GASTROENTERITIS
2017/2018
OLEH:
KRIS WIDYAWATI
145070200111010
KELOMPOK 3 ReGULER 1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
1. DEFINISI GASTROENTERITIS
2. KLASIFIKASI GASTROENTERITIS
Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari :
a. Diare akut
Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi
tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung
dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Menurut Depkes (2002), diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari
tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2 hari. Berdasarkan banyaknya cairan yang
hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit diare akut dapat dibedakan dalam
empat kategori, yaitu: (1) Diare tanpa dehidrasi, (2) Diare dengan dehidrasi ringan,
apabila cairan yang hilang 2-5% dari berat badan, (3) Diare dengan dehidrasi
sedang, apabila cairan yang hilang berkisar 5-8% dari berat badan, (4) Diare dengan
dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari 8-10%.
b. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan
dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.
c. Disentri
Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, kemungkinanterjadinya komplikasi
pada mukosa.
d. Diare kronik
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab
non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme
yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Menurut (Suharyono, 2008),
diare kronik adalah diare yang bersifat menahun atau persisten dan berlangsung 2
minggu lebih.
e. Diare dengan masalah lain
Yaitu anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten), mungkin juga
disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
f. Gangguan imunologik,
Defisiensi dari SigA (secretory immunoglobulin A) dan CMI (Cell Mediated Immunity)
akan menyebabkan tubuh tidak mampu mengatasi infeksi dan infestasi parasit
dalam usus. Akibatnya bakteri, virus, dan parasit akan masuk ke dalam usus dan
berkembangbiak dengan leluasa sehingga terjadi overgrowth dengan akibat lebih
lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan (Suraatmaja, 2007).
4. EPIDEMIOLOGI GASTROENTERITIS
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (2012) setiap tahunnya lebih dari
satu milyar kasus gastroenteritis. Angka kesakitan diare pada tahun 2011 yaitu 411
penderita per 1000 penduduk. Diperkirakan 82% kematian akibat gastroenteritis
rotavirus terjadi pada negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, dimana akses
kesehatan dan status gizi masih menjadi masalah. Sedangkan data profil kesehatan
Indonesia menyebutkan tahun 2012 jumlah kasus diare yang ditemukan sekitar 213.435
penderita dengan jumlah kematian 1.289, dan sebagian besar (70-80%) terjadi pada
anak-anak di bawah 5 tahun. Seringkali 1-2% penderita diare akan jatuh dehidrasi dan
kalau tidak segera tertolong 50-60% meninggal dunia.Dengan demikian di Indonesia
diperkirakan ditemukan penderita diare sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya (Depkes
RI, 2012).
5. FAKTOR RESIKO GASTROENTERITIS
Faktor resiko terjadinya diare adalah faktor – faktor yang memungkinkan terjadinya diare seperti
1. Sanitasi Lingkungan Sanitasi dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku disengaja dalam
pembudayaan hidup bersih dengan maksud bersentuhan langsung dengan kotoran dan
bahan buangan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan
meningkatkan kesehatan manusia. Sanitasi lingkungan yang dapat menyebabkan diare,
antara lain :
- Penyediaan Air Bersih Air merupakan suatu sarana utama untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam
penularan penyakit, terutama penyakit perut. Seperti yang telah kita ketahui bahwa
penyakit perut adalah penyakit yang paling banyak terjadi di Indonesia (Totok, 2010).
Penyediaan air bersih, selain kuantitas, kualitasnya pun harus memenuhi standar yang
berlaku. Untuk ini perusahaan air minum, selalu memeriksa kualitas airnya sebelum
didistribusikan kepada pelanggan. Karena air baku belum tentu memenuhi standar,
maka seringkali dilakukan pengolahan air untuk memenuhi standar air minum (Soemirat,
2009). Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat – syarat kesehatan dan
dapat diminum. Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari – hari dan
akan menjadi air minum setelah dimasak lebih dahulu. (Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990). (Sarudji, 2006). Air minum pun bukan merupakan
air murni. Meskipun bahan-bahan tersuspensi dan bakteri mungkin telah dihilangkan
dari air tersebut, tetapi air minum mungkin masih mengandung komponen-komponen
terlarut. Bahkan air murni sebenarnya tidak enak untuk diminum karena beberapa bahan
yang terlarut memberikan rasa yang spesifik terhadap air minum (Fardiaz, 1992). Air
minum harus memenuhi syarat-syarat antara lain (Sutrisno, 2010):
a. Syarat Fisik : - Air tidak boleh berwarna - Air tidak boleh berasa - Air tidak
boleh berbau
b. Syarat Kimia : Air minum tidak boleh mengandung racun, zat-zat mineral atau
zat-zat kimia tertentu dalam jumlah melampaui batas yang telah ditentukan.
c. Syarat Bakteriologik : Air minum tidak boleh mengandung bakteri-bakteri
patogen sama sekali dan tidak boleh mengandung bakteri-bakteri golongan Coli
melebihi batas-batas yang telah ditentukannya yaitu 1Coli/100 ml.air.
Bakteri golongan Coli ini berasal dari usus besar dan tanah. Bakteri patogen yang
mungkin ada dalam air antara lain : bakteri typhsum, Vibrio colerae, bakteri
dysentriae, Entamoeba hystolotica, bakteri enteritis. Air yang mengadung golongan
Coli telah berkontaminasi dengan kotoran manusia. Oleh sebab itu dalam
pemeriksaan bakteriologik, tidak langsung diperiksa apakah air itu mengandung
bakteri patogen, tetapi diperiksa dengan indikator bakteri golongan Coli.
A. Gangguan osmotik, dimana asupan makanan atau zat yang sukar diserap oleh mukosa
intestinal akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
B. Respons inflamasi mukosa, pada seluruh permukaan intestinal akibat produksi
enterotoksin dari agen infeksi memberikan respons peningkatan aktivitas sekresi air dan
elektrolit oleh dinding usus ke dalam rongga usus, selanjutnya diare timbul karena
terdapat peningkatan isi rongga usus.
C. Gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare, sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang
selanjutnya dapat menimbulkan diare pula. Dari ketiga mekanisme diatas menyebabkan
:
1) Kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan asam basa (asidosis metabolik, hipokalemia)
2) Gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran bertambah)
3) Hipoglekemia, gangguan sirkulasi darah.
Pendapat lain menurut Jonas (2003) pada buku Muttaqin (2011). Selain itu, diare juga
dapaterjadi akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung. Mikroorganisme tersebut berkembang biak,
kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang
selanjutnya akan menimbulkan diare. Mikroorganisme memproduksi toksin. enterotoksin
yang diproduksi agen bakteri (E. Coli dan Vibrio cholera) akan memberikan efek
langsung dalam peningkatan pengeluaran sekresi air ke dalam lumen gastrointestinal.
(Pathway Terlampir)
2) Pajanan terhadap sumber infeksi enterik yang diketahui (mungkin dari makanan atau air
yang terkontaminasi)
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja yang dilakukan adalah pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik,
biakan kuman, tes resistensi terhadap berbagai antibiotika, pH dan kadar gula, jika
diduga ada intoleransi laktosa.
2) Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
3) Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan menentukan
pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah
menurut ASTRUP (bila memungkinkan).
4) Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
5) Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam serum
(terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
6) Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasite
secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik.
Davis Company. Potter & Perry.2005.Fundamental Keperawatan 1.Jakarta: EGC. Saia et al.
BMC Public Health 2010, 10:636 http://www.biomedcentral.com/1471-
2458/10/636 Suriadi dan Yuliani, Rita.2010.