Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup pada

henti nafas dan henti jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda

– beda, tergantung penyelamatan, korban dan keadaan sekitar, tentangan mendasar

tetap ada, yaitu bagaimana melakukan resusitasi jantung paru (RJP) yang lebih dini,

lebih cepat dan efektif.

Sejak 40 tahun yang lalu resusitasi jantung paru (RJP) modern

diperkenalkan, sampai saat ini banyak perubahan sesuai perkembangan ilmu

kesehatan dan kedokteran. Hal ini karena banyak korban – korban henti nafas dan

henti jantung yang diselamatkan tetapi produktivitasnya menurun bahkan

tergantung kepada orang lain. Untuk itu diperlukan teknik RJP yang tetap dapat

memelihara produktivitas pasca perawatan dan meminilmakan cidera saat ditolong.

Pada tahun 1950, Peter Safar memperkenalkan nafas mulut ke mulut, bidan

meresusitasi neonates. Pada tahun 1960, Kouwenhoven dkk memperkenalkan

kompresi dada. Selanjutnya Peter Safar memperkenalkan keduannya, sebagai dasar

resusitasi jantung paru yang saat ini digunakan, yaitu yang dibutuhkan hanya

keterampilan dua tangan.

1
Henti jantung merupakan penyebab utama kematian di beberapa negara.

Terjadi baik di luar rumah sakit maupun didalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar

350.000 orang meninggal pertahunnya akibat henti jantung di Amerika dan

Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk meraka yang diperkirakan meninggal akibat

henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan

resusitasi tidak selalu berhasi, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak

dilakukan resusitasi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan BHD ?

2. Apa yang dimaksud dengan Henti nafas ?

3. Apa yang dimaksud dengan Henti jantung ?

4. Bagaimana cara melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru) ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan BHD

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Henti nafas

3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan henti jantung

4. Untuk mengetahui cara melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru)

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Bantuan Hidup Dasar

Bantuan hidup dasar merupakan usaha yang pertama kali dilakukan untuk

mempertahankan kondisi jiwa seseorang pada saat mengalamai kegawatdaruratan.

(Siti Rohmah.2012).

Bantuan hidup dasar adalah usaha untuk mempertahankan kehidupan saat

penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa (Rido.2008).

Bantuan Hidup Dasar atau Basic Life Support (BLS) adalah usaha yang

dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban

mengalami keadaan yang mengancam nyawa.(Deden Eka).

Keadaan darurat yang mengancam nyawa bisa terjadi sewaktu-waktu dan

di mana pun. Kondisi ini memerlukan bantuan hidup dasar. Bantuan hidup dasar

adalah usaha untuk mempertahankan kehidupan saat penderita mengalami keadaan

yang mengancam nyawa.

Tujuan dari Bantuan Hidup Dasar sebagai berikut:

1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.

2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban

yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Resusitasi Jantung Paru

(RJP).

3
3. Menyelematkan nyawa korban.

4. Mencegah cacat.

5. Memberikan rasa nyaman dan menunjang proses penyembuhan.

Waktu sangat penting dalam melakukan Bantuan Hidup Dasar. Otak dan

jantung bila tidak mendapat oksigen lebih dari 8-10 menit akan mengalami

kematian, sehingga korban tersebut dapat mati. Dalam istilah kedokteran dikenal 2

istilah untuk mati yaitu mati klinis dan mati biologis.

Mati klinis memiliki pengertian bahwa pada saat melakukan pemeriksaan

korban, penolong tidak menemukan adanya pernafasan dan denyut nadi yang

berarti sistem pernafasan dan sistem peredaran darah berhenti. Pada beberapa

keadaan, penanganan yang baik masih memberikan kesempatan kedua sistem

tersebut fungsi kembali. Tidak ditemukan adanya pernafasan dan denyut

nadi,bersifat reversibel, korban punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk

dilakukan resusitasi tanpa kerusakan otak

Mati Biologis (kematian semua organ) merupakan proses nekrotisasi semua

jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik, biasanya terjadi

dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan kematian sel otak,

bersifat irreversibel (kecuali berada di suhu yang ekstrim dingin).

Bantuan hidup dasar terdiri dari beberapa cara sederhana yang dapat

membantu mempertahankan hidup seseorang untuk sementara. Beberapa cara

sederhana tersebut adalah bagaimana menguasai dan membebaskan jalan nafas,

bagaimana memberikan bantuan penafasan dan bagaimana membantu mengalirkan

4
darah ke tempat yang penting dalam tubuh korban, sehingga pasokan oksigen ke

otak terjaga untuk mencegah matinya sel otak.

B. Henti Nafas

Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran darah

udara pernafasan korban dengan gawat darurat. Henti nafas merupakan kasus yang

harus dilakukan tindakan bantuan hidup dasar. Henti napas primer (respiratory

arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya :

1. Sumbatan jalan nafas : benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke belakang,

pipa trakeal terlipat, kanula trakel tersumbat, kelainan akut glottis dan

sekitarnya (sebab glotis, pendarahan).

2. Depresi pernafasan :

Sentral : obat – obatan, intoksikasi, Pa O2 rendah, Pa O2 tinggi, setelah henti

jantung, tumor otak, tenggelam.

Perifer : obat pelumpuh otot, penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.

Pada awalnya hentin nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,

pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit.

Kalua henti nafas mendapat pertolongan segera maka pasien akan terselamatkan

hidupnya dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat henti jantung.

5
C. Henti Jantung

Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung

untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secra mendadak

dan dapat baik normal, bila dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan

kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau

penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung. Henti jantung disebabkan oleh:

1. Penyakit kardiovaskuler : penyakit jantung iskemik, infark miokardial

akut, embolus paru, fibrosis pada system konduksi (penyakit lenegre, sindrom

Adams-Stroke, noda sinus sakit).

2. Kekurangan oksigen akut : henti nafas, benda asing di jalan nafas,

sumbatan jalan nafas oleh sekresi.

3. Kelebihan dosis obat : digitalis, quinidine, antidepresan trisiklik,

propoksife, adrenalin, isoprenalin.

4. Gangguan asam-basa / elektrolit : kalium serum yang tinggi atau rendah,

magnesium serum rendah, kalsium serum tinggi, asidosis.

5. Kecelakaan, tersengat listrik, tengelam.

6. Reflex Vagal : pergangan sfingter ani, penekanan / penarikan bola mata.

7. Anesthesia dan pembedahan.

8. Terapi dan tindakan diagnostic medis.

9. Syok (hipovolemik, neurologic, toksik, anafilaksis)

6
Henti jantung yang diawali dengan fibrilasi vantrikel atau takikardia tanpa

denyut sekitar (80 – 90 %) kasus, kemudia disusul oleh asistol (± 10 %) dan terakhir

oleh disosiasi elektro-mekanik (± 5 %). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih

sulit ditanggulagi karena akibat gangguan pacemaker jantung. Fibrilasi ventrikel

terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh

denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis) disertai kebiruan (sianosis) atau

pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu – satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak

bereaksi terhadap rangsangan cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman O2 ke

otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap

O2 dan fungsi pernafasan. Iskemi melebihi 3 – 4 menit pada suhu normal akan

menyebabkan krtek serebri rusak menetap, walupun setelah itu dapat membuat

jantung berdenyut kembali. Resusitasi jantung paru (RJP) dilakukan untuk

mencegah berhentinya sirkulasi atau hentinya respirasi.

D. Resusitasi Jantung Paru (RJP)

Kerangka kerja Resusitasi Jantung Paru (RJP) yaitu interaksi antara

penolong dan korban. Resusitasi Jantung Paru (RJP) secara tradisional

mengabungkan antara kompresi dada dan nafas bantuan dengan tujuan untuk

meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi. Karekteristik penolong dan korban dapat

mempengaruhi pelasanaan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP).

7
1. Penolong

Setiap orang dapat menjadi penolong bagi pasien henti jantung. Kemampuan

RJP dan penerapannya tergantung dari hasil penelitian, pengalaman dan

kepercayaan diri si penolong. Kompresi dada adalah dasar RJP. Setiap

penolong, tanpa memandang hasil penelitian, harus melakukan kompresi dada

pada semua korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus

menjadi tindakan RJP yang pertama kali dilakukan terhadap semua korban

tanpa memandang usianya. Penolong yang memiliki kemampuan sebaiknya

juga melakukan ventilasi. Penlong non petugas kesehatan yang tidak terlatih,

meraka dapat melakukan strategi “Hands Only CPR” (hanya kompresi dada).

Kompresi dada sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat

defibrilasi otomatis tersedia.

2. Korban

Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara tiba – tiba setelah

suatu sebab primer, karenannya sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada

menjadi yang terpenting. Sebaliknya, henti jantung pada neonates sebagian

besar karena asfiksia yang memerlukan baik pengelolaan jalan nafas ventilasi

dan kompresi untuk hasil yang optimal. Karenanya, pengelolaan jalan nafas dan

bantuan nafas lebih penting bagi neonates dibandingkan orang dewasa.

8
Urutan yang disarankan penolong diminta untuk memulai kompresi dada

sebelum memberikan nafas buatan (C – A – B, bukan A – B – C) agar dapat

mengurangi penundaan kompresi pertama. Walupun hanya ada satu penolong,

maka harus melalui RJP dengan 30 kompresi dada yang diikuti dengan 2 nafas

buatan. Terdapat penekanan lanjutan pada karakteristik RJP berkualitas tinggi,

mengkompresi dada pada kecepatan dan kedalaman yang memadai, membiarkan

recoil dada sepenuhnya setelah setiap kompresi, meminimalkan interupsi dalam

kompresi, dan mencega ventilasi yang berlebihan. Kecepatan kompresi dada yang

disarankan adalah 100 hingga 120/ min (diperbaharui dari minimal 100/min).

rekomendasi yang diperbolehkan untuk kedalaman kompresi dada pada orang

dewasa adalah minimal 2 inci (5 cm), namun tidak lebih dari 2,4 inci (6 cm).

Ketika menemukan korban henti jantung pada orang dewasa yang bersifat

mendadak, seorang penolong pertama kali harus mengenai henti jantung itu dari

unresponsiveness dan tidak adanya pernafasan normal. Setelah mengenali,

9
penolong harus segera mengaktifkan system respons gawat darurat (SPGDT),

mengambil automated external defibrillator (AED), jika ada, dan memulai

resusitasi jantung paru (RJP) dengan kompresi dada. Jika AED tida tersedia,

penolong harus memulai RJP langsung, jika ada penolong lain, penolong pertama

harus memerintahkan dia untuk mengaktifkan system respons/ system

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan mengambil AED/

defibrilator sambal dia langsung memulai RJP. Ketika AED/ defibrillator datang,

pasang pad, jika memungkinkan, tanpa memotong kompresi dada yang sedang

dilakukan, dan nyalakan AED. AED akan menganalisis ritme jantung dan

menunjukan apakah akan melakukan kejutan (defibrilasi) atau melanjutkan RJP.

Jika AED/ defibrillator tidak tersedia, lanjutkan RJP tanpa interupsi hingga

ditangani oleh penolongan yang lebih berpengalaman.

Untuk penyediaan layanan kesehatan tim terpadu yang terdiri dari atas

penolongan yang sangat terlatih dpat menggunakan pendekatan terencana untuk

menyelesaikan beberapa langkah dan penelitian secara bersamaan, bukan secara

berurutan yang digunakan oleh masing – masing penolong ( misalnya, satu

penolong mengaktifkan SPGDT dan penolong kedua segera memulai kompresi

dada, penolong ketiga menyiapkan alat bantu pernafasan/ bag valve mask

memberiakan nafas buatan, dan penolong keempat mengambil dan menyiapkan

defibrillator).

Peningkatan penekanan telah diterapkan pada RJP berkualitas tinggi

menggunakan target performa (kompresi kecepatan dan kedalam yang memadai,

10
dan membiarkan recoil dada sepenuhnya diantara setiap kompresi meminimalkan

interupsi dan kempresi, dan mencegah ventilasi yang berlebihan).

Anjurkan dan larangan BLS untuk RJP yang berkualitas tinggi pada orang dewasa

Penolong Harus Penolong Tidak Boleh


Mengkompresi pada kecepatan lebih rendah dari
Melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 – 120/min.
100/min atau lebih cepat dari 120/min.
Mengkompresi kedalaman minimum 2 inci (5 cm). Mengkompresi ke kedalaman kurang dari 2 inci (5
cm) atau lebih dari 2,4 inci (6 cm).
Membolehkan recoil penuh setelah setiap kali kompresi. Bertumpu di atas dada di antara kompresi yang
dilakukan.
Meminimalkan jeda dalam kompresi. Menghentikan kompresi lebih dari 10 detik.
Memberikan ventilasi yang cukup (2 nafas buatan setelah 30 Memberikan ventilasi berlebihan misalnya, terlalu
kompresi, setiap nafas buatan diberikan lebih dari 1 detik, banyak nafas buatan atau memberikan nafas buatan
setiap kali diberikan dada akan terangkat). dengan kekuatan berlebihan.

Pengenalan dini, dimulai dengan keamanan disekitar lokasi kejadian. Jika

melihat seseorang yang tiba – tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas

kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksan respon korban.

Tepukan pada pundak dan teriakan memanggil korban sembari melihat apakah

korban tidak bernafas atau terengah – engah. Lihat apakah korban merespon

dengan jawaban, erangan atau gerakan. Korban tidak responsive serta tidak ada

nafas atau hanya terengah – engah maka petugas kesehatan dapat mengasumsikan

bahwa korban henti jantung.

Petugas sebaiknya mengaktifkan system penanggulangan gawat darurat

terpadu (SPGDT) yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang

11
mempunyai fasilitas/ layanan gawat darurat, contohnya menghubungi rumah sakit,

polisi, atau institudi hebat.

Memeriksaa ada atau tidaknya nafas pada korban dengan cukup dengan

melihat langsung pergerakan dada atau tidak. Sulitnya menilai nafas yang adekuat

pada korban merupakan alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang

terengah dapat disalah artikan sebagai nafas adekuat oleh professional maupun

bukan. Contohnya pada korban dengan sindrom coroner akut sering kali terdapat

nafas terengah yang dapat disalah artikan sebagai pernafasan yang adekuat. Maka

tidak dianjurkan memeriksa pernafasan dengan “look, listen, and feel” dan

direkomendasikan untuk menganggap pernafasan terengah sebagai tidak ada

pernafasan.

Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih

dari 10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak terdapat denyut nadi yang

definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP. Lakukan kompresi dada sebanyak

satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan 30 : 2. Lakukan tindakan

tersebut hingga Advanced Life Support (ALS) tiba dan mengambil alih tindakan.

12
Ringkasan Komponen Resusitasi Jantung Paru (RJP) Berkualitas Tinggi untuk BLS

Bayi
Anak – anak
Dewasa dan anak (usia kurang dari 1 tahun
Komponen (Usia 1 tahun hingga
remaja tidak termasuk bayi baru
pubertas)
lahir)
Keamanan lokasi Pastiakan lingkungan telah aman untuk penolong dan korban
Pengenalan serangan Periksa apakah nafas pasien berhenti tersengal? (misalnya, nafas tidak
jantung normal, tidak ada denyut nadi yang teraba dalam 10 detik ) (periksa nafas dan
denyut nadi dapat dilakukan secara bersamaan kurang dari 10 detik)
Peningkatan SPGDT Jika anda sendiri tanpa Korban terlihat jatung pingsan
telepon seluler , Ikuti langkah – langkah untuk orang dewasa dan
tinggalkan korban anak remaja disebelah kiri.
untuk mengaktifkan
SPGDT dan mengambil Korban tidak terlihat jatuh pingsan
AED sebelum memulai Lakukan RJP selama 2 menit
RJP atau meminta Tinggalkan korban untuk mengaktifkan SPGDT dan
bantuan orang lain mengambil AED
untuk melakukannya Kembali ke anak atau bayi dan lanjutkan RJP,
dan mulai RJP gunakan AED yang telah tersedia.
secepatnya, gunakan
AED segera setelah
tersedia
Rasio kompresi bantuan 1 atau 2 penolong 1 Penolong 30 : 2
nafas tanpa airway 30 : 2 2 penolong atau lebih 15 : 2
definitif
Rasio kompresi bantuan Kompresi kelanjutan pada kecepatan 100 – 120/menit
nafas dengan airway Berikan 1 nafas buatan setiap 6 detik (10 nafas buatan/menit)
defenitif

13
Kecepatan kompresi 100 – 120/ menit
Kedalam kompresi Minimum 2 inci (5 cm) Minimum sepertiga dari Minimum sepertiga
diameter AP dada diameter AP dada
Sekitar 2 inci ( 5 cm) Sekitar 11/2 inci (4 cm)
Penempatan tanggan 2 tangan berada 2 tangan atau 1 tangan 1 Penolong
ditengah bagian bawah (opsional untuk anak 2 jari dibagian tengah
tulang dada (sternum) yang sangat kecil) dada, tepat dibawah
berada disetengah baris putting
bagian bawah tulang
dada (sternum) 2 Penolong atau lebih
2 tangan dengan ibu jari
bergerak melingkar
dibagian tegah dada,
tepat dibawah baris
puting
Recoil dada Lakukan rekoil penuh dada setelah setiap kali kompresi, jangan bertumpu
diatas dada setiap kali kompresi
Meminimalkan Batasi gangguan dalam kompresi dada menjadi kurang dari 10 detik
gangguan

E. Search and rescue

Search and rescue (SAR) adalah kegiatan dan usaha mencari, menolong,

dan menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau dikhawatirkan hilang atau

menghadapi bahaya dalam musibah-musibah seperti pelayaran, penerbangan dan

bencana . Istilah SAR telah digunakan secara internasional tak heran jika sudah

14
sangat mendunia sehingga menjadi tidak asing bagi orang di belahan dunia

manapun tidak terkecuali di Indonesia.

Unsur – unsur search and rescue

1. Lokasi : kemampuan untuk menentukan lokasi korban. Hal ini memerlukan

pengetahuan menangani data peristiwa, keadaan korban, keadaan medan dan

lainnya.

2. Mencapai : kemampuan untuk mencapai korban. Hal ii memerlukan

keterampilan mendaki gunung, rock climbing, cara hidup di alam bebas, peta,

kompas, membaca jejak, dan lainnya.

3. Stabilisasi : kemampuan untuk menentramkan korban dalam hal ini mutlak

diperlukan pengetahuan P3K, gawat darurat dan lainnya.

4. Evakuasi : kemampuan membawa korban. Hal ini memerlukan keterampilan

seperti halnya “Mencapai”.

Adapun yang disebut vertical rescue Vertical rescue merupakan

penyelamatan yang dilakukan untuk lokasi-lokasi yang berhubungan dengan

ketinggian dan kemampuan dalam formasi teknik. Dalam vertical rescue

dibutuhkan kemampuan pasukan yang sangat cekatan, memiliki kemampuan, baik

dalam fisik maupun psikologis. Anggota tim dalam vertical rescue diperlukan

keberanian baik dalam menangani korban maupun dengan masalah ketinggian.

Faktor umum dalam vertical rescue:

1. Bakat dan pengetahuan

15
Dalam hal ini rescuer haruslah terbiasa dengan ketinggian, kejasama tim yang

baik dan memahami bagaimana merawat dan menggunakan peralatannya.

Ketakutan pada ketinggian merupakan faktor yang harus di hilangkan, karena

vertical rescue akan melakukan bayak hal dengan lokasi yang berhubungan

dengan ketinggian, adanya ketakutan pada ketinggian akan mempersulit

palaksanaan peyelamatan.

2. Latihan dan pengalaman

Rescuer haruslah memahami dan mampu melakukan segala basic

penyelamatan dalam ketinggian. Praktis dan cepat dalam melakukan tindakan

penyelamatan.

3. Terbiasa menggunakan peralatan

Rescuers haruslah memahami penggunaan segala macam peralatan yang

mendukung penyelamatan, sensitif terhadap perubahan peralatan mengenai

kemampuan dan perbedaan terkecil sekalipun.Rescuer haruslah selalu

melakukan pengecekan peralatan baik sebelum, sesudah maupun dalam setiap

penggunaannya.

4. Disiplin dan kerjasama tim

Disiplin adalah hal paling penting bagi penyelamat. Absensi rutin harus

dilakukan untuk setiap kegiatan, setiap keputusan tim leader haruslah diikuti

semua anggota dan setiap operasi penyelamatan hendaknya dilakukan dengan

efektif dan efisies. Kerja sama tim harus memiliki standart yang tinggi, setiap

anggota rescue haruslan memiliki pengalaman, pelatihan, keyakinan,

16
kedisiplinan, dan mementingkan keamanan untuk kelompok dan dirinya

sendiri.

5. Pendekatan dan taktik

Masalah penanganan penyelamatan, tim leader haruslah mempertimbangkan

setiap hal-hal yang ada: Menentukan tujuan, mempertimbangkan beberapa

faktor yang ada dan mungkin terjadi, mempertimbangkan setiap aksi yang akan

dilakukan, memproses perencanaan. Komunikasi menjadi hal penting dalam

vertical rescue, antara rescuer haruslah selalu berkomunikasi setiap saat dalam

proses penyelamatan. Vertical rescue adalah keseluruhan faktor dengan skill

yang tinggi, hasil dari kerjasama, disiplin dan pelatihan. Keseimbangan

psikologi dan fisiologi sangat penting sebelum operasi penyelamatan

dilakukan.

6. Keamanan

Keamanan menjadi bagian paling vital dalam setiap operasi penyelamatan. Hal

ini merupakan respon dari setiap penyelamat sebelum melaksanakan

penyelamatan, keamanan di pertimbangkan untuk menghindari resiko yang

dapat membahayakan korban dan rescuers.

Perlengkapan perorang

Dalam hal ini bagian keamanan dalam vertical rescue:

1. Helmet, memiliki kasamaan dengan helm untuk caving maupun climbing.

Dalam vertical rescuehelmet yang di gunakan hendaknya memenuhi standart

keamanan. Berikut karakteristiknya:

17
2. Sarung tangan, merupakan bagian vital yang harus di perhatikan. Menggunakan

sarung tangan akan melindungi tangan dari gesekan dan kehilangan kontrol

ketika melaksanakan operasi penyelamatan.

3. Sepatu, gunakanlah sepatu yang dapat mencengkeram kuat, pas digunakan dan

ringan serta nyaman digunakan.

4. Pakaian, penggunaan yang pas dan nyaman bagi penggunanya, tidak terlalu

sempit karena akan berpengaruh terhadapa tenaga pengguna an tidak terlalu

longgar karena dapat mengganggu sistem peralatan yang digunakan dalam

penyelamatan.

5. Harness, semua kegiatan yang berhubungan dengan ketinggian hendaknya

menggunakan harness sebagai bagian keamanan diri dan kelompok. Begitupun

dalam pelaksanaan penyelamatan pada ketinggian.

6. Peluit, penggunaan peluit sangat penting untuk keadaan genting. Hendaknya

semua personal menggunakan peluit sebagai bagian dalam personal equipment.

7. Peralatan rescue perorangan, Pisau, penggunaan pisau tajam pada situasi

tertentu. Tempatkan pisau sebagai peralatan yang wajib dibawa untuk setiap

personal.

8. Obat pertolongan pertama, tempatkan perlengkapan ini sebagai perlengkapan

yang wajib dibawa untuk setiap personal.

Rope/tali merupakan bagian terpenting dalam vertical rescue, teli

digunakan dengan menggabungkan berbagai peralatan lain untuk memenuhi

sebuah sistem peralatan untuk penyelamatan. Diharuskan untuk semua personel

18
dalam vertical rescue untuk mengetahui dan memahami tentang tipe-tipe tali dan

bahan yang digunakan untuk membuat tali. Serta dihruskan memahami bagaimana

memanagement tali dengan baik.

Tipe tali yang digunakan dalam vertical rescue sebaiknya dibuat dengan

bahan sintetic fibre kernmantle, dimana bahan ini merupakan bahan terbaik dari

segala bahan yang digunakan untuk pembuatan tali.

1. Rope history card

Dengan adanya rope history card, kita dapat mengetahui sejauh mana

kemampuan tali untuk dapat digunakan menahan beban. Rope history card

dibuat untuk mengetahui kepastian umur tali dan kapasitas penggunaan,

perkembangan tali setiap saat dapat diawasi dengan baik.

2. Tali kernmantle dynamic

Elastisitas:tali kernmantle dynamic sangat mudah digunakan untuk membuat

berbagai jenis simpul elenturan: tali kernmantle dynamic memiliki kemuluran

yang lebih tinggi, sehingga sangat cocok untuk menahan jatuhnya pemanjat

dengan hentakan yang tidak terlalu keras.

3. Tali Kernmantle static

Kelenturan: tali kernmantle static memiliki kemuluran yang rendah, hanya 3%

hingga 20% persen kemuluran dialami ketika tali dibebani tubuh seseorang.

Elastisitas: tali kernmantle static memiliki elastisitas tinggi, tali kernmantle

static dapat mennyesuaikan diri dengan berbagai penggunaan seperti pada tali

lainnya.

19
Ciri-ciri Rescue rope:

1. Minimal diameter adalah 11mm.

2. Dibuat dengan tipe static.

3. Mampu menahan beban minimal 3000kg.

4. 100% berbahan polyamid/nylon.

5. Memiliki lapisan pelindung.

6. Mudah digunakan dan mudah untuk pembuatan simpul-simpul.

7. Kemuluran tali maksimal 3% untuk tarikan 80kg.

8. Minimum 20% kemuluran tali untuk tarikan 3000kg.

9. Mampu beradaptasi denga suhu untuk keperluan operasional.

10. Warna kontras antara bagian tengan dengan bagian pembungkus.

Dalam Vertical Rescue, materi atau teknik yang harus dipelajari meliputi 2 hal

utama yaitu : Teknik Penjangkauan Obyek/korban dan Teknik Evakuasi

obyek/korban.

Teknik Penjangkauan Korban ada 3 teknik dalam penjangkauan korban disini,

yaitu:

1. Leading (Perintisan)

Teknik penjangkauan korban/objek dengan cara pemanjatan perintisan dari titik

di bawah posisi objek/korban berada. Teknik ini dilakukan oleh Leader dengan

memasang pengaman pada titik-titik tertentu.

20
2. Traversing (Perintisan Menyamping)

Teknik penjangkauan korban/objek yang dilakukan dengan cara menyamping,

dimana tim evakuasi berada dalam titik sejajar dengan posisi objek/korban

berada. Tekniknya hampir sama dengan Leading.

3. Abseiling (Rapeling/Descending)

Teknik penjangkauan jika posisi objek/korban berada di bawah posisi tim

evakuasi. Misalnya, jika korban/objek berada dalam jurang, lubang, atau lain

sebagainya.

21
BAB 3

PENUTUP

A. Simpulan

Keadaan darurat yang mengancam nyawa bisa terjadi sewaktu-waktu dan

di mana pun. Kondisi ini memerlukan bantuan hidup dasar. Bantuan hidup dasar

adalah usaha untuk mempertahankan kehidupan saat penderita mengalami keadaan

yang mengancam nyawa.

Tujuan dari BHD (Bantuan Hidup Dasar) adalah untuk mencegah

berhentinya sirkulasi atau berhentinya pernapasan serta memberikan bantuan

eksternal tehadap sirkulasi dan ventilasi dari pasien yang mengalami henti jantung

atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Langkah – langkah untuk BHD (Bantuan Hidup Dasar) pada tahun 2015

American Heart Association (AHA) memberikan rekomendasi untuk

menggunakan teknik C – A – B yang sekarang digunakan, berikut langkah –

langkahnya. Danger (Bahaya) Periksa keadaan bahaya terhadap diri anda /

penolong, terhadap diri korban dan terhadap orang lain. Pastikan tidak ada orang

lain lagi yang terluka, bertindaklah bila keadaan telah aman. Respons (Reaksi)

memeriksa keadaan atau reaksi korban apakah korban sadar penuh. Bereaksi

dengan rangsangan suara (dipanggil, ditanya nama), bereaksi denan rangsangan

nyeri (ditepuk, dicubit) atau tidak sadar. Memeriksa korban dengan cara

menggoncangkan bahu.memeriksa sirkulasi dengan nafas selama 10 detik. Jika

22
korban diindikasi hentinafas dan henti jantung aktifkan SPGDT setelah

mengaktifkanya lakukan kompresi 30 : 2 untuk dewasa dan remaja dan 15 : 2 untuk

usia kurang dari satu tahun sampai masa pubertas.

Rope/tali merupakan bagian terpenting dalam vertical rescue, teli

digunakan dengan menggabungkan berbagai peralatan lain untuk memenuhi

sebuah sistem peralatan untuk penyelamatan. Diharuskan untuk semua personel

dalam vertical rescue untuk mengetahui dan memahami tentang tipe-tipe tali dan

bahan yang digunakan untuk membuat tali. Serta dihruskan memahami bagaimana

memanagement tali dengan baik.

B. Saran

Tidak ada saran yang terlalu mengikat dalam kasus ini, hanya saja

diharapkan makalah ini bisa memberikan masukan bagi rekan- rekan mahasiswa

calon perawat, sebagai bekal untuk dapat memahami mengenai “Bantuan Hidup

Dasar” menjadi bekal dalam pengaplikasian dan praktik bila menghadapi kasus

yang penulis bahas ini.

Untuk meningkatkan kualitas pengaplikasian dalam melakukan Bantuan

Hidup Dasar (BHD) maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Dalam melakukan RJP seringkali penolong kurang cepat dalam melakukannya

dan kurang tepat dalam tahapan yang harus dilakukan.

2. Seorang penolong di wajibkan untuk mengefesienkan waktu dalam melakukan

RJP dan melakukan tahapan yang tepat untuk menolong korban, karena

23
kurangnya ketepatan waktu dapat mengakibatkan keterlambatan korban

tertolong.

3. Sering kali penolongpun menghiraukan keselamatnya terlihat dari kelengkapan

atau kekreativan penolong dalam menggunakan APD yang ada.

Maka dari itu disarankan bagi penolong untuk lebih tepat dalam melakukan

langkah – langkah yang telah ditentukan serta dapat mengefesiensikan waktu dalam

melakukan pertolongan. Serta penolong diharapkan dapat lebih teliti dalam

melakukan keselamatannya sendiri dan korban.

24

Anda mungkin juga menyukai