Anda di halaman 1dari 40

Clinical Science Section

SINDROMA DISCHARGE GENITAL

Oleh :

Mutia Rahman 1210313057

Preseptor :

dr. Efriza Naldi, SpOG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD ADNAAN WD PAYAKUMBUH

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan, yang telah melimpahkan rahmat

dan kurnia-Nya sehingga referat yang berjudul “Sindrom Discharge Genital” ini

dapat saya selesaikan dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis

mengenai Sindrom Discharge Genital serta menjadi salah satu syarat dalam

mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian ilmu Obstetri dan Ginekologi.

Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu

dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Efriza Naldi, SpOG sebagai

preseptor dan dokter-dokter residen Obstetri yang telah bersedia meluangkan

waktunya dan memberikan saran, perbaikan dan bimbingan kepada kami. Kami juga

ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua pihak yang

telah banyak membantu dalam penyusunan referat ini yang tidak dapat kami sebutkan

satu persatu di sini.

Dengan demikian, kami berharap semoga referat ini dapat menambah

wawasan, pengetahuan dan meningkatkan pemahaman semua pihak tentang Sindrom

Discharge Genital

Payakumbuh, Maret 2018.

2
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar …………………………..…………………...………… i
Daftar Isi……………………………………………………………… ii
BAB I. PENDAHULUAN………………… ……….…………….…….. 31

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi…………………………………………….………….. 2
2.2 Epidemiologi…………………………………………….…….. 2
2.3 Klasifikasi……………………………………………………… 3
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko……………………………….….... 4
2.5 Patofisiologi……………………………..…………………….. 11
2.6 Gejala Klinis…………………………………………………… 15
2.7 Diagnosis ………………..…………..………………………… 19
2.8 Diagnosis Banding……………………………………………. 26
2.9 Tatalaksana…………………….………………………………. 27
2.10 Pencegahan…………………….……………………………. 32
2.11 Komplikasi…………………….……………………..………. 33
2.12 Prognosis…………………….……………………..………… 34
DAFTAR KEPUSTAKAAN……………………………………………... 35

3
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Discharge Genital adalah sekelompok keluhan pada genitalia

dengan gejala keluarnya cairan putih hingga kekuningan ( fluor albus/ leukorea/ duh

tubuh vagina) melalui vagina. Hal ini kerap dikeluhkan dan menjadi masalah bagi

sebagian besar wanita karena dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, cemas dan

menganggu kehidupan sehari-hari. Penyebab duh tubuh vagina dibagi menjadi yang

non infeksi (duh tubuh vagina fisiologi), non infeksi menular seksual (vaginosis

bakterial, infeksi candida) dan infeksi menular seksual (Chlamydia trachomatis, N.

Gonorrheae, Trichomonas Vaginalis).1

Berdasarkan penelitian epidemiologi, lebih dari sepertiga penderita di

Indonesia yang berobat, 80% diantaranya laukorea patologis. Sebagian besar

penderita memiliki keluhan sering menganti pakaian dalamnya atau menggunakan

pembalut disertai rasa gatal, duh tubuh vagina yang keluar berbau, rasa panas bahkan

sakit saat bersenggama. Keluhan dapat bervariasi dari ringan hingga berat.

kadangkala yang terjadi adalah ketidaktahuan pasien, serta umumnya akan datang

saat dirasakan gatal atau rasa sakit yang hebat karena flour albus dinilai sebagai

sesuatu yang memalukan sehingga pasien tidak mendapatkan terapi yang adekuat.2

Dalam makalah ini penulis akan menjabarkan vaginal discharge / leukorea

baik secara fisiologi dan patologis mulai dari definisi, etiologi, patofisiologi, gejala,

diagnosis dan terapi yang dapat diberikan kepada masing-masing penyebab.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindroma Discharge Genital adalah sekelompok keluhan pada genitalia

dengan gejala keluarnya cairan putih hingga kekuningan ( fluor albus/ leukorea/ duh

tubuh vagina) melalui vagina.

Vaginal discharge bukan merupakan suatu penyakit, melainkan manifestasi

klinis dari suatu penyakit. Vaginal discharge terbagi dua yaitu vaginal discharge

yang fisiologis dan patologis. Pada referat ini akan lebih banyak dibahas vaginal

discharge yang patologis.3

2.2 Epidemiologi

WHO memperkirakan terdapat 340 juta kasus baru IMS (Infeksi Menular

Seksual) per tahun terjadi di dunia (gonore, klamidia, sifilis dan trikomoniasis) dan

tercatat kasus infeksi HIV saat ini lebih dari 33,6 juta kasus. Kasus IMS di Amerika

Serikat (AS) tercatat sebanyak 12 juta kasus per tahun, dimana 3 juta diantaranya

(25%) menyerang usia produktif. Studi prevalensi pada pusat 13 rehabilitasi narkoba

AS menemukan IMS terbanyak antara lain trikomoniasis (43%), vaginosis bakterial

(40-50%), kandidiasis (20 – 25%).4

Di Indonesia, data kejadian keputihan sangat terbatas karena hanya sedikit

wanita yang memeriksakan masalah tersebut. Menurut Depkes (2010), terdapat 75 %

2
wanita yang mengalami keputihan minimal satu kali selama hidupnya dan setengah

diantarany mengalami dua kali atau lebih.

2.3 Klasifikasi

2.3.1 Leukorea Fisiologis

Vaginal discharge / leukorea yang fisiologis merupakan cairan/ sekret tidak

berwarna, tidak gatal dan tidak berbau yang keluar dari vagina. Cairan/ sekret ini

mengandung banyak epitel dan sedikit leukosit. Normalnya hanya ditemukan di

daerah portio vagina, disebabkan oleh pengaruh hormonal. Vaginal discharge /

leukorea fisiologis dapat ditemukan pada bayi baru lahir sampai kira-kira umur 10

hari, saat menarke, saat ovulasi, saat rangsangan sebelum dan pada waktu koitus, saat

kehamilan, saat stress, kelelahan dan pemakaian kontrasepsi hormonal.5

2.3.2 Leukorea Patologis

Vaginal discharge / leukorea yang patologis merupakan cairan/ sekret yang

keluar dari vagina dengan jumlah, bau dan konsistensi yang bervariasi berdasarkan

penyebabnya. Selain itu dapat disertai rasa gatal dan rasa terbakar disekitar kemaluan

serta rasa nyeri saat berkemih dan bersenggama. Cairan/ sekret ini mengandung

banyak leukosit. Leukorea patologis dapat diakibatkan oleh infeksi (bakteri, jamur,

parasit), iritasi, benda asing, tumor/ jaringan abnormal lain, dan radiasi.2

3
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko

a. Fisiologis :

Flora vagina normal : Lactobasillus acidophilus

Fungsi : pertahanan tubuh

Kualitas dan kuantitas : berubah ubah

dipengaruhi oleh : secara garis besarnya usia, hormon, dan faktor lokal

misalnya menstruasi dan pasca melahirkan

b. Abnormal

1) Kandidiasis vulvovaginal : 27%

2) Vaginosis bakterialis :21%

3) Trikomoniasis :8%

4) Chlamydia trachomatis :2%

5) Neisseria gonorrhea :1%

6) penyebab non-infeksi :34% kasus, seperti;

a) Iritasi bahan kimia (spt: sabun, spermisida, pembalut, dll.)

b) Trauma fisik

c) Alergi dan dermatitis kontak

Penyebab lain yang lebih jarang adalah;

a) Polip servikalis dan neoplasma lain

b) Tampon yang tidak diganti.

c) Fistula6

4
Adapun faktor risiko teradinya sindrom duh genital antara lain:

a. Non Infeksi

 Leukorea Fisiologis

Vaginal discharge /leukorea fisiologis disebabkan oleh pengaruh

hormonal, dapat ditemukan pada :

- Bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari, disebabkan oleh

pengaruh estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagia janin.

- Saat menarke, disebabkan oleh pengaruh estrogen biasanya hilang

dengan sendirinya.

- Saat ovulasi, berasal dari sekret kelenjar serviks uteri yang menjadi

lebih encer.

- Saat rangsangan sebelum dan pada waktu koitus, akibat transudasi

dinding vagina

- Saat kehamilan

- Saat stress, kelelahan

- Pemakaian kontrasepsi hormonal

 Benda asing (AKDR, cincin pesarium, tertinggalnya kondom)

 Iritasi

- Spermisida, pelican, kondom

- Sabun/ cairan antiseptik / pembersih vagina

- Tisu toilet dengan pewarna dan parfum

- Detergen laundry

5
b. Infeksi

1. Neisseria gonorrhae :

Etiologi

Gonorrhea adalah penyakit yang sudah lama dikenal sejak jalam dahulu..

Penyebab penyakit ini adalah Neisseria Gonorrhea yang merupakan bakteri

diplokokus gram negatif yang menempel pada permukaan mukosa. Gonore

ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879. Kuman ini masuk dalam kelompok

Neisseria sebagai N. gonorrhoeae bersama dengan 3 spesies lainnya yaitu,

N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca. Gonokokus termasuk golongan

diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan pajang 1,6 u. Kuman ini

bersifat tahan asam, Gram negatif, dan dapat ditemui baik di dalam maupun di luar

leukosit. Kuman ini tidak dapat bertahan hidup pada suhu 39 derajat Celcius, pada

keadaan kering dan tidak tahan terhadap zat disinfektan Hingga saat ini, kuman ini

merupakan penyebab uretritis pada laki-laki dan servisitis pada perempuan, yang

akan berujung pada penyakit inflamasi pelvis dan infeksi diseminata.7,8

Faktor Risiko

Status sosial ekonomi yang rendah, , homoseksual, heteroseksual, biseksual,

ada riwayat infeksi Neisseria gonorrhoeaea sebelumnya, pengobatan gonore dengan

antibiotik yang tidak adekuat dan seks bebas. 9

6
2. Vaginosis bakterialis

Etiologi

Vaginosis bakterial merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh

bertambahnya organisme anaerob lebih banyak dari flora normal Lactobaciluus Sp.

terutama yang menghasilkan hydrogen peroksida. Organise anaerob yang sering

terlibat diantaranya Gardnerella vaginalis, Prevotella, Mobilincus spp,

Peptostreptococcus dan Mycoplasma hominis. Etiopatogenesis vaginosis bakterial

belum sepenuhnya dipahami, namun diduga terkait dengan faktor hubungan seksual

(pasangan seks multipel dan riwayat infeksi menular seksual) . 9,10

Faktor Risiko

Vaginosis bakterial sering terjadi pada wanita usia produktif yang aktif secara

seksual, lesbian, ibu hamil, pengguna alat kontrasepsi dalam rahim dan penggunaan

pembersih vagina.9

Faktor risiko lain yang diduga terlibat diantaranya ras kulit hitam, merokok,

mestruasi, wanita dengan pasangan laki-laki yang tidak di sirkumsisi, kemisikinan,

kekurangan vitamin D, stress kronik dan genetik. Penggunaan kontrasepsi hormonal

terkait dengan berkurangnya prevalensi vaginosis bakterial.11

7
3. Candidasis :

Etiologi

Candida adalah spesies jamur dari deutromycota yang merupakan

mikroorganisme oportunistik, selalu ada dan terdapat pada tubuh dalam jumlah yang

sedikit. Apabila terjadi ketidakseimbangan seperti pH vagina berubah atau perubahan

hormonal, maka Candida akan bertambah banyak dan terjadilah Candidiasis.9

Faktor Risiko

a. Perubahan Fisiologis : usia, kehamilan, haid

b. Faktor mekanik : trauma (luka bakar), oklusi lokal, kelembapan, maserasi ,

kegemukan

c. Faktor nutrisi : avitaminosis, defisiensi zat besi, malnutrisi

d. Penyakit sistemik : penyakit endokrin ( diabetes, sindrom cushing),

keganasan, imunodefisiensi

e. Iatrogenik : penggunaan kateter, radiasi sinar X, penggunaan obat-obat

(steroid, glukokortikoid, obat imunosupresif, antibiotik)

f. kondom, , spermisida, seks oral, kontrasepsi oral

8
4. Trikomoniasis

Etiologi

Trikomoniasis disebabkan oleh invasi parasit Trichomonas vaginalis pada

epitel vagina. Trichomonas vaginalis merupakan flagelata berbentuk filiformis,

mempunyai 4 flagela dan bergerak seperti gelombang. Parasit ini berkembang biak

secara belah pasang memanjang dan dapat hidup dalam suasan pH 5-7.5. parasite ini

paling baik utmbuh dalam keadaan anaerobic dan tidak dapat utmbuh dalam

keasaman vagina yang normal.

Trichomocianiasis merupakan penyakit menular seksual yang sangat sering

terjadi disebabkan oleh infeksi parasit Trichomonas vaginalis. Lebih sering

menginfeksi wanita (lebih sering wanita dewasa dari pada wanita muda)

dibandingkan laki-laki.

Faktor Risiko

Transmisi penyakit ini melalui hubungan seksual. Namun dapat juga melalui

handuk, pakaian atau saat berenang. Faktori risiko yang terlibat yaitu kemiskinan dan

aktivitas seksual tinggi. Pada wanita bagian tubuh yang terinfeksi yaitu vulva, vagina

dan uretra. Sedangkan pada laki-laki bagian tubuh yang terinfeksi yakni penis

(uretra). Selama hubungan seksual, parasit dapat ditransmisikan dari vagina ke penis

atau sebaliknya.9

9
5. Infeksi Genital non spesifik

Etiologi

Infeksi genital non spesifik (IGNS) lima puluh persennya disebabkan oleh

Chlamydia Trachomatis, sisanya disebabkan oleh ureaplasma urealyticum dan

mycoplasma hominis.

Chlamydia Trachomatis merupakan bakteri gram negatif, berbentu sferis, non

motile, intrasel obligat. Terdapat 15 serotipe dimana A-C menyebabkan

konjungtivitis kronis dan D-K menyebabkan infeksi urogenital dan L1-L2

menyebabkan lymphogranuloma vereneum. Bakteri ini dapat menyebabkan servisitis

dan uretritis pada wanita.2,9,12

Ureaplasma Urealyticum merupakan 25% dari penyebab IGNS sering

bersamaan dengan C. Trachomatis. Merupakan mikroorganisme paling kecil, gram

negatif, pleomorfik karena tidak memiliki dinding sel yang kaku. Infeksi Mycoplasma

hominis sering menginfeksi bersama dengan U. urealyticum.9

Faktor Risiko

Faktor risiko untuk terjadinya infeksi C. Trakhomatis pada wanita seksual

aktif termasuk usia muda (usia 15-24 tahun), melakukan hubungan seksual pada usia

muda, riwayat infertilitas, memiliki lebih dari 1 partner seksual, adanya partner seks

yang baru, tidak menikah, ras kulit hitam, mempunyai riwayat atau sedang menderita

penyakit menular seksual, riwayat keguguran, riwayat infeksi saluran kemih, servikal

ektopik, dan penggunaan tidak teratur dari kontrasepsi barrier.9

10
2.5 Patofisiologi

Pada keadaan normal cairan yang keluar dari vagina wanita dewasa sebelum

menopause terdiri dari epitel vagina, cairan transudasi dari dinding vagina, sekresi

dari endoserviks berupa mukus serta mengandung mikroorganisme terutama

Lactobacillus. Lactobacillus memiliki peran penting dalam menjaga suasana vagina

dengan menekan pertumbuhan mikroorganisme anaerob yang merugikan

(Gardnerella vaginalis, Prevotella, Mobilincu spp, Peptostreptococcus dan

Mycoplasma hominis) dengan cara memproduksi hidrogen peroksida yang bersifat

aerob dan asam. Vagina normal memiliki pH 3,8-4,4 adanya Lactobacillus

mempertahankan keasaman lingkungan vagina, pada pH lebih tinggi kuman yang

merugikan tumbuh subur dan menekan pertumbuhan Lactobacillus. Apabila terjadi

ketidakseimbangan suasana flora vagina normal yang dapat disebabkan oleh

penurunan fungsi dari Lactobacillus maka akan terjadi aktivitas dari mikroorganisme

yang selama ini ditekan oleh flora normal vagina sehingga menimbulkan reaksi

inflamasi.

Neisseria Gonorrheae

Neisseria Gonorrheae secara morfologik terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1 dan 2

yang mempunyai pili sehingga bersifat virulen dan tipe 3 dan 4 yang tidak memiliki

vili sehingga bersifat nonvirulen. Pili ini akan melekat ke mukosa epitel dan akan

menimbulkan reaksi radang. Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah daerah

dengan epitel mukosa kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang (immature)

11
yakni pada vagina wanita sebelum pubertas. Pada masa pra pubertas, epitel vagina

dalam keadaan belum berkembang (sangat tipis) sehingga mudah terjadi vaginitis

gonore. Sedangkan pada masa reproduktif, lapian selaput lendir vagina menjadi

matang dan tebal dengan banyak glikogen dan basil Doderlein. Basil doderlein akan

memecah glikogen sehingga menghasilkan suasana asam yang tidak menguntungkan

kuman gonokok. Kemudian kuman ini akan tumbuh lagi pada masa menopause

karena selaput lender vagina menjadi atrofi, kadar glikogen menurun dan basil

doderlein juga berkurang sehingga menguntungkan untuk bakteri gonokokus.2,12,9

Vaginosis Bakterial

Vaginosis bakterial timbul akibat perubahan ekosistem mikrobiologis vagina,

sehingga bakteri normal dalam vagina (Lactobacillus sp) sangat berkurang. Secara

invitro, Lactobacillus sp akan menghambat G. vaginallis, Mobiluncus dan batang

anaerob gram negatif. Beberapa galur Lactobacillus dapat menghasilkan hidrogen

peroksida (H2O2) yang banyak dijumpai pada orang dengan vaginal normal

dibandingkan orang dengan vaginosis bakterial.

Cairan vagina pasien vaginosis bakterial mengandung banyak endotoksin,

sialidase dan glikosidase yang akan mendegradasi musin sehingga mengurangi

viskositas duh dan menghasilkan duh tubuh vagina yang homogen dan encer. Bau

amis dihasilkan dari produksi amin dari bakteri anaerob. Bau amis meningkat dengan

bertambahnya pH. Saat pH vagina menjadi basa terutama setelah hubungan seksual

dan saat menstruasi bau amis semakin meningkat. Vaginosis bakterial tidak disertai

12
dengan inflamasi mukosa dinding vagina dan jarang mengakibatkan rasa gatal di

vulva.9,13

Penggunaan bahan dan alat-alat intravagina dapat menyebabkan perubahan

flora normal vagina seperti penggunaan tampon, kebiasaan douching vagina ,

penggunaan herbal dan bahkan cairan semen yang alkali.14

Candidiasis Vulvovaginalis

Pada Kandidiasis, terjadi karena perubahan kondisi lingkungan vagina. Sel

Ragi akan berkompetisi dengan flora normal. Hal-hal yang memudahkan

pertumbuhan sel ragi antara lain, keadaan penurunan daya tahan tubuh, penyakit

kronis, penggunaan antibiotik spektrum luas jangka lama, penggunaan kontrasepsi,

kadar estrogen yang tinggi, kehamilan, diabetes yang tidak terkontrol, penggunaan

obat imunsupresan, pemakaian pakaian ketat dan berlapis-lapis yang tidak menyerap

keringat dengan baik.9

Trikomoniasis

Pada Trikomoniasis, Trichomonas Vaginalis mampu menimbulkan

peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai mencapai

jaringan epitel dan subepitel. Pada wanita, yang diserang bagian dinding vagina

sedangkan pada laki-laki yang diserang etrutama uretra, kelenjar prostat kadang

preputium, vesikula seminalis kadang epididimis. T. Vaginalis menginvasi epitel

kemudian menimbulkan gejala pada 4 hari - 3 minggu setelahnya dengan

mengakibatkan peradangan epitel skumosa vagina dan ektoserviks, peradangan ini

13
menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar vagina dan sekret yang mukopurulen.

Pada kasus lanjut akan terbentuk jaringan granulasi dan terjadi nekrosis epitel sampai

subepitel.9

Infeksi Genital non spesifik

Chlamydia Trachomatis merupakan parasit intraobligat, mirip bakteri gram

negatif. C. Trachomatis mengalami 2 fase perkembangan : 1) Fase non infeksius/

laten. Dapat ditemukan kuman di genitalia maupun konjungtiva. Kuman berada di

intraselular dalam vakuol yang melekat pada inti sel host, disebut badan inklusi 2)

Fase Penularan. Vakuol pecah kuman keluar dalam bentuk badan elementer dan dapat

menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru. Pematangan badan inisial dan badan

elementer diikuti dengan peningkatan sintesis DNA dan RNA. Organisme ini lebih

menyukai infeksi sel-sel skuamokolumnar yaitu pada zona transisi serviks.9

14
2.6 Gejala Klinis

1. Gonore

Sebagian besar wanita dengan gonorea memiliki gejala yang asimtomatik.

Jika memiliki gejala, biasanya gejalanya ringan dan tidak spesifik. Gejalanya antara

lain disuria, kadang-kadang poliuria, kadang timbul rasa nyeri pada pinggul bawah.

Pada pemeriksaan dalam didapatkan labio mayora dapat bengkak, merah dan nyeri

tekan. Kadang kelenjar bartholini ikut meradang dan menimbulkan rasa nyeri saat

berjalan/duduk. Pada urtera didapatkan orifisium uretra eksternum tampak merah,

edema dan sekret mukopurulen. Sedangkan pada pemeriksaan serviks, tampak merah

dengan erosi dan sekret mukopurulen.9

Gambar 2.1. Cervicitis Gonorrhea; Discharge yang tampak pada endoservik

15
2. Vaginosis Bakterial

Sebanyak 50% perempuan yang menderita vaginosis bakterial tidak

menunjukan keluhan atau gejala (asimtomatik). Bila ada keluhan, umumnya berupa

duh tubuh vagina abnormal yang berbau amis, yang seingkali terjadi setelah

hubungan seksual tanpa kondom. Jarang terjadi keluhan gatal, dysuria, dispareunia.

Umunya pasangan seksual atau suami pasien yang mengeluhkan mengani duh vagina

tersebut.

Pada pemeriksaan klinis menunjukan duh tubuh vagina berwarna abu-abu

homogen, viskositas rendah atau normal, berbau amis, melekat di dinding vagina,

seringkali terlihat di labia dan fourchette, pH sekret vagina berkisar antara 4.5-5.5.

tidak ditemukan tanda peradangan gambaran serviks normal.9

Gambar 2.2 Gambaran klinis vaginosis bakterialis.


Tampak gambaran klasik dari vaginosis bakteri : keputihan yang berwarna putih
keabuan, terdapat bau amis yang menyengat

16
3. Candidiasis Vulvovaginalis

Keluhan yang menonjol adalah rasa gatal, terbakar / panas sering kali disertai

dengan iritasi vagina, dysuria (nyeri saat berkemih). Cairan vagina yang keluar

berwarna putih seperti susu yang bergumpal-gumpal (“cottage cheese-like”), tidak

berbau dan pH sekret vagina <4.5. pada pemeriksaan dalam, seringkali

memperlihatkan eritema dinding vulva dan vagina, kdang-kadang dengan plak putih

yang menempel. Sedangkan pada laki-laki biasanya mengeluh rasa gatal dan

kemerahan pada penis.2,9

Gambar 2.3. Candidiasis; Discharge kental tampak melekat di dinding vagina.

4. Trikomonas Vaginalis

Trikomoniasis pada wanita, yang diserang terutama dinidng vagina. Dapat

bersifat akut dan kronik. Pada kasus akut, terlihat sekret vagina seropurulen berwarna

kekuning-kuningan, kuning-hijau, berbau tidak enak (malodorous), berbusa, rasa

gatal dan dapat disertai disuria. Dinding vagina tampak kemerahan dan sembab.

Kadang terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan serviks yang tampak seperti

17
granulasi berwarna merah yang dikenal sebagai “strawberry appearance” dan

disertai dispareunia, pendarahan pasca koitus dan perdarahan inter menstrual. Bila

ada sekret, banyak yang keluar dapat timbul iritasi pada lipat paha atau sekitar

genitalia eksterna. Pada kasus kronik, gejala lebih ringan dan biasanya sekret vagina

tidak berbusa. 9

Gambar 2 4.Trichomoniasis; Discharge pada dinding vagina, tampak putih berbuih banyak.

5. Infeksi Genital Non Spesifik

Infeksi klamidia tidak menimbulkan keluhan pada 30%-50% kasus dan dapat

menetap selama beberapa tahun. Penderita mengeluh keluar cairan mukopurulen dari

vagina, disuria ringan, sering kencing, dispareunia, , dispareunia, bercak berdarah

atau perdarahan pasca senggama. Pada pemeriksaan serviks, hiperemis, edema,

disertai folikel-folikel kecil mudah berdarah, tampak erosi, rapuh dan terdapat cairan

mukopurulen berwarna kuning-hijau.

18
Bila tidak segera ditangani, klamidia dapat menyebabkan penyakit radang

panggul yaitu terjadinya nyeri kronis akibat infeksi pada uterus dan saluran tuba.

Radang panggul dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik.2,9

Gambar 2.5. Clamydia trakomatis; Discharge pada dinding servik, tampak putih

kekuningan

2.7 Diagnosis

1. Gonore

Diagnosis diperoleh dengan anamnesis dari perilaku seksual berisiko, gejala,

dan riwayat infeksi menular seksual, pengobatan penyakit kelamin sebelumnya serta

riwayat hubungan seksual pasangan. Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan labio

mayora dapat bengkak, merah dan nyeri tekan. Kadang kelenjar bartholini ikut

meradang dan menimbulkan rasa nyeri saat berjalan/duduk. Pada uretra didapatkan

orifisium uretra eksternum tampak merah, edema dan sekret mukopurulen.

19
Sedangkan pada pemeriksaan serviks, tampak merah dengan erosi dan sekret

mukopurulen.

Pemeriksaan pembantu dapat dilakukan dengan sediaan langsung dari duh

kelenjar bartholin, serviks dan muara uretra dengan pewarnaan gram didapatkan

bakteri diplokokus gram negatif intra dan ekstrasel serta peningkatan jumlah sel

polimorfonuklear. Sensitifitas pewarnaan gram adalah >95% dan spesifisitas adalah >99%.

Kultur dapat dilakukan dengan media Thayer Martin.9

2. Vaginosis Bakterial

Penegakan diagnosis vaginosis bakterial dapat digunakan kriteria klinis

maupun pemeriksaan gram. Pemeriksaan gram digunakan berbagai laboratorium

sebagai standar diagnosis. Pemeriksaan ini digunakan untuk memperkirakan

konsentrasi lactobacillus dan bakteri anaerob gram negatif.

Kriteria Nugent dan kriteria Amsel merupakan kriteria yang palin sering

digunakan. Namun demikian kriteria Amsel lebih disukai karena mudah, murah dan

lebih efektif dari pada penggunaan kriteria Nugent. Kriteria Hay Ison

direkomendasikan oleh Bacterial Special Interest group BASHH untuk

diimplementasikan di klinik genitourinari.15

a. Kriteria Amsel

1. Duh tubuh homogen, putih ke abu-abuan, melekat di vulva dan vagina

2. Terdapat clue cells pada duh vagina (>20% total epitel vagina tampak pada

pemeriksaan sediaan basah dengan NaCl fisiologis dan pembesaran 100 kali

20
3. Timbul bau amis pada duh vagina bila ditetesi KOH 10%

4. pH duh vagina > 4.59

Gambar 2.6. Clue cell

b. Skor Nugent

Tabel 2.1 Skor Nugent dan Gram Stain dari vagina Smear16

21
Metoda ini digunakan untuk melihat proporsi bakteri pada pewarnaan gram

sekret vagina. Dengan menilai skor 0-10

- Skor <4 normal

- Skor 4-6 intermediet

- Skor > 6 didiagnosis vaginosis bakterial15

c. Kriteria Hay Ison

Melihat gambaran apusan gambaran menurut tipe flora yang dominan

1. Grade 0 : tidak terkait dengan vaginosis bakterial, hanya sel epitel tanpa

adanya banteri Lactobacillus

2. Grade 1 (normal): Lactobacillus sp mendominasi

3. Grade 2 (Intermediate): Kombinasi flora dengan beberapa Lactobacilli, dan

juga Gardnerella atau Mobiluncus morphotypes.

4. Grade 3 (BV): Terutama Gardnerella dan / atau Mobiluncus morphotypes.

Sedikit atau tidak ada Lactobacilli.15

Pemeriksaan Pembantu

a. Pemeriksaan (KOH) Preparation dan Tes Whiff

Sampel cairan vagina ditempatkan pada kaca objek dan solusi KOH 10%

ditambahkan. Segera setelah pemberiaan KOH, gelas objekdidekatkan kehidung

untuk melakukan tes whiff; kehadiran amina bau "amis" yang kuat dianggap sebagai

tes whiff positif.

22
Gambar 2.7. Tes Whiff

Pada vagina yang sehat tidak ada bau yang timbul pada pemeriksaan diatas. Adanya
bau amis ( amine odor ) mengarahkan dugaan pada infeksi trichomonas atau
vaginosis bakterial.

b. Pemeriksaan pH

pH cairan vagina dapat ditentukan dengan menempatkan pH kertas lakmus

pada dinding vagina atau langsung di sekresi vagina yang dikumpulkan. pH normal

vagina biasanya a ntara 3,8 dan 4,5. pH lebih dari 4,5 dapat didiagnosis dengan

vaginosis bakteri.17

c. Pewarnaan Gram

Pemeriksaan sederhana, cepat dan tidak mahal untuk membantu diagnosis

Vaginosis bakterial adalah dengan melakukan pewarnaan Gram pada pulasan cairan

vagina. Kombinasi pH vagina 4.5 dan pewarnaan Gram dari cairan vagina

merupakan metode yang baik dalam membantu diagnosis. Meskipun Vaginosis

bakterial sering dihubungkan dengan isolasi Gardnerella vaginalis, suatu bakteri

anaerob, tetapi sampai saat ini cara tersebut tidak dapat dipakai untuk kriteria

diagnosis. Menurut Spiegel dkk, diagnosis vaginosis bakterial dapat ditegakan kalau

ditemukan campuran jenis bakteri termasuk morfotipe Gardnerella dan batang gram

positif atau gram negatif yang lain atau kokus atau kedua duanya.17,18

23
Spiegel dkk. menemukan bahwa pewarnaan Gram bersifat konsisten terhadap

vaginosis bakterial. Meskipun demikian, spesimen swab vagina tetap dikirim ke

laboratorium mikrobiologi untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain dan

menambah dukungan terhadap diagnosis lain dan menambah dukungan terhadap

diagnosis klinik bakterial vaginosis. Menurut Thomason, dkk. untuk terjadinya

Vaginosis bakterial maka jumlah Lactobacillus menurun, sedangkan jumlah bakteri

lainnya meningkat, dan pH vagina juga harus meningkat. Ketiga keadaan ini harus

terjadi bersamaan.18

3. Kandidosis Vulvovaginalis

Dalam anamnesis penderita kandidosis terdapat gejala disuria dan pruritus

pada vulva, nyeri bengkak dan kemerahan. Tandanya berupa edema pada vulva dan

sekret berwarna putih seperti susu yang bergumpal-gumpal (“cottage cheese-like”)

tidak berbau, diagnosis dapat dibuat pada pasien dengan gejala dan tanda-tanda

kandidosis ditambah dengan 1) sediaan basah dengan KOH10% atau pewarnaan gram

pada cairan vagina menunjukan budding yeast, hyphae atau pseudohyphae atau 2)

Kultur atau tes lainnya menghasilkan hasil yang positif untuk spesies ragi, Candida

vaginitis dikaitkan dengan pH vagina normal (<4.5). untuk hasil sediaan basah yang

negatif sedangkan dengan gejala dan tanda yang positif dipertimbangkan dilakukan

kultur dengan kultur Saboroud dextrose agar. Apabila kultur tidak dapat dilakukan,

berikan terapi empiris. Mengidentifikasi Candida dengan kultur tanpa adanya gejala

atau tanda bukan merupakan indikasi pengobatan. Karena sekitar 10-20% dari wanita

24
memiliki Candida sp. dan ragi yang lain pada vagina. Kultur tetap merupakan gold

standard dalam diagnosis candida vulvovaginalis.9

4. Trikomoniasis

Diagnosis ditegakan pada penderita dengan gejala dan tanda trikomoniasis

ditambah pemeriksaan sediaan basah sekret duh forniks posterior dengan NaCl 0.9%

tampak T. vaginalis dan pergerakan flagela. Kultur merupakan gold standard dalam

diagnosis infeksi T. vaginalis. Kultur mempunyai sensitivitas 75%-96% dan

spesifisitas sampai 100%. Pada wanita digunakan sekret vagina sebagai spesimen

untuk kultur. 9

5. Infeksi Genital Nonspesifik

Secara klinis sulit membedakan infeksi gonore dan non gonore untuk

mengetahui infeksi C. Trachomatis sebagai penyebab maka dipakai kriteria :

a. Pada apusan gram tidak ditemukan diplokokus gram nefatif ekstra dan

intrasel .

b. Pada sediaan dengan KOH 10% tidak ditemukan blastospora, pseudohifa.

c. Pada sediaan basah dengan NaCl 0.9% tidak ditemukan Trikomonas

d. Tidak ada peningkatan jumlah leukosit PMN > 5/LPB pada spesimen duh

uretra atau PMN >30/LPB pada spesimen duh serviks.9

25
2.8 Diagnosis Banding

Tabel Diagnosis Banding Duh genital19

DUH genital Infeksi Genital Gonore Trikomoniasis Kandidiosi Vaginosis


Non Spesifik Vulvovaginalis Bakterial
Kuman C. Trachomatis. N. Gonorrheae Trikomonas Candida sp G. Vaginalis.
Penyebab Ureaplasma U. Vaginalis Prevotela
Mycoplasma H Mobilincus
Masa 1-3 minggu 2-5 hari 4hari-3 minggu Sukar Sukar
Inkubasi ditentukan ditentukan
tergantung etio bukan
predisposisi organisme
tungal
Klinis Asimtomatik Asimtomatik, Bau tidak enak Gatal daerah Duh
Seringnya uretritis berbuih, vaginitis. vulva. Rasa homogeny,
servisitis, (polyuria, Abses kecil pada panas, nyeri warna putih
hiperemis, dysuria OUE dinding vagina dan setelah miksi keabu-abuan
edema, folikel- merah), serviks brupa dipareunia, melekat ke
folikel kecil servisitis Granulasi Hiperemis di diding vagina
mudah berdarah (servik merah“strawberry labia minora dan
hiperemis, appearance”. introitus vagina vestibulum
erosi), sekret Dispareunia. dan sepertiga bau amis
mukopurulen Perdarahan post bawah vagina, terutama
coitus dan flour albus setelah
intermenstrual (gumpalan hubungan
Sekret vagina seperti susu seks
seropurulen- putih
mukopurulen (warna kekuningan).
kuning kehijauan).

Pemeriksaan Sediaan apus Sediaan Sediaan basah Nacl; Duh dari Tes whiff,
Penunjang gram . Kriteria langsung gram 0.9% sekret duh di dinding lateral clue cell,
ABCD kelenjar fornix posterior , vagina dengan Kriteria
bartolin serviks pemeriksaan AMSEL
dan OUE. KOH 10%.
Mikroskopis Kriteria ABCD Tampak Dari forniks Leukosit 80% Sedikit
diplokokus posterior: ditemukan leukosit, clue
gram (-) intra Trikomonas 70-80%. pseudohifa dan cell +
dan ekstrasel tampak T. vaginalis blastospora
dan PMN >> dengan pergerakan
yang khas
pH >5.0 <4.5 >4.5
Sumber: Hakimi, M. 2011 Radang dan Beberapa Penyakit Lain pada Alat Genital. Ilmu Kandungan.
Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

26
2.9 Tatalaksana

1. Gonore

Terapi untuk gonore berdasarkan ketersediaan sarana laboratorium, jika tidak

tersedia makan digunakan alur pendekatan sindrom dengan menilai faktor risiko. Bila

lab tersedia maka dapat ditegakan dengan pasti. Tingginya infeksi klamidia

bersamaan dengan gonore, dan sulit nya penegakan infeksi klamidia serta tingginya

insiden infeksi klamidia disertai infeksi gonore dengan komplikasi, mengakibatkan

pertimbangan pengobatan klamidia bersama-sama dengan gonore.

Dengan dilaporkankannya kejadian resistensi sefiksim dan efektivitas


sefiksim oral yang berkurang, penggunaan sefiksim sebagai terapi tunggal tidak
direkomendasikan lagi. Sesuai rekomendasi CDC 2010 terapi gonore dibuat menjadi
terapi kombinasi dua obat dengan mekanisme kerja yang berbeda untuk
meningkatkan efektivitas dan meningkatkan terjadinya resistensi .Diberikan injeksi
seftriakson 250 mg, IM dosis tunggal dikombinasikan dengan Azitromisin 1 gr oral
dosis tunggal. Pada pasien ini antibiotik yang digunakan adalah kombinasi golongan
sefalosporin dan makrolid . Bila seftriakson tidak tersedia dapat diberikan sefiksim
400 mg oral dosis tunggal dengan azitromisin 1 g oral dosis tunggal.

Untuk terapi non medikamentosa :

 Bila memungkinkan periksa dan lakukan pengobatan pada pasangan tetap.


 Anjurkan abstinensia sampai infeksi dinyatakan semuh secara laboratoris, bila
tidak memungkinkan anjurkan penggunaan kondom
 Kunjungan ulang untuk tindak lanjut di hari ke 3 dan hari ke 7
 Lakukan konseling mengenai infeksi, komplikasi yang dapat terjadi, dan
pentingnya keteraturan berobat
 Lakukan Provider Initated Testing and Counseling (PITC) terhadap infeksi
HIV dan kemungkinan mendapatkan infeksi menular seksual lain.

27
 Bila memungkinkan lakukan pemeriksaan untuk penapisan IMS lainnya.9

2. Vaginosis Bakterial

Antimikroba spektrum luas terhadap sebagian besar bakteri anaerob, biasanya efektif

untuk mengatasi vaginosis bakterial. Metronidazol dan klindamisin meupakan obat

utama, serta aman diberikan pada perempuan hamil. Tinidazol, merupakan derivate

nitroimidazol dengan aktifitas antibakteri dan antiprotozoal telah disetujui sebagai

obat untuk vaginosis bakterial. obat yang diberikan intravagina menunjukan efikasi

yang sama dengan metronidazol oral dengan efek samping sistemik yang lebih

sedikit.9

Pengobatan diperlukan untuk pasien dengan20:

- Gejala klinis vaginosis bakterial

- Preoperatif untuk operasi vagina

- Wanita hamil dengan temuan gram negatif

- Pasien dengan temuan mikroskopis vaginosis bakterial

Pengobatan yang direkomendasikan

- Metronidazole 500 mg: tablet oral, 2 kali sehari selama 7 hari, atau

- Metronidazole 2 gram : dosis tunggal atau,

- Metronidazole 0.75% gel : aplikasi 5 g intravagina, 1 kali sehari selama 5

hari.

- 2% klindamisin krim : 5g intravagina seelum tidur selama 7 hari.20

Pasangan seks juga harus ditatalaksana dengan manajemen yang sama.

28
3. Kandidiasis Vulvovaginalis

Terapi topikal jangka pendek (dosis tunggal dan regimen 1-3 hari)efektif

untuk mengobati kandidosis vulvovaginalis tanpa komplikasi. Obat topikal azol lebih

efektif dari pada nistatin. Terapi dengan azol meredakan gejala dan membuat kultur

negatif pada 80-90% pasien yang telah jalani pengobatan lengkap.

Regimen intravagina yang direkomendasikan :\

 Klotrimazol 1% krim 5 g intravagina satu kali sehari selama 7-14 hari

 Klotrimazole 2% krim 5 g intravagina satu kali sehari selama 3 hari

 Mikonazol 2% krim 5g intravagina satu kali sehari selama 7 hari

 Mikonazol 4% krim 5 g intravagina satu kali sehari selama 3 hari

 Mikonazol 100 mg suppos intravagina, satu kali sehari selama 7 hari

 Mikonazol 200 mg suppose intravagina, satu kali sehari selama 3 hari

 Mikonazol 1.200 mg suppose intravagina, dosis tunggal

 Tiokonazol 6.5% ointment 5g intravagina, dosis tunggal21

Recurrent Vulvovaginal Candidiasis (RVVC)

Didefinisikan sebagai empat kali atau lebih episode gejala VVC dalam waktu

1 tahun terjadi pada sekitar < 5 % wanita. Pathogenesis RVVC kurang jelas, dan

sebagian besar wnita dengan VVC tidak memiliki predisposisi jelas atau kondisi yang

mendasari. Spesies C. glabrata dan nonalbican lainnya diamati pada 10-20% dari

wanita dengan RVVC.

29
Terapi :

 Individu dengan episode RVVC yang disebabkan oleh C. albicans memilik

respon yang baik terhadap pengobatan oral atau topikal azol. Namun untuk

mempertahankan klinis dan mikologi normal, beberapa studi

merekomendasikan pengobatan jangka panjang (7-14 hari terapi topikal atau

100mg, 150mg atau 200mg dosis oral flukonazol setiap 3 hari sebanyak 3

dosis (1,4 dan 7).21

Severe Vulvoaginalis Candidosis (SVVC)

Dengan eritema vulva yang ekstensif, edema, ekskoriasi dan pembentukan

fisura. Rekomendasi terapi : azol topikal 7-14 hari atau 150 mg flukonazol oral pada

dua dosis ( dosis kedua 72 jam setelah dosis pertama.21

4. Trikomoniasis

Non medikamentosa :

 Bila memungkinkan periksa dan lakukan pengobatan pada pasangan tetapnya

 Anjurkan abstinensia sampai infeksi dinyatakan sembuh secara laboratoris,

bila tidak mungkin ajurkan penggunaan kondom

 Kunjungan ulang untuk follow-up dihari ke 7

 Lakukan konseling mengenai infeksi, komplikasi yang dapat terjadi,

pentingnya keteraturan berobat

 Lakukan Provider Initiated Testing and Counseling (PITC) terhadap infeksi

HIV dan kemungkinan mendapatkan infeksi menular seksual lain.

30
 Bila memungkinkan lakukan pemeriksaan penapisan untuk IMS lainnya.

Medikamentosa :

 Obat yang sering digunakan tergolong derivat nitroimidazol seperti :

- Metronidazol 2 g oral dosis tunggal atau

- Metronidazol : 2 x 500 mg per hari selama 7 hari atau dosis tunggal 2

gram atau

- Tinidazol : oral dosis tunggal 2 gram

 Konsumsi alkohol harus dihindari selama pengobatan dengan nitroimidazole

sampai 24 jam setelah selesai pengobatan dengan metronidazole dan 72 jam

setelah pengobatan dengan tinidazole untuk mengurangi kemungkinan

disulfiram-like reaction. Selain itu jangan berhubungan seksual sampai

penderita dan pasangannya mendapatkan terapi adekuat dan tidak bergejala.

Penderita trikomoniasis, disarankan melakukan tes HIV.

 Karena tingginya tingkat reinfeksi (17% dalam waktu 3 bulan dalam studi),

pengujian ulang untuk T. vaginalis direkomendasikan untuk semua wanita

yang aktif secara seksual dalam waktu 3 bulan setelah pengobatan awal.

 Memberikan terapi pada pasangan seks adalah penting untk mengurangi

gejala-gejala, menyembuhkan dan pencegahan penularan dan reinfeksi.

Pasangan disarankan untuk menjauhkan diri dari hubungan seksual sampai

penderita dan pasangan seks telah menyelesaikan terapi adekuat dan tidak

bergejala.21

31
5. Infeksi Genital Non Spesifik

Lakukan tatalaksana non medikamentosa dan medikamentosa. Dengan

pemberian makrolid.

Pilihan Utama

- Doksisiklin : 2 x 100 mg sehari selama 7 hari, atau

- Azitromisin : 1 gram dosis tunggal

Eritromisin : untuk penderita yang tidak tahan tetrasiklin, ibu hamil, dan berusia

kurang dari 12 tahun, 4 x 500 sehari selama 1 minggu atau 4 x 250 mg sehari selama

2 minggu.9

2.10 Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan agar leukorea/ keputihan tidak berulang

antara lain :

 Menjaga kebersihan genitalia

- Membersihkan bagian luar vagina setiap hari dengan air dan

menjaganya tetap kering

- Menghindari penggunaan cairan pembersih kewanitaan

- Cara membersihkan organ reproduksi dengan benar yaitu dari arah

depan ke belakang untuk mencegah penyebaran bakteri dari anus ke

vagina

- Saat menstruasi, biasakan mengganti pembalut apabila sudah terasa

basah/ lembab

32
 Memperhatikan pakaian organ kewanitaan kering dan tidak lembab

- Menghindari menggunakan pakaian dalam/ celana panjang yang

terlalu ketat karena meningkatkan kelembapan organ kewanitaan

- Menggunakan pakaian dalam dari bahan katun agar menyerap keringat

- Apabila pakaian dalam terasa lembab, segera ganti dengan yang kering

dan bersih

 Mengatur pola hidup yang sehat

- Setia kepada pasangan

- Hindari seks bebas berganti-ganti pasangan

- Hindari stress, merokok dan alkohol

- Konsumsi makanan bergizi dan menjaga berat badan ideal

- Hindari penggunaan barang-barang pribadi dengan orang lain seperti

handuk, pakaian dalam.22

2.11 Komplikasi

Pada kasus-kasus yang tidak diberikan terapi adekuat, infeksi tersebut dapat

menyebar ke traktus reproduksi bagian atas dan menyebabkan penyakit lain yang

lebih serius.

Vaginosis bakterial maupun dalam keadaan asimptomatik berhubungan

dengan insiden endometritis yang tinggi dan penyakit radang panggul setelah

keguguran, ketuban pecah dini, dan lahir preterm. Baik vaginosis bakterial

33
simptomatik dan asimptomatik terkait degan peningkatan insidensi penyakit menular

seksual lainnya termasuk HIV.23,24

Gonore komplikasi yang dapat trejadi antara lain sekuele permanen pada

wanita yaitu terjadinya infertilitas akibat PIC (Pelvic Inflammatory Disease.

Sedangkan pada Klamidiasis, dapat menyebabkan komplikasi PID, nyeri panggul

kronis, infertilitas faktor tuba dan resiko kehamilan ektopik. Sedangkan pada

Trikomoniasis, komplikasi yang dapat terjadi antara lain komplikasi dalam kehamilan

yakni, persalinan premature, ketuban pecah dini dan bayi letak rendah.9

2.12 Prognosis

Secara umum memiliki prognosis yang baik apabila diberikan regimen terapi

dengan durasi yang tepat serta pada pasangan seksual serta mengikuti instruksi

(minum obat secara rutin dengan dosis yang sesuai dan tidak melakukan hubungan

seksual selama pengobatan sampai terapi selesai dan tidak bergejala). Pada Vaginosis

Bakterial prognosis kesembuhan baik yakni mencapai 70-80%. Kandidasis sekitar

80-95% dan Trikomoniasis sekitar 95% dengan terapi adekuat.21,22

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Spence D, Melville C. Vaginal discharge. 2007; 335 h : 9-14.


2. Wiknjosastro, H. Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan Beberapa
Penyakit pada Alat Genital Wanita. Ilmu Kandungan 2011. Edisi ketiga
Cetakan pertama. Jakarta : Yayasan Bina Pusaka Sarwono Prawirohardjo
Hal. 221-226
3. Patel et al., 2005, „Why do women complain of vaginal discharge? A
population survey of infectious and pyschosocial risk factors in a South
Asian community „, International Journal of Epidemiology, vol. 34, no. 4, pp
853-862.
4. Amiruddin, M. Dali. 2012. Buku Ajar: penyakit kulit di daerah tropis.
http://www.unhas.ac.id/lkpp/ kedok/dali%20-%20tdk.pdf
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC. Williams Obstetrics and
Gynecologic. 22nd. San Fransisco: The McGraw-Hill Comparies. 2007
6. Junizaf & Santoso B. I. 2008. Duh Tubuh Vagina (Vaginal Discharge)
Etiologi, Diagnosis
DanPenatalaksanaan.Http://Staff.Ui.Ac.Id/System/Files/Users/Yunizaf/Mater
ial/Duhtubuhvagina2008.Pdf
7. Unemo M, Shafer WM. Antimicrobial resistance in Neisseria gonorrhoeae in the
21st century: past, evolution, and future. Clin MicrobiolRev. 2014;27(3):587–613.
8. Lewis DA .Will targeting oropharyngeal gonorrhoea delay the further emergence
ofd rug-resistant Neisseria gonorrhoeae strains? Sex Transm Infect. 2015;91:234–
237.
9. Menaldi SLS, Barono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke
VII. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2015.

10. Jackie S, Glibert D, David W. 2011 European (IUSTI/WHO) Guideline on


the Management of Vaginal Discharge. Department of Genitourinary
Medicine, Churchill Hospital, Oxford, UK. 2011

35
11. Chris K, Robert C, Tania C. The global epidemiology of bacterial vaginosis:
a systematic Review. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2013
12. McCance KL, Huether SE, Pathophysiology. The Biologic Basis for Disease
in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; 2006. P 829-833.

13. Berry LH MD, Maria VG MD. Vaginitis : diagnosis and treatment. American
Academy of Family Physician. 2011; 83 (7) : 807-815
14. Christina A, Muzny, Jane R. Pathogenesis of Bacterial Vaginosis:
Discussion of Current Hypothesis. Department of Medicine, Division of
Infectious Disease, University of Brimingham. The Journal of Infectious
Disease. 2016 :214 (S1) :S1-5
15. Alexandra R, Mohamed L, Essam H, Tahir M. Vaginal Discharge.
Gynaecology and Reproductive Medicine. Elsevier. 2016
16. Mimi S. Bacterial Vaginosis Update. Advance Healthcare Network. Diunduh
dari:http://nurse-practitioners-and
physicianassistants.advanceweb.com/Features/ Articles/Bacterial-Vaginosis-
Update.aspx
17. Rebecca G.K, David H.S. vaginitis. National STD Curriculum. 2017.
Diunduh dari: http://www.std.uw.edu/go/syndrome-based/vaginal-
discharge/core-concept/all. Hal 1-8
18. Sylvia Y.M, Julius E.S. Diagnosis praktis vaginosis bakterial pada
kehamilan.Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Hal. 74-78.
19. Hakimi, M. 2011 Radang dan Beberapa Penyakit Lain pada Alat Genital.
Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
20. Alexandra R, Mohamed L, Essam H, Tahir M. Vaginal Discharge.
Gynaecology and Reproductive Medicine. Elsevier. 2016

36
21. Center for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Disease
Treatment Guideline 2015. Available at :
http/www.cdc.gov/std/tg2015/default.htm
22. Wibisono B. Duli SF, Makes WB. Pedoman penatalaksanaan Infeksi Menular
Seksual. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkunga (P3L). Departemen Kesehatan RI. Jakarta : 2010
23. Berry LH MD, Maria VG MD. Vaginitis : diagnosis and treatment. American
Academy of Family Physician. 2011; 83 (7) : 807-815
24. Alexandra R, Mohamed L, Essam H, Tahir M. Vaginal Discharge.
Gynaecology and Reproductive Medicine. Elsevier. 2016

37

Anda mungkin juga menyukai