Gdlhub GDL s1 2013 Nisakharis 26973 12.bab 2 PDF
Gdlhub GDL s1 2013 Nisakharis 26973 12.bab 2 PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Periapikal granuloma pada gigi non vital merupakan suatu fokus proteksi
eksaserbasi penyakit yang timbul. Pada saat yang sama, granuloma yang terbentuk
Pada kondisi gigi non vital (nekrosis) yang tidak dirawat, bakteri akan
berbagai sel radang dan dikelilingi jaringan fibrous (Garcia et al., 2007, p. 586).
Gejala klinis antara periapikal granuloma dan kista periapikal sangat sulit
dibedakan, pasien tidak memiliki gejala nyeri selain rasa yang tidak nyaman pada
gusi, dan biasanya terdeteksi melalui radiografik, namun jika terdapat eksaserbasi
akut maka akan menunjukkan gejala seperti abses periapikal. Pada tes vitalitas
gigi dengan periapikal granuloma akan memberikan respon negatif, oleh karena
berhubungan dengan pulpa yang telah nekrotik, stimulasi termal juga akan
radiografik tampak area radiolusen dengan batas yang jelas atau difus menempel
pada apeks akar gigi dan terlihat lamina dura dengan tanpa keterlibatan
diameter mulai dari 0,5 mm – 2 cm, dibatasi membran periodontium dan terdiri
granulasi yang diinfiltrasi oleh sel mastosit, makrofag, limfosit, sel plasma, dan
leukosit PMN. Selain itu, multinucleated giant cells, foam cell, cholesterol cleft
dikelilingi dinding sel yang terdiri dari jaringan fibrous (Gambar 2.2). Gracia et
terlokalisasi dari jaringan inflamasi kronis dengan infiltrasi inflamasi akut yang
histiosit dan eusinofil serta biasa ditemukan sarang epitel yang dibentuk dari sisa
Gigi karies yang tidak dirawat akan berlanjut dan lambat laun akan
Nobuhara dan del Rio (Nobuhara WK & Del Rio CE, 1993 cit Torabinejad &
Walton, 2009, p.59-60) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa 59,3 % dari lesi
parut periapikal dan 6,7 % lainnya (Torabinejad & Walton, 2009, pp.59-60).
melalui pulpa, yang telah menjalar menuju jaringan periapikal. Terdapat berbagai
macam iritan yang dapat menyebabkan keradangan pada pulpa, yang tersering
adalah karena bakteri, proses karies yang berlanjut akan membuat jalan masuk
respon inflamasi, baik respon imun seluler maupun humoral (Radics, 2004,
adekuat karena dibatasi oleh dinding dentin yang keras, sehingga produk
inflamasi tidak memiliki cukup ruang dan meningkatkan tekanan ruang pulpa.
darah ke ruang pulpa, dengan adanya hipoksia yang terus-menerus maka pulpa
hanya disuplai oleh satu pembuluh darah yang masuk melalui saluran sempit
disebut foramen apikal, dan tidak ada suplai cadangan lain. Edema dari jaringan
pulpa akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah yang melalui foramen apikal,
nekrosis. Ruang pulpa dan saluran akar serta jaringan pulpa yang nekrosis
karena gigi berada pada rahang, maka bakteri akan menyebar melalui foramen
bakteri ke daerah periapikal, tetapi pemberantasan flora tersebut pada saluran akar
tidak dapat optimal. Dalam hal ini sistem saluran akar menjadi sumber infeksi
bakteri yang persisten dan reaksi imun yang terus menerus pada jaringan
10
limfosit, sel plasma, netrofil, dan elemen fibrovaskular dalam jumlah bervariasi.
Pada saat bersamaan akan terjadi kerusakan jaringan periapikal dan resorpsi
2.2 Mastosit
Mastosit adalah sel mobile, yang berasal dari sumsum tulang (bone
marrow). Mastosit terdiri dari granula yang mengandung sel imun. Mastosit dapat
ditemukan pada seluruh jaringan ikat, mukosa, dan pada sistem saraf. Dalam
rongga mulut, mastosit ditemukan pada seluruh jaringan termasuk pada pulpa,
namun pada pulpa keberadaan mastosit sulit untuk dideteksi. (Laurence, 2003
p.188).
mediator kemotaktik dan menstimulasi sel imun yang lain, seperti makrofag dan
neutrofil. Selain itu mastosit juga bisa berperan sebagai Antigen Presenting Cell
dari granula eksterna dan pelepasan kandungan granula mastosit pada jaringan
interseluler, yang terlihat dengan pewarnaan toulidin blue staining dan chymase
11
μm. Nucleus sel ini unilobed dan mungkin bulat atau oval dan biasanya dalam
yang mungkin interdigitate dengan sel lain (Mahjoub et al, 2009, p.2).
pada sitoplasmanya, yang besarnya 0.3 sampai dengan 0.8 μm dan dapat
menempati sebagian besar dari volume sel. Granula sel mastosit tercat merah-
ungu dengan pengecatan Toluidine Blue ataupun Giemsa (Gambar 2.4 dan
berwarna biru ini disebut pengecatan metakromasi. Hal ini dikarenakan sifat
secretory granule proteases yang dikeluarkan oleh basofil (Mahjoub et al, 2009,
p.2).
Gambar 2.4. Sel mastosit dengan pewarnaan Giemsa, dan dilihat dengan oil emmerse
pada pembesaran 1000x, pada kasus ini terdapat lima sel mastosit pada satu
lapangan pandang (Mahjoub et al, 2009 p.2).
12
Gambar 2.5 Sel Mastosit (tanda panah) pada pasien hypersensitivity pneumonitis (HP) dengan
pewarnaan Giemsa pada perbesara 400x (Taniuch et al, 2009, p. 6)
ukuran diameter 0,5 mikron (0,5 µm), dibatasi oleh membran dan mempunyai
2.6).
Gambar 2.6 Morfologi karakteristik dari mastosit yang diambil dari endotel
pembuluh darah vena pada perut, diwarnai dengan toluidine blue (E) adalah
epitel sel basal (Laurence, 2003 p.189)
13
p. 189).
Gambar 2.7 (A) Granula mastosit yang diwarnai dengan toluidine blue (B) Kimase, (C)
TNF (Laurence, 2003 p.189)
mediator yang dihasilkan, respons untuk mensekresi, dan sitokin mastosit yang
menghasilkan triptase (MCT) dan mastosit yang menghasilkan triptase dan kimase
(MCTC). Pada mukosa dan pulpa manusia mastosit yang dominan adalah MC TC
fungsi yang jelas, tetapi berdasarkan letak dan kandungan granula, memberikan
kesan bahwa setiap subpopulasi mempunyai peran yang penting pada berbeda-
Pada lesi periapikal terjadi respons iritasi kronik, umumnya akibat dari
infeksi saluran akar. Variasi bakteri yang besar membangkitkan respons imun dan
tubuh, termasuk respons imunologi spesifik dan reaksi inflamasi non spesifik.
Diantara sel-sel pada lesi periapikal, mastosit ditemukan pada infiltrat keradangan
14
dari periapikal granuloma dan kista radikuler. Peran mastosit pada pertahanan
tubuh sebagai sel efektor yang membangkitkan imunitas dan respons terhadap
dan reaksi hipersensitifitas tipe cepat dan lambat. Selain itu juga memainkan
peran pada patogenesa dari inflamasi kronik dalam membangkitkan dan menjaga
p.59).
ditangkap, diproses dan disajikan oleh antigen presenting cell (APC). Karena sel
complex (MHC) pada permukaan sel. Terdapat 2 kelas perbedaan protein MHC,
yaitu MHC I yang diekspresikan oleh semua sel somatik dan pemrosesan antigen
sedikit tipe sel lain. Setelah antigen diproses oleh makrofag akan mengaktifkan sel
T helper. Selain itu makrofag juga akan melepas IL-1 untuk sinyal tambahan
dalam pengaktifan sel T helper. Dengan dua sinyal yaitu sinyal pertama dari
kompleks antigen MHC kelas II yang berada pada permukaan APC dan sinyal
kedua IL-1 yang dilepaskan makrofag, sel T helper akan melepaskan dua sinyal
yaitu: yang pertama IL-4 atau disebut juga B cell differentiation factor (BCDF)
dan IL-6 yang disebut juga dengan B cell growth factor (BDGF) (Abbas,2002, pp.
440-4). Ekspresi dua sinyal dan sel T helper tersebut akan mengaktifkan sel B
15
Bersamaan dengan rangsangan antigen terhadap sel T, sel B juga akan tersensitasi
(Roeslan, 2002, pp. 48-52). Di bawah pengaruh IL-4, akan terjadi proses
perubahan isotip rantai berat sel B menjadi sel plasma dan memproduksi IgE
Cystalitin (Fc) pada permukaan mastosit (disebut FcRI). IgE akan berfungsi
Gambar 2.8 Skema mekanisme respons imun yang menggambarkan pentingnya limfosit T
dalam sistem imunoregulator. Sel Th yang teraktivasi antigen, mengaktifkan sel B yang
diikuti bangkitnya imunitas humoral. (Abbas, 2002, p.440)
telah menempel pada molekul IgE. Pada individu yang mempunyai alergi
terhadap suatu partikel antigen, IgE yang menempel pada mastosit spesifik untuk
antigen tersebut mempunyai proporsi yang besar. Antigen tersebut akan berikatan
dengan molekul IgE untuk memicu mastosit aktif (Gambar 2.8). Aktifasi mastosit
akan berakibat tiga macam respons biologi, yaitu: (a) sekresi kandungan pre-
formed dari granula oleh proses regulasi dan exocytosis. (b) sintesis dan sekresi
lipid mediators, (c) sekresi dan sintesis sitokin (Abbas, 2002, p.443).
16
Gambar 2.9 Aktivasi sel B mensekresi IgE dan selanjutnya terikat pada mastosit,
terjadi degranulasi dan diikuti pelepasan mediator-mediator (Abbas, 2002, p.444)
sepektrum mediator yang kuat. Mediator ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu
b. Granula makromolekul
a. Mediator lipid-derived
b. Sitokin
17
a. Biogenic amines
empunyai berat molekul ringan, dan kemudian akan dibagi menjadi suatu
kumpulan amin. Pada manusia, mastosit pada bagian ini berperan dalam
b. Granula makromolekul
p.189).
18
Fungsi dari enzim ini secara in-vivo belum diketahui secara jelas,
namun secara in-vitro aktivitas enzim ini sangat penting. Triptase dapat
yang dihasilkan oleh mastosit pada kista berperan dalam proses resorbsi
a. Lipid-derived
i. Prostaglandin D2 (PGD2)
ii. Leukotriene (LT), yang terdiri dari LTC4, LTD4 dan LTE4
19
b. Sitokin
serta sel-sel lainnya, dan juga interaksi yang kompleks antara limfosit,
dalam reaksi keradangan. Sitokin ini terdiri dari TNF, IL-1, IL-4, IL-
20
bisa berfungsi sebagai paracrine, yaitu sebagai stimulasi sel B dan sel
p 189).
dua bentuk yaitu IL-1α dan IL-1β, yang mempunyai berbagai macam
TNF juga terdiri atas dua peptida yang berbeda dan menguatkan
21
7-10).
22