Anda di halaman 1dari 12

Pelajaran sekolah sabat 6 jan 2018 : Pengaruh materislisme

Senang sekali tentunya pada triwulan yang baru dan tahun yang baru ini, kita akan mempelajari
satu aspek yang perlu dimengerti oleh umat-umat Tuhan itu adalah Penatalayanan. Dan pada
pekan ini kita akan melihat bagaimana pengaruh paham materialisme didalam kehidupan kita
umat manusia, khususnya umat-umat Kristen Advent. Saya senang sekali untuk membaca ayat
hafalan kita pada Sabat ini:

Roma 12:2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh
pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang
baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Sehubungan dengan materialisme tentu yang kita bahas adalah seputaran dunia ini—uang,
property, jabatan dan lain sebagainya; yang dikatakan oleh ayat hafalan kita, bahwa kita tidak
boleh menjadi serupa dengan dunia ini—menjadi materialisme. Saya tertarik untuk mengambil
apa yang sekolah Sabat kita katakan. Tidak ada yang salah dengan menjadi kaya, atau bahkan
bekerja keras untuk maju dalam rangka menyediakan kenyamanan bagi diri sendiri dan orang
yang Anda cintai. Tetapi ketika uang, atau mengejar uang, menjadi segala-galanya, maka kita
telah jatuh ke dalam perangkap Iblis dan telah, sesungguhnya, menjadi “serupa dengan
dunia.”[1] Perhatikan ayat berikut ini:

Pengkhotbah 5:9 Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai
kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia.

Saya tertarik dengan definisi yang diberikan dalam sekolah Sabat kita perihal materialisme,
seperti yang kita definisikan disini, adalah ketika kerinduan untuk kekayaan dan harta menjadi
lebih penting dan lebih bernilai daripada realitas rohani.[2] Oleh sebab itu, saya ingin memberi
penekanan dalam pelajaran kita kali ini bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi kaya, punya
harta banyak, asset, gelar dan lain sebagainya—tetapi adalah berbahaya jika harta itu, gelar itu,
asset itu yang menguasai diri kita, sehingga membuat kita jauh dari Tuhan. Lebih jauh lagi
pelajaran sekolah Sabat kita kali ini memberikan penekanan yang luar biasa didalam Lukas
12:15-21—diceritakan ada orang yang sangat kaya.. untuk menyukakan hatinya ia membuat
lumbung mungkin saat ini adalah gudang yang besar; lalu simpan hartanya agar tetap bisa
bersukacita terus dan terus menerus.. lalu datanglah firman Tuhan:

Lukas 12:20-21 Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga
jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?
Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia
tidak kaya di hadapan Allah.

Ini adalah pelajaran penting untuk kita semua; bagi kita yang punya asset, uang sedikit ataupun
banyak ingat.. hanya orang bodoh yang simpan-simpan hartanya dan menyimpannya untuk diri
sendiri.. tetapi biarlah kita menjadi kaya di hadapan Allah—dengan cara apa? Ini yang kita akan
pelajari sepanjang triwulan ini. Menjadi penatalayan yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa
daya tarik materialisme itu sangat kuat. Tetapi sebagai umat-umat Tuhan adalah wajib bagi kita
untuk dapat menahan diri kita—teristimewa mata kita.. seperti yang dikatakan oleh ayat berikut
ini:
Matius 6:21-22 Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Mata adalah pelita
tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu;

Tidak dapat dipungkiri saat ini banyak sekali tawaran-tawaran yang menarik yang diberikan
kepada kita; tawaran itu seolah-olah membuat kita sangat-sangat membutuhkan barang, properti,
kendaraan ataupun jasa-jasa yang ditawarkan itu—saya tidak mengatakan ini salah; tetapi biarlah
kita berfikir sebelum memberikan keputusan untuk membeli ataupun mendapatkan sesuatu. Ingat
tujuan kita adalah kerajaan Surgawi—jadi biarlah apa yang kita miliki ataupun akan miliki diatas
dunia ini adalah untuk kemuliaan nama Tuhan. Oleh sebab itu kita wajib untuk menyerahkan hati
kita—pelita Tubuh itu kepada Yesus. Kita harus meninggalkan Narsisme, yang sebuah kamus
mendefinisikan sebagai “ketertarikan terhadap diri sendiri yang berlebihan; cinta diri;
kesombongan.”[3] Seperti yang dikatakan oleh hamba Tuhan Ellen G. White.

“All true obedience comes from the heart. It was heart work with Christ. And if we consent, He
will so identify Himself with our thoughts and aims, so blend our hearts and minds into
conformity to His will, that when obeying Him we shall be but carrying out our own
impulses.”—Ellen G. White, The Desires of Ages, p. 668.[4]

Kita wajib menyerahkan hati kita kepada Tuhan, sehingga kita benar-benar mengerti apa
kebutuhan kita didalam Tuhan selama masih hidup diatas dunia ini. Bukan saya katakan kita
tidak butuh rumah, kendaraan, pendidikan dan lain sebagainya tetapi lebih mengarahkan kita,
agar lebih alert dan bertanya… “kendaraan, rumah, pendidikan dan kebutuhan apa sajakah yang
kita perlukan untuk memuliakan Tuhan??” sekali lagi bukan saya katakan tidak perlu rumah,
pendidikan, kendaraan dan lain sebagainya; tetapi kita perlu untuk memuliakan nama Tuhan
termasuk dengan segala yang ada pada kita. Sabat ini kita telah belajar bahwa materialisme
adalah merusak. Namun, obat penawarnya adalah: “Bukan dengan keperkasaan dan bukan
dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman TUHAN semesta alam” (Zak. 4:6).[5] Tuhan
pasti menyanggupkan kita hidup dalam Dia; dengan segala sesuatu yang ada pada kita—termasuk
harta materi kita. Tuhan memberkati.

Pelajaran Sekolah Sabat 13 jan 2018 : saya lihat, saya mahu, saya ambil

Ini tentu bukanlah seperti perkataan vini, vidi, vici.. tetapi bila kita mempelajari pelajaran sekolah
Sabat kita; maka itu merujuk kepada mata kita—yang melihat suatu barang, iklan atau hal-hal
yang ada disekitar kita; dan membuat kita “mau” meskipun mungkin kita belum memerlukan hal
itu—dan membuat kita mengambilnya. Dalam dunia penginjilan dewasa ini kita mengenal
dengan sebutan injil kemakmuran—yang sederhananya adalah menyebutkan bahwa Aallah
ingin memberkati Anda, dan bukti berkat-Nya adalah kelimpahan harta benda yang Anda miliki.
Dengan kata lain, jika Anda setia, Allah akan membuat Anda kaya. Kita lihat fakta berikut ini:

2 Korintus 8:1-3 Saudara-saudara, kami hendak memberitahukan kepada kamu tentang kasih
karunia yang dianugerahkan kepada jemaat-jemaat di Makedonia. Selagi dicobai dengan berat
dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin,
namun mereka kaya dalam kemurahan. Aku bersaksi, bahwa mereka telah memberikan
menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka.

Ini pelajaran yang menarik. Kita tidak pernah mengajarkan bahwa dengan memberi atau bahkan
dengan menuruti kehendak Tuhan kita akan kaya materi! Allah bukanlah alat dimana kita pasang
sekian; maka kita akan dapat sekian. Prinsip hidup memberi bukanlah hal yang harus dipupuk
ketika kita sudah kaya raya—tetapi jemaat Makedonia mengajarkan bahwa orang yang telah
memiliki hubungan dengan Allah—ia tau bahwa memberi dalam pelayanan adalah merupakan
suatu sukacita bukan suatu paksaan ataupun agar membuat seseorang tambah kaya raya.
Pertanyaannya adalah mengapa ada banyak orang yang percaya bahwa dengan memberi kepada
gereja ataupun seorang hamba Tuhan—ia dapat menjadi kaya? Hellen Keller, seorang yang buta,
berkata : “orang yang paling menyedihkan di dunia ini adalah orang yang memiliki
penglihatan tetapi tidak memiliki visi.” Alkitab dipenuhi dengan contoh-contoh dari mereka
yang dapat melihat tetapi, sesungguhnya, buata secara rohani. Karena visi yang salah sebagai
seorang kristen, maka kita sering kali salah dalam menggunakan ataupun memperlakukan
harta yang ada, ataupun disekitar kita. Masih ingat perumpamaan kisah seorang penabur. Benih
yang jatuh disemak belukar? Ayat itu menyebutkan..

Matius 13:22 Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu,
lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.

Karena kekuatiran dunia dan kekayaan—sehingga kebahagiaan sejati, keselamatan itu tidak dapat
berbuah dalam hati kita. Saya juga tidak mengatakan tidak perlu memikirkan mengenai
pendidikan, sandang, papan dan pangan—yang tentu semuanya itu membutuhkan uang.—tetapi
janganlah berlebihan!! Kekayaan bukanlah hal yang jahat, tetapi ingat bahwa kekayaan itu sendiri
dapat menuntun kita kepada kehancuran.

1 Timotius 6:10 Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah
beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.

Saya rasa inilah ukuran terlalu berlebihan itu! Ketika kita “memburu uang” sampai menyangkal
iman, sampai menyiksa diri—tidak tidur, meninggalkan anak-istri-suami bahkan keluarga, dan
lain sebagainya—Anda dapat tambahkan sendiri. Yang berikutnya kita membahas mengenai
ketamakan dan keserakahan. Sangat menarik sekolah Sabat kita menggunakan kisah kejatuhan
manusia yang pertama—Adam dan Hawa dalam menggambarkan arti ketamakan itu sendiri.
Berikut ini, bagi saya adalah langkah awal yang digunakan oleh setan untuk menarik Hawa
menjadi seorang yang tamak. Berikut kutipan sekolah Sabat, “Iblis menyajikan buah pohon
larangan dengan cara membuat dalam diri Hawa ada kerinduan untuk menginginkan lebih
daripada yang dia telah miliki, dan membuat dia berpikir bahwa dia membutuhkan sesuatu yang
dia benar-benar tidak miliki.”

Perhatikan dua ayat berikut ini:

Kejadian 3:5 tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan
terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”

Kejadian 1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

tawaran yang diberikan kepada Hawa, akan menjadi seperti Allah. Entah Hawa lupa, tidak
mengerti atau tidak sadar bahwa sebenarnya memang dia telah diciptakan seperti Allah—menurut
gambar Allah! Setan juga selalu menggoda manusia dengan “menyenangkan diri manusia itu
sendiri”—ketamakan. Menjadi lebih dan lebih… yang tentu saja akan menuntun kita kepada
langkah yang berikutnya keserakahan. Contoh yang digunakan dalam pelajaran kita adalah
Yudas. Ia bertanya dalam menyerahkan Yesus. “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku,
supaya aku menyerahkan Dia kepadamu?” (Mat. 26:15). Ellen G. White memberikan
komentarnya sebagai berikut:

“Ia meperlihatkan kepada Yudas keburukan tabiat yang loba, dan acapkali murid itu sadar bahwa
tabiatnya telah dilukiskan, dan dosanya ditunjukkan, tetapi ia tidak mau mengaku dan
meninggalkan kejahatannya.”—Ellen G. White, Alfa dan Omega, Jld. 5, hlm. 313

Oleh sebab itu obat yang paling manjur yang dapat kita lakukan dalam melawan rasa cinta diri
adalah mengontrol diri kita—pengendalian diri. Hanya melalui pengendalian diri, pertama
pikiran kita dan selanjutnya tindakan kita, kita bisa dilindungi dari bahaya-bahaya terhadap hal-
hal yang kita bicarakan. Dan tentunya pengendalian diri itu dapat kita miliki bila kita berserah
sungguh-sungguh dalam Kristus melalui doa-doa kita dan perenungan akan firman Tuhan. Tuhan
memberkati.

Sekolah Sabat, hari minggu 7 Januari 2018, hlm. 18


Sekolah Sabat, hari senin 8 Januari 2018, hlm. 19
Pelajaran sekolah Sabat, selasa 9 Januari 2018, hlm. 20
Arti kata loba : selalu ingin mendapat (memiliki) banyak-banyak; serakah; tamak–KBBI
Pelajaran sekolah Sabat, rabu 10 Januari 2018, hlm. 21
Sekolah Sabat, Kamis 11 Januari 2018, hlm. 22.

Pelajaran sekolah sabat 20 jan 2018 : Allah atau mamom

Pelajaran kita kali ini menitik beratkan beberapa point penting yang perlu kita mengerti dengan
jelas. Point-point itu adalah sebagai berikut:
Kristus adalah Sang Pencipta dan Sang Penebus.

1. Kristus adalah Tuhan yang sekaligus juga adalah manusia


2. Kristus yang empunya segala sesuatu—cemburu Ilahi

Mari kita lihat satu persatu point-point yang kita bisa bagikan dalam pelajaran sekolah Sabat kali
ini. Kristus sebagai Sang pencipta dan Penebus. Kali ini saya ingin memulaikan menjelaskan
kedua hal ini dengan tulisan Ellen G. White

“Kristuslah yang membentangkan langit, dan yang meletakkan dasar bumi ini. Tangan-Nyalah
yang menggantungkan segala dunia ini di angkasa, dan yang membentuk segala bunga di
padang… Dialah yang mengisi bumi ini dengan keindahan, dan udara dengan nyanyian. Dan
pada segala benda yang ada di bumi, di udara, dan di langit. Ia menyuratkan kabar kasih
Bapa.”—Ellen G. White, Alfa dan Omega, jld. 5, hlm. 14

Bila segala sesuatu ini adalah diciptakan Tuhan—maka sesuai dengan pelajaran kita yang
berfokus pada materi; maka perlu kita tekankan bahwa tidak ada yang jahat dalam materi baik
didalam dan diluar materi itu sendiri. Juga karena segala sesuatu yang ada dalam dunia ini adalah
milik Yesus—kita hanya sebagai penatalayanannya. Mungkin kata yang lebih mudah dimengerti
adalah Allah adalah owner/pemilik dan kita adalah manajer-Nya. Seperti tulisan Ellen G. White
berikut ini:

“Adam dan Hawa diberi Taman Eden untuk dirawat. Mereka ‘mengusahakan dan
memeliharanya.’ Mereka berbahagia di dalam pekerjaan mereka. Pikiran, hati, dan kemauan
bertindak dalam keharmonisan yang sempurna. Dalam pekerjaan mereka tidak menemukan
kelelahan, kerja keras. Jam-jam mereka dipenuhi dengan pekerjaan yang berguna dan
persekutuan satu dengan yang lain. Pekerjaan mereka adalah menyenangkan…. Allah adalah
pemilik dari rumah Eden mereka. Mereka yang mengurunya di bawah Dia.”—Ellen G. White,
Manuscript Releases, jld. 10, hlm. 327.

Yang berikutnya Kristus sebagai penebus. Saya ingin menjelaskannya dengan menggunakan ayat
berikut ini:

Galatia 3:13 Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk
karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!”

Yesus telah memiliki kita dua kali.. dalam penciptaan dan dalam penebusan—dimana Yesus yang
adalah Allah menjelma atau menjadi manusia untuk menebus kita semua; melalui mati di Kayu
Salib. Perkataan Yesus di Kayu salib “sudah selesai” berarti bahwa misi-Nya telah selesai dan
utang kita “dibayar lunas.” Memang untuk menerima pandangan ini tentunya bagi beberapa
orang tidaklah mudah—bagaimana mungkin Allah bisa mati di kayu Salib atau masak saya
diselamatkan oleh manusia?—ini adalah merupakan pertanyaan rutin yang sering ditanyakan
mengenai Keilahian dan kemanusiaan dari Yesus. Namun demikian seperti yang dituliskan oleh
J. I. Packer dalam pelajaran sekolah Sabat kita dan Ellen G. White.

“Berikut adalah dua misteri dalam kesatuan—kemajemukan oknum dalam keesaan Allah, dan
kesatuan Keallahan dan kemanusiaan dalam Yesus… Tidak ada di dalam fiksi yang begitu
fanastis seperti kebenaran inkarnasi ini.”—J. I. Packer, Knowing God (Downers Grove,
Illinois: InterVarsity Press, 1973), hlm. 53

“Tidak mungkin bagi pikiran manusia yang terbatas untuk memahami sepenuhnya karakter atau
pekerjaan dari Dia yang tidak terbatas. Kepada intelek yang paling tajam, kepada pikiran yang
terkuat dan berpendidikan tinggi, Oknum yang kudus itu akan selalu tinggal terbungkus dalam
misteri.”—Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 5, hlm. 698, 699

Saya yakin dan percaya kita akan mengerti dengan lebih baik; jika kita benar-benar dan sungguh-
sungguh mau belajar serta berdoa mengenai kebenaran ini—maka kebenaran itu akan dibukakan
bagi kita—bahwa Yesus adalah Tuhan dan Manusia.

Artinya adalah apa yang dibukakan bagi kit adalah bagian kita untuk merespons dengan sebaik-
baiknya. Namun tentu ada hal-hal yang sulit untuk dijelaskan, bagi saya pribadi inilah yang
disebut sebagai iman. Saya percaya walaupun mungkin saya belum mengerti. Tetapi perlu saya
tegaskan bahwa selama saya menjadi orang Kristen Advent ada banyak hal yang dapat saya
mengerti dan sangat jelas tertulis dalam Alkitab serta melalui pengalaman hidup ini. Selanjutnya
pelajaran sekolah Sabat kita juga menyatakan sebagai berikut:

Kristus sebagai penebus adalah gambar yang paling luhur dari Allah. Keinginan-Nya yang
terutama adalah menebus kita. Ini mengungkapkan perspektif-Nya terhadap umat manusia dan
khususnya bagaimana Dia menghargai hubungan dengan kita. Dengan keadilan terpenuhi,
Kristus memalingkan perhatian-Nya kepada tanggapan kita terhadap pengorbanan-Nya. Ini
adalah yang sangat penting saat ini, setelah kita percaya bahwa Yesus adalah pencipta dan
penebus; Yesus adalah Allah dan manusia.. pertanyaan yang penting adalah “bagaimana
respons kita terhadap hal ini?” tentu yang Tuhan inginkan adalah agar kita menomor satukan
DIA diatas segala-galanya. Karena tidak ada yang seperti DIA. Seperti yang dituliskan dalam
ayat berikut ini:

Keluaran 9:14 Sebab sekali ini Aku akan melepaskan segala tulah-Ku terhadap engkau sendiri,
terhadap pegawai-pegawaimu dan terhadap rakyatmu, dengan maksud supaya engkau
mengetahui, bahwa tidak ada yang seperti Aku di seluruh bumi.

Mazmur 86:8 Tidak ada seperti Engkau di antara para allah, ya Tuhan, dan tidak ada seperti
apa yang Kaubuat

Sebagai umat Tuhan tentu kita mengaminkan kedua ayat ini; bahwa tidak ada yang seperti Allah
yang kita sembah baik dalam firman-Nya dan dalam segala apa yang telah dibuat-Nya. Sekali
lagi respons iman kita sangat penting disini. Ia yang menciptakan, menebus kita—kemudian tidak
ada yang seperti Dia; dalam setiap hal yang telah Ia lakukan dan nyatakan.—Namun Dia, dalam
arti Dia harus “bersaing” untuk cinta dan kasih sayang manusia. Mungkin itu sebabnya Dia
mengatakan bahwa Dia adalah Allah yang “cemburu” (Kel. 34:14). Dia cemburu karena Ia
mengasihi kita, bukan untuk kepentingan-Nya tetapi untuk kebaikan dan keselamatan kita.
Bagaimanakah respons kita??

Tuhan memberkati
Pelajaran sekolah sabat, minggu 14 Januari 2018, hlm. 30
Pelajaran Sekolah Sabat, jumat 19 Januari 2018, hlm. 35
Pelajaran Sekolah Sabat, selasa 16 Januari 2018, hlm. 32
Pelajaran Sekolah Sabat, senin 15 Januari 2018, hlm. 31
Pelajaran sekolah Sabat, Rabu 17 Januari 2018, hlm. 33
Pelajaran sekolah Sabat, selasa 16 Januari 2018, hlm. 32
Pelajaran Sekolah Sabat, Rabu 17 Januari 2018, hlm. 33

Pelajaran sekolah sabah 3 Febuari 2018 : Penatalayanan selepas Eden

Pada pekan ini kita akan lebih banyak mempelajari mengenai apakah arti penatalayanan. Yang
dapat saya bagi kedalam tiga hal berikut ini:
1. Arti penatalayanan dalam kitab perjanjian lama dan baru
2. Makna penatalayanan dalam tugas pekerjaan (khususnya Rohani)
3. Tanggung jawab seorang penatalayan

Saya senang mengutip dari pelajaran sekolah sabat kita hari sabat petang. Ketika saya masih
bersekolah di SMP—saya tidak akan pernah lupa guru agama saya mengajarkan penatalayanan
itu adalah 4T—Time, Temple, Talents and Treasure. Tetapi sekolah Sabat kita mengatakan
dengan jelas bahwa sejak kejatuhan di Eden pelayanan penatalayanan itu berubah—atau mungki
lebih tepatnya ditambahakan. Apa itu? Perhatikan kutipan berikut ini: Since the Fall in Eden,
however, the task of stewardship has changed, because, along with the responsibilities of caring
for the material world, we are also entrusted to be good stewards of spiritual truths Pertanyaan
yang penting adalah sampai dimanakah kita dapat dipercayakan oleh Allah untuk menjadi
penatalayan atas kebenaran-kebenaran rohani. Bukankah ada banyak hal yang juga, kita sebagai
hamba Allah tidak dapat mengerti keseluruhannya. Sebelum kita mengarah kesana kita akan lihat
dulu definisi dari penatalayan dalam perjanjian lama dan baru. Dalam perjanjian lama ada tiga hal
maksud dari penatalayanan ini—kata penatalayan dalam ayat-ayat perjanjian lama tidak dari satu
kata tetapi dari sebuah ungkapan : asher al bayt, “orang-orang yang ada di atau atas rumah” yang
dapat kita terangkan dalam tiga hal berikut ini:

1. Penatalayanan adalah posisi tanggung jawab yang besar (Kej. 39:4); karena mereka dipilih atas
kemampuan mereka; sehingga mereka mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari Sang
Pemilik.
2. Seorang penatalayan mengerti bahwa apa yang dipercayakan kepada mereka adalah milik tuan
mereka (Kej. 24:34-38)
3. Seorang penatalayan mengerti bahwa ketika mereka mengambil atau menggunakan untuk diri
sendiri apa yang telah dipercayakan kepada mereka—akan mengakibatkan hubungan
kepercayaan yang rusak—dan sang penatalayan dipecat (Kej. 3:23; Hos. 6:7)

Saya mengaris bawahi kata kemampuan—kemampuan disini adalah bukan karena kehebatan
sang penatalayan, tetapi ini adalah apa yang dinyatakan kepada mereka; apa yang dimampukan
Tuhan untuk mereka lakukan. Bukan hanya dalam hal materi saja, kitab perjanjian baru
memberikan penekanan yang lebih luas. Seperti yang dituliskan dalam pelajaran sekolah sabat
kita, Jesus expands the definition of steward. His lesson is about more than a steward escaping
financial disaster. It is also applicable to those escaping spiritual disaster through a wise
manifestation of faith. Berbicara hal-hal rohani—ada begitu banyak misteri yang tidak dapat kita
ketahui tetapi, apa yang perlu kita ketahui pasti akan ditunjukkan kepada kita. Seperti yang
tertulis dalam:

Ulangan 29:29 Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang
dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita
melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.”

Tidak dapat dipungkiri ketika kita mempelajari ataupun ketika datang pertanyaan kepada kita
perihal firman Tuhan—ada saja hal-hal yang dapat membuat kita tidak dapat menjawabnya atau
mungkin tidak dapat mengerti dengan baik. Tapi ada satu janji yang baik, dari tulisan hamba
Tuhan E. G. White yang dapat saya bagikan saat ini: “Only in the light that shines from Calvary
can nature’s teaching be read aright. Through the story of Bethlehem and the cross let it be shown
how good is to conquer evil, and how every blessing that comes to us is a gift of redemption.” –
Ellen G. White, . Bagi saya pribadi, mungkin ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan didalam
Alkitab—tetapi dengan kesungguh-sungguhan mencari kebenaran firman-Nya untuk memuliakan
Dia—ada kepuasan menjadi pengikut Kristus. Saya berdoa supaya para pelajar Alkitab juga dapat
merasakan kepuasan menjadi pengikut Kristus. Yang terakhir bagaimana saat ini tanggung jawab
kita sebagai seorang penatalayan, mungkin tidak mudah tapi saya yakin Tuhan akan
memampukan. Dan kunci utama untuk menjadi seorang penatalayan Ilahi adalah kemauan.
Seperti yang dituliskan dalam pelajaran sekolah Sabat kita. Willingness to accept personal
responsibility is a key trait that cannot be ignored when we define what a steward is, for stewards
must be single-minded in having the best interest of the Owner at heart. Hence, such willingness
is a choice that defines the desired relationship a steward has with God. Jadi agar menjadi
penatalayan yang bertangung jawab penuh ada tiga hal yang bisa kita ambil. Pertama kemauan,
kefokusan dan merasakan hubungan antara Owner-Tuhan dan kita sebagai Manajer-penatalayan.
Saya ingin menutupnya dengan tulisan E. G. White yang menyatakan sebagai berikut ini:

Every man has been made a steward of sacred trusts; each is to discharge his trust according to
the direction of the Giver; and by each an account of his stewardship must be rendered to God.” –
Ellen G. White, .

Marilah kita menjadi penatalayan Tuhan—bekerja sama dengan Tuhan untuk melayani,
mengusahakan dan menjalankan tugas-tugas yang Tuhan telah percayakan bagi kita. Bukan
hanya sekedar materi yang kelihatan tapi juga pekabaran firman Tuhan—yang dapat menguatkan
kita yang percaya kepada-Nya. Tuhan memberkati.

http://www.ssnet.org/lessons/18a/less05.html

Sabat yang lalu kita sebut sebagai manager and God is the owner. Kita akan banyak gunakan kata
penatalayan, penatalayanan—agar kita terbiasa dengan kata-kata ini.

Pelajaran sekolah Sabat, hari jumat 2 Februari 2018, hlm. 59


Diambil dari pelajaran sekolah Sabat, hari minggu 28 Januari 2018, hlm. 54
http://www.ssnet.org/lessons/18a/less05.html
http://www.ssnet.org/lessons/18a/less05.html
http://www.ssnet.org/lessons/18a/less05.html
http://www.ssnet.org/lessons/18a/less05.html

Pelajaran sekolah sabat ke 8 : pengaruh@dampak persepuluhan 24 feb 2018


Pada Sabat ini kita akan melanjutkan melihat mengenai perpuluhan, pendistribusiannya, dampak
bagi kehidupan kita dan apa artinya bagi kita semua. Saya ingin memulaikannya dengan kita
melihat ayat berikut ini:

Maleakhi 3:10 Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan,
supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam,
apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat
kepadamu sampai berkelimpahan.

Tiga hal yang penting dari ayat diatas adalah rumah perbendaharaan—kita akan mempelajari
dimanakah sebaiknya perpuluhan itu diberikan/diletakkan dan yang kedua adalah “ujilah Aku”—
karena Tuhan pasti akan memberikan kepada kita kecukupan bahkan kelimpahan bila kita
memberikan persepuluhan—kita akan mempelajari prinsip berkat ganda dari perpuluhan itu
sendiri. Mari kita melihat, kutipan pelajaran sekolah sabat kita berikut ini: The first biblical
reference to tithing is Abraham’s giving tithe to Melchizedek (Gen. 14:18–20, Heb. 7:4). The
Levites also took the tithe for their services at the temple (2 Chron. 31:4–10). Today, the tithe is
for the support of the gospel. When rightly understood, it serves as a spiritual measurement of our
relationship with God.[1] Oleh sebab itu bagaimana cara kita untuk mengerti akan arti
perpuluhan itu? Yang pertama yang perlu kita ketahui adalah perpuluhan digunakan untuk
menopang pekerjaan Tuhan sebagai berikut ini: As we have seen, people have been paying tithe
since the days of Abraham and Jacob (Gen. 14:20, 28:22) and probably before. Tithe is part of a
system that funds God’s church. It is the greatest source of funding and the most equitable
method for carrying out His mission.[2] Lebih tepatnya lagi persepuluhan digunakan untuk para
pelayan Tuhan—bukan yang lain! Seperti yang tertulis dalam ayat dan kutipan Roh Nubuat
berikut ini:

1 Korintus 9:14 Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan
Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu.

It is to be especially devoted to the support of those who are bearing God’s message to the world;
and it should not be diverted from this purpose.”—Ellen G. White, Counsels on Stewardship, p.
103.

Pertanyaan berikut yang muncul adalah dimanakah kita menaruh perpuluhan kita itu? Sekolah
Sabat kita memberikan jawaban yang sangat akurat. During the time of Solomon, tithe was
returned to the Jerusalem temple. The Israelites easily understood what and where the
“storehouse” was when the prophet Malachi said to them, “ ‘Bring the whole tithe into the
storehouse’ ” (Mal. 3:10, NIV). The storehouse represented the location where religious services
took place and from where the Levites were supported.[3] “rumah perbendaharaan”—adalah
tempat dimana kita telah dilayani oleh firman Tuhan tersebut. Dan ingat hal ini kita lakukan
karena kita percaya akan kebesaran Tuhan, bukan karena kekurangan Tuhan—kita telah
mempelajari kemarin bahwa kita yakin bahwa berkat ini dari Tuhan, oleh sebab itu Tuhan
memisahkan apa yang menjadi milik-Nya sehingga itu menjadi kudus—karena itu adalah milik
Tuhan. Kita harus mau terlibat aktif dalam pekerjaan Tuhan. Perhatikan ayat berikut ini bukan
hanya orang Israel (awam) tetapi orang Lewi (imam) turut membawakan persembahan untuk
tidak membiarkan pekerjaan Tuhan ini.
Nehemia 10:39 Karena orang Israel dan orang Lewi harus membawa persembahan khusus dari
pada gandum, anggur dan minyak ke bilik-bilik itu. Di situ ada perkakas-perkakas tempat kudus,
pula para imam yang menyelenggarakan kebaktian, para penunggu pintu gerbang dan para
penyanyi. Kami tidak akan membiarkan rumah Allah kami.

Perpuluhan adalah sistem yang telah Allah berikan bukan untuk memperkaya diri-Nya tetapi
untuk manusia. memberikan perpuluhan itu adalah berkat—bukan hanya berkat materi saja yang
kita telah dapatkan tetapi berkat rohani, firman Tuhan, dimana juga kita perlu berterimakasih
untuk itu dan membagikannya. Seperti yang dikatakan oleh pelajaran sekolah Sabat kita : From
tithing a double blessing comes. We are blessed, and we are a blessing to others. We can give
out of what we have been given. God’s blessings toward us reach inwardly and to others
outwardly. “ ‘Give, and it will be given to you. . . . For with the measure you use, it will be
measured to you’ ” (Luke 6:38, NIV).[4] Ellen G. White sendiri mengatakan demikian:

“Sistem persepuluhan yang istimewa ini didirikan di atas prinsip yang abadi seperti hukum Allah.
Sistem persepuluhan ini adalah berkat bagi orang-orang Yahudi, jika tidak Allah tidak akan
memberikannya kepada mereka. Demikian juga hal itu akan menjadi berkat kepada mereka yang
melaksanakannya hingga akhir zaman.”—Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 3 hlm.
404, 405.[5]

Berkat yang dimaksud disini adalah ucapan syukur karena Allah telah menyangupkan kita untuk
memberikan persepuluhan. Karena Allah telah memberkati kita, bukan memberikan persepuluhan
supaya mendapatkan berkat. Perhatikan kutipan pelajaran sekolah Sabat kita berikut ini yang
membandingkan antara persepuluhan dan keselamatan. Salvation comes because the merits of
Christ’s own perfect sacrifice are credited to our account. As for the matter of tithe, there is no
credit obtained from God by returning it. After all, if the tithe is God’s to begin with, what merit
could there possibly be in giving it back to Him?[6] Apalagi bila kita mengatakan setelah
memberikan persepuluhan ataupun persembahan.. kalau bukan karena persembahan dan
perpuluhan saya.. mana mungkin gereja ini bisa maju!—jangan sampai kita mengatakan hal ini!
Kita memberikan persepuluhan karena Allah telah lebih dahulu memberkati kita dan kita
mengucap syukur atas berkat ini.. berkat kesetiaan yang Tuhan telah curahkan kepada para
pemberi persepuluhan. Seperti yang dikatakan dalam ayat berikut ini:

Efesus 2:10 Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan
pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.

Kita sepenuhnya milik Allah—dalam penciptaan dan penebusan, dan jika kita mau, kita harus
menghidupi kehidupan yang memang telah dipersiapkan oleh Allah untuk kita—kehidupan untuk
memuliakan nama-Nya. Saya ingin menutup rangkuman sekolah Sabat ini dengan tulisan hambat
Tuhan E. G. White yang menyatakan demikian perihal persepuluhan:

“So it is with God’s claims upon us. He places His treasures in the hands of men, but requires that
one tenth shall be faithfully laid aside for His work. He requires this portion to be placed in His
treasury. It is to be rendered to Him as His own; it is sacred and is to be used for sacred purposes,
for the support of those who carry the message of salvation to all parts of the world. He reserves
this portion, that means may ever be flowing into His treasure house and that the light of truth
may be carried to those who are nigh and those who are afar off. By faithfully obeying this
requirement we acknowledge that all belongs to God.”—Ellen G. White, Testimonies for the
Church, vol. 6, p. 386.[7]

Anda mungkin juga menyukai