atau lemak serta untuk

mengetahui adanya kerusakan atau pemalsuan (Muchtadi et al., 2010).

2.7.1 Bobot Jenis

Bobot jenis merupakan perbandingan berat suatu volume minyak atau

lemak pada suhu 250C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama

(Rohman, 2007).

Bobot jenis dari minyak dan lemak biasanya ditentukan pada

temperatur 250C. Pada penetapan bobot jenis, temperatur dikontrol dengan

hati-hati dalam kisaran temperatur yang pendek (Ketaren, 1986).

Perhitungan bobot jenis minyak atau lemak dengan menggunakan piknometer

(Rohman, 2007).

(𝑎−𝑏)
Bobot jenis = ……………………………................. (1)
(𝑐−𝑏)

Keterangan : a = bobot piknometer dan asam lemak (g/ml)

b = bobot piknometer kosong (g)

c = bobot piknometer dan air (g/ml)

2.7.2 Indeks Bias

Pengukuran indeks bias lemak atau minyak berguna untuk menguji

kemurnian minyak atau lemak. Indeks bias meningkat dengan bertambahnya

rantai C, derajat ketidakjenuhan, dan suhu yang semakin tinggi. Indeks bias

16
ini terkait erat dengan bilangan iodium karenanya dapat digunakan untuk

pengendalian proses hidrogenasi (Rohman, 2007).

Indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan

pada suatu medium yang cerah. Indeks bias tersebut pada minyak dan lemak

dipakai pada pengenalan unsur kimia dan untuk pengujian kemurnian

minyak. Abbe refractometer mempergunakan alat pengontrol temperatur yang

dipertahankan pada 250C. Untuk pengukuran indeks bias lemak, yang bertitik

cair tinggi, dilakukan pada temperatur 400C atau 600C. Selama pengukuran

temperatur harus dikontrol dan dicatat. Indeks bias ini akan meningkat pada

minyak atau lemak dengan rantai karbon yang panjang dan juga dengan

terdapatnya sejumlah ikatan rangkap. Nilai indeks bias dari asam lemak juga

akan bertambah dengan meningkatnya bobot molekul, selain dengan naiknya

derajat ketidakjenuhan dari asam lemak tersebut (Ketaren, 1986).

Nilai indeks bias berdasarkan (Rohman, 2007) dapat dihitung dengan

cara sebagai berikut :

R = R’ + k ( T’ – T ) ………………………………………………. (2)

Keterangan : R = indeks bias pada suhu T 0C

R’ = indeks bias pada suhu pembacaan T’ 0C

k = faktor koreksi, untuk lemak = 0,000365

2.8 Penentuan Angka Asam dan Perolehan Asam Lemak Bebas

Bilangan asam adalah jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk

menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak.

Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang

17
terdapat dalam minyak atau lemak. Caranya adalah dengan jalan melarutkan

sejumlah minyak atau lemak dalam alkoholeter dan diberi indikator

phenolphthalein. Kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0,5 N sampai

terjadi perubahan warna merah jambu yang tetap. Besarnya bilangan asam

tergantung dari kemurnian dan umur dari minyak atau lemak

tadi (Ketaren, 1986).

Angka asam ditentukan untuk menunjukan banyaknya asam lemak

bebas yang terdapat dalam suatu lemak atau minyak. Angka asam merupakan

jumlah KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang

terdapat dalam satu gram minyak atau lemak. Angka asam yang besar

menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang banyak yang berasal dari proses

hidrolisa minyak (Rohman, 2007).

𝑚𝑙 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑁 𝐾𝑂𝐻
𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑎𝑠𝑎𝑚 = ………..……………………….. (3)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

Keterangan :
𝐴𝑉 = Angka Asam / Acid Value (mmol/g sampel)
𝑁𝐾𝑂𝐻 = normalitas KOH (N)
𝑉𝐾𝑂𝐻 = volume KOH (ml)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 = massa sampel (g)

Pada penelitian yang dilakukan Chiou Moi Yeoh et al, metode titrasi

digunakan untuk mengukur kandungan FFA dalam minyak. Sampel

dilarutkan dalam iso-propanol dengan phenolphthalein sebagai indikator.

Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH sampai warna pink terjadi selama ±

1 menit. Kandungan FFA dihitung berdasarkan persentase asam palmitat.

𝑚𝑙 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑁 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝐵𝑀 𝐹𝐴
% 𝐹𝐹𝐴 = 𝑥 100% ………….............. (4)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 1000

18
Keterangan :
%𝐹𝐹𝐴 = rendemen FFA (%)
𝑁𝐾𝑂𝐻 = normalitas KOH (N)
𝑉𝐾𝑂𝐻 = volume KOH (ml)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 = massa sampel (g)
𝐵𝑀 𝐹𝐴 = berat molekul FA (267 g/mol)

19
III. METODE PENELITIAN

Kerangka Penelitian

Penelitian ini secara garis besar terbagi menjadi 4 bagian, yaitu: percobaan

pendahuluan, percobaan utama, analisa, dan penentuan kondisi optimum termasuk

pengujian sifat fisis pada perolehan asam lemak bebas. Percobaan pendahuluan

dilakukan untuk mencoba prosedur kerja dan analisa yang akan dilakukan. Setelah

didapatkan prosedur yang tepat baru dilakukan percobaan utama untuk menentukan

kondisi optimum.

Penelitian dilakukan dengan 3 perlakuan, yaitu: temperatur reaksi, rasio w/o,

dan rasio katalis. Percobaan dilakukan selama 4 jam hingga fasa minyak dan fasa air

bercampur menghasilkan FFA. Pada tabel akan diperlihatkan variasi perlakuan yang

diberikan.

Tabel 2. Variasi Perlakuan

Rasio w/o Rasio Katalis (g/ml air) (K)


T (oC)
(W) 0,0005 0,0025 0,005 0,01
1 5 9 13
1:10 (0,1) (T1,W1,K1) (T1,W1,K2) (T1,W1,K3) (T1,W1,K4)
2 6 10 14
1:4 (0,25) (T1,W2,K1) (T1,W2,K2) (T1,W2,K3) (T1,W2,K4)
30 3 7 11 15
1:2,86 (0,35) (T1,W3,K1) (T1,W3,K2) (T1,W3,K3) (T1,W3,K4)
4 8 12 16
1:2 (0,5) (T1,W4,K1) (T1,W4,K2) (T1,W4,K3) (T1,W4,K4)
Rasio w/o Rasio Katalis (%) (K)
T (oC)
(W) 0,0005 0,0025 0,005 0,01
33 37 41 45
1:10 (0,1) (T2,W1,K1) (T2,W1,K2) (T2,W1,K3) (T1,W1,K4)
34 38 42 46
1:4 (0,25) (T2,W2,K1) (T2,W2,K2) (T2,W2,K3) (T1,W2,K4)
40 35 39 43 47
1:2,86 (0,35) (T2,W1,K1) (T2,W1,K2) (T2,W1,K3) (T2,W1,K4)
36 40 44 48
1:2 (0,5) (T2,W2,K1) (T2,W2,K2) (T2,W2,K3) (T2,W2,K4)

20
Rasio w/o Rasio Katalis (%) (K)
T (oC)
(W) 0,0005 0,0025 0,005 0,01
17 21 25 29
1:10 (0,1) (T3,W1,K1) (T3,W1,K2) (T3,W1,K3) (T3,W1,K4)
18 22 26 30
1:4 (0,25) (T3,W2,K1) (T3,W2,K2) (T3,W2,K3) (T3,W2,K4)
50
19 23 27 31
1:2,86 (0,35) (T3,W3,K1) (T3,W3,K2) (T3,W3,K3) (T3,W3,K4)
20 24 28 32
1:2 (0,5) (T3,W4,K1) (T3,W4,K2) (T3,W4,K3) (T3,W4,K4)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 – Februari 2012, di Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Kampus Penelitian

Cimanggu, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas kimia 600 ml,

pengaduk berjenis turbin, timbangan digital, motor pengaduk, mikropipet 1 ml, water

bath, termostat, termometer digital, erlenmeyer 100 ml, labu ukur 100 ml, pipet,

buret 50 ml, spatula, gelas ukur 250 ml, gelas ukur 10 ml, piknometer, refraktometer

abbe.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, minyak goreng kelapa

sawit yang diperoleh dari pasar swalayan, enzim lipase, air reversed osmosis, larutan

buffer, alkohol 96%, indikator phenophtalein, Na2HPO4, KH2PO4, H2C2O4.2H20,

KOH, kertas label.

21
3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Larutan Buffer

Pembuatan larutan buffer bertujuan untuk mempertahankan dan menjaga

pH reaksi agar tidak banyak berubah ketika minyak dicampurkan dengan bahan

lain. Adapun prosedur pembuatan larutan buffer adalah sebagai berikut:

1. 3,56 gr padatan Na2HPO4 dilarutkan dengan reverse osmosis water (RO

water) dalam labu ukur 100 ml.

2. 2,32 gr KH2PO4 dilarutkan dengan RO water dalam labu ukur 100 ml.

3. 61 ml larutan Na2HPO4 dicampurkan dengan 39 ml larutan KH2PO4.

Larutan buffer diuji nilai pHnya dengan diteteskan larutan HCl dan NaOH

secara terpisah. Nilai pH buffer diukur dengan pH meter.

3.3.2 Percobaan Utama

Percobaan utama dilakukan untuk menentukan kondisi operasi tertinggi

untuk mendapatkan perolehan FFA yang maksimum. Adapun prosedur dari

percobaan utama adalah sebagai berikut:

1. 35 ml minyak dicampurkan dengan buffer (1:1 dengan jumlah air)

dicampurkan kedalam gelas kimia 100 ml dan diaduk sampai homogen.

2. Katalis dengan variasi (0,0005; 0,0025; 0,005; 0,01 g/mlair) dicampurkan

kedalam variasi air (rasio w/o = 1:10, 1:4, 1:2,86, 1:2 v/v) hingga

homogen.

22
3. Larutan (1) dicampurkan dengan larutan (2) kemudian diaduk secara

mekanik pada kecepatan 300 rpm dan suhu reaksi pada 30 oC,40 oC, atau

50 oC.

4. Sampel diambil pada jam ke-4 reaksi.

3.3.3 Standarisasi KOH dengan H2C2O4 2H2O

Standarisasi KOH dilakukan untuk mengetahui nilai normalitas, sehingga

dapat dipakai untuk menentukan perolehan mol asam lemak bebas (FFA).

Adapun prosedur standarisasi KOH dengan H2C2O4 2H2O adalah sebagai

berikut:

1. 1,26 gram asam oksalat dihidrat (H2C2O4 2H2O) ditimbang dengan neraca

digital. Padatan kemudian dilarutkan sampai 100 ml dengan RO water.

2. 0,056 gram padatan KOH dilarutkan dengan RO water di dalam labu ukur

100 ml.

3. 50 ml larutan H2C2O4 2 H2O 0,01 M dimasukkan kedalam buret.

4. Buret yang akan digunakan dicuci terlebih dulu dengan menggunakan

akuades dan dikeringkan.

5. 10 ml larutan KOH dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan

ditambahkan 2-3 tetes indikator phenophtalein hingga warna larutan merah

pink.

6. Larutan KOH dititrasi dengan larutan asam hingga warna larutan berubah

dari pink menjadi bening.

7. Volume asam oksalat yang digunakan untuk titrasi dicatat. Titrasi

dilakukan duplo.

23
8. Volume rata-rata asam oksalat dicatat dan dihitung molaritas KOH yang

akan digunakan untuk analisa.

3.3.4 Perhitungan Mol FFA

Perhitungan mol asam lemak bebas (FFA) dilakukan untuk menentukan

perolehan asam lemak bebas (FFA). Adapun prosedur perhitungan mol FFA

adalah sebagai berikut:

1. ± 40 g sampel ditambahkan 5 ml alkohol 96% didalam labu Erlenmeyer.

2. Larutan sampel ditambahkan 2-3 tetes indikator phenophtalein dan dititrasi

dengan larutan KOH yang telah distandarisasi.

3. Volume KOH yang digunakan untuk titrasi dicatat.

4. Dihitung perolehan mmol FFA dari sampel.

𝑁𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑉𝐾𝑂𝐻
𝐴𝑉 = …………………………………………………..(5)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

Keterangan :
𝐴𝑉 = Angka Asam / Acid Value (mmol/g sampel)
𝑁𝐾𝑂𝐻 = normalitas KOH (N)
𝑉𝐾𝑂𝐻 = volume KOH (ml)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 = massa sampel (g)

3.3.5 Perhitungan Perolehan FFA

1. Volume KOH yang digunakan dikalikan dengan normalitas KOH.

2. Mol KOH yang digunakan sama dengan mol FFA yang dihasilkan.

3. Perolehan FFA dihitung.

𝑉 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝑁 𝐾𝑂𝐻 𝑥 𝐵𝑀 𝐹𝐴
%𝐹𝐹𝐴 = 𝑥 100%…………………………………(6)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑥 1000

24
Keterangan :
%𝐹𝐹𝐴 = rendemen FFA (%)
𝑁𝐾𝑂𝐻 = normalitas KOH (N)
𝑉𝐾𝑂𝐻 = volume KOH (ml)
𝑚𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 = massa sampel (g)
𝐵𝑀 𝐹𝐴 = berat molekul FA (267 g/mol)

3.3.6 Pengujian Sifat Fisis Asam Lemak Bebas

Pengujian sifat fisis asam lemak penting untuk mengenal jenis minyak

atau lemak serta untuk mengetahui adanya kerusakan atau pemalsuan

(Muchtadi,et al., 2010). Adapun pengamatan sifat fisis yang digunakan

adalah pengamatan pada bobot jenis dan indeks bias terhadap asam lemak

bebas yang diperoleh dari proses hidrolisis.

A. Bobot Jenis

Sampel asam lemak dimasukkan ke dalam piknometer lalu ditutup

dan direndam dalam air pada suhu 250C ± 0,2 selama 30 menit. Bagian

luar piknometer dikeringkan lalu ditimbang dengan neraca analitik.

Dengan cara yang sama, piknometer diisi air dengan jumlah yang sama

lalu ditimbang.

(𝑎−𝑏)
Bobot jenis asam lemak = …………………………………...(1)
(𝑐−𝑏)

Keterangan : a = bobot piknometer dan asam lemak bebas (g)


b = bobot piknometer kosong (g)
c = bobot piknometer dan air (g)

25
B. Indeks Bias

Indeks bias digunakan untuk menguji kemurnian lemak dalam hal ini

pengujian dilakukan pada asam lemak bebas. Sampel asam lemak

diteteskan pada prisma refraktometer Abbe pada suhu 400C, lalu dibiarkan

selama 1-2 menit agar suhu sampel sama dengan suhu refraktometer.

Setelah pembacaan indeks bias pada refraktometer, nilai indeks bias dapat

dihitung dengan cara sebagai berikut:

R = R’ + k ( T’ – T ) ………………………………………………. (2)

Keterangan : R = indeks bias pada suhu T 0C


R’= indeks bias pada suhu pembacaan T’ 0C
k = faktor koreksi, untuk lemak = 0,000365

26
3.3.7 Penentuan Kondisi Operasi Terbaik

Penentuan kondisi operasi terbaik dilakukan dengan bantuan regresi

multi variabel pada Microsoft Excel. Tujuan dari penggunaan regresi multi

variabel adalah untuk mencari hubungan antara variabel terikat Y (dalam hal

ini rendemen FFA) terhadap dua atau lebih variabel bebas (suhu, rasio katalis

dan rasio w/o). Persamaan yang digunakan berdasarkan model persamaan dari

regresi multi variabel yang dikemukakan oleh Montgomery (1997):

𝑦 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑥1 + 𝛽2 𝑥2 + 𝛽12 𝑥1 𝑥2 + 𝛽11 𝑥1 2 + 𝛽22 𝑥2 2 + ∈ ……….(7)

Keterangan:

𝛽0 , 𝛽1 , 𝛽2 , 𝛽12 , 𝛽11 , 𝛽22 = koefisien regresi


𝑥1 − 𝑥2 = variabel bebas

Dengan asumsi, error kondisi (∈) pada model persamaan ∈ = 0, dimana error

kondisi tersebut tidak berkolerasi dengan variabel bebas.

Hasil yang didapatkan pada regresi multi variabel adalah rendemen

prediksi yang akan dibandingkan dengan rendemen aktual, selain itu nilai

koefisien yang diperoleh dari regresi multi variabel digunakan untuk penentuan

kondisi operasi yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap perolehan

FFA.

Setelah penentuan kondisi operasi yang paling berpengaruh,

persamaan regresi dialurkan menjadi grafik 3D dengan bantuan Matlab 7,

grafik 3D yang dibuat akan mempermudah secara visualisasi dalam

menganalisis hubungan dari setiap kondisi operasi.

27
3.4 Diagram Alir

Mulai

Pembuatan larutan
buffer

Percobaan utama

Standarisasi KOH
dengan H2C2O4

Perhitungan mol Asam


Lemak Bebas ( FFA)

Perhitungan perolehan
Asam Lemak Bebas ( FFA)

Pengujian sifat fisis Asam


Lemak Bebas (FFA)

Penentuan kondisi
operasi terbaik
(optimasi)

Selesai

Gambar 2. Proses Produksi Asam Lemak Bebas

28
1. Pembuatan Larutan Buffer

3,56 g Na2HPO4 dilarutkan dengan RO 2,32 g KH2PO4 dilarutkan dengan RO


3,56 gr Na2HPO4 dilarutkan dengan 2,32 gr KH2PO4 dilarutkan dengan RO
water dalam labu ukur 100 ml water dalam labu ukur 100 ml
RO water dalam labu ukur 100 mL water dalam labu ukur 100 mL

61 mL larutan Na2HPO4 dicampurkan


dengan 39 mL larutan KH2PO4

Uji pH dilakukan dengan meneteskan larutan HCl


dan NaOH secara terpisah untuk melihat pH buffer

Gambar 3. Proses Pembuatan Larutan Buffer untuk mempertahankan pH


reaksi

2. Percobaan Utama

Buffer Minyak

Buffer ditambahkan minyak kedalam gelas kimia


100 mL dan diaduk sampai homogen dengan motor
pengaduk

Larutan buffer + minyak Katalis = 0,0005; 0,0025; 0,005; 0,01


Suhu = 30oC, 40oC, 50oC w/v
Kecepatan pengaduk = 300 rpm Rasio w/o = 1:10, 1:4, 1:2,86, 1:2 v/v

Produk
Campuran minyak + air

Pengambilansampel
Pengambilan sampelpada
padajam
jam ke
ke-4
4. Analisa
Analisa AV danAV danFFA
yield rendemen
dilakukan
FFA dilakukan

Gambar 4. Prosedur percobaan utama

29
3. Standarisasi KOH dengan H2C2O4.2H2O

0,01 M larutan H2C2O4


0,01 M larutan KOH dibuat
dibuat

Titrasi asam basa


dengan indikator pp

Catat V H2yang
Catat VH2C2O4 C2O4 dibutuhkan
yang
dibutuhkan
untuk titrasi 4untuk titrasi KOH
mL larutan KOH

Hitung Molaritas KOH

Gambar 5. Standarisasi KOH dengan menggunakan larutan H2C2O4

4. Perhitungan Mol Asam Lemak Bebas (FFA)

± 40 g sampel + 5 ml
40 gr sampel + 5 mL alkohol Larutan KOH yang telah
alkohol
96%96% distandarisasi

Titrasi asam basa


menggunakan indikator pp

Catat volume KOH yang digunakan

Hitung mol FFA

Gambar 6. Prosedur perhitungan mol asam lemak bebas

30
5. Perhitungan Perolehan Asam Lemak Bebas (FFA)

Volume KOH dikali dengan


normalitas KOH dan BM
KOH dibagi massa sampel

Perolehan FFA
dihitung

Gambar 7. Prosedur perhitungan perolehan asam lemak bebas

31
6. Pengujian Sifat Fisis Asam Lemak Bebas

Asam Lemak Bebas

pengujian bobot jenis pengujian indeks bias

sampel pada piknometer ditutup sampel diteteskan pada


dan direndam dalam air pada suhu prisma refraktometer
250C selama 30 menit dengan suhu 250C

bagian luar piknometer dikeringkan didiamkan agar suhu sampel


lalu ditimbang sama dengan suhu refraktometer

pembacaan indeks
air pada piknometer ditutup dan
refraksi
direndam dalam air pada suhu 250C
selama 30 menit

bagian luar piknometer dikeringkan


lalu ditimbang

perhitungan bobot jenis asam


lemak bebas

Gambar 8. Prosedur pengujian sifat fisis asam lemak bebas

32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Reaksi Hidrolisis

Reaksi hidrolisis dilakukan pada berbagai kondisi operasi yaitu suhu,

jumlah katalis, dan rasio w/o yang berbeda. Hasil reaksi hidrolisis

mempunyai variasi yang beranekaragam karena adanya perbedaan kondisi

operasi. Perbedaan hasil reaksi dapat dilihat secara visual dari gambar yang

diambil secara acak pada saat percobaan, dapat dilihat pada gambar 9a

(suhu 40 0C, rasio w/o 1:2,86, rasio katalis 0,01 g/ml) dimana fasa air dan

minyak tercampur sempurna menghasilkan FFA yang ditandai dengan adanya

lapisan berwarna putih yang homogen, pada gambar 9b (suhu 50 0C,

rasio w/o 1:2,86, rasio katalis 0,01 g/ml) fasa minyak dan air tidak tercampur

sempurna/menghasilkan sedikit FFA (ditandai dengan lapisan berwarna putih

yang dihasilkan sedikit), dan pada gambar 9c (suhu 40 0C, rasio w/o 1:4, rasio

katalis 0,01 g/ml) FFA yang dihasilkan lebih banyak daripada gambar 9b.

Lapisan berwarna putih merupakan FFA yang terbentuk dari proses hidrolisis

enzimatis, sementara lapisan minyak yang masih terdapat pada gambar 9b

dan 9c merupakan produk samping berupa gliserol yang berasal dari hasil

reaksi hidrolisis (Tambun, 2002).

(a) (b) (c)

Gambar 9. FFA yang terbentuk dari kondisi operasi yang berbeda

33
4.2 Produksi Asam Lemak Bebas (FFA) / Percobaan Utama

Produksi FFA atau percobaan utama dilakukan untuk menentukan

kondisi tertinggi untuk mendapatkan perolehan FFA yang maksimum.

Percobaan utama dilakukan dengan melakukan tiga variasi, yaitu temperatur,

rasio w/o, dan jumlah katalis. Hasil dari percobaan utama adalah perolehan FFA

(%) dari fasa minyak dan jumlah mol FFA per mg sampel. Hasil perolehan FFA

dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Perolehan Asam Lemak Bebas (FFA)

Jumlah FFA Jumlah FFA


Rasio Rendemen
Suhu Rasio Aktual Prediksi
Run Katalis FFA
(0C) w/o (mmol/g (mmol/g
(g/ml) (%)
sampel) sampel)
1 30 1:10 0.0005 0.541 0.251 14.43%
2 30 1:4 0.0005 0.629 0.427 16.80%
3 30 1:2,86 0.0005 0.639 0.576 17.06%
4 30 1:2 0.0005 0.825 0.848 22.04%
5 30 1:10 0.0025 0.846 0.897 22.59%
6 30 1:4 0.0025 1.034 1.070 27.60%
7 30 1:2,86 0.0025 1.349 1.217 36.02%
8 30 1:2 0.0025 1.488 1.487 39.73%
9 30 1:10 0.005 1.502 1.483 40.10%
10 30 1:4 0.005 1.533 1.652 40.92%
11 30 1:2,86 0.005 1.579 1.797 42.16%
12 30 1:2 0.005 1.905 2.063 50.86%
13 30 1:10 0.01 1.931 1.918 51.55%
14 30 1:4 0.01 1.942 2.080 51.85%
15 30 1:2,86 0.01 1.966 2.220 52.49%
16 30 1:2 0.01 2.755 2.478 73.57%
17 50 1:10 0.0005 0.324 0.003 8.66%
18 50 1:4 0.0005 0.350 0.165 9.35%
19 50 1:2,86 0.0005 0.359 0.306 9.60%
20 50 1:2 0.0005 0.368 0.564 9.84%
21 50 1:10 0.0025 0.385 0.703 10.28%
22 50 1:4 0.0025 0.984 0.862 26.28%
23 50 1:2,86 0.0025 1.140 1.000 30.43%
24 50 1:2 0.0025 1.368 1.256 36.53%
25 50 1:10 0.005 1.400 1.356 37.38%
26 50 1:4 0.005 1.449 1.512 38.68%
27 50 1:2,86 0.005 1.540 1.648 41.12%

34
Tabel 3. Lanjutan

Jumlah Jumlah
Rasio FFA FFA Rendemen
Suhu Rasio
Run Katalis Aktual Prediksi FFA
(0C) w/o
(g/ml) (mmol/g (mmol/g (%)
sampel) sampel)
28 50 1:2 0.005 1.855 1.900 49.53%
29 50 1:10 0.01 1.878 1.925 50.14%
30 50 1:4 0.01 1.921 2.073 51.28%
31 50 1:2,86 0.01 2.256 2.204 60.24%
32 50 1:2 0.01 2.348 2.449 62.68%
33 40 1:10 0.0005 0.876 1.268 23.39%
34 40 1:4 0.0005 0.969 1.437 25.87%
35 40 1:2,86 0.0005 1.549 1.582 41.36%
36 40 1:2 0.0005 1.818 1.847 48.55%
37 40 1:10 0.0025 1.868 1.941 49.86%
38 40 1:4 0.0025 1.901 2.107 50.76%
39 40 1:2,86 0.0025 2.387 2.250 63.74%
40 40 1:2 0.0025 2.604 2.512 69.54%
41 40 1:10 0.005 2.668 2.560 71.24%
42 40 1:4 0.005 2.927 2.723 78.15%
43 40 1:2,86 0.005 3.128 2.863 83.53%
44 40 1:2 0.005 3.158 3.122 84.32%
45 40 1:10 0.01 3.243 3.063 86.60%
46 40 1:4 0.01 3.307 3.218 88.30%
47 40 1:2,86 0.01 3.502 3.353 93.50%
48 40 1:2 0.01 3.542 3.604 94.58%
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2012

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kondisi operasi rasio w/o 1:2 dan

rasio katalis 0.01 g/ml pada suhu 30 0C, 40 0C, dan 50 0C menunjukkan

perolehan jumlah FFA aktual yang tinggi, hal ini dapat dijadikan acuan pada

penentuan variabel yang berpengaruh terhadap perolehan FFA. Pada suhu 30 0C

(rasio w/o 1:2, rasio katalis 0.01 g/ml) jumlah FFA aktual yang diperoleh

sebesar 2,755 mmol/g sampel dengan rendemen FFA sebesar 73,57%, kemudian

pada suhu 50 0C (rasio w/o 1:2, rasio katalis 0.01 g/ml) jumlah FFA aktual yang

diperoleh sebesar 2,348 mmol/g sampel dengan rendemen FFA sebesar 62,68%,

kemudian pada suhu 40 0C (rasio w/o 1:2, rasio katalis 0.01 g/ml) jumlah FFA

aktual yang diperoleh sebesar 3.542 mmol/g sampel dengan rendemen FFA
35
sebesar 94,58%. Jumlah FFA aktual tertinggi pada Tabel 3 berada pada kondisi

operasi suhu 40 0C, rasio w/o 1:2, rasio katalis 0.01 g/ml.

Hasil regresi yang dilakukan terhadap jumlah FFA aktual mempunyai

nilai R2 sebesar 0,963 dimana jumlah FFA prediksi yang dihasilkan dapat

menggambarkan kondisi aktual. Perbandingan jumlah FFA aktual dengan

jumlah FFA prediksi dapat dilihat pada grafik berikut.

Jumlah FFA Aktual vs Jumlah FFA


Prediksi
4
3.5 R² = 0.9634
Jumlah FFA Prediksi

3
2.5
2 Jumlah FFA
1.5 Prediksi
1 Linear (Jumlah
0.5 FFA Prediksi)
0
0.0000000 1.0000000 2.0000000 3.0000000 4.0000000
Jumla FFA Aktual

Gambar 10. Grafik perbandingan antara jumlah FFA aktual dan jumlah FFA
prediksi

Dari Gambar 10 menunjukkan pendistribusian yang merata pada garis

linier antara jumlah FFA secara aktual dan prediksi, dengan nilai R2 sebesar

0,963 menunjukkan bahwa kondisi operasi yang berpengaruh terhadap perolehan

jumlah FFA cukup akurat.

36
4.3 Penentuan Variabel Berpengaruh Terhadap Perolehan FFA

Regresi multi variabel yang dilakukan terhadap perolehan FFA

menggunakan persamaan Montgomery (1997) yang telah dikembangkan sebagai

berikut:

𝑦 = 𝑎0 + 𝑎1 𝑥1 + 𝑎2 𝑥2 + 𝑎3 𝑥3 + 𝑎4 𝑥1 𝑥2 + 𝑎5 𝑥1 𝑥3 + 𝑎6 𝑥2 𝑥3
+ 𝑎7 𝑥1 2 + 𝑎8 𝑥2 2 + 𝑎9 𝑥3 2 …………………………………….. ( 8)

Keterangan :

𝑎0 − 𝑎9 = koefisien dari kondisi operasi


𝑥1 = suhu (0C)
𝑥2 = rasio w/o
𝑥3 = rasio katalis (g/ml)

Persamaan 8 dapat membantu untuk mengetahui kondisi operasi yang

berpengaruh terhadap perolehan FFA. Kondisi operasi yang paling berpengaruh

akan mempunyai nilai koefisien yang besar pada persamaan. Variabel yang

berpengaruh harus diperhatikan kecenderungan dalam mendapatkan perolehan

FFA yang setinggi mungkin. Koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 4. Koefisien dari Persamaan Regresi Multi Variabel


Koefisien Nilai Koefisien
𝑎0 -16.75
𝑎1 0.90
𝑎2 0.86
𝑎3 342.85
𝑎4 -0.005
𝑎5 1.34
𝑎6 -9.99
𝑎7 -0.01
𝑎8 1.28
𝑎9 -19671.55
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2012

37
Nilai koefisien terbesar dari hasil regresi yang dilakukan adalah

koefisien a3 dan a5. Nilai a3 yang didapatkan adalah 342,85 dan nilai a5 yang

didapatkan adalah 1,34. Nilai koefisien terbesar pada persamaan mempunyai

pengaruh yang paling dominan terhadap perolehan FFA. Kondisi yang paling

berpengaruh adalah x1 dan x3, yaitu temperatur reaksi dan jumlah katalis. Nilai

koefisien a8 juga berpengaruh terhadap perolehan FFA. Koefisien a8 bernilai

1,28. Koofisien a8 merupakan nilai kuadratik dari rasio w/o. Temperatur reaksi

akan mempunyai suatu puncak yang merupakan kondisi tertinggi untuk

menghasilkan perolehan jumlah FFA yang maksimal.

4.4 Pengaruh Kondisi Operasi terhadap Perolehan FFA

Persamaan regresi dialurkan menjadi grafik 3D untuk mengetahui

pengaruh kondisi operasi terhadap perolehan FFA. Grafik 3D yang dibuat

berdasarkan model persamaan regresi berfungsi untuk mengetahui interaksi

antara kondisi operasi terhadap perolehan FFA. Interaksi yang terjadi pada

kondisi operasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik Hubungan antara Suhu, Rasio Katalis, dan Rasio w/o
terhadap Perolehan Jumlah FFA
38
4.4.1 Pengaruh Temperatur terhadap Perolehan FFA

Perbedaan temperatur pada kondisi operasi akan mempengaruhi laju

reaksi hidrolisis dan keaktifan enzim lipase, hal ini disebabkan karena enzim

memiliki temperatur yang optimum pada penggunaanya (Laidler, 1979).

Maka dari itu, penentuan temperatur optimum pada penggunaan enzim lipase

perlu dilakukan.

Grafik pada Gambar 11 menunjukkan bahwa kondisi operasi pada

suhu 40 0C memiliki perolehan jumlah FFA yang lebih tinggi dibandingkan

perolehan jumlah FFA pada suhu 30 0C. Kemudian pada temperatur reaksi

berikutnya sebesar 50 0C perolehan jumlah FFA mengalami penurunan atau

lebih rendah dari FFA yang diperoleh pada suhu 40 0C.

Perolehan jumlah FFA tertinggi dihasilkan pada rentang suhu 39-

40oC, namun perolehan jumlah FFA pada suhu 40-50 oC semakin menurun

dengan bertambahnya temperatur reaksi, hal ini sesuai dengan Laidler (1979)

yang menyatakan bahwa seiring dengan bertambahnya temperatur maka laju

reaksi cenderung bertambah cepat. Akan tetapi dengan mempertimbangkan

adanya katalis yang digunakan terutama enzim maka kenaikan temperatur

belum tentu mempercepat laju reaksi atau dapat meningkatkan perolehan

FFA.

Profil perolehan jumlah FFA yang terjadi pada Gambar 11 dapat

disebabkan oleh katalis yang belum dapat bekerja secara maksimal. Kerja

enzim secara maksimal terjadi pada suatu suhu tertentu yang dinamakan suhu
0
optimum. Siregar (2010) menyatakan bahwa setiap kenaikan 10 C,

kecepatan reaksi dapat meningkat menjadi 2 atau 3 kali lipat. Tetapi pada

suhu diatas 50 0C, umumnya enzim sudah mengalami kerusakan. Maka dari

39
itu diperlukan jumlah katalis yang lebih banyak untuk meningkatkan

perolehan jumlah FFA.

Temperatur reaksi yang dianjurkan dalam pembentukan FFA

menggunakan katalis berada pada rentang 40 oC. Apabila temperatur reaksi

yang digunakan kurang dari 40 oC maka perolehan FFA yang dihasilkan tidak

maksimal. Apabila temperatur yang digunakan lebih dari 40 oC maka energi

yang digunakan semakin besar dan perolehan jumlah FFA semakin menurun.

4.4.2 Pengaruh Jumlah Katalis terhadap Perolehan FFA

Perolehan jumlah FFA semakin tinggi dengan bertambahnya jumlah

katalis (enzim lipase) yang digunakan. Profil yang terjadi dapat dilihat pada

Gambar 11. Reaksi berjalan lambat pada jumlah katalis 0,0005 gr/ml. Reaksi

yang lambat membuat perolehan jumlah FFA menjadi sedikit. Perolehan

jumlah FFA maksimal pada rasio 0,0005 g/ml hanya mencapai 45-50%.

Penambahan jumlah katalis 0,0025-0,01 g/ml memberikan pengaruh

yang besar terhadap perolehan jumlah FFA. Profil perolehanjumlah FFA

semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah katalis. Mc Neill

(1996) menyatakan bahwa enzim atau katalis yang digunakan semakin

banyak maka kesetimbangan akan dicapai dengan waktu yang lebih cepat.

Pemilihan jumlah katalis yang tepat akan menghasilkan produk yang semakin

banyak dan cepat.

Perolehan jumlah FFA paling besar pada rasio katalis 0,01 g/ml pada

suhu 40 oC. Profil dapat dilihat pada Gambar 11 dimana pada bagian terakhir

grafik merupakan titik tertinggi dalam perolehan FFA. Lipase bekerja sangat

aktif pada suhu ±40 oC. Perolehan terendah pada suhu 40 oC menggunakan

40
jumlah katalis 0,01 g/ml adalah 3,243 mmol/g. Perolehan tertinggi yang

dihasilkan menggunakan jumlah katalis 0,01 g/ml adalah lebih dari 3,5

mmol/g.

Profil perolehan FFA pada jumlah katalis >0,01 g/ml sudah tidak

terlalu berdampak terhadap perolehan FFA. Perolehan FFA akan tetap

meningkat dengan penambahan jumlah katalis tetapi tidak ekonomis. Profil

gambar 11 menunjukan bahwa penambahan katalis hanya akan sedikit

meningkatkan perolehan FFA. Penggunaan katalis sebesar 0,01 g/ml

memiliki nilai keekonomisan paling tinggi. Perhitungan ekonomi dalam

penggunaan katalis sangatlah penting (Mc Neill, 1996). Harga lipase yang

mahal membuat penggunaan katalis harus efektif dan efisien.

4.4.3 Pengaruh Rasio w/o terhadap Perolehan FFA

Enzim lipase yang digunakan pada reaksi hidrolisis akan bercampur

pada fasa air. Lipase akan bereaksi dengan fasa minyak di lapisan interfase

antar dua fasa. Penggunaan air akan mempengaruhi perolehan FFA.

Profil perolehan FFA akan meningkat seiring dengan bertambahnya rasio

w/o. Kecenderungan dapat dilihat pada Gambar 11 dimana grafik mengalami

kenaikan dari kiri ke kanan rasio w/o bertambah. Rasio w/o yang meningkat

akan menyebabkan bertambahnya fasa air yang mengandung lipase. Fasa air

yang bertambah akan membuat reaksi yang terjadi menjadi lebih banyak. Hal

ini sesuai dengan Wijaya (2011) yang menyatakan bahwa penggunaan jumlah

air pada fasa rasio w/o akan meningkatkan reaksi sehingga mempengaruhi

perolehan asam lemak bebas.

41
Secara umum, peningkatan perolehan FFA akan semakin meningkat dengan

bertambahnya jumlah katalis dan rasio w/o yang digunakan. Pada grafik dapat dilihat

bahwa jumlah katalis paling besar (0,01 g/ml) dan rasio w/o (1:2) mempunyai

perolehan FFA tertinggi. Kinerja enzim pada suhu 30-40oC memerlukan rasio w/o

yang besar untuk menghasilkan FFA lebih banyak. Perolehan FFA yang mulai

menurun setelah suhu 40 oC terjadi akibat menurunnya aktivitas katalis. Jumlah

katalis yang bertambah harus diimbangi penambahan rasio w/o yang cukup agar

katalis tidak kekurangan media untuk bereaksi. Penambahan katalis yang berlebih

tanpa penambahan w/o yang cukup akan mengakibatkan kelebihan penggunaan

katalis apabila w/o sudah habis bereaksi.

4.5 Sifat Fisis Asam Lemak Bebas (FFA)

Pengujian sifat fisis dari perolehan FFA dilakukan pada satu jenis

sampel yang memiliki rendemen FFA aktual tertinggi, yaitu pada sampel ke 48

dengan jumlah FFA aktual sebesar 3,542 mmol/g. Hasil pengujian sifat fisis

FFA dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Hasil Pengujian Sifat Fisis FFA

Sifat Fisis Hasil Pengujian


Indeks Bias 1,4548
Bobot Jenis 0,895 g/ml
Sumber : Data Primer BB Pascapanen Bogor, 2012

Pengujian sifat fisis yang dilakukan pada perolehan FFA memiliki

nilai indeks bias sebesar 1,4548 dan bobot jenis sebesar 0,895 g/ml. Hasil

pengujian sifat fisis tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemurnian FFA

maupun tingkat kerusakan yang terjadi setelah proses hidrolisis minyak goreng

42
sawit tidak melebihi ketentuan. Hal ini mengacu pada nilai sifat fisis minyak inti

sawit, dimana nilai bobot jenis sebesar 0,90 g dan nilai indeks bias berada

diantara 1,4565 hingga 1,4505 (Ketaren, 1986).

4.6 Penentuan Kondisi Terbaik untuk Perolehan FFA Maksimum

Kondisi terbaik yang dapat ditemukan untuk pembentukan asam

lemak bebas (FFA) adalah temperatur optimum dan penggunaan jumlah katalis

yang tepat. Temperatur optimum yang digunakan dalam penggunaan katalis

(lipase) pada Gambar 11 berada pada suhu 40 oC, dengan penggunaan rasio w/o

1:2 dan jumlah katalis 0.01 g/ml.

Selain berdasarkan perolehan FFA yang dihasilkan, pemilihan

parameter rasio w/o 1:2 dan jumlah katalis 0,01 g/ml juga dilakukan berdasarkan

faktor ekonomis, terutama jumlah katalis yang harganya mahal. Jika kedua

parameter ditingkatkan maka perolehan FFA bertambah tetapi dengan rasio

w/o = 1:2 dan jumlah katalis = 0,01 g/ml perolehan jumlah FFA sudah mencapai

3,542 mmol/g dengan rendemen FFA sebesar 94,58%.

43
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Temperatur memiliki pengaruh yang besar terhadap perolehan jumlah FFA,

namun peningkatan temperatur tidak serta merta meningkatkan perolehan

FFA karena dipengaruhi oleh aktivitas katalis. Temperatur terbaik yang

didapatkan adalah 400 C.

2. Peningkatan jumlah katalis akan meningkatkan perolehan jumlah FFA.

Untuk memperoleh jumlah FFA yang tertinggi serta dapat mengefisienkan

penggunaan jumlah katalis, maka rasio katalis yang digunakan sebesar 0,01

g/ml.

3. Penggunaan rasio w/o juga dipengaruhi oleh jumlah katalis, jumlah katalis

yang bertambah harus diimbangi dengan penambahan rasio w/o yang cukup.

Untuk rasio katalis 0,01 g/ml dengan rasio w/o sebesar 1:2 mempunyai

perolehan jumlah FFA yang tertinggi.

4. Persamaan Montgomery dapat digunakan dalam penentuan jumlah FFA

prediksi dan diperoleh nilai koefisien untuk menentukan kondisi operasi yang

berpengaruh.

5.1 Saran
Untuk memastikan apakah temperatur yang digunakan memiliki pengaruh

yang signifikan pada perolehan jumlah FFA, disarankan pada penelitian

selanjutnya digunakan temperatur reaksi yang lebih bervariasi serta variasi

penggunaan jumlah katalis sebesar 0,0005 g/ml dapat dihilangkan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Aisjah, G. 1993. Biokimia I edisi ketiga. P.T.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Alamsyah, A.N. 2006. Biodiesel Jarak Pagar, Bahan Bakar Alternatif yang
Ramah Lingkungan.Agromedia Pustaka: Jakarta.

Anonim, 2011. Kelapa Sawit. http://www.bumn.go.id/ptpn5/id/galeri/tanaman-


kelapa-sawit/. Diakses pada tanggal 28 April 2012: Makassar.

Arianto, E. 2008. Pertumbuhan Produksi Minyak Sawit Indonesia. .Indonesian


Oil Palm Research Institute: Medan.
Damanik, R. D. 2008. Pengaruh Kadar Air Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas
(Alb) dari Minyak CPKO (Crude Palm Kernel Oil) pada Tangki Timbun
(Storage Tank) di P.T. Sarana Agro Nusantara Unit Belawan. USU
Repository: Sumatra Utara.

Haas, M. J, Scott, K., Jun, W, dan Janssen. 1994. Enzymatic


Phosphatidylcholine Hydrolysis in Organic Solvents: An Examination of
Selected Commercially Available Lipases. J. Am. Oil Chem. Soc. 71, 843-
49.

Hermansyah. 2006. Mathematical Model for Stepwise Hydrolysis of Trioelin


Using Candida Rugosa Lipasse in Biphasic Oil-Water System.
Biochemical Engineering Journal. 31: p. 125-132.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit


Universitas Indonesia: Jakarta.

Laidler, K. J. dan Peterman, B. F. 1979. Temperature Effects in Enzyme


Kinetics. In Methods in Enzymology, Vol. 63. Enzyme Kinetics and
Mechanism. Part A: Initial Rate Inhibitor Methods (D.L. Purich, ed.), pp.
234–257, Academic Press: New York, NY.

Mangoensoekardjo, S. 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Universitas


Gajah Mada Press: Yogyakarta.

McNeill, G. P. Ackman, R. G. dan Moore, S. R. 1996. Lipase-catalysed


Enrichment of Long-chain Polyunsaturated Fatty Acids. J. Am. Oil Chem.
Soc. 73, 1403–1407.

McClements D. J. 2005. Food Emulsion Principle: Principles, Practices


and Techniques, edisi kedua. Boca Raton: CRC Press.
Montgomery D. C. 1997. Design and Analysis of Experiments Fifth ed. Arizona
State University: US.
45
Muchtadi, Tien R.A. dan Sugiyono. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Alfabeta: Bandung.
Naibaho, P. M. 1996. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian
Kelapa Sawit: Medan.

Rohman, Sumantri, A. 2007. Analisis Makanan. Gadjahmada University Press:


Yogyakarta.

Serri, N. A., Kamarudin, A.H. dan Rahaman, S.N.A. 2008. Preliminary Studies
for Production of Fatty Acids From Hydrolysis of Cooking Palm Oil Using
C. rugosa Lipase. Journal of Physical Science, 2008. 19: p. 79-88

Shahidi. 2005. Fereidoon. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Wiley-
Interscience. John Wiley & Sons Inc. Publication.

Shimada, Y., Maruyama, K., Sugihara, A., Moriyama, S. dan Tominaga, Y.


1997. Purification of Docosahexaenoic Acid From Tuna Oil by Two Step
Enzymatic Method: Hydrolysis and Selective Esterification. J. Am. Oil
Chem. Soc. 74, 1441–1446.

Siahaan, D., Herawan, T., Nuryanto, E. 2002. Produk Non Pangan berbasis
Minyak Sawit. Indonesian Oil Palm Research Institute: Medan.
Siahaan, D., Panjaitan, F.R., Hasibuan, H.A. dan Rivanni, M. 2002. Produk
Pangan berbasis Minyak Sawit. Indonesian Oil Palm Research
Institute: Medan.
Siahaan, D. 2002. Aspek Gizi dan Kesehatan Minyak Sawit. Indonesian Oil Palm
Research Institute: Medan.
Simeh, M. A. 2004. Comparative Advantage of The European Rapeseed
Industry vs Other oils and Fats Producers. Oil Palm Industry Economic
Journal. 4(2), 14-22. Malaysian Palm Oil Board.

Siregar, A. 2010. Enzim dan Peranannya. http://www.chem-is-


try.org/materi_kimia/biologi-pertanian/metabolisme-sel/enzim-dan-
peranannya/. Diakses pada tanggal 30 April 2012: Makassar.

Sitinjak, S. 1983. Pengolahan hasil perkebunan 2. Pengolahan Kelapa Sawit.


Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara: Medan.

Sulistyono, I. 2005. Perancangan Pabrik Asam Lemak dari Minyak Sawit


Kapasitas80.000ton/tahun. Jurusan Teknik Kimia. Universitas Sumatra
Utara: Medan.

Tambun, R. 2002. Proses Pembuatan Asam Lemak Secara Langsung dari Buah
Kelapa Sawit. Program Studi Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara:
Medan.

46
Wijaya, T.K. 2011. Studi Pengaruh Variabel - Variabel Proses pada Hidrolisis
RBDPO menjadi Campuran Asam Lemak. Fakultas Teknologi Industri.
Universitas Katolik Parahyangan: Bandung.

47

Anda mungkin juga menyukai