Anda di halaman 1dari 22

LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Paper yang berjudul

LGBT dari Sudut Pandang Psikiatri

Telah dibacakan dan dikoreksi pada tanggal Januari 2018

Pembimbing

dr. Anita Dundu, Sp.KJ

1
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ........................................................................................ 1


Daftar Isi ......................................................................................................... 2
Pendahuluan ..................................................................................................... 3
Pembahasan ..................................................................................................... 5
A. Definisi .............................................................................................. 5
B. Sejarah LGBT di Indonesia ............................................................... 8
C. Hukum perkawinan sesame jenis di Indonesia ................................. 9
D. LGBT dari sudut pandang psikiatri .................................................. 11
Kesimpulan ..................................................................................................... 19
Saran ................................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 22

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zaman sekarang ini sangat marak sekali kaum homo seksual yang terjadi di masyarakat, baik
masyarakat Indonesia maupun masyarakat di luar Indonesia. Mereka pada saat ini sudah tidak
malu-malu dan sembunyi-sembunyi untuk melakukan hubungan mereka, bahkan mereka sedang
berusaha agar sesama jenis maupun transjender ini dilegalkan di seluruh dunia, karena mereka
beranggapan bahwa hubungan yang merek jalankan adalah merupakan bagian dari hak asasi
manusia juga. Di negara Indonesia sendiri para kaum homo seksual telah mencoba untuk
membuat legal atau diakuinya hubungan mereka oleh pemerintah, karena mereka menganggap
hal tersebut sebagai hal asasi manusia. Selain itu di Indonesia marak pula kasus yang diberi nama
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Kasus ini sama dengan kasus homo seksual,
yang mana mereka sama-sama memperjuangkan diakuinya keberadaan mereka di masyarakat.
Di Eropa, ketika masyarakat Barat masih didominasi oleh gereja, LGBT tidak hanya
dikategorikan sebagai perbuatan dosa, tetapi juga pelanggaran hukum karena termasuk
penyimpangan sosial. Mulai abad ke-19, para peneliti berusaha mencari penjelasan ilmiah
mengenai persoalan ini. Hasil penelitian pada saat itu pada umumnya mengungkapkan bahwa
homoseksualitas adalah gangguan jiwa. Kemudian di akhir abad ke-19, mulai terjadi perubahan
pandangan mengenai homoseksualitas. Homoseksualitas dianggap sebagai bawaan lahir dan
perlu diklasifikasi sebagai gender ketiga. Perlu dipahami, dalam dunia ilmiah istilah LGBT
memang tidak populer. Istilah yang biasa digunakan adalah homoseksualitas, biseksualitas, dan
transgender. Persoalan orientasi seksual dan identitas gender ini pada umumnya diteliti dalam
konsep homoseksualitas. Ada beberapa penelitian yang menjadi momentum deklasifikasi
homoseksualitas sebagai gangguan mental, yaitu penelitian Kinsey dan Hooker. Kinsey
menyatakan bahwa homoseksual dan heteroseksual bukan dua entitas yang terpisah, melainkan
sebuah kontinum di dalam diri seseorang. Sementara hasil studi Hooker menunjukkan bahwa
para psikolog yang telah berpengalaman sekalipun tidak dapat membedakan hasil tes antara
homoseksual dan heteroseksual, serta tidak ada perbedaan antara fungsi mental keduanya. Hasil
studi inilah yang kemudian memengaruhi keputusan APA untuk menghapus homoseksualitas
sebagai gangguan mental dalam seri DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder) versi III di tahun 1973. Banyak ahli yang tidak sependapat dengan keputusan APA.

3
Krik Cameron dan Paul Cameron menguji ulang penelitian yang dilakukan oleh Hooker.
Kesimpulannya, penelitian Hooker tidak reliabel dan cacat. Byrd menegaskan bahwa orientasi
homoseksual bukan berarti tidak bisa disembuhkan. Mengenai persoalan perubahan orientasi
homoseksual, NARTH (National Association for Research and Therapy of Homosexuality)
mengungkapkan bahwa mengembangkan potensi heteroseksual adalah sesuatu yang
memungkinkan. Ada bukti bahwa orientasi seksual dapat berubah melalui terapi reorientasi dan
ini telah didokumentasikan dalam literatur ilmiah sejak akhir abad ke-19. NARTH juga
mengungkapkan bahwa upaya pengubahan orientasi seksual tidak ditunjukkan secara berbahaya.
Keberhasilan NARTH dalam menyembuhkan perilaku homoseksual kemudian dibantah oleh
APA melalui Task Force on Appropriate Therapeutic Responses to Sexual Orientation. Mengacu
pada tinjauan ilmiah yang dilakukan oleh Task Forcepada tahun 2009, APA mengeluarkan
resolusi yang menyatakan bahwa tidak adanya bukti pendukung untuk menggunakan intervensi
psikologis dalam mengubah orientasi seksual. Pembahasan ini menunjukkan tajamnya pro kontra
abnormalitas perilaku LGBT menurut pakar serta buku-buku psikiatri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah LGBT itu?
2. Mengenai LGBT dari sudut pandang psikiatri

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulis adalah untuk:
1. Mengetahui apa itu LGBT.
2. Mengetahui bagaimana pandangan LGBT dari sudut pandang psikiatri.
3. Mengetahui dampak dan bahaya dari LGBT.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1. Definisi

LGBT merupakan sebuah singkatan dari Lesbian, Gay, Bisex dan Transgender. Adapun
pengertian jelasnya yaitu: Lesbian: Orientasi seksual seorang perempuan yang hanya mempunyai
hasrat sesama perempuan.Gay: Orientasi seksual seorang pria yang hanya mempunyai hasrat
sesama pria. Bisex: Sebuah orientasi sexsual seorang Pria/Wanita yang menyukai dua jenis
kelamin baik Pria/Wanita. Transgender: Sebuah Orientasi seksual seorang Pria/Wanita dengan
mengidentifikasi dirinya menyerupai Pria/Wanita. Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender
(LGBT) merupakan penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan fitrah manusia,
agama dan adat masyarakat Indonesia. Menurut wikipedia, lesbian adalah istilah bagi perempuan
yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan. Istilah ini juga merujuk
kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara
spiritual. Bisa juga lesbian diartikan kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu
seksualnya pada sesamanya pula. Sedangkan Gay adalah sebuah istilah yang umumnya
digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Sedikit berbeda
dengan bisexual. Biseksual (bisexual) adalah individu yang dapat menikmati hubungan
emosional dan seksual dengan orang dari kedua jenis kelamin baik pria ataupun wanita. Lalu
bagaimana dengan Transgender? Menurut wikipedia, transgender merupakan ketidaksamaan
identitas gender seseorang terhadap jenis kelamin yang ditunjuk kepada dirinya. Transgender
adalah perilaku atau penampilan seseorang yang tidak sesuai dengan peran gender pada
umumnya. Seseorang yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang
heteroseksual, homoseksual, biseksual maupun aseksual. Dari semua definisi diatas walaupun
berbeda dari sisi pemenuhan seksualnya, akan tetapi kesamaanya adalah mereka memiliki
kesenangan baik secara psikis ataupun biologis dan orientasi seksual bukan saja dengan lawan
jenis akan tetapi bisa juga dengan sesama jenis. Walaupun kelompok LGBT mengklaim
keberadaannya karena faktor genetis dengan teori “Gay Gene” yang diusung oleh Dean Hamer
pada tahun 1993. Akan tetapi, Dean sebagai seorang gay kemudian meruntuhkan sendiri hasil
risetnya. Dean mengakui risetnya itu tak mendukung bahwa gen adalah faktor utama/yang
menentukan yang melahirkan homoseksualitas. Perbuatan LGBT sendiri ditolak oleh semua

5
agama bahkan dianggap sebagai perbuatan yang menjijikan, tindakan bejat, dan keji. Di
lingkungan masyarakat, manusia selalu diikuti oleh keberadan status sosial yang dikenal
masyarakat sebagai "Gaya Hidup". Seiring dengan perkembangan zaman gaya hidup yang
dimunculkan seringkali tidak biasa atau terlihat menyimpang. Belakangan ini muncul wacana
pasangan sejenis yang menarik perhatian di masyarakat. Sejumlah orang terang-terangan
mempublikasikan diri sebagai kaum homoseksual di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta,
Makassar dan Yogyakarta. Mereka pun akhirnya bertemu dan membentuk suatu komunitas.
Lesbian merupakan salah satu orientasi seksual terhadap sesama jenis (wanita), sedangkan gay
adalah orientasi seksual terhadap sesama jenis (laki-laki). Tapi kenyataan di masyarakat, bahwa
komunitas gay masih lebih terang-terangan dibandingkan dengan komunitas lesbian. Di
Indonesia sendiri komunitas Gay dan Lesbian sedikit banyak belum bisa diterima di masyarakat.
Tidak sedikit masyarakat berpandangan miring, benci, kotor, serta jijik bahkan ada yang
mengucilkan dan menjauhi mereka. Tetapi di samping itu terdapat juga masyarakat yang justru
pro terhadap komunitas ini. Munculnya LSM serta situs khusus untuk komunitas lesbian dan gay
merupakan bukti dukungan dari sejumlah masyarakat. Karena menurut mereka kaum
homoseksual memiliki Hak Asasi Manusia yang patut dilindungi. Organisasi ini menangani
kehidupan para homoseksual untuk diberikan keterampilan serta informasi mengenai gaya hidup
mereka. Salah satu bentuk pengaplikasian dari kondisi komunitas ini adalah dengan terbentuknya
beberapa LSM seperti Swara Srikandi di Jakarta, LGBT Gaya Nusantara, LGBT Arus Pelangi,
dan Lentera Sahaja juga Indonesian Gay Society di Yogyakarta. Di samping itu juga muncul
sarana chatting dan facebook yang dijadikan ruang untuk saling mengetahui dan mengenal.
Sarana ini digunakan sebagai media berbagi cerita dan tentu saja menjadi ajang pencarian
pasangan. Bukti-bukti di atas merupakan salah satu contoh berkembangnya komunitas
homoseksual di masa kini. Hasil survey YKPN menunjukan bahwa ada sekitar 4000-5000
penyuka sesama jenis di Jakarta. Gaya Nusantara memperkirakan ada 260.000 dari 6 Juta
penduduk Jawa Timur adalah Homo. Kaum gay yang tercatat sebagai member komunitas gay di
Indonesia terdapat 76.288. Sedangkan Oetomo memperkirakan secara Nasional, terdapat 1%
jumlah komunitas Homoseksual di Indonesia. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa contoh
orang-orang yang berani mempublikasikan dirinya gay dikhalayak umum seperti Oetomo yang
merupakan presiden Gay di Indonesia, Samuel Wattimena merupakan seorang designer terkenal
yang membuat pengakuan sebagai gay di Kompas edisi 18 Maret 2001, dan Jupiter Fourtissimo

6
merupakan seorang aktor yang membuat pernyataan langsung diacara Silet 24 Januari 2008.
Lesbian sendiri mempunyai dua tipe yang dibedakan, yaitu Butch dan Femme. Butch adalah
perempuan maskulin yang berhasrat meniru laki- laki(tipe ini mengambil peran sebagai laki-laki
dalam hubungan lesbiannya). Femme adalahseorang feminin yang takut terhadap laki-laki (tipe
ini mengambil peran wanita dalam hubungan lesbiannya). Sedangkan Gay mempunyai dua tipe
juga yaitu Top dan Bot. Top adalah laki-laki yang berpenampilan rapi dan macho (tipe yang
mengambil peran sebagai laki-laki dalam hubungan gaynya). Bot adalah laki-laki yang feminin
(tipe yang mengambil peran sebagai wanita dalam hubungan gaynya). Banyaknya faktor yang
mempengaruhi timbulnya kaum Homoseksual sendiri timbul dari faktor keluarga dan factor
lingkungan. Biasanya faktor keluarga lebih menjerumus pada kurangnya peran orang tua pada
anak atau kasus perceraian, kekerasan,bahkan penganiayaan dalam rumah tangga. Akibatnya,
seorang anak bisa mengalami trauma. Traumatik yang parah sering ditimbulkan karena peristiwa
masa lalu seorang anak. Seperti contohnya, bisa dikaitkan pada perilaku penganiayaan orang tua
pada anak atau kasus pemerkosaan ayah terhadap anak perempuannya. Faktor ini biasanya
menyebabkan sang anak menjadi takut untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Selain itu, faktor
lingkungan di mana seseorang merasa nyaman dan lebih tertarik dengan sesama jenisnya
daripada lawan jenisnya. Berkaca dari pengalaman, kita dapat melakukan pencegahan dengan
melakukan rehabilitasi atau pengarahan kepada komunitas homoseksual ini. Di samping itu,
sebaiknya kita sebagai sesama manusia seharusnya memberikan dukungan moral untuk
membantu mereka mengatasi masalah ini. Peran orang tua dalam mendidik anak agar tidak
terjadi penyimpangan transgender pun juga dibutuhkan.

7
2.2.Sejarah Perkembangan LGBT di Indonesia
Kaum homoseksual mulai bermunculan di kota-kota besar pada zaman Hindia Belanda. Di
Indonesia terdapat komunitas kecil LGBT walaupun pada saat zaman Hindia Belanda tersebut
belum muncul sebagai pergerakan sosial. Pada sekitar tahun 1968 istilah wadam (wanita adam)
digunakan sebagai pengganti kata banci atau bencong yang dianggap bercitra negatif. Sehingga
didirikan organisasi wadam yang pertama, dibantu serta difasilitasi oleh gubernur DKI Jakarta,
Bapak Ali Sadikin. Organisasi wadam tersebut bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD).
Pada tahun 1980 karena Adam merupakan nama nabi bagi umat islam maka sebagian besar
tokoh Islam keberatan mengenai singkatan dari Wadam sehingga nama Wadam diganti menjadi
waria (wanita-pria). Organisasi terbuka yang menaungi kaum gay pertama berdiri di Indonesia
tanggal 1 Maret 1982, sehingga merupakan hari yang bersejarah bagi kaum LGBT Indonesia.
Organisasi tersebut bernama Lambda. Lambda memiliki sekretariat di Solo. Cabang-cabang
Lamda kemudian berdiri dikota besar lainnya seperti Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Mereka
menerbitkan buletin dengan nama G: Gaya Hidup Ceria pada tahun 1982-1984.
Pada tahun 1985 berdiri juga komunitas gay di Yogyakarta mendirikan organisasi gay.
Organisasi tersebut bernama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY). Tahun 1988 PGY berubah
nama menjadi Indonesian Gay Society (IGS). Tanggal 1 Agustus 1987 berdiri kembali
komunitas gay di Indonesia, yaitu berdirinya Kelompok Kerja Lesbian dan Gaya Nusantara
(KKLGN) yang kemudian disingkat menjadi GAYa Nusantara (GN). GN didirikan di Pasuruan,
Surabaya sebagai penerus Lambda Indonesia. GN menerbitkan majalah GAYa Nusantara. Tahun
90-an muncul organisasi gay dihampir semua kota besar di Indonesia seperti Pekanbaru,
Bandung, Jakarta, Denpasar, dan Malang (Sinyo, 2014).
Pada akhir tahun 1993 diadakan pertemuan pertama antar komunitas LGBT di Indonesia.
Pertemuan tersebut diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta dan diberi nama Kongres Lesbian
dan Gay Indonesia I atau yang dikenal sebagai KLG I. Jumlah peserta yang hadir kurang lebih
40-an dari seluruh Indonesia yang mewakili daerahnya masing-masing. GAYa Nusantara
mendapat mandat untuk mengatur dan memantau perkembangan Jaringan Lesbian dan Gay
Indonesia (JLGI). KLG II dilakukan pada bulan Desember 1995 di Lembang, Jawa Barat.
Peserta yang hadir melebihi dari KLG I dan datang dari berbagai daerah di Indonesia. Tanggal
22 Juli 1996, salah satu partai politik di Indonesia yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD),
mencatat diri sebagai partai pertama di Indonesia yang mengakomodasi hak-hak kaum

8
homoseksual dan transeksual dalam manifestonya. Kemudian KLG III diselenggarakan di
Denpasar, Bali pada bulan november 1997. KLG III merupakan pertama kalinya para wartawan
diperbolehkan meliput kongres diluar sidang-sidang. Hasil kongres ini adalah peninjauan
kembali efektivitas kongres sehingga untuk sementara akan diadakan rapat kerja nasional
sebagai gantinya (Sinyo, 2014) Untuk pertama kalinya Gay Pride dirayakan secara terbuka di
kota Surabaya pada bulan Juni tahun 1999. Acara tersebut merupakan kerja sama antara GN dan
Persatuan Waria kota Surabaya (PERWAKOS). Pada tahun ini juga Rakernas yang rencananya
akan diselenggarakan di Solo batal dilaksanakan karena mendapat ancaman dari Front Pembela
Islam Surakarta (FPIS). Tanggal 7 November 1999 pasangan gay Dr. Mamoto Gultom (41) dan
Hendry M. Sahertian (30) melakukan pertunangan dan dilanjutkan dengan mendirikan Yayasan
Pelangi Kasih Nusantara (YPKN). Yayasan ini bergerak dalam bidang pencegahan dan
penyuluhan tentang penyakit HIV/AIDS dikalangan komunitas gay di Indonesia (Sinyo, 2014).

2.3.Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia


Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “UU
Perkawinan”, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri.
Pasal 1
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.”
Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan juga bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ini
berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria, negara juga
mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia
perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum, perkawinan adalah
antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum agama Islam secara tegas melarang
perkawinan sesama jenis.

9
2.4. LGBT dari Sudut Pandang Psikiatri

Kita tidak bisa mendiagnosis apakah seseorang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak
tanpa menggunakan pedoman yang tepat. Indonesia sudah memiliki pedoman khusus untuk
menggolongkan jenis gangguan jiwa kedalam sebuah buku yang disingkat PPDGJ (catatan :
PPDGJ tidak menggolongkan orang yang mengalami gangguan jiwa tetapi PPDGJ
menggolongkan jenis gangguannya jiwanya). PPDGJ adalah singkatan dari Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa. Jika Indonesia memiliki PPDGJ apakah itu berarti
Amerika juga punya PPDGJ ? Jawabannya adalah punya. Pedoman Amerika menggunakan buku
DSM atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Sebenarnya PPDGJ sendiri
mengacu pada DSM. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia mengacu pada PPDGJ dan bukan
DSM. Sebagai catatan, buku ini hanya boleh digunakan oleh Psikolog dan Psikiater untuk
mendiagnosis apakah seseorang mengalami gangguan jiwa atau bukan. PPDGJ memiliki 3 versi
yaitu PPDGJ – I, PPDGJ – II, dan PPDGJ – III. Edisi pertama diterbitkan pada 1973, edisi kedua
diterbitkan pada 1983 dan edisi terakhir diterbitkan pada 1993. Sedangkan DSM memiliki
beberapa versi yaitu versi 1 yang diterbitkan pada 1952, versi 2 pada 1968, versi 3 pada 1980,
versi 4 dan yang terakhir versi 5 diterbitkan pada 2013. Baik PPDGJ atau DSM memiliki pada
tiap versinya mengalami perubahan baik kecil maupun besar. LGBT pernah digolongkan sebagai
gangguan jiwa oleh DSM-I dan tetap digolongkan sebagai gangguan jiwa hingga tahun 1974.
Setelah dilakukan beberapa pertimbangan akhirnya APA (American Psychiatric Association)
menghapus lgbt di DSM-III hingga sekarang. PPDGJ masih menggolongkan lgbt sebagai
gangguan kejiwaan. LGBT dicantumkan dalam no F66.x01 Homoseksualitas dan F66.x02
Biseksualitas. Dari isi PPDGJ tersebut dapat disimpulkan bahwa :

 Homoseksualitas dan biseksualitas masuk dalam penggolongan gangguan jiwa


 Tapi tidak boleh diacuhkan bahwa catatan menyatakan bahwa : “Orientasi seksual sendiri
jangan dianggap sebagai suatu gangguan”. Itu berarti orientasi seksual bukanlah
gangguan psikologi.

10
Tentu saja kesimpulan tersebut membingungkan. Jika mengacu pada catatan maka lgbt bukanlah
gangguan psikologis. Sedangkan pada no F66 kategorinya adalah jelas yaitu gangguan psikologi
dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual.

Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, yaitu kondisi di
mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Individu dan komunitas adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Setiap gejolak
individu yang bereskalasi menjadi kelompok, tentu akan menimbulkan reaksi dari komunitas.
Inilah hidup di negara yang tidak individualistis. Masyarakat urban Indonesia ibarat sebuah bar
di Boston bernama Cheers yang terkenal sebagai sebuah judul serial televisi dengan theme song
“Where everybody knows your name”.

Sebuah pernyataan resmi yang dibuat oleh Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH, tentang LGBT
menimbulkan pertanyaan yang dilayangkan kepada saya via Twitter maupun WhatsApp tentang
substansi Undang-Undang Kesehatan Jiwa terkait pernyataan tersebut. Jujur, pernyataan tersebut
termasuk yang paling penting untuk disoroti. Dr. Fidiansjah adalah Direktur Direktorat Bina
Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan yang baru sebulan ini dilantik dan beliau sekaligus
menjabat sebagai Ketua Seksi RSP (Religi, Spiritualitas, dan Psikiatri) PDSKJI (Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia). Pada saat banyak yang tiarap, maka sikap ini
berani. Berikut pernyataan beliau selaku Ketua Seksi RSP PDSKJI pada 5 Februari 2016 yang
beredar di media sosial:

 Prioritas program kerja Pokdi Lintas Agama Seksi RSP adalah membuat
pedoman/panduan tata laksana psikiatri berbasis religi & spiritualitas masing-masing
pokdi lintas agama di Indonesia, yang juga berbasis pada kearifan lokal bangsa Indonesia.

11
Maka sebagai bentuk kontribusi Seksi RSP PDSKJI pada optimalisasi kesehatan jiwa individu
LGBT menyatakan hasil telaah sebagai berikut:

 LGBT masuk dalam kategori ODMK (Orang Dengan Masalah Kesehatan Jiwa), yang
merujuk pada terminologi ODMK pada UU No.18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
 Membuat panduan tata laksana promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu
LGBT dari perspektif religi, spiritualitas, dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Ada 2 hal utama yang perlu diperjelas dari poin-poin pernyataan tersebut. Pertama,
terminologi ODMK, dan kedua, penjabaran upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Yang dimaksud dengan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah orang yang
mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan, dan perkembangan, dan/atau kualitas
hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Misalnya, seseorang dengan
disabilitas tetapi hidup dalam lingkungan yang tidak disability-friendly, buruh migran yang hidup
dalam tekanan majikan, istri yang hidup dalam emotional abuse, remaja yang tertekan oleh
bullying di sekolah, PSK yang ego-distonik (tidak nyaman dengan profesinya, misalnya karena
terjebak pusaran prostitusi), pelukis yang membutuhkan gejala-gejala psikopatologi untuk
berkarya, penderita gangguan jiwa yang sudah remisi tetapi kembali hidup dengan masyarakat
yang stigmatis.

ODMK berbeda dengan ODGJ. ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk
sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Dr. Fidiansjah
tidak menyatakan LGBT sebagai ODGJ karena baik di dalam DSM-V (Diagnostic and Statistical
Manual V) maupun PPDGJ III (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) tidak
ada LGBT secara eksplisit dinyatakan sebagai sebuah entitas diagnosis gangguan jiwa. Ada juga
mahzab yang mengatakan bahwa LGBT bisa dimasukkan ke dalam diagnosis F59 di dalam
PPDGJ III yaitu Sindrom Perilaku YTT (yang tidak ditentukan atau Not Otherwise Specified)
yang Berhubungan dengan Gangguan Fisiologis dan Faktor Fisik. Tetapi tidak ada penjelasan
khusus terkait ini sehingga berkesan terlalu memaksakan dan menjadikannya sebagai diagnosis
“keranjang sampah”.

12
Undang-Undang Kesehatan Jiwa berusaha memberikan ruang benafas bagi setiap manusia
dengan kondisinya. Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat
kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Terkait dengan LGBT yang dinyatakan sebagai ODMK, minimal 3 ayat dari Undang-Undang
Kesehatan Jiwa tentang tujuan upaya Kesehatan Jiwa secara otomatis memberikan perlindungan
kepada siapapun yaitu bahwa orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat,bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu Kesehatan Jiwa, memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan
Jiwa bagi ODMK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusia, dan memberikan kesempatan
kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat memperoleh haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
Salah satu alasan UU Kesehatan Jiwa memunculkan istilah ODMK selain ODGJ adalah karena
keinginan perhatian upaya kesehatan jiwa bagi ODMK bisa ditekankan pada upaya promotif dan
preventif. Upaya promotif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:

1. Mempertahankan dan meningkatkan derajat Kesehatan Jiwa masyarakat secara optimal


2. Menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari
masyarakat
3. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap Kesehatan Jiwa; dan
4. Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap Kesehatan Jiwa.

Stigma, diskriminasi, dan peran serta masyarakat adalah kata-kata kunci bagi upaya promotif
dan dapat dilaksanakan di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, masyarakat,
fasilitas pelayanan kesehatan, media massa, lembaga keagamaan dan tempat ibadah, dan
lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.

13
Upaya preventif kesehatan jiwa ditujukan untuk:

1. Mencegah terjadinya masalah kejiwaan


2. Mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa
3. Mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau
perorangan; dan/atau
4. Mencegah timbulnya dampak masalah psikososial. Seperti ilustrasi kasus pada awal
tulisan ini, menggambarkan bahwa muncul gangguan jiwa berupa depresi.

Tentang aspek religi, spritualitas, dan kearifan budaya lokal yang telah ramai diperdebatkan
terkait LGBT, maka tentu pendapat mereka tidak bisa diabaikan. Berbagai referensi juga kuat
menyatakan bahwa budaya membentuk perilaku dan emosi. LGBT mungkin ada di seluruh dunia
tetapi tentu LGBT di Indonesia berbeda sebagai varian lokal dari keberadaan yang bersifat
universal.

Jika kemudian muncul inisiatif-inisiatif untuk melakukan penelitian, tidak perlu dianggap
sebagai momok untuk memojokkan LGBT. Penelitian terikat oleh etika, tidak boleh
memojokkan siapa pun. Jika setiap penelitian dicurigai, maka di dunia ini tidak ada penelitian.
Dalam sebuah brainstorming, saya melihat bahwa tetap saja menggunakan rujukan jurnal berupa
penelitian di luar negeri. Artinya, belum tentu relevan dengan ke-Indonesia-an.

Terkait tata laksana, perlu diingatkan bahwa di dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa
juga diatur bahwa fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan (spiritualitas, berbasis budaya)
dalam menyelenggarakan pelayanan kuratif harus bekerjasama dengan fasilitas pelayanan
kesehatan dan harus memiliki ijin dan memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan sesuai
dengan pedoman yang berlaku dalam pemberian pelayanan terhadap ODMK dan ODGJ.

14
Psikologi klinis pada awalnya melihat homoseksualitas sebagai patologi – abnormal,
mental illness dan dosa. Pandangan ini berfokus pada tahap-tahap perkembangan dan
memeriksanya apakah dalam tahapan itu terjadi penyimpangan-penyimpangan atau tidak.
Berbagai pengalaman seksual masa kecil di tracking seperti memberi jejak trauma yang dianggap
akan mengubah orientasi seksual seseorang. Lalu perkembangan gender role pun di tracking
untuk memastikan bahwa laki-laki tetap dengan maskulinitas-nya dan perempuan tetap dengan
femininitas-nya. Pemeriksaan ini pada akhirnya diarahkan untuk menemukan hal-hal yang
patologis sehingga terapi diarahkan pada “penyembuhan” untuk menjadikanya heteroseksual
sebagai patologis yang dianggap “Normal”.

Pandangan psikologi klinis ini lebih dipengaruhi tentang pandangannya terhadap


homoseksualitas. Seorang laki-laki melihat gay terjadi karena pola asuh dan traumatis terhadap
kekerasan dari sang ayah. Keadaan ini dianggap anak laki-laki gagal mendapat figure ayah yang
bisa diindentifikasinya sebagai figure laki-laki. Sehingga si anak laki-laki akan cenderung
bersikap narsis dan mencintai dirinya sendiri. Lalu hubungan ayah dan ibu cenderung buruk dan
ayah melihat si anak laki-laki sebagai saingannya dalam memiliki istrinya. Para pengikutnya
yang melihat deviasi seksual ini sebagai patologis dan sakit. Walaupun sebenarnya tidak pernah
menyebut homosexualitas sebagai abnormalitas dan penyakit. Dalam sebuah suratnya pada tahun
1935, yang ditujukan kepada ibu, surat ini diberi judul “Letter to an American Mother”,
menjelaskan bahwa homosexualitas, “ is nothing to be shamed of, no vice, no degradation, it
cannot be classified as an illness “. Di dalam surat ini juga menjelaskan bahwa ada banyak
contoh orang-orang besar yang juga gay seperti Plato, Michael Angelo, dan Leonardo da Vinci.
Pada tahun 1910, sudah menjelaskan tentang pandangan homoseksualitas yang dianggap
abnormal itu karena, “heterosexuality was the guiding telos of development and ultimately the
only “correct decision””.

15
Dalam berbagai kritik yang ditujukan kepada pandangan psikoanalisis yang melihat
homoseksualitas sebagai abnormal dan dosa adalah karena pengetahuan ini juga diikuti dengan
ideologi antihomoseksual. Pandangan ini dipengaruhi oleh konteks sejarah Eropa pada saat itu –
intelektual yang tradisional, religius dan moralis – dalam memahami homoseksualitas. Selain itu
di Eropa Barat pada awal kebangkitan christian era bersikap tidak toleran kepada orang
homoseksual. Dan pandangan ini dilihat lebih bersifat dogmatik. Saat itupun tidak banyak
penelitian-penelitian yang mengarah pada memahami homoseksualitas tapi penelitian-penelitian
lebih diarahkan pada bagaimana menyembuhkan orang homoseksual, sehingga fokus penelitian
sendiri sudah memposisikan homoseksualitas sebagai kategori abnormal, penyakit mental yang
harus dan bisa disembuhkan. Bahkan juga menegaskan bahwa psikoterapi yang ditujukan kepada
orang homoseksual sebaiknya tidak dibayangkan akan bisa disembuhkan karena hal ini
dipengaruhi oleh konteks keadaan zaman itu. Dan kritik juga ditujukan pada pandangan ini
adalah soal bias budaya. pandangan psikoanalisis yang melihat orang homoseksual seolah
universal dan cenderung esensialis. Padahal dalam beberapa budaya di dunia perilaku
homoseksual dilihat sebagai hal yang biasa, dan hal ini sebenarnya bisa kita temukan
sebelumnya dalam budaya-budaya nusantara. Sayangnya pandangan dan pemahaman tentang
LGBT ini bergeser karena pengaruh gerakan antihomoseksual dan homophobia.

Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini berdampak sangat


besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah diklasifikasi oleh
APA dari DSM, LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal. Susan Cochran,
psikolog dan ahli epidemiologi di University of California, Los Angeles, ikut bicara dalam panel
yang diselenggarakan oleh WHO untuk meninjau klasifikasi gangguan psikologis dan perilaku
yang terkait dengan orientasi seksual dan perkembangan. Para ahli juga mengeluarkan sebuah
laporan minggu ini yang mengatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung penyakit
terkait orientasi seksual.

Meski menjadi gay atau lesbian tidak lagi diklasifikasikan sebagai kelainan rujukan
terhadap homoseksualitas karena kelainan jiwa dikeluarkan dari direktori WHO pada tahun
1990, sebagai gantinya muncul kategori baru penyakit “gay-associated”. Misalnya, jika remaja
homoseksual bingung dengan identitas seksualnya, dia dapat diklasifikasikan sebagai orang sakit
mental berdasarkan pedoman WHO saat ini, kata Cochran. Atau jika pria yang sudah menikah

16
bangun suatu hari dan menyadari bahwa dia gay dan ingin meninggalkan istrinya, dia bisa
didiagnosis menderita gangguan hubungan seksual. Dokter mungkin bisa membenarkan
penggunaan “terapi reparatif” dalam merawat orang gay yang menderita depresi atau kecemasan.
Perlakuan konversi ini dipahami secara luas sebagai sesuatu yang tidak etis dan berbahaya bagi
individu dan sama sekali tidak efektif dalam mengubah orientasi seksual seseorang.

Laporan itu dimaksudkan untuk menginformasikan sebuah dialog internasional mengenai


isu-isu yang berkaitan dengan LGBT—kemungkinan akan menimbulkan perdebatan, karena
WHO berurusan dengan kepercayaan budaya dan berbagai temuan ilmiah di banyak negara.
Bahkan lebih dari sekadar menyoroti keputusan antara standar politik dan budaya negara-negara
yang berbeda, klasifikasi gangguan mental terkait homoseksualitas adalah isu hak asasi manusia.
Komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia mengatakan bahwa individu LGBT berhak atas
perlindungan yang sama seperti orang lain, termasuk tempat berlindung dari “penyiksaan,
penangkapan dan penahanan sewenang-wenang,” menurut laporan WHO. Organisasi profesional
internasional, seperti World Association for Sexual Health and the International Planned
Parenthood Federation, juga telah menegaskan bahwa hak seksual, termasuk hak yang berkaitan
dengan ekspresi orientasi seksual, merupakan bagian integral dari hak asasi manusia, seperti
tertulis dalam laporan WHO.

Kunci yang diambil dari teori psikiatri mengenai lgbt untuk menentukan apakah lgbt
merupakan sebuah gangguan atau tidak berdasar ppdgj adalah ego-distonik dan ego-sintonik.
Konsep ego adalah sebuah istilah yang digunakan oleh aliran Psikoanalisa dengan pendirinya
Sigmund Freud. Ego-sintonik adalah keadaan konsisten dengan konsep diri seseorang.
Sebaliknya ego-distonik adalah ketidak-konsistenan konsep diri seseorang atau kondisi ego. Ego-
sintonik contohnya seperti berikut : “Lik adalah seorang perempuan. Setelah dia berkembang
dewasa, ia mulai menyukai sesama perempuan. Ketika ditanya apakah Lik merasa nyaman
dengan kondisi seperti itu Lik menjawab bahwa dirinya memang merasa nyaman dengan kondisi
tersebut. Dia dapat menerima dirinya sepenuhnya bahwa ia memang homoseksual.” Sebaliknya
ego-distonik contohnya seperti berikut : “Kat adalah seorang laki-laki. Sama seperti Lik ternyata
Kat juga seorang homoseksual. Kat menyukai seorang laki-laki juga. Tetapi Kat merasa tidak
nyaman dengan kondisi seperti itu. Dia ingin kembali normal seperti laki-laki lain. Lalu apa
hubungannya ego-sintonik dan ego-distonik dengan lgbt ? Kesimpulannya adalah jika seseorang

17
mengalami ego-distonik terhadap orientasi seksualnya maka dapat dia dapat dikatakan orang
dengan gangguan psikologis. Demikian pula sebaliknya, jika seorang homoseksual mengalami
ego-sintonik maka dia tidak dapat digolongkan orang dengan gangguan psikologis. Jadi, Kat
adalah seorang dengan gangguan psikologis sedangkan Lik bukan merupakan orang dengan
gangguan psikologis. Mengapa demikian ? Karena untuk melakukan terapi psikologis klien harus
sadar bahwa dirinya perlu bantuan. Tentu saja Lik tidak perlu bantuan karena dia merasa nyaman
tetapi Kat perlu bantuan karena dia merasa tidak nyaman dengan kondisinya.

18
BAB III
KESIMPULAN & SARAN

3.1. Kesimpulan
 Argumen yang masih lantang dan banyak di kalangan psikiater dan psikolog, dikatakan
jika gay dan lesbian itu sebuah penyakit, penyakit jiwa. Tahun 1973, asosiasi psikiater di
Amerika mencabut kategori homoseksualitas dari semua kategorinya dari buku
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Source (DSM-IV). Kemudian
tahun 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksualitas dari
Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD). Ini diikuti Kementerian Kesehatan mencabut
LGBT sebagai penyakit kejiwaan di Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ) edisi III pada 1993.
 Dalam dunia medis dan ilmu kedokteran jiwa ada Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM) untuk menentukan kondisi kejiwaan seseorang, termasuk di
dalamnya adalah kasus LGBT. DSM telah mengalami beberapa kali perubahan dan isi
yang mana pada buku edisi ke-3 menyatakan bahwa LGBT bukan kelainan mental—
bahkan penyakit seperti yang dituduhkan penulis. Buku DSM yang terbaru adalah edisi
ke-5. Kalau dulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Desorder),
homoseksulitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa,
akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American
Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau
kelainan seks. Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini
berdampak sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum.
Setelah diklasifikasi oleh APA dari DSM, LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah
dan normal.
 Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), menegaskan
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dalam undang-undang
tersebut, terdapat dua pengelompokan, yakni Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK)
dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Perbedaannya, ODMK memiliki risiko
mengalami gangguan jiwa, sedangkan ODGJ sedang mengalami gangguan jiwa.

19
3.2. Saran

 LGBT itu sendiri juga hasil karya Tuhan. Benar atau tidaknya tindakan atau
perilaku mereka, biarkan saja Tuhan yang menghakimi. Kita tidak perlu melukai
atau menciderai sesama manusia. Jadi, kesetaraan gender akan tercapai bila setiap
orang bisa menghormati hak-hak orang lain untuk hidup. Berhak memilih
hidupnya seperti apa. Saya menghargai eksistensi mereka sejauh mereka tidak
mengganggu ketenteraman publik. Dan, sejauh penelitian yang dipelajari,
bertemu dengan para pegiat kesetaraan gender, klub LGBT, termasuk berdialog
dengan orang-orang yang merupakan bagian dari LGBT, tidak ada masalah sama
sekali
 Dengan pengetahuan yang cukup banyak tentang LGBT, maka agar dapat
bersikap dan bertindakdengan tepat, maka dari itu sebaiknya untuk dapat
bertindak dengan tepatdan dapat menghargai LGBT dengan cara memperbanyak
pengetahuan tentang LGBT, baikitu dengan cara datang ke seminar/diskusi,
membaca di media cetak/elektronik, dan langsung dapat berinteraksi dengan
seorang LGBT. Dengan pengetahuan yang banyak dan tinggi, kita dapat bersikap
dan bertindak dengan baik dan dapat lebih menghargai LGBT.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Alimi, Yasir, Moh., Tidak Hanya Gender, Seks Juga Konstruksi Sosial: Kritik
terhadap Heteroseksual. Jurnal Perempuan, Edisi 41, Jakarta.
2. Dawam, Ainurrofiq, Sigmund Freud dan Homoseksual: Sebuah Tinjauan Wacana
Keislaman. Musawa (Jurnal Studi Gender dan Islam), Vol 2, No. 1, Maret 2003,
Yogyakarta.
3. Dewi, Saras Menggugat Normalitas. Makalah dipaparkan dalam diskusi publik
peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO), 26 Mei 2011 di
Universitas Paramadina.
4. Foucault, Michel Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, terj. Rahayu S Hidayat. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2008
5. Haryatmoko, Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana Sejarah
Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks & Kekuasaan Menurut Foucault. Makalah
disampaikan dalam Seri kuliah umum tentang “Seksualitas” di Komunitas
Salihara, Sabtu 12 Juni 2010, untuk sesi “Michel Foucault tentang Seksualitas”
6. "Sexual Orientation". American Psychiatric Association. July 26, 2011.
7. "GLAAD Media Reference Guide". GLAAD. January 2011.
8. Soble, Alan (2006). "Bisexuality". Sex from Plato to Paglia: a philosophical
encyclopedia 1. Greenwood Publishing Group. p.115.
9. Firestein, Beth A. (2007). Becoming Visible: Counseling Bisexuals Across the
Lifespan. Columbia University Press. pp. 9 –12.
10. Rosario, M.; Schrim shaw, E.; Hunter, J.; Braun, L. (2006). "Sexual identity
development among lesbian, gay, and bisexual youths: Consistency and change
over time". Journal of Sex Research 43(1): 46 – 58.
11. Kemenkes RI, Estimasi Jumlah Populasi Kunci Terdampak HIV Tahun 2012.
Kemenkes 2014.
12. Meghan Lehman & Megan Thornwall, College Students’ Attitudes towards
Homosexuality, Journal of Student Research 118.
13. UNDP_USAID Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di
AsiaUNDP& USAID 2014

21
14. ILO, Gender Identity and sexual orientation in Thailand, PRIDE PROJECT, 2014
Cochran SD, Mays VM, Alegria M, Ortega AN, Takeuchi D. Mental health and
substance use disorders among Latino and Asian American lesbian, gay, and
bisexual adults. J. Consult. Clin. Psychol. 2007;75:785
15. Cochran SD, Sullivan JG, Mays VM. Prevalence of mental disorders,
psychological distress, and mental health services use among lesbian, gay, and
bisexual adults in the United States. J. Consult. Clin. Psychol. 2003;71:53–61.
16. Cohen-Kettenis PT, Pfäfflin F. The DSM diagnostic criteria for gender identity
disorder in adolescents and adults. Arch. Sex. Behav. 2010;39:499–513.
17. Collins WA, Welsh DP, Furman W. Adolescent romantic relationships. Annu.
Rev. Psychol. 2009;60:631–52.
18. Consolacion TB, Russell ST, Sue S. Sex, race/ethnicity, and romantic attractions:
multiple minority status adolescents and mental health. Cult. Divers. Ethn. Minor.
Psychol. 2004;10:200–14.
19. D’Augelli AR. Mental health problems among lesbian, gay, and bisexual youths
ages 14 to 21. Clin. Child Psychol. Psychiatry. 2002;7:433–56.
20. D’Augelli AR. Lesbian and bisexual female youths aged 14 to 21: developmental
challenges and victimization experiences. J. Lesbian Stud. 2003;7:9–29.
21. D’Augelli AR, Grossman AH, Starks MT, Sinclair KO. Factors associated with
parents’ knowledge of gay, lesbian, and bisexual youths’ sexual orientation. J.
GLBT Fam. Stud. 2010;6:178–98.

22

Anda mungkin juga menyukai