Anda di halaman 1dari 104

MAJELIS PENDIDIKA]Y TINGGI PIMPINAIT PUSAT MT]HAMMADTYAE

BADAI{PEMBINAM
SEKOI,AH TINGGI KEGIJRUAN DANT ILMU PENDIDIKAI{
(STKIP ) SORONG
Alamat: JIn. KH.A. Dahlan No. 01 Malawele Aimas Sorong Papua Barat
Telp: 081 14831212 I 085217378270

ST]RAT KEPUTUS$I
KETUABPHSTKIPMSORONG
NOMOR tOlJA LYD/20I6
TENTANG
PENGAIYGI(ATAII DOSEN TETAP YAYASAI\I

KETUA BPII STKIP MIIHAMMADTYAII SORONG

Menimbang : l. Bahwa dalam rangf,a pcmantapan pelaksanaan pros6 belajar meqgqiar dan tertib adminishasi pada
STKIP lvtmmmaiyan Sormgpe'lu pemmiukm Eoqgp sobryi dffi
tetap frayasan.
2. Bahwa rmtuk melaknakan trgps dan tangrmg jawab s€e€rti trtuang pada brilh I (mtu) perlu
ditetapkan d@gan Surat Kqmsar

Mengingat l. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tangetal E Juli 2003, tentmg Sisteilr
PdidikmNmioul;
2. Peraturan Pemerintatr,Republik Indonesia Nomor 60 Tatnm 1999 tanggal 24 Juli 1999, tentang
Perdidikan TioS;
3. @idah Pergumm Tinggi Muhunmdiyah tahrm 19991'
4. Statuta STKIP Muhamnadi5aah Sorong bhun 2fl)4; dan
5- Rastra STKIP Muhunmadiyah Sorong hhrm 2012-2o17 -

MEMUTTISKAIiE
Mmebpkan
Perffi Ttrtihmg mulai ' gg.t 0l Dr{axct 2016 magang*at s6aesi Doscil Ttrp Yayasm:
l. Nama : Aswendo Dwitrntyenov, Ilfl.PsL
2- Tryatftmggpl lahir : Smtani, l6Nopember l9E9
3. JenisKelamin : I-aki-Iaki
4- Midikan T€rakhir : 52
: Rp2-flD.(m,-
: flom Prognm StudiPqdidikanJasnani Kesehatan dan Relrasi
: STKlPlvtuhmadiph
Somng
8. Jumlah Jam Kerja Wajib : 8 Janr setiap hari kerja
Kedua : untrk rrelaksanakan trgas Tri Dharma Pergunm finggi krgro mjalankan ke*najibam minimum 12
SI(S @ua Belas S*uan Kredit Semester) tiap semesteq
Ketiga : Bia5aa yang timbul akibat di@h srt keprilrmr ini dibdmkm da ilrta dlggilm STKIP
lvtuhammadiyah Somng;
Keompd : Segnla swmtu akan diubah s@aimana ffiin5aa 4obila rlikernuiliar hui tudapat kekelirum
dalarn Surat Kepnhrsan ini; dam
Kelima : SuratKeputusan ini bcrlaku sejak^'nggatr ditehpkan.

Ditataplon di :Sorong
15a' qggal : I Mrtfr2016

Sffii.r

IT.IL EKO TAVIP MARYANTO, M.T"

l- Mqiclis piXftnangPPMuhmtMiyah di l*ailq,


L KoordintuKopcilis Wilryah XIV Bi*, hpuadmPapnBtr{
3. K€fira STKIP Muhammdiyah Sorong di Sormg;
4. Yag ;
5. Ka Biro Keirmgm STKIP MuhmnaAifn Suong;drt
6, minegal.
SURAT KETERANGAN
Nomor: 131/I.3.AU/J/2016

Yang bertandatangan di bawah ini:


Nama : Drs. H. Rustamadji, M.Si.
NIDN : 1201115601
Pangkat/ Gol Ruang : -
Jabatan : Ketua STKIP Muhammadiyah Sorong

Dengan ini menyatakan bahwa Dosen STKIP Muhammadyiyah Sorong yang tersebut namanya di
bawah ini:
Nama : Aswendo Dwitantyanov, M.Psi.
TTL : Sentani, 16 November 1989
Status : Dosen Tetap Yayasan
Unit Kerja : Program Studi Sarjana PGSD

Telah secara nyata:


1. Aktif melaksanakan tugas sebagai dosen dengan baik
2. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan beban kerja paling sedikit sepadan
dengan 12 satuan kredit semester sejak bulan Maret 2016.

Demikian surat keterangan ini diberikan agar dapat dipergunakan sebgaimana mestinya.

Dibuat di : Sorong
Pada tanggal : 1 Maret 2016
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

E-Therapy untuk Meningkatkan Efikasi Akademik dan Menurunkan Stres Pada


Remaja dengan Konflik Orangtua-Anak

Aswendo Dwitantyanov Neila Ramdhani

ABSTRAK

Efikasi diri sebagai keyakinan terhadap kemampuan yang dibutuhkan pelajar untuk dapat memenuhi tuntutan
akademiknya. Permasalahan hubungan orangtua-anak merupakan stresor yang dapat menurunkan efikasi
akademik yang kemudian menghambat pencapaian tujuan akademis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peran etherapy berbasis humanistik dalam meningkatkan efikasi akademik serta menurunkan stres pada remaja
yang mengalami konflik hubungan orangtua-anak. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu etherapy dapat
meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres pada remaja yang mengalami konflik hubungan
orangtua-anak. Partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang remaja yang mengalami konflik hubungan
dengan orangtua. Penelitian ini menggunakan desain subjek tunggal B-A-B. Data diukur dengan menggunakan
skala efikasi akademik (α= 0,862), Depression Anxiety Stress Scale atau DASS-21 (α= 0,720), dan behavioral
checklist untuk memantau perkembangan klien setiap sesi terapi. Observasi dan wawancara digunakan untuk
melengkapi data penelitian secara kualitatif. Analisis data menggunakan teknik inspeksi visual dan analisis
kualitatif berdasarkan rekam percakapan terapi dan wawancara tindak lanjut. Penelitian ini menunjukkan
adanya pengaruh etherapy dalam meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres remaja yang
mengalami konflik hubungan orangtua-anak.

Kata Kunci : e-therapy, efikasi akademik, stres, konflik orangtua-anak

Every student needs to have self-efficacy of their own abilities to cope with burdens and academic demands.
Relationship problem between parent-children can be the stressor that will affect self-efficacy and academic
achievement. The aim of this research is to find out the role of internet support group therapy based on humanistic
approach method for improving self-effication and reducing stress level on adolescent who have parent-children
conflict. The participants of this research are five adolescents who have parent-children conflict. This research
will use single-case subject method with B-A-B desing. All datas will be collected by self-efficacy’s scale (α=
0,862, DASS-21 (α= 0,720), Ana checklist as additional tools to control individual’s complaint between sessions
of the intervention. For getting more richer result from qualitative data, this research will be equipped with
interview and observation technique. Hypothesis was tested by using visual inspection and qualitative analysis
based on documents during the process of therapy and follow-up interview. The results showed a change in
the dependent. Stress levels in each participant has decreased and academic self-efficacy in each
participant experiencing an increase.

Keywords : e-therapy, academic self-efficacy, stress, parent-children conflict

1
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

E-therapy dengan Perspektif Psikologi Humanistik


E-therapy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses terapi yang dilakukan melalui media perantara, sehingga tidak terjadi tatap
muka langsung antara terapis dan klien. Kemajuan ilmu pengetahuan mendorong
semakin besarnya kebutuhan terhadap layanan kesehatan mental (Kidd &
Keengwe, 2010). Sekitar 47,7% individu mencari informasi kesehatan dan bantuan
profesional melalui internet dan 50% diantaranya remaja usia sekolah (Maples &
Han, 2008; Cline & Haynes, 2001). Berkembangnya model etherapy mengurangi
kendala demografis dan ketersediaan waktu baik dari terapis maupun klien (Maples
& Han, 2008; Riva, 2004).
Penelitian mengenai e-therapy menunjukkan efektivitas dan manfaatnya
untuk diterapkan dalam bidang psikologi, misalnya terkait masalah fobia (Riva,
2004), stres (Houghton, 2008, Riva, 2004), gangguan kecemasan serta depresi
(Spek, Cuijpers, Nyklícek, dkk, 2007; Marks, Kenwright, McDonough, dkk, 2004;
Riva, 2004), dan masalah terkait keluarga (King, Bambling, Reid, dkk, 1998;
Wang, Zhou, Lu, dkk, 2011).
Pendekatan humanistik dalam terapi kelompok berbasis internet cukup
efektif untuk mengatasi masalah-masalah emosional dan stres, terutama pada
remaja (Gackenbach, 2011). Rogers (1959) menekankan pendekatan humanistik
berfokus untuk memfasilitasi perasaan klien melalui genuineness, realness or
cogruence; acceptance or caring or prizing – unconditional positive regard, serta
empathic understanding. Etherapy dalam penelitian ini menekankan proses di
dalam kelompok, sehingga klien mampu mengekspresikan pengalaman dan
perasaannya, serta mampu menilai sendiri makna di balik kejadian tersebut dan
menghadapinya.
Efikasi Akademik
Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
mengatur dan melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan (Bandura, 1997). Individu dengan efikasi
akademik yang tinggi cenderung memotivasi dirinya, memusatkan perhatian dan
mengerahkan usaha serta berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami.

2
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Efikasi diri berkaitan dengan level proses yang kompleks yaitu kognitif,
motivasional, afeksi dan seleksi perilaku (Bandura, 1997). Studi menunjukkan
efikasi diri dapat ditingkatkan melalui penerapan komunikasi di dalam keluarga
yang terbuka, memberikan dukungan emosional, serta monitoring dan manajemen
emosional (Caprara, Scabini, & Regalia, 2006). Remaja yang mengalami konflik
dengan orangtua rentan terhadap masalah penyesuaian diri, kecemasan, depresi,
perilaku agresif, perilaku antisosial, rendahnya kepercayaan diri, rendahnya efikasi
diri, dan masalah-masalah psikososial lainnya (Qin, Rak, Rana, dkk, 2012; Yeh,
Tsao, & Chen, 2010; ; Gerard, Krishnakumar, & Buehler, 2009; Buehler & Gerard,
2002). Efikasi akademik remaja berhubungan dengan kedekatan emosional
terhadap keluarganya (Bandura, 1997). Konflik yang terjadi di dalam keluarga
menyebabkan orangtua kurang toleran terhadap anak, sehingga anak mudah
mengalami kondisi distres dan berpotensi menumbuhkan perasan tidak bahagia
yang menyebabkan remaja cenderung memiliki efikasi yang rendah.
Stres
Stres didefinisikan sebagai kondisi tekanan atau tuntutan yang dialami
individu agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di
lingkungan (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Stres bersumber dari primary
appraisals, yaitu penilaian terhadap suatu kejadian dan secondary appraisals, yaitu
potensi dalam diri untuk menanggulangi stres (Lazarus & Folkman, 1984).
Stres berarti suatu mekanise fisiologis yang biasanya dialami sebagai
kondisi emosi negatif yang melibatkan perilaku, perubahan neuroendokrin, dan
respons fisiologis akibat penilaian situasi yang dianggap mengancam, bahaya, atau
penuh ketegangan (Lazarus & Folkman, 1984). Konflik yang terjadi di dalam
keluarga menyebabkan remaja kurang mendapatkan dukungan emosional, sehingga
berpengaruh pada tingginya tingkat stres remaja (Auerbach, Bigda-Peyton,
Eberhart, dkk, 2011; Nevid, Rathus, & Greene, 2005; Lazarus & Folkman, 1984).
Konflik yang dirasakan anak berkaitan dengan buruknya strategi coping dalam
menghadapi masalah (Watzlawick, 1967) serta rendahnya efikasi akademik
(Caprara, Scabini, & Regalia, 2006).
Model terapi dalam penelitian ini berfokus pada dinamika kelompok
dalam membantu partisipan menemukan insight terhadap masalah dan saling

3
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

memotivasi menghadapi masalah, serta mengaktualisasikan diantara para klien


(Corey, Corey, & Corey, 2010). Proses ini dilakukan dengan bantuan media
internet, yaitu chatroom. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh Etherapy untuk
meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres remaja yang mengalami
konflik hubungan orangtua-anak.
Metode Penelitian
Variabel
Penelitian ini memiliki tiga variabel, yang terdiri dari satu variabel bebas
yaitu Etherapy berbasis humanistik serta dua variabel tergantung yaitu stres dan
efikasi akademik.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang remaja yang menempuh
pendidikan sekolah menengah pertama (usia 15-18 tahun) yang berdomisili di
wilayah Sleman, Yogyakarta. Kriteria pemilihan partisipan adalah (a) mengalami
konflik dengan orangtua, baik ayah maupun ibu; (b) belum menikah dan secara
finansial masih bergantung dari orangtua; (c) partisipan juga harus memenuhi
kriteria tingkat stres yaitu minimal dalam kategori sedang (skor DASS-21 yaitu 8-
9) dan efikasi akademik dalam kategori minimal sedang (skor skala efikasi
akademik yaitu 13-38).
Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen penelitian yaitu (a)
DASS-21 (n=21 item, α= 0,720) merupakan instrumen yang digunakan untuk
melihat tingkat stres dan merupakan versi ringkas dari DASS-42. (b) Skala efikasi
akademik (n=13 item, α= 0,862) disusun berdasarkan aspek-aspek efikasi diri yang
dikemukakan oleh Bandura (1997) yaitu level, strength, dan generality. (c)
Behavioral checklist berisi indikator perilaku yang menunjukkan kondisi stres dan
rendahnya efikasi akademik.

Pengukuran
Pengukuran yang dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pra observasi,
sebelum dan sesudah intervensi, selama proses intervensi, serta follow-up 2 minggu

4
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

dan 4 minggu. Pengukuran pra observasi merupakan pengukuran yang digunakan


untuk melihat kondisi variabel yang diukur yang berguna sebagai data awal klien.
Pengukuran pra observasi dilakukan 2 kali. Pengukuran pra observasi, sebelum dan
sesudah intervensi, serta follow-up menggunakan skala efikasi akademik, DASS-
21, dan behavioral checklist. Sedangkan, pengukuran selama proses intervensi
hanya menggunakan behavioral checklist.
Desain Penelitian
Penelitian ini menerapkan BAB single-case experiment design (n= 5
partisipan), yaitu diawali dengan pemberian intervensi (fase B1), kemudian
mengganti dengan kondisi baseline (fase A), hingga pemberian intervensi kembali
(fase B2).
Analisis Data
Analisis data menggunakan inspeksi visual, yaitu metode yang digunakan
pada penelitian single-case dengan tujuan untuk melihat perubahan kondisi selama
proses pemberian terapi secara terus menerus dengan melakukan analisis perubahan
level, stabilitas level, serta trend (Sunanto, Takeuchi, & Nakata, 2005; Creswell,
2002; Barlow & Hersen, 1984). Analisis didukung oleh data kualitatif yaitu
rekaman percakapan proses terapi dan wawancara tindak lanjut.
Prosedur Penelitian
1. Uji coba skala efikasi akademik pada remaja dengan karakteristik serupa
dengan partisipan dalam penelitian (n=60). Dari hasil uji coba, jumlah item
yang gugur untuk skala efikasi diri yaitu sebanyak 7 item dari 20 item yang
disusun (rix > 0,3; α =0,862), sehingga jumlah item total skala efikasi
akademik yaitu 13 item. Tabel 1 menunjukkan item skala efikasi akademik
sebelum dan sesudah seleksi, dan tabel 2 menunjukkan kategorisasi skor
skala efikasi akademik berdasarkan norma hipotetik:

Tabel 1: Item Skala Efikasi Akademik Sebelum dan Sesudah Seleksi


Item Sebelum Item Sesudah
No Aspek ∑ ∑
Favorabel Unfavorabel Favorabel Unfavorabel
1 Level 3, 14, 20 1, 15,17 6 3, 10, 13 1, 12 5
2 Generality 2, 18, 19 7, 8, 10, 12 7 2 5, 7, 9 4
3 Strength 4, 6, 11 5, 9, 13, 16 7 4, 8 6, 11 4

5
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Item Sebelum Item Sesudah


No Aspek ∑ ∑
Favorabel Unfavorabel Favorabel Unfavorabel
Jumlah 9 11 20 6 7 13

Tabel 2: Kategorisasi Skor Skala Efikasi Akademik Berdasarkan Norma Hipotetik


Skor Sub Skala Skor Total Skala Kategori
X < (µ-SD) 0-12 Rendah
(µ-SD) ≤ X < (µ+SD) 13-25 Sedang
(µ+SD) ≤ X 26-39 Tinggi
*. µ = (39/2) dan SD= (39/6).
2. Professional judgement modul etherapy humanistik dan checklist yang
dilakukan oleh 2 orang psikolog. Skor pada behavioral checklist
dikategorisasikan sebagai berikut.
Tabel 3: Rentang Kategori Skor Behavioral Checklist
Rumus Rentang Skor Kategori
X < (µ-SD) 0-20 Rendah
(µ-SD) ≤ X < (µ+SD) 21-41 Sedang
(µ+SD) ≤ X 42-63 Tinggi
3. Peneliti melatih seorang terapis dan observer penelitian. Terapis dalam
penelitian ini yaitu psikolog di sebuah Puskesmas di Kabupaten Sleman,
Yogyakarta menguasai teknik psikoterapi humanistik serta terampil
menggunakan media internet dan komputer. Observer adalah seorang
mahasiswa Magister Profesi Psikologi dan telah berpengalaman sebagai
pengamat dalam penelitian serta terampil menggunakan media internet.
4. Uji coba modul dilakukan oleh terapis terhadap 3 orang partisipan yang
memiliki karakteristik serupa dengan partisipan.
5. Seleksi partisipan dilakukan terhadap sejumlah remaja. Proses ini dilakukan
melalui konseling psikologis dan mengukur tingkat stres dan efikasinya.
Dari calon partisipan yang memenuhi kriteria tersebut, kemudian inform
consent dilakukan untuk meminta persetujuan individu untuk terlibat dalam
kegiatan kelompok. Dari hasil seleksi, diperoleh 5 partisipan sebagai
partisipan penelitian.
6. Membangun jalinan kepercayaan (rapport) melalui pertemuan antara
terapis dan partisipan. Panjangnya proses rapport dilakukan selama 4 sesi
pertemuan dengan alokasi waktu 30-45 menit tiap sesinya.

6
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

7. Proses intervensi dilakukan (fase B1) selama 4 sesi yang dilakukan dengan
jarak persesi adalah 3 hari. Alokasi waktu setiap sesi disesuaikan dengan
proses psikoterapi humanistik pada umumnya yaitu 50-60 menit (Rogers,
1959). Setelah fase B1 berakhir, intervensi ditarik dan memasuki fase A,
hingga intervensi diberikan kembali (fase B2). Pada awal memasuki fase B1
dan diakhir fase B2, terapis mengadministrasikan skala efikasi akademik
dan DASS-21. Dalam setiap sesi (fase A dan B), terapis
mengadministrasikan checklist untuk memantau perkembangan partisipan.
Terapi diakhiri dengan tatap muka sebagai bentuk evaluasi dan sharing
proses yang dilakukan dalam penelitian. Dalam sesi terakhir, peneliti
mengadministrasikan kembali skala efikasi akademik dan DASS-21.
Follow-up dilakukan 2 minggu dan 4 minggu setelah proses penelitian
berlangsung.

Hasil Penelitian
Analisis Kuantitatif
Tingkat Stres
Efek pemberian intervensi terapi terhadap variabel tergantung stres pada
masing-masing secara kuantitatif dilihat dari perubahan skor pengukuran sebagai
berikut:
Tabel 4: Perubahan Skor Tingkat Stres Partisipan

Skor tingkat stres pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi


mengalami penurunan dari kategori tinggi menjadi rendah pada kelima partisipan.
Skor pada pengukuran follow up 2 minggu juga relatif stabil, meskipun terjadi
penurunan skor stres pada partisipan Bil dan Al yaitu masing-masing 2 poin. Grafik
perbandingan skor stres pada masing-masing remaja antara pra observasi, sebelum

7
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

intervensi, sesudah intervensi, dan follow-up 2 minggu digambarkan sebagai


berikut.

Stres
40

30

20

10

0
Al Bil Pan Ade Fe

Pra Sebelum Sesudah Follow Up

Gambar 1: Grafik Perubahan Skor Tingkat Stres Partisipan


Efikasi Akademik
Efek pemberian intervensi terapi terhadap variabel tergantung efikasi
akademik pada masing-masing partisipan secara kuantitatif dilihat dari perubahan
skor pengukuran sebagai berikut:
Tabel 5: Perubahan Skor Efikasi Akademik Partisipan

Skor pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi mengalami


peningkatan dari kategori rendah menjadi tinggi pada semua partisipan. Dari data
skor follow-up penelitian, terlihat bahwa masing-masing partisipan mengalami
peningkatan skor. Akan tetapi, peningkatan skor tersebut tidak signifikan dari skor
perolehan pada sesudah intervensi, sehingga masih dikatakan cukup stabil. Grafik
perbandingan skor stres pada masing-masing remaja antara pra observasi, sebelum
intervensi, sesudah intervensi, dan follow-up 2 minggu digambarkan sebagai
berikut.

8
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Efikasi Akademik
40

20

0
Al Bil Pan Ade Fe

Pra Sebelum Sesudah Follow-Up

Gambar 2: Grafik Perubahan Skor Efikasi Akademik Partisipan


Perubahan yang terjadi pada masing-masing partisipan baik pada tingkat stres
maupun efikasi akademik juga didukung oleh data pengukuran behavioral checklist
yang dilakukan secara berkala dalam setiap sesi terapi. Berikut adalah perubahan
skor behavioral checklist pada masing-masing partisipan.

Pengukuran Setiap Sesi


70
60
50
40
30
20
10
0
o1 o2 B1 B2 B3 B4 A1 A2 A3 B5 B6 B7 B8 FU1 FU2
Al 60 61 56 49 41 36 60 60 60 36 30 20 16 15 15
Ade 55 54 50 42 36 29 55 54 55 26 21 21 18 18 17
Fe 53 53 50 43 40 37 53 53 54 31 24 24 23 23 21
Bil 53 53 45 40 32 28 52 53 53 27 15 12 8 7 7
Pan 56 57 52 48 43 38 56 56 56 39 28 23 15 15 15

Al Ade Fe Bil Pan

Gambar 3: Skor Checklist Partisipan Pra Observasi, Fase B 1, Fase A, Fase B 2, dan
Follow-up
Berdasarkan hasil analisis level, terlihat data masing-masing partisipan
selama pra penelitian (o1 dan o2) cenderung stabil. Pada fase intervensi pertama (B1,
B2, B3, dan B4) data cenderung variabel atau tidak stabil, dengan level stabilitas
masing-masing partisipan adalah 50%. Hal ini dapat diartikan bahwa intervensi
memiliki efek terhadap tingkat stres dan efikasi akademik masing-masing
partisipan. Hal ini didukung dengan data perbandingan hasil pengukuran checklist
pada pra penelitian (o1 dan o2) dan fase intervensi pertama, yaitu B1, B2, B3, dan B4,
terlihat bahwa skor masing-masing partisipan pada o1 dan o2 mengalami penurunan
saat memasuki fase intervensi pertama yaitu B1 hingga B4. Penurunan skor ini
berarti adanya penurunan tingkat stres dan peningkatan efikasi akademik partisipan.

9
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh proses terapi terhadap tingkat stres dan
efikasi akademik partisipan.
Lebih lanjut, selama fase pemberhentian sementara intervensi (A1, A2, dan
A3), level stabilitas masing-masing partisipan adalah 100% yang menunjukkan data
cenderung stabil yang menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan pada
tingkat stres dan efikasi akademik masing-masing partisipan.
Memasuki fase intervensi kedua (B5, B6, B7, dan B8), pada masing-masing
partisipan terlihat bahwa level data cenderung variabel atau tidak stabil. Variasi
level beragam mulai dari 0% (pada partisipan Al) hingga 50% (pada partisipan Ade
dan Fe). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi memberikan efek pada
tingkat stres dan efikasi akademik partisipan.
Analisis terhadap trend (kecenderungan arah) dengan menggunakan metode
Split-middle yaitu menggunakan nilai median masing-masing belahan data, terlihat
bahwa trend masing-masing partisipan menunjukkan efek intervensi proses terapi.
Pada pengukuran follow-up terlihat bahwa data masing-masing partisipan
relatif stabil. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa etherapy berbasis
humanistik berpengaruh positif untuk menurunkan tingkat stres dan meningkatkan
efikasi akademik partisipan.

Analisis Kualitatif
Berikut ini adalah bahasan mengenai perubahan pada masing-masing
partisipan selama proses intervensi terapi diberikan.
Partisipan Al
Al mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 20 poin dan efikasi
akademik sebesar 23 poin. Sebelum mengikuti proses terapi, Al dalam menghadapi
masalahnya cenderung menggunakan pola perilaku membangkang dan membantah.
Perilaku ini muncul sebagai bentuk mencari perhatian yang disebabkan perasaan
diabaikan oleh kedua orangtuanya. Selama proses terapi, Al belajar dan
menemukan pemahaman bahwa perilaku membangkang dan membantah ini adalah
bentuk coping stress yang kurang efektif, sebab dengan membangkang dan
membantah, Al hanya akan mendapatkan masalah baru lainnya.

10
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Melalui proses terapi, Al menyadari dan belajar menemukan coping stress


yang lebih efektif. Partisipan Al mampu mengalihkan rasa tidak nyamannya dengan
mencoba memaafkan perilaku orangtuanya dan mengatur jadwal kegiatan sehari-
hari. Dengan belajar memaafkan, Al mampu menciptakan unconditional positif
self-regardnya sendiri. Pengaturan jadwal harian, mengarahkan pencapaian
harapan pribadi. Al merasa setelah mengikuti proses terapi dirinya lebih merasa
rileks yang membantunya lebih mudah berkonsentrasi dalam belajar. Al juga lebih
mudah tidur, sehingga di pagi hari dirinya merasa lebih segar dan bersemangat.
Perubahan ini didukung oleh skor perolehan checklist Al yang menurun 45 poin,
sebagai indikasi menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik.
Partisipan Bil
Bil mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 20 poin dan efikasi
akademik sebesar 30 poin. Bil merasa tidak nyaman saat berada di rumah, sebab
kedua orangtuanya sering bertengkar. Jika sedang marah, orangtua Bil sering turut
memarahinya meskipun Bil tidak melakukan kesalahan. Kondisi ini menyebabkan
Bil memendam rasa marah kepada orangtuanya. Saat memendam masalah, Bil
merasa tidak nyaman karena jantungnya sering berdebar-debar. Selain itu, Bil
mengeluhkan sering pusing dan susah berkonsentrasi saat belajar, terutama saat
berada di rumah.
Saat Bil merasa tidak nyaman di rumah, Bil sering menghabiskan waktu
untuk bermain di luar rumah. Melalui proses terapi, Bil mendapatkan pemahaman
bahwa rasa pusing dan jantung berdebar-debar yang dirasakan Bil selama ini
disebabkan dirinya memendam rasa marah terhadap orangtuanya selama ini.
Perasaan marah partisipan terhadap orangtua menjadi tidak tersalurkan dan
menubuhkan Lack of unconditional positif regard. Melalui proses kelompok, Bil
menyadari perlunya keterbukaan untuk menyatakan perasaan yang dipendamnya
selama ini. Setelah mengikuti proses terapi, Bil menyatakan dirinya lebih banyak
mengabaikan pertengkaran orangtuanya dan menghabiskan waktu belajar di
rumahnya dengan belajar kelompok bersama teman-temannya. Keluhan mudah
pusing dan jantung mudah berdebar-debar yang dirasakan sebelum proses terapi,
dirasakan berkurang selama proses terapi. Perubahan didukung oleh skor checklist
Bil yang menurun 45 poin, yang mengindikasikan menurunnya tingkat stres dan

11
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

meningkatnya efikasi akademik pada Bil. Penurunan pada Bil merupakan


penurunan yang terbesar dibandingkan pada partisipan lainnya. Hal ini disebabkan
tingkat keterlibatan Bil selama proses terapi dan keterbukaan diri Bil untuk
bercerita di dalam kelompok yang tinggi dibandingkan dengan partisipan lainnya.
Partisipan Pan
Pan mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 14 poin dan efikasi
akademik sebesar 25 poin. Pan menceritakan bahwa dirinya merasa kurang
diperhatikan oleh kedua orangtuanya, karena mereka sibuk bekerja. Pan juga sering
menemukan kedua orangtuanya bertengkar di rumah yang membuatnya jenuh
berada di rumah sehingga Pan lebih banyak menghabiskan waktu bermain di luar
hingga larut malam. Sepulangnya ke rumah, Pan dimarahi oleh orangtuanya. Pan
merasa orangtuanya tidak bertanggung jawab terhadap dirinya, karena
mengabaikan dirinya selama ini. Pan merasa kecewa dan marah pada kedua
orangtuanya, tetapi dipendamnya, karena saat Pan menyatakan kekecewaannya,
orangtua justru memarahinya. Pan juga mengeluhkan saat tidur dirinya mudah
terbangun di malam hari, sehingga saat bangun pagi badannya terasa kurang bugar.
Selama proses terapi, Pan belajar untuk memahami bahwa di balik perilaku
orangtuanya yang dianggap mengabaikan dirinya, Pan menyadari orangtuanya
sibuk bekerja agar Pan bisa bersekolah. Meskipun dirinya merasa kecewa dan
marah terhadap perilaku orangtuanya, Bil berusaha memaafkan dan memahaminya.
Dinamika kelompok terapi membantu Pan untuk memandang masalah dengan lebih
optimis dan berfokus pada cita-citanya, yaitu menjadi sukses untuk
membahagiakan orangtuanya yang telah berusaha keras bekerja untuk dirinya
selama ini. Pan berusaha menyusun jadwal harian, sehingga dirinya mampu
mengatur waktu bermain dan belajar. Setelah mengikuti proses terapi, Pan merasa
lebih mudah tidur dan nyenyak dalam tidur, serta lebih bersemangat terutama dalam
belajar. Perubahan didukung oleh skor checklist Pan yang menurun 41 poin.

Partisipan Ade
Ade mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 16 poin dan efikasi
akademik sebesar 23 poin. Ade menceritakan dirinya menyimpan perasaan marah
terhadap ayah yang telah mengabaikan ibu, dirinya, dan saudara-saudaranya.

12
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Selama proses terapi, Ade memahami bahwa dirinya terlalu memikirkan


masalahnya, sehingga mengganggu aktivitasnya, terutama dalam belajar. Ade juga
belajar memaafkan figur ayah dan berfokus pada harapan pribadinya, yaitu
membahagiakan orangtuanya dengan sukses meraih prestasi di sekolah. Melalui
proses terapi, Ade mendapatkan dukungan emosional yang membuat dirinya lebih
bersemangat dan lebih percaya diri. Perubahan dirasakan disambut baik oleh guru-
guru dan beberapa temannya di sekolah, sehingga membuat dirinya semakin
termotivasi dalam belajar. Perubahan didukung oleh skor checklist Ade yang
menurun 37 poin, sebagai indikasi menurunnya tingkat stres dan meningkatnya
efikasi akademik.
Partisipan Fe
Fe mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 10 poin dan efikasi
akademik sebesar 19 poin. Klien menyatakan bahwa dirinya merasa marah terhadap
ayahnya yang dianggap tidak bertanggung jawab kepada keluarga, karena sering
berjudi dan marah di rumah. Fe juga sering dimarahi oleh ayahnya karena kesalahan
kecil, misalnya saat membantah perintah ayahnya. Saat marah, ayah Fe mengumpat
dan menggunakan kata-kata kasar kepadanya. Untuk menghindari ayahnya, Fe
menghabiskan waktu untuk bermain di luar rumah hingga larut malam. Sepulang
dari bermain, klien tetap dimarahi oleh ayahnya. Klien merasa tidak berdaya
melawan ayahnya, sehingga menutupi rasa marahnya dengan keluar dari rumah.
Masalah ini dirasakan klien terus-menerus termasuk saat di sekolah, sehingga
dirinya sukar berkonsentrasi saat belajar.
Selama proses terapi, Fe untuk menerima masalah yang dirasakan dan
menemukan aktivitas yang menunjang proses belajarnya. Fe belajar untuk
memandang masalah sebagai proses untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Fe
merasa lebih lega setelah menceritakan masalahnya di dalam kelompok terapi,
karena sebelumnya dirinya memendam masalah sendiri. Fe menyatakan dirinya
makin bersemangat belajar untuk membahagiakan ibu yang selama ini memberikan
kasih sayang kepadanya. Fe merasa perasaannya lebih nyaman, sehingga dirinya
dapat berkonsentrasi dalam belajar. Terbentuknya perasaan nyaman ini tidak lepas
dari peranan dukungan emosional yang diberikan oleh anggota kelompok yang lain
melalui refleksi empati selama proses terapi berlangsung. Perubahan ini didukung

13
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

oleh skor checklist yang menurun 45 poin, sebagai indikasi menurunnya tingkat
stres dan meningkatnya efikasi akademik pada Ade. Penurunan skor Fe yang lebih
rendah dibandingkan partisipan lain disebabkan tingkat keterlibatan selama proses
terapi dan keterbukaan diri untuk bercerita di dalam kelompok yang cenderung
rendah dibandingkan dengan partisipan lainnya.

Diskusi
Secara umum, etherapy humanistik yang dilaksanakan terbagi dalam empat
tahapan, yaitu self-disclosure, menerima, pemaknaan diri, dan memperdalam.
Dalam tahap self-disclosure, partisipan dipandu untuk mengungkapkan diri dan
masalah yang dirasakannya dan menyadari mengenai pengaruh masalah tersebut
terhadap aktivitasnya sehari-hari serta memahami emosi yang menyertai masalah
tersebut. Selama proses terapi, anggota kelompok terapi terlihat saling memberikan
dukungan emosional dan feedback, sehingga membantu proses penerimaan diri.
Para partisipan di dalam keluarga merasa tidak nyaman, kurang diperhatikan,
sedih, benci, dan tidak berdaya. Perasaan-perasaan seperti ini bervariasi pada
masing-masing partisipan, misalnya pada partisipan Fe yang merasa tidak nyaman
karena sering dimarahi oleh ayahnya dan Al yang merasa benci kepada kedua
orangtuanya karena dirinya merasa dianggap seperti anak tiri. Perasaan seperti ini
dapat menghadirkan conditional positive regard, sehingga mempengaruhi
kehidupan partisipan yang lebih luas, diantaranya sekolah. Pada dasarnya,
partisipan memiliki keingnan yang kuat untuk menyelesaikan masalah yang
dirasakannya selama ini, tetapi belum menemukan cara yang efektif, sehingga
menumbuhkan lack of unconditional positive regard terhadap figur orangtuanya.
Pola penyelesaian masalah pada tiap individu berbeda-beda, misalnya
memendam sendiri. Memendam secara terus-menerus menyebabkan munculnya
rasa tidak nyama, sehingga mengganggu aktivitas partisipan sehari-hari.

14
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Gambar 4: Dinamika Masalah Partisipan


Lebih lanjut, tumpukan perasaan kesal, marah, benci, dan kecewa yang tidak
tersalurkan menyebabkan gejala fisik pada tubuh partisipan, misalnya pada Pan,
ketika merasa jengkel kepada orangtuanya, tubuhnya merasa gemetar dan seperti
mau pingsan. Di sini terlihat hubungan antara masalah yang dirasakan partisipan,
kondisi emosional, dan kondisi fisik partisipan. Gejala yang dirasakan merupakan
indikator perilaku stres secara umum. Lack of unconditional positive regard
membuat partisipan merasa kurang percaya diri dan takut akan kegagalan, serta
melihat peristiwa yang terjadi dari sisi buruk.
Pada masing-masing partisipan, terlihat bahwa tingkat stres berkorelasi
terhadap efikasi akademik. Tingkat stres yang tinggi menandakan rendahnya efiaksi
akademik. Efikasi diri bersumber pertama kali dari keluarga sebagai modal persuasi
sosial bagi individu (Bandura, 1997). Konflik di dalam keluarga dapat menjadi
predikator rendahnya efikasi akademik individu. Rendahnya efikasi akademik
masing-masing partisipan, terlihat dari skala efikasi akademik, yang termainfestasi
dalam perilaku membolos di sekolah, sukar berkonsentrasi, dan rendahnya motivasi
belajar. Dalam hal ini, terlihat hubungan antara konflik yang dirasakan partisipan,
tingkat stres dan rendahnya efikasi diri partisipan di sekolah. Reaksi stres juga
memunculkan beberapa masalah fisik seperti pusing, pingsan, gangguan dalam pola
tidur, dan mudah lelah.
Pendekatan humanistik dalam terapi kelompok berbasis online terlihat efektif
dalam membantu partisipan untuk menurunkan tingkat stres dan meningkatkan
efiaksi akademik. Membangkitkan motivasi dengan menanyakan keinginan pribadi
partisipan saat ini mampu memotivasi partisipan untuk melihat masalah dari
perspektif yang berbeda, yaitu potensi yang ada di dalam dirinya. Partisipan belajar
untuk mengambil manfaat di balik masalah dan menjadikannya bahan pembelajaran
pribadi.
Refleksi empati, penerimaan tanpa syarat di dalam kelompok terapi, serta
saling memberikan dukungan emosional memberikan rasa nyaman, memunculkan
insight, serta menciptakan unconditional positif regard pada klien dalam
menghadapi masalahnya. Terciptanya unconditional positif regard menumbuhkan
rasa berdaya dan nyaman partisipan dalam menghadapi masalahnya. Rasa berdaya

15
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

dan nyaman berkorelasi positif dengan keyakinan akan kemampuan diri sendiri
untuk dapat mencapai harapan-harapan pribadi terutama berkaitan dengan
akademik, sehingga gejala-gejala stres yang terjadi dapat direduksi. Insight yang
diperoleh dari proses kelompok terapi membantu partisipan dalam menemukan
coping stress yang lebih efektif dan potensi diri serta mendukung tercapainya
harapan-harapan pribadi.
Dari perkembangan para partisipan, peneliti melihat adanya perubahan dalam
pola coping stress yang dilakukan oleh para partisipan. Perubahan ke pola yang
lebih adaptif dengan berfokus pada harapan-harapan pribadi menimbulkan efek
positif yaitu menurunnya gejala stres dan meningkatnya efikasi akademik.
Perubahan yang terjadi seperti yang disampaikan oleh partisipan selama proses
terapi didukung oleh data pengukuran skala dan checklist penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel dependen tingkat
stres dan efikasi akademik, yang terlihat dari hasil pengukuran kuantitatif
berdasarkan hasil skala pengukuran. Tingkat stres pada masing-masing partisipan
mengalami penurunan dan efikasi akademik pada masing-masing partisipan
mengalami peningkatan. Berdasarkan analisis kualitatif, partisipan menyatakan
perubahan yang dialami selama proses terapi terlihat cukup signifikan dirasakan
oleh dirinya, misalnya lebih bersemangat dalam belajar dan berkurangnya gejala
fisik yang mengganggu seperti mudah pusing.

Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini sangat tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan. Berikut adalah
keterbatasan penelitian ini.
1. Keterbatasan kemampuan terapis dalam memfasilitasi partisipan sejumlah 5
orang dalam satu sesi kelompok terapi.
2. Keterbatasan yang paling nyata dalam melakukan penelitian menggunakan
desain single-case (jumlah partisipan yang terbatas) adalah tidak dapat
dilakukan generalisasi atas hasil penelitian (Barlow & Hersen, 1984).
3. Keterbatasan yang terdapat pada skala penelitian, yaitu tidak tercantumnya
instruksi terkait rentang waktu yang relevan dengan simtom atau pernyataan

16
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

pada masing-masing item skala DASS-21 dan efikasi akademik. Instruksi ini
secara lisan disampaikan saat terapis memandu pengisian skala, tetapi tidak
tertulis di dalam petunjuk pengisian skala. Hal ini dapat mengancam integritas
penelitian terkait variabel tergantung.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel dependen tingkat
stres dan efikasi diri ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran
kuantitatif berdasarkan data skala efikasi akademik, DASS-21, dan checklist
penelitian. Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
hipotesis penelitian terbukti, yaitu:
E-therapy dapat menurunkan tingkat stres pada remaja yang memiliki konflik
hubungan orangtua-anak.
Etherapy dapat meningkatkan efikasi diri pada remaja yang memiliki konflik
hubungan orangtua-anak.
Saran
Bagi peneliti selanjutnya
1. Peneliti selanjutnya yang ingin melakukan generalisasi hasil penelitian dapat
menggunakan jumlah partisipan yang lebih banyak.
2. Pengukuran tindak lanjut dilakukan dalam jeda yang lebih panjang atau lebih
dari 2 kali pengukuran.
3. Peneliti selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan hal-hal rinci yang dapat
mengancam integritas penelitian, seperti instruksi alat ukur secara tertulis yang
tidak sesuai dengan saat pelaksanaan intervensi.
Bagi praktisi
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan psikologi.
2. Kalangan profesional dapat menerapkan intervensi ini terbatas pada konteks
yang sesuai dengan penelitian.
3. Terapis perlu membekali diri dengan konsep etherapy humanistik secara
menyeluruh, mengikuti tahapan secara runtut, sehingga dapat menjaga
kesinambungan antar sesi.

17
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

4. Terapi dapat dilakukan dengan jumlah sesi yang fleksibel sesuai dengan proses
yang dijalani partisipan.

Daftar Pustaka
Amichai-Hamburger, Y. (Ed.). (2009). Technology and psychological well-being.
Cambridge University Press.
Auerbach, R. P., Bigda-Peyton, J. S., Eberhart, N. K., Webb, C. A., & Ho, M. H.
R. (2011). Conceptualizing the prospective relationship between social
support, stress, and depressive symptoms among adolescents. Journal of
abnormal child psychology, 39(4), 475-487.
Bakar, A., Noh, W., & Arifin, M.Y. (2011). Hubungan Komunikasi Keluarga
Dalam Menangani Konflik Dalam Kalangan Remaja. Jurnal Pengajian
Media Malaysia, 13(1), 73-89.
Bandura, A. (1997). Self‐efficacy. John Wiley & Sons, Inc.

18
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Barlow, D. H., & Hersen, M. (1984). Single case experimental designs. New York:
Pergamon Press.
Baron, J., Bierschwale, D., & Bleiberg, J. R. (2006). Clinical implications of
students' use of online communication for college psychotherapy. Journal of
College Student Psychotherapy, 20(3), 69-77.
Bee, P., Bower, P., Lovell, K., Gilbody, S., Richards, D., Gask, L., & Roach, P.
(2008). Psychotherapy mediated by remote communication technologies: a
meta-analytic review. BMC psychiatry, 8(1), 60-70.
Bosmans, G., Braet, C., Van Leeuwen, K., & Beyers, W. (2006). Do parenting
behaviors predict externalizing behavior in adolescence, or is attachment the
neglected 3rd factor?. Journal of Youth and Adolescence, 35(3), 354-364.
Buehler, C., & Gerard, J.M. (2002). Marital conflict, ineffective parenting, and
children's and adolescents' maladjustment. Journal of Marriage and
Family, 64(1), 78-92.
Buchanan, T., & Smith, J. L. (1999). Using the Internet for psychological research:
Personality testing on the World Wide Web. British Journal of
Psychology, 90(1), 125-144.
Caprara, G. V., Scabini, E., & Regalia, C. (2006). The impact of perceived family
efficacy beliefs on adolescent development. Self-efficacy beliefs of
adolescents, 97-116.
Castelnuovo, G., Gaggioli, A., Mantovani, F., & Riva, G. (2003). From
psychotherapy to e-therapy: the integration of traditional techniques and new
communication tools in clinical settings. CyberPsychology & Behavior, 6(4),
375-382.
Cline, R. J., & Haynes, K. M. (2001). Consumer health information seeking on the
Internet: the state of the art. Health education research, 16(6), 671-692.
Cook, T. D., Campbell, D. T., & Day, A. (1979). Quasi-experimentation: Design
& analysis issues for field settings. Boston: Houghton Mifflin.
Corey, M.S., Corey, G., & Corey, C. (2010). Groups. Belmont, CA: Cengage
Learning.
Corey, G., (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama.

19
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Creswell, J. W. (2002). Educational research: planning, conducting, and


evaluating quantitative & qualitative research. New Jersey: Pearson
Education.
Elgán, T. H., Hansson, H., Zetterlind, U., Kartengren, N., & Leifman, H. (2012).
Design of a Web-based individual coping and alcohol-intervention program
(web-ICAIP) for children of parents with alcohol problems: study protocol
for a randomized controlled trial. BMC public health, 12(1), 35-58.
Faber, A. J., Edwards, A. E., Bauer, K. S., & Wetchler, J. L. (2003). Family
structure: Its effects on adolescent attachment and identity formation. The
American Journal of Family Therapy, 31(4), 243-255.
Finn, J., & Barak, A. (2010). A descriptive study of e-counsellor attitudes, ethics,
and practice. Counselling and Psychotherapy Research, 10(4), 268-277.
Geldard, K., & Geldard, D. (2010). Konseling Remaja; Pendekatan Proaktif untuk
Anak Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gackenbach, J. (Ed.). (2011). Psychology and the Internet: Intrapersonal,
interpersonal, and transpersonal implications. London: Elsevier Academic
Press.
Gerard, J. M., Krishnakumar, A., & Buehler, C. (2006). Marital Conflict, Parent-
Child Relations, and Youth Maladjustment A Longitudinal Investigation of
Spillover Effects. Journal of Family Issues, 27(7), 951-975.
Haug, S., Sedway, J., & Kordy, H. (2008). Group processes and process evaluations
in a new treatment setting: Inpatient group psychotherapy followed by
Internet-chat aftercare groups. International Journal of Group
Psychotherapy, 58(1), 35-53.
Houghton, V. T. (2008). A quantitative study of the effectiveness of mindfulness-
based stress reduction treatment, using an internet-delivered self-help
program, for women with generalized anxiety disorder. United States of
America: UMI Microform.
Juariyah, L. (2011). Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga terhadap Perilaku
Withdrawal Pasangan Suami Istri yang Bekerja. Jurnal Ekonomi Bisnis,
16(1), 53-62.

20
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Kidd, T. T., & Keengwe, J. (2010). Adult Learning in the Digital Age: Perspectives
on Online Technologies and Outcomes. United States of America: IGI Global.
King, R., Bambling, M., Reid, W., & Thomas, I. (2006). Telephone and online
counselling for young people: A naturalistic comparison of session outcome,
session impact and therapeutic alliance. Counselling and Psychotherapy
Research, 6(3), 175-181.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York,
NY: Springer Publishing Company.
Luxton, D. D., McCann, R. A., Bush, N. E., Mishkind, M. C., & Reger, G. M.
(2011). mHealth for mental health: Integrating smartphone technology in
behavioral healthcare. Professional Psychology: Research and Practice,
42(6), 505.
Maltby, J., & Day, L. (2004). Forgiveness and defense style. The Journal of Genetic
Psychology, 165(1), 99-109.
Maples, M. F., & Han, S. (2008). Cybercounseling in the United States and South
Korea: Implications for counseling college students of the millennial
generation and the networked generation. Journal of Counseling &
Development, 86(2), 178-183.
Marks, I. M., Kenwright, M., McDonough, M., Whittaker, M., & Mataix-Cols, D.
(2004). Saving clinicians' time by delegating routine aspects of therapy to a
computer: a randomized controlled trial in phobia/panic disorder.
Psychological medicine, 34(1), 9-18.
Martin, G. W., & Rehm, J. (2012). The Effectiveness of Psychosocial Modalities in
the Treatment of Alcohol Problem in Adults: A Review of the Evidence.
Canadian Journal of Psychiatry, 57(6), 350-358.
Mattison, M. (2012). Social Work Practice in the Digital Age: Therapeutic E-Mail
as a Direct Practice Methodology. Social work, 57(3), 249-258.
Maxwell, S. E., & Delaney, H. D. (2004). Designing experiments and analyzing
data: A model comparison perspective. United States of America: Lawrence
Erlbaum Associates.

21
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Mustanski, B., Lyons, T., & Garcia, S. C. (2011). Internet use and sexual health of
young men who have sex with men: A mixed-methods study.Archives of
Sexual Behavior, 40(2), 289-300.
Naito, A. (2007). Internet suicide in Japan: implications for child and adolescent
mental health. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 12(4), 583-597.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta:
Erlangga.
Niven, N. (2000). Psikologi Kesehatan. Jakarta: EGC.
Pajares, F., & Schunk, D. (2001). The development of academic self-efficacy. San
Diego: Purdue University Academic Press.
Postel, M. G., De Haan, H. A., & De Jong, C. A. (2010). Evaluation of an e-therapy
program for problem drinkers: a pilot study. Substance Use &
Misuse, 45(12), 2059-2075.
Qin, D. B., Rak, E., Rana, M., & Donnellan, M. B. (2012). Parent–child relations
and psychological adjustment among high-achieving Chinese and European
American adolescents. Journal of adolescence, 35(4), 863-873.
Ragusea, A. S., & VandeCreek, L. (2003). Suggestions for the ethical practice of
online psychotherapy. Psychotherapy: Theory, Research, Practice,
Training, 40(1), 94-102.
Reivich K., Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner
Strength and Overcoming Life's Hurdles. London: Broadway Books.
Reynolds, D. A. J., Stiles, W. B., & Grohol, J. M. (2006). An investigation of
session impact and alliance in internet based psychotherapy: Preliminary
results. Counselling and Psychotherapy Research, 6(3), 164-168.
Riva, G. (Ed.). (2004). Cybertherapy: Internet and virtual reality as assessment and
rehabilitation tools for clinical psychology and neuroscience. New York: IOS
Press.
Rogers, Carl. (1959). A Theory of Therapy, Personality and Interpersonal
Relationships as Developed in the Client-centered Framework. In S. Koch
(Eds.), Psychology: A Study of a Science: Formulations of the Person and the
Social Context (pp. 184-256). New York: McGraw Hill.

22
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Rogers, V. L., Griffin, M. Q., Wykle, M. L., & Fitzpatrick, J. J. (2009). Internet
versus face-to-face therapy: Emotional self-disclosure issues for young
adults. Issues in mental health nursing, 30(10), 596-602.
Sánchez-Ortiz, V. C., Munro, C., Stahl, D., House, J., Startup, H., Treasure, J., &
Schmidt, U. (2011). A randomized controlled trial of internet-based
cognitive-behavioural therapy for bulimia nervosa or related disorders in a
student population. Psychological medicine, 41(2), 407-421.
Santrock, J. W. (2003). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup.
Jakarta: Erlangga.
Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell, D. T. (2002). Experimental and quasi-
experimental designs for generalized causal inference. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Skinner, A. E., & Latchford, G. (2006). Attitudes to counselling via the Internet: A
comparison between in-person counselling clients and Internet support group
users. Counselling and Psychotherapy Research, 6(3), 158-163.
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive psychology: the scientific and
practical explorations of human strengths. California: Sage Publications, Inc.
Spek, V., Cuijpers, P. I. M., Nyklícek, I., Riper, H., Keyzer, J., & Pop, V. (2007).
Internet-based cognitive behaviour therapy for symptoms of depression and
anxiety: a meta-analysis. Psychological medicine, 37(3), 319-328.
Stummer, G. (2009). Client contact styles in online therapeutic work via e-
mail. Counselling Psychology Review, 24(2), 14-29.
Stutzman, S. V., Bean, R. A., Miller, R. B., Day, R. D., Feinauer, L. L., Porter, C.
L., & Moore, A. (2011). Marital conflict and adolescent outcomes: A cross-
ethnic group comparison of Latino and European American youth. Children
and Youth Services Review, 33(5), 663-668.
Sunanto, J., Takeuchi, K., & Nakata, H. (2005). Pengantar penelitian dengan
subjek tunggal. Retrieved from http://archive.criced.tsukuba.ac.jp/data/doc/
pdf/2005/10/TEXT.685.pdf.
Tate, D. F., & Zabinski, M. F. (2004). Computer and Internet applications for
psychological treatment: update for clinicians. Journal of clinical
psychology, 60(2), 209-220.

23
Jurnal Pendidikan; Vol. 5, No. 2; Juli 2017
ISSN: 2337-7607; EISSN: 2337-7593

Wang, H., Zhou, X., Lu, C., Wu, J., Deng, X., & Hong, L. (2011). Problematic
internet use in high school students in Guangdong province, China. PloS
one, 6(5), 133-151.
Wangberg, S. C., Gammon, D., & Spitznogle, K. (2007). In the eyes of the beholder:
exploring psychologists' attitudes towards and use of e-therapy in
Norway. Cyber Psychology & Behavior, 10(3), 418-423.
Watzlawick, P., Beavin, J. & Jackson, D. (1967). Family communication and
delinquency. New York: Free Press.
Yeh, K. H., Tsao, W. C., & Chen, W. W. (2010). Parent–child conflict and
psychological maladjustment: A mediational analysis with reciprocal filial
belief and perceived threat. International Journal of Psychology, 45(2), 131-
139.

24
SURAT TUGAS
Nomor : 048/I.3.AU/TGS/2016

Ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sorong,
memberikan tugas kepada:

Nama : Aswendo Dwitantyanov, M.Psi.


Jabatan : Dosen Program Studi PGSD

Untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat yang berjudul “Pelatihan Deteksi Dini
Kelainan Tumbuh Kembang Anak Bagi Kader Posyandu di Aimas Kabupaten Sorong”.

Demikian surat Tugas ini diberikan kepada yang bersangkutan agar dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Dibuat di : Sorong
Pada tanggal : 1 April 2016
Ketua ,

Drs. H. Rustamadji, M.Si.


NIDN. 1201115601
LAPORAN HASIL KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

PELATIHAN DETEKSI DINI KELAINAN


TUMBUH KEMBANG ANAK BAGI KADER POSYANDU
DI AIMAS KABUPATEN SORONG

Oleh :
Aswendo Dwitantyanov, M.Psi., dkk

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


STKIP MUHAMMADIYAH SORONG
TAHUN 2016

1
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh swt atas terselesainya laporan
“ Pelatihan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kembang Anak Bagi Kader Posyandu di
Aimas Kabupaten Sorong“. Sebagai pertanggung jawaban kegiatan INTERNAL yang
didanai oleh LP3M STKIP Muhammadiyah Sorong.
Kegiatan PPM ini dilakukan di Kabupaten Sorong, Aimas, tanggal 15 dan 24
Mei 2016. Perubahan yang diinginkan setelah dilakukan pelatihan ini adalah
peningkatan pengetahuan dan dimilikinya keterampilan dalam mendeteksi kelainan
tumbuh kembang anak.
Terima kasih kami haturkan kepada :
1. Ketua STKIP Muhammadiyah Sorong dan ketua Jurusan Pendidikan Guru
Sekolah Dasar yang telah memberikan fasilitas dan perlengkapan dan dana
untuk pelatihan.
2. Ketua LP3M STKIP Muhammadiyah Sorong yang telah menginjinkan serta
memberikan masukan sehingga kegiatan ini bisa terlaksana.
3. Kepala Desa di Aimas Kabupaten Sorong yang telah memberikan fasilitas dan
tempat latihan.
4. Ibu – ibu peserta pelatihan yang telah mengikuti kegiatan dengan antusias.
5. Teman – teman staf administrasi LP3M STKIP Muhammadiyah Sorong yang
telah membantu.
Akhir kata, kritik dan saran selaku kami harapkan.

Sorong, 24 Juni 2016

Penulis

3
Pelatihan Deteksi Dini Kelainan Tumbuh Kembang Anak bagi Kader Posyandu
Di Aimas Kabupaten Sorong

Oleh
Aswendo Dwitantyanov, Syams Kusumaningrum, Syamsulrizal

ABSTRAK
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan meningkatkan
pengetahuan kader Posyandu tentang tumbuh kembang anak melakukan pelatihan
deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak.
Metode pengabdian kepada masyarakat yang digunakan adalah ceramah, diskusi,
lomba dalam mengerjakan protes dan post-tes, serta praktek deteksi dini kelainan
tumbuh kembang anak di Posyandu. Materi pelatihan mencakup deteksi kelainan
tumbuh kembangan anak tinjauan psikologis – linguistik ( Psikolinguistik ) dan
edukatif, gizi anak dalam masa pertumbuhan, serta pencegahan dan penanggulangan
kelainan tumbuh kembang pada anak. Peserta 20 kader kesehatan Posyandu Aimas di
Kabupaten Sorong. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 15 dan 24 Mei 2016.
Hasil yang diperoleh adalah seluruh peserta menyatakan pelatihan ini sangat
bermanfaat uentuk mengenali secara kelainan tumbuh kembang anak di Posyandu
Model lomba sangat memacu rasa ingin tahu dan antusias peserta.80 % peserta
menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang deteksi dini tumbuh kembang 100 %
peserta bisa melakukan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak di Posyandu

Kata kunci : Deteksi dini, kelainan, tumbuh Kembang Anak

4
BAB I
PENDAHULUAN
Analisis Situasi
Memiliki anak yang sehat, cerdas, berpenampilan menarik (tampan dan cantik),
dan berakhak mulia merupakan harapan setiap keluarga. Agar dapat memiliki anak
yang diidamkan tersebut maka harus diupayakan sejak seorang calon Bapak atau Ibu
memiliki calon pasnagan hidup dengan prinsip bibit, bobot, bebet sekarang semakin
diabaikan.
Untuk mendapatkan anak yang didambakan perlu diperhatikan factor – factor
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan ibunya dan
setelah lahir. Faktor – faktor tersebut adalah faktor genetic /keturunan dan
lingkungan bio- fisiko psiko – sosial. Proses tumbuh kembang merupakan hasil
interaksi factor – factor tersebut
Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas perlu dilakukan
pemantapan terhadap tumbuh kembang anak supaya tidka terjadi kelainan. Ibu
merupakan pengasuh utama anak yang dapat mematui pertumbuhan anak Kader
Posyandu yang melakukan penimbangan anak dan penyuluhan kesehatan pada ibu
setiap bulan, sangat memerlukan pengetahuan tentang deteksi dini kelainan tumbuh
kembang anak.
Untuk mengatasi kelainan tumbuh kembang pada anak, ada beberapa hal
yang dapat dilakukan pasangan suami istri yang belum mememiliki keturunan
dapat melaksanakan berbagai upaya pencegahan, Ibu hamil seyogyanya melakukan
pencegahan dan pemeriksaan terpadu, ibu bersalin sebaiknya di tolong paramedis
terlatih di tempat pelayanan kesehatan, serta perawatan dan pemeliharaan anak –
anak dengan optimal pada fase tumbuh kembang. Jikalau orang tua sudah memiliki
anak dengan kelainan tumbuh kembang, tetap ada beberapa upaya penanganan
sehingga dapat meminimalkan gangguan pada anak serta mencegah kecacatan yang
lebih parah.

5
Pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan di Aimas Kabupaten Sorong,
karena pada penyuluhan kader kesehatan pada tahun 2015 menunjukkan 42,8 %
masalah yang ditanyakan adalah masalah tumbuh kembang anak.

Tinjauan Pustaka
Kelainan atau penyimpangan tumbuh kembang anak dapat dikendalikan sejak
awal. Istilah tumbuh kembang mencakup daua peristiwa yang sifatnya berbeda tetapi
saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan
perkembangan.Pertumbuhan ( growth) berkaitan dnegan masalah perubahan ukuran,
besar, jumlah atau dimensi tingkat sel, organ, maupun individu, yang bisa diukur
dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang, dan keseimbangan metabolic (
retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh ). Perkembangan (development ) adalah
pertambahan kemampuan ( skill) dalam struktur tubuh yang lebih kompleks dalam pola
yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel – sel tubuh, jaringan tubuh,
organ – organ, dan system oragan yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing
– masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual,
dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Artinya, pertumbuhan
mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan
pematangan fungsi organ/individu ( Soetjiningsih, 1998)
Gizi merupakan salah satu factor yang berpengaruh terhadap proses tumbuh
kembang pada anak. Sebalum lahir, anak tergantung pada zat – zat gizi yang terdapat
dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan
kemampuan saluran cerna. Gizi memegang peranan penting dalam tumbuh kembang
anak, dimana kebutuhan anak – anak berbeda dengan kebutuhan orang dewasa, karena
anak – anak masih dalam masa pertumbuhan. Hasil penelitian tentang pertumbuhan
anak Indonesia ( Sunawang, 2002), Menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan
paling gawat terjdi pada anak usia 6-18 bulan. Setelah dianalisis, ternyata penyebab
gagal tumbuh tersebut dapat ditelusuri sejak anak di dalam kandungan ibu/ keadaan

6
gizi ibu saat hamil dan disebabkan pula oleh pola makan bayi serta adanya penyakit
infeksi.
Tumbuh kembang anak yang sudah dimulai sejak bertemunya sperma dan sel
telur sampai dewasa itu mempunyai ciri – ciri tersendiri, proses yang kontinyu sejak
dari mudugah sampai maturitas /dewasa, yang dipengaruhi oleh factor bawaan dan
lingkungan. Ini berarti bawha tumbuh kembang sudah terjadi sejak didalam
kandungan dan setelah kelahiran merupakan suatu masa periode tertentu terdapat
adanya masa percepatan atau masa perlambatan, serta laju tumbuh kembang yang
berlaianan diantara organ – organ. Terdapat 3 periode pertumbuhan cepat adalah
pada masa janin, masa bayi 0 –1 tahun dan masa pubertas. Sedangkan pertumbuhan
organ – organ tubuh mengikuti 4 pola, yaitu pola umum, limfoid, neural dan
reproduksi
Yang mengikuti pertumbuhan pola umum adalah tulang panjang, otot skelat
( pada neonatus 20 –25 % berat badan, setelah dewasa 40 % berat badan ) system
pencernaan, pernafasan, peredaran darah dan volume darah. Perkembangan otak
bersama – sama tulang tengkorak yang melindunginya, mata dan telinga
berlangsung lebih dini. Berat otak waktu lahir 25 % beat otak dewasa, pada umur
2 tahun 75 % dan pada umur 10 tahun sudah 95 % berat otak dewasa. Pertumbuhan
jaringan limfoid agak berbeda dari bagian tubuh lainnya, pertumbuhan mencapai
maksimum sebelum remaja kemudian menurun hingga mencapai ukuran dewasa.
Organ – organ reproduksi mengikuti pola genital, dimana pertumbuhan
lambat pada pra remaja, kemudian disusul pacu tumbuh remaja yang pesat. Pada
masa remaja terjadi perbedaan lebih lanjut pada pertumbuhan tungkai memanjang
dan melebar, pertumbuhan terus berlangsung sampai epifise menutup dan
pertumbuhan tinggi berhenti. Pada anak laki – laki pacu tinggi badan dimulai kira
– kira setahun setelah pembesaran testis dan mencapai puncak pada tahun
berikutnya bila pertumbuhan penis mencapai maksimum dan disertai tumbuhnya
rambut pubis pada stadium 3-3 ( Soetjiningsih, 1998; Roy Meadow & Simon
Newell, 2002)

7
Pada anak perempuan tanda pubertas pada umuumnya adalah pertumbuhan
payudara stadium 2 atau disebut : breast bud” yaitu terdiri dari penonjolan putting
disertai pembesaran areola mamae sekitar umur 8-12 tahun. Haid pertama
( menarche) terjadi pada stadium lanjut dari pubertas dan sangat bervariasi pada
umur berapa masing – masing individu mengalaminya, rata – rata pada unsur 10,5
–15,5 tahun. Hubungan antara “ menarche dan pacu /sport tinggi badan sampai erat,
haid pertama ini pada setiap anak perempuan terjadi bila kecepatan pertumbuhan
tinggi badan mulai menurun. Penjelasan hormonal, bagaimana ini bisa terjadi
belum diketahui. Keadaan ini sering menimbulkan masalah tentang kematangan
yang terlambat dirasakan oleh para remaja perempuan, karena mereka belum “
menarche” padahal dirasakan oleh para remaja perempuan karena mereka merasa
badannya terlalu tinggi. Sedangkan kecemasan yang sering terjadi pada para
remaja laki – laki bila belum tiba pacu tinggi badannya, padahal teman sebaya yang
perempuan sudah mencapainya ( Soetjiningsih, 1998)
Untuk menilai pertumbuhan fisik anak, sering digunakan ukuran
antropometrik yang dibedakan menjadi 2 kelompok yang meliputi.
Tergantung umur
Berat badan ( BB) terhadap umur
Tinggi badan ( TB) terhadap umur
Lingkaran Kepala ( LK) terhadap umur
Lingkran lengan atas ( LLA) terhadap umur
Kesulitan menggunakan cara ini adalah menetapkan umur anak yang tepat,
karena tidak semua anak mempunyai catatan mengenai tanggal lahirnya.
Tidak tergantung umur
BB terhadap TB
LLA terhadap standar atau baku
Lipatan kulit terhadap baku
Kemudian hasil pengukuran antropometrik tersebut dibandingkan dengan suatu
baku tertentu, misalnya NHCS Harvard atau baku nasional. Dengan melihat

8
perbandingan angka dengan baku maka dapat diketahui status gizi anak
tersebut, yang merupakan tolak ukur penilaian pertumbuhan anak menunjukkan
posisi anak pada suatu saat, yaitu pada persentil seberapa untuk suatu ukuran
antropometrik pertumbuhannya, sehingga dapat ditentukan apakah corak/ pola
pertumbuhannya ( I Dewa Nyoman Supariasa, 2001 )
Memiliki anak yang sehat, cerdas, berpenampilan menarik (tampan dan cantik
), dan berakhak mulia merupana harapan setiap keluarga. Agar dapat memiliki anak
yang diidamkan tersebut maka harus diupayakan sejak seorang calon Bapak atau Ibu
memiliki calon pasnagan hidup dengan prinsip bibit, bobot, bebet sekarang semakin
diabaikan.
Untuk mendapatkan anak yang didambakan perlu diperhatikan factor – factor
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan ibunya dan
setelah lahir. Faktor – faktor tersebut adalah factor genetic /keturunan dan
lingkungan bio- fisiko psiko – social. Proses tumbuh kembang merupakan hasil
interaksi factor – factor tersebut
Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas perlu dilakukan
pemantapan terhadap tumbuh kembang anak supaya tidak terjadi kelainan. Ibu
merupakan pengasuh utama anak yang dapat mematui pertumbuhan anak Kader
Posyandu yang melakukan penimbangan anak dan penyuluhan kesehatan pada ibu
setiap bulan, sangat memerlukan pengetahuan tentang deteksi dini kelainan tumbuh
kembang anak.
Untuk mengatasi kelainan tumbuh kembang pada anak, ada beberapa hal
yang dapat dilakukan pasangan suami istri yang belum mememiliki keturunan
dapat melaksanakan berbagai upaya pencegahan, Ibu hamil seyogyanya melakukan
pencegahan dan pemeriksaan terpadu, ibu bersalin sebaiknya di tolong paramedis
terlatih di tempat pelayanan kesehatan, serta perawatan dan pemeliharaan anak –
anak dengan optimal pada fase tumbuh kembang. Jikalau orang tua sudah memiliki
anak dengan kelainan tumbuh kembang, tetap ada beberapa upaya penanganan

9
sehingga dapat meminimalkan gangguan pada anak serta mencegah kecacatan yang
lebih parah.
Pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan karena pada penyuluhan
kader kesehatan pada tahun 2015 menunjukkan 42,8 % masalah yang ditanyakan
adalah masalah tumbuh kembang anak.
Anak yang sehat tentunya baik secara fisik maupun psikologisnya sesuai
dengan perkembangan pada umumnya dan tidak terjadi banyak penyimpangan.
Tumbuh kembang yang normal adalah yang sesuai dengan fase – fase
perkembangannya baik secara fisik maupun psikologisnya. Tumbuh kembang
dalam aspek psikologis tentunya lebih berkaitan dengan perkembangan
kemampuan berpikir atau menularnya kreativitas, daya cipta atau imajinasi,
kemampuan sosialisasinya atau berbahasa, perhatian keberanian dan sebagainya.
Tumbuh kembang dalam aspek psikilogis ini tentunya sejalan dengan pertumbuhan
fisiknya. Oleh karena itu bila tidak sejalan ada permasalahan yang terkait dengan
tumbuh kembang secara psikologis ini. Banyak buku yang dapat kita jadikan
referensi atau bahan bacaan untuk memahami tumbuh kembang dalam aspek
pskilogis ini. Banyak buku yang dapat kita jadikan referensi atau bahan bacaan
untuk memahami tumbuh kembang anak ini terutama buku – buku psikologi anak
ataupun buku psikologi dengan gaya penyampaiannya populer.

Identifikasi dan Rumusan Masalah


Bagaimana meningkatkan pengetahuan ibu – ibu dalam melakukan deteksi dini
kelainan tumbuh kembang anak ?
Bagaimana cara mengembangkan keterampilan ibu – ibu dalam melakukan deteksi
dini tumbuh kembang anak ?
Bagaimana menambah wawasan ibu – ibu dalam hal kemampuan dasar untuk
pencegahan dan penanggulangan kelainan tumbuh kembang anak

10
Tujuan Kegiatan PPM
Meningkatkan pengetahuan ibu – ibu dalam melakukan praktek pola asuh gizi anak
balita melalui kegiatan pelatihan.
Mengembangkan keterampilan ibu – ibu dalam melakukan praktek penyusunan
makanan higienis mengacu pedoman gizi seimbang khususnya pemenuhan
kebutuahn protein menggunakan teknik komplementer zat gizi dan
memanfaatkan pangan lokal melalui pelatihan.
Menambah wawasan ibu – ibu dalam hal kemampuan dasar manajeman curahan
waktu ibu untuk pemeliharaan kesehatan balita dan stimulasi psiko- sosial.

Manfaat Kegiatan PPM


Membantu para ibu agar dapat mendeteksi secara dini kelainan tumbuh kembang
anak baik fisik maupuan psikologis.
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya kelompok anak usia balita.

BAB II

11
METODE KEGIATAN PPM

A. Khalayak Sasaran Kegiatan PPM


Masyarakat Aimas Kabupaten Sorong yang terdiri dari Ibu – ibu kader
Posyandu sejumlah 20 orang.
B. Metode Kegiatan PPM
1. Ceramah tentang kelainan tumbuh kembang anak serta pencegahan dan
penaggulangannya.
2. Diskusi dengan Tanya jawab materi yang telah dipaparan waktu ceramah
3. Lomba dalam mengerjakan pre-test dan post-tes.
C. Langkah – langkah Kegiatan PPM
1. Peserta pelatihan mengerjakan pre- test
2. Peserta pelatihan mendapatkan paparan materi kelainan tumbuh kembang anak.
3. Peserta pelatihan dan permateri melakukan diskusi dengan Tanya jawab
masalah kelainan tumbuh kembang anak.
4. Peserta pelatihan mengerjakan post-tes
5. Peserta pelatihan melakukan pendeteksian kelainan – kelainan tumbuh
kembang anak dengan praktek di Posyandu.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat
1. Faktor Pendukung
a. Minat para ibu – ibu peserta yang cukup besar
b. Pihak pemerintah desa yang menyediakan fasilitas sehingga pelatihan dapat
berjalan dengan baik.
2. Faktor Penghambat
a. Keterbatasan waktu untuk pelatihan karena bertepatan dengan perayaan
hari kemerdekaan RI
b. Usia ibu – ibu peserta pelatihan yang rata – rata sudah 45 tahun di atas.

BAB III

12
PELAKSANAAN KEGAIATAN PPM

A. Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM


a. Materi
Tabel 1. Materi kegiatan pelatihan dan alokasi waktu
N0 Kegiatan
1 Deteksi dini kelainan pertumbuhan fisik anak
2 Deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak ditinjau dari aspek psiko-
linguistik dan edukatif
3 Gizi pada maka dalam masa pertumbuhan
4 Lomba mengerjakan pretes dan post –tes
5 Praktek melakukan deteksi dini tumbuh kembang anak di posyandu

b. Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan diawal dengan pengiriman undangan program
pelatihan kepada 20 kader kesehatan Posyandu di Aimas Kabupaten Sorong.
Semua kader yang diundang hadir dan mengikuti pelatihan mulai dari awal
hingga akhir .
Pada awal ( pembukaan ) dan akhir ( penutupan ) pelatihan menghadirkan
kepala Desa dan staf dari LP3M STKIPM Sorong upaya ini ditujukan agar
kesinambungan program dapat terjaga dengan upaya pengintegrasian dengan
program pembinaan pendidikan anak usia dini dari Dinas yang lain.
Pelatihan yang melibatkan 20 kader kesehatan posyandu tersebut secara
garis besar menunjukkan hal yang menggembirakan yaitu 100 % peserta
merespon positif dalam hal kemanfatan yang sangat tinggi untuk melakukan
deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak. Sedangkan hasil tes baik pre-test
maupun post-test dapat disajikan pada tabel berikut

13
Tabel. 2 Hasil evaluasi pengetahuan tantang tumbuh kembang anak (
pretest dan post-test)
No Katagori Nilai Jumlah peserta persentase
1 Ada peningkatan 16 80 %
2 Tidak ada 4 20 %
peningkatan
Jumlah 20 100 %

Nilai pretest dan post – test menunjukkan perubahan berupa peningkatan nilai
pada 16 orang kader ( 80 %) dan 4 orang kader (20%) tidak menunjukkan
peningkatan nilai sedang praktek pendeteksian kelainan tumbuh kembang anak
dengan mencatat kelainan fisik dan psikis yang ditemukan di KMS yang
dilakukankan para kader di Posyandu dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Table 3. hasil evaluasi ketrampilan kader posyandu dalam mendeteksi


kelainan tumbuh kembang anak
No Katagori nilai Persentase Jumlah peserta
1 Mampu 20 100%
2 Tidak mampu 0 0%
Jumlah 20% 100%

Hasil evaluasi ketrampilan kader Posyandu dalam mendeteksi kelainan tumbuh


kembang anak menunjukkan seluruh kader peserta pelatihan ( 100% ) mampu
melakukannya.

14
Pertanyaan – pertanyaan yang berkembang selama proses pelatihan
adalah :
Bagaimanakah kandungan zat gizi pada makanan yang dihantarkan
Apakah ibu hamil 2 bulan yang minum susu khusus untuk hamil bisa terjadi
keracunan, walaupun susu tersebut belum kadaluarsa.
Bagaimanakah penanganan anak autis yang pindah sekolah sampai 3x, padahal
nilai – nilai pelajarananya baik ?
Bagaimanakah cara mencegah kanker leher rahim ? ) penanya punya riwayat
nikah pada usia 15 tahun, mengalami 3x keguguran, umur 52 tahun dan
masih menstruasi.
Bagaimanakah cara penangganan gerak – gerak reflek pada mata dan bagian
tubuh yang lain ? ( penderitaan ada riwayat trauma kepala dan sudah
diperiksa EEG )
Bagaimanakah cara penangganan alergi ? apakah harus selalu diminum obat
tertentu ?

B. Pembahasan
Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa pelatihan tentang deteksi dini
kelainan tumbuh kembang anak dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan ibu dalam mendeteksi kelainan tumbuh kembang anak. Masih ada 4
orang kader ( 80 %) yang belum menunjukkan peningkatan pengetahuan
setelah pelatihan kemungkinan dukungan pengetahuan umum dan latar belakang
pendidikan mereka belum memadai serta usia mereka sebagian besar sudah 45
tahun ke atas.
Keterampilan seluruh kader Posyandu dalam mendeteksi dini kelainan
tumbuh kembang anak setelah pelatihan cukup memadai untuk dapat mengelola
posyandu. Para kader mampu melakukan pengukuran antropometri anak,
mencatatnya serta menganalisa kurva grafik pertumbuhan anak di KMS. Hal ini

15
merupakan syarat mutlak untuk menjadi seorang kader kesehatan di Posyandu (
Anonim, 2001)
Selain itu para kader juga mampu untuk mengamati kelainan fisik dan psikis
anak dengan mengamati keadaan dan fungsi fisik anak, serta kondisi perkembangan
bahasa dan kecerdasan anak. Kelainan – kelainan yang ditemukan dicatat di KMS
apabila perlu penanganan khusus di konsultasi dengan petugas kesehatan dari
Puskesmas yang membina Posyandu tersebut.
Pada praktek ketrampilan semua kader bisa melakukan pendeteksian tumbuh
kembang anak karena mereka sudah cukup lama mengelola Posyandu dan
dilakukan secara berkelompok. Masing – masing kelompok terdiri 4 orang tiap
orang di meja -IV. Mereka melakukan pendaftaran, penimbangan pencatatan dan
penyuluhan di masing – masing meja. Pada meja IV petugas kesehatan siap
menerima konsultansi anak yang mengalami kelainan kesehatan dan tumbuh
kembang ( Anonim, 2001 )
Kegiatan PPM ini juga menggunakan metode lomba dalam penilaian hasil
pre-test dan post test. Setiap test kemudian dinilai. Hasil perubahan peningkatan
nilai merupakan indikator penentuan juara. Penutupan lomba di akhiri dengan
pemberi hadiah berupa peralatan rumah tangga untuk para Juara.
Adapun hasil diskusi pada pelatihan ini menunjukkan peningkatan
pengetahuan dan respon positif peserta. Dari banyaknya pertanyaan peserta
menunjukan bahwa pengetahuan peserta yang semua belum memadai, namun
setelah mengikuti pelatihan ternyata ada peningkatan kefahaman tentang konsep
kelainan tumbuh kembang anak serta cara pencegahan dan penanggulangannya

16
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Ada peningkatan pengetahuan ibu – ibu kader posyandu tentang deteksi dini
kelainan tumbuh kembang anak, terbukti sebagian besar ibu – ibu peserta
pelatihan mendapatkan nilai post –test lebih tinggi dibanding pre-test.
Keterampilan ibu – ibu peserta pelatihan dalam mendeteksi kelainan tumbuh
kembang anak bertambah terbukti semua peserta mampu melakukan
tumbuh kembang anak kader.
Wawasan ibu – ibi kader peserta pelatihan hal pencegahan dan penanggulangan
kelainan tumbuh kembang anak bertamba terbukti pada diskusi banyak
sekali keinginan tahuan mereka tentang cara pencegahan dan
penanggulangan kelainan tumbuh kembang anak. Baik sebelum maupun
sesudah anak lahir.

SARAN
Perlu dikembangkan pelatihan deteksi dini kelainan tumbuh kembang anak bagi
kader Posyandu di daerah lain, terutama yang pada daerah yang ditemukan
khusus kelainan tumbuh kembang anak.
Pencegahan dan penanggulangan kelainan tumbuh kembang anak dapat
ditingkatkan dengan mengintesifkan program kesehatan di posyandu yang
mendukung seperti pemberian tablet Fe dan Ibu hamil vaksin TT bagi ibu
hamil, pemberian makanan tambahan dan lain sebagainya.

17
TEKNIK MENEMUKENALI ANAK
DALAM HAMBATAN
PERKEMBANGAN

Aswendo Dwitantyanov, M.Psi., Psikolog


BUAH HATI
ORANGTUA
SI MUNGIL

LUCU, SEHAT JASMANI BAGAIMANA


SEHAT ROHANI, KALO TIDAK
BEGITU????
TUMBUH
TUMBUH KEMBANG
ANAK
ANAK
KEMBANG
Senang
Sedih
Bingung
Stres

LALU APA ?
CURHAT
KONSULTASI
APA YACH
MARI AMATI GAMBAR INI !!!!!!
WHAT IS?
MENEMUKENALI

UPAYA PENJARINGAN
KOMPREHENSIF TUMBUH
KEMBANG ????

Hambatan Hambatan
Perilaku Bahasa

Kelainan fisik Kelainan Kelainan


Mental- Akademik
emosional

Hambatan
Interaksi
sosial
MANFAAT
MENEMUKENALI

penyimpangan tumbuh kembang


anak secara dini ????
upaya pencegahan,
upaya stimulasi,
upaya pemulihan (terapi)

Anak tumbuh optimal


Siapa?
Team

Team
MENEMUKENALI

Dokter Anak
Psikolog
Psikiater anak
Orthopedagog
Fisioterapis
Okupasional terapis
Speech therapis
Guru
PROSES MENEMUKENALI

• Menghimpun data kondisi seluruh anak :


dengan instrumen identifikasi
• Menganalisis data dan mengklasifikasi anak
untuk menemukenali
• Mengadakan pertemuan dan konsultasi
• Menyelenggarakan pertemuan kasus (case
conference) mengenai temuan kasus dengan
team
• Menyusun laporan dan merencanakan
program
Skrening dan Identifikasi

Rujukan Ahli

Asesment

Keputusan tim

Perencanaan Program

Evaluasi

Revieu
TEKNIK MENEMUKENALI

• PENGAMATAN/OBSERVASI
• WAWANCARA/INTERVIEU
• TEST
• SKRINING/PEMERIKSAAN
• DLL
Menemukenali????????

• suatu usaha seseorang (orang tua, guru,


maupun tenaga kependidikan lainnya)
• untuk mengetahui apakah seorang anak
mengalami kelainan/penyimpangan
(phisik, intelektual, sosial,
emosional/tingkah laku)
• dalam pertumbuhan/ perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya (anak-anak normal).
Kebutuhan dasar seorang anak

ASAH
ASUH ASIH ( kebutuhan stimulasi
( kebutuhan biomedis) ( kebutuhan emosianal) mental dini)
Tingkat Perkembangan
• 4-6 minggu : tersenyum spontan , dapat mengeluarkan suara 1-
2 minggu kemudian
• 12-16 minggu : menegakkan kepala, tengkurap sendiri ,
menoleh ke arah suara , memegang benda yang ditaruh
ditanggannya , bermain cilukba.
• 20 minggu : meraih benda yang didekatkan kepadanya
• 26 minggu : dapat memindahkan benda dari satu tangan ke
tangan lainnya , duduk dengan bantuan kedua tangannya ke
depan , makan biskuit sendiri.
• 9 – 10 bulan : menunjuk dengan jari , memegang benda dengan
ibu jari dan jari telunjuk, merangkak , bersuara da… da…. .
• 13 - 15 bulan : berjalan tanpa bantuan , mengucapkan kata –
kata tungggal , memasukkan mainan ke dalam cangkir ,
bermain dengan orang lain , minum dari gelas , dan mencoret –
coret.
Gangguan Perkembangan Anak

Retardasi Mental Cerebral Palsy Down Syndrome

Gangguan Penglihatan Gangguan Pendengaran

Gangguan Bahasa Gangguan Perilaku Agresif

Autism
ADD/ADHD

Berkesulitan Belajar
PATOKAN MENEMUKENALI ABK

 ADHD ----kriteria DSM IV harus terdapat 3 gejala :


Hiperaktif, masalah perhatian dan masalah konduksi.
 DETEKSI AUTISM DENGAN CHAT (Checklist Autism
in Toddlers, di atas usia 18 bulan).
 Pervasive Developmental Disorders Screening Test
PDDST - I

 Dilihat dari gejala2 yang muncul sesuai dengan


patokannya
KRITERIA A – MASING-MASING (1) ATAU (2)
(1) Enam atau lebih dari gejala

==============================================================
(1) Enam atau lebih gejala dari kurang perhatian atau konsentrasi yang tampak paling
sedikit 6 bulan terakhir pada tingkat maladaptive dan tidak konsisten dalam perkembangan

INATTENTION
a. Sering gagal dalam memberi perhatian secara erat secara jelas atau membuat kesalahan
yang tidak terkontrol dalam : sekolah, bekerja dan aktifitas lainnya
b. Sering mengalami kesulitan menjaga perhatian/ konsentrasi dalam menerima tugas atau
aktifitas bermain.
c. Sering kelihatan tidak mendengarkan ketika berbicara secara laangsung : Menyelesaikan
pekerjaan rumah, Pekerjaan atau tugasnya, Mengerjakan perkerjaan rumah (bukan karena
perilaku melawan) dan Gagal untuk mengerti perintah
d. Sering kesulitan mengatur tugas dan kegiatan
e. Sering menghindar, tidak senang atau enggan mengerjakan tugas yang membutuhkan
usaha (seperti pekerjaan sekolah atau perkerjaan rumah)
f. Sering kehilangan suatu yang dibutuhkan untuk tugas atau kegiatan ( permainan, tugas
sekolah, pensil, buku dan alat sekolah lainnya ’
g. Sering mudah mengalihkan perhatian dari rangsangan dari luar yang tidak berkaitan
h. Sering melupakan tugas atau kegiatan sehari-hari
(2) Enam atau lebih gejala dari hiperaktivitas/impulsifitas yang menetap dalam 6
bulan terakhir
HIPERAKTIFITAS
a. Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat dalam tempat
duduk
b. Ser ing meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain yang
mengharuskan tetap duduk.
c. Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang
tidak seharusnya (pada dewasa atau remaja biasanya terbatas dalam keadaan
perasaan tertentu atau kelelahan )
d. Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya dengan tenang.
e. Sering berperilaku seperti mengendarai motor
f. Sering berbicara berlebihan
IMPULSIF
a.Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab pertanyaan sebelum
pertanyaannya selesai.
b. Sering sulit menunggu giliran atau antrian
c. Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya dalam
percakapan atau permainan).
KRITERIA
KRITERIA B: Gejala hiperaktif-impulsif yang disebabkan
gangguan sebelum usia 7 tahun.
KRITERIA C : Beberapa gangguan yang menimbulkan gejala
tampak dalam sedikitnya 2 atau lebih situasi ( misalnya di kelas,
di permainan atau di rumah )
KRITERIA D : Harus terdapat pengalaman manifestasi bermakna
secara jelas mengganggu kehidupan sosial, akademik, atau
pekerjaan )
KRITERIA E : Gejala tidak terjadi sendiri selama perjalanan
penyakit dari Pervasive Developmental Disorder, Schizophrenia,
atau gangguan psikotik dan dari gangguan mental lainnya
(Gangguian Perasaan, Gangguan kecemasan, Gangguan
Disosiatif atau gangguan kepribadian)
DETEKSI AUTISM DENGAN CHAT
(Checklist Autism in Toddlers, di atas usia 18 bulan).
BAGIAN A
Alo - anamnesis (keterangan yang ditanyakan dokter dan diberikan oleh
orang tua atau orang lain yang biasa mengasuhnya)
• Senang diayun-ayun atau diguncang guncang naik-turun (bounced) di
lutut ? Ya/Tidak
• Tertarik (memperhatikan) anak lain ? Ya/Tidak
• Suka memanjat benda-benda, seperti mamanjat tangga ? Ya/Tidak
• Bisa bermain cilukba, petak umpet ? Ya/Tidak
• Pernah bermain seolah-olah membuat secangkir teh menggunakan
mainan berbentuk cangkir dan teko, atau permainan lain ? Ya/Tidak
• Pernah menunjuk atau menerima sesuatu dengan menunjukkan jari ?
Ya/Tidak
• Pernah menggunakan jari untuk menunjuk ke sesuatu agar anda
melihat ke sana ? Ya/Tidak
• Dapat bermain dengan mainan yang kecil (mobil mainan atau balok-
balok) ? Ya/Tidak
• Pernah memberikan suatu benda untuk menunjukkan sesuatu ?
Ya/Tidak
LANJUTAN
BAGIAN B. Pengamatan
• Selama pemeriksaan apakah anak menatap (kontak mata dengan)
pemeriksa ? Ya/Tidak
• Usahakan menarik perhatian anak, kemudian pemeriksa
menunjuk sesuatu di ruangan pemeriksaan sambil mengatakan :
"Lihat, itu. Ada bola (atau mainan lain)" Perhatikan mata anak,
apakah anak melihat ke benda yang ditunjuk. Bukan melihat
tangan pemeriksa. Ya/Tidak
• Usahakan menarik perhatian anak, berikan mainan gelas /
cangkir dan teko. Katakan pada anak anda : "Apakah kamu bisa
membuatkan secangkir susu untuk mama ?" Diharapkan anak
seolah-olah membuat minuman, mengaduk, menuang, meminum.
Atau anak mampu bermain seolah-olah menghidangkan
makanan, minuman, bercocok tanam, menyapu, mengepel dll.
Ya/Tidak
• Tanyakan pada anak : " Coba tunjukkan mana 'anu' (nama benda
yang dikenal anak dan ada disekitar kita). Apakah anak
menunjukkan dengan jarinya ? Atau sambil menatap wajah anda
ketika menunjuk ke suatu benda ? Ya/Tidak
• Dapatkah anak anda menyusun kubus / balok menjadi suatu
menara ? Ya/Tidak
DSM IV: Kriteria Diagnosis untuk Gangguan Autistik
Enam atau lebih gejala dari (1), (2), and (3), dengan paling sedikit 2
dari (1) dan 1 dari masing-masing (2) and (3)

• Gangguan kualitatif interaksi sosial, yang terlihat sebagai


paling sedikit 2 dari gejala berikut:
1.1.Gangguan yang jelas dalam perilaku non-verbal
(perilaku yang dilakukan tanpa bicara) misalnya kontak
mata, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan mimik untuk
mengatur interaksi sosial.
1.2.Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara
yang sesuai.
1.3.Tidak berbagi kesenangan, minat, atau kemampuan
mencapai sesuatu hal dengan orang lain, misalnya tidak
memperlihatkan mainan pada orang tua, tidak menunjuk
ke suatu benda yang menarik, tidak berbagi kesenangan
dengan orang tua.
1.4.Kurangnya interaksi sosial timbal balik.Misalnya: tidak
berpartisipasi aktif dalam bermain, lebih senang bermain
sendiri.
• Gangguan kualitatif komunikasi yang terlihat
paling tidak satu dari gejala berikut:
2.1.Keterlambatan atau belum dapat
mengucapkan kata-kata berbicara, tanpa
disertai usaha kompensasi dengan cara lain
misalnya mimik dan bahasa tubuh.
2.2.Bila dapat berbicara, terlihat gangguan
kesanggupan memulai atau mempertahankan
komunikasi dengan orang lain.
2.3.Penggunaan bahasa yang stereotipik dan
berulang, atau bahasa yang tidak dapat
dimengerti.
2.4.Tidak adanya cara bermain yang bervariasi
dan spontan, atau bermain meniru secara sosial
yang sesuai dengan umur perkembangannya.
• Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas,
berulang dan tidak berubah (stereotipik), yang
ditunjukkan dengan adanya 2 dari gejala berikut:
3.1.Minat yang terbatas, stereotipik dan menetap
dan abnormal dalam intensitas dan fokus.
3.2.Keterikatan pada ritual yang spesifik tetapi
tidak fungsional secara kaku dan tidak fleksibel.
3.3.Gerakan motorik yang streotipik dan berulang,
misalnya flapping tangan dan jari, gerakan tubuh
yang kompleks.
3.4.Preokupasi terhadap bagian dari benda.
Pervasive Developmental Disorders
Screening Test PDDST- I
PDDST-II adalah salah satu alat skrening yang telah dikembangkan oleh
Siegel B. dari Pervasive Developmental Disorders Clinic and Laboratory,
Amerika Serikat sejak tahun 1997. Beberapa penelitian menunjukkan hasil
yang cukup baik sebagai alat bantu diagnosis atau skrening Autis.
Skrening dilakukan pada umur 12-18 bulan
• Apakah bayi anda sering terlihat bosan atau tidak berminat terhadap
pembicaraan atau suatu aktivitas di sekitarnya?
• Apakah anak anda sering mengerjakan suatu pekerjaan atau bermain
dengan suatu benda, yang dilakukannya berulang-ulang dalam waktu
yang lama, sehingga anda merasa heran mengapa anak seumurnya dapat
berkonsentrasi sangat baik?
• Apakah anda memperhatikan bahwa anak anda dapat sangat awas
terhadap suara tertentu misalnya iklan di TV, tetapi seperti tidak
mendengar suara lain yang sama kerasnya, bahkan tidak menoleh bila
dipanggil?
• Apakah anda merasa bahwa perkembangan anak (selain perkembangan
kemampuan berbicara) agak lambat (misalnya terlambat berjalan)?
• Apakah anak anda hanya bermain dengan satu atau dua mainan yang
disukainya saja hampir sepanjang waktunya, atau tidak berminat terhadap
mainan?
• Apakah anak anda sangat menyukai maraba suatu benda secara aneh,
misalnya meraba-raba berbagai tekstur seperti karpet atau sutera?
Perilaku Agresif
• Mencuri tanpa menyerang korban lebih dari satu kali
• Kabur dari rumah semalam paling tidak dua kali
selamatinggal di rumah orangtua
• Sering berbohong
• Dengan sengaja melakukan pembakaran
• Sering bolos sekolah
• Memasuki rumah, kantor, mobil, orang lain tanpa izin
• Mengonarkan milik orang lain dengan sengaja
• Menyiksa binatang
• Memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual
• Menggunakan senjata lebih dari satu kali dalam perkelahian
• Sering memulai berkelahi
• Mencuri dengan menyerang korban
• Menyiksa orang lain
Hiperaktivitas (aktivitas yang amat berlebihan) dapat
diidentifikasi dengan mengamati tingkah laku
• Tidak bisa diam, ada saja bagian tubuhnya yang
bergerak, goyang-goyang kaki, meremas
tangan, mengetuk-ngetuk jari ke atas meja dan
lain-lain.
• Di kelas sering jalan-jalan, menengok ke kiri-
kanan.
• Sering berlari-lari, memanjat, meloncat-loncat
atau bergerak berlebihan.
• Tidak tahan bermain atau melakukan kegiatan
yang tenang seperti membaca buku, main
halma, menyusun balok bangunan atau merakit.
• Sering banyak bicara secara berlebihan.
Gangguan hiperaktivitas kekurangmampuan
menahan diri bentuk tingkah laku diri

• Cepat menjawab padahal pertanyaannya belum selesai.


• Langsung mengerjakan sesuatu padahal instruksi atau
penjelasannya belum tuntas diberikan.
• Sulit menunggu giliran
• Suka memotong pembicaraan
• Menyela atau langsung ikut dalam kegiatan orang lain
tanpa permisi.
• Tidak tahan menghadapi kesulitan atau frustrasi
• Kadang kala suasana hatinya mudah berubah, mudah
marah meledak-ledak atau bertindak agresif.
GANGGUAN GAGAP
• Dalam kelancaran dan pola waktu bicara, yang ditandai
dengan kemunculan yang cukup sering pada :
pengulangan suara atau suku kata, perpanjangan suara,
penambahan, pengucapan kata yang rusak, terhambat
atau terdiam yang terdengar maupun tidak, mengganti
kata untuk menghindari kata-kata yang sulit diucapkan,
kata-kata yang dikeluarkan menyebabkan terjadinya
ketegangan fisik, dan pengulangan satu suku kata.

• Gangguan kelancaran mempengaruhi pencapaian


kemampuan akademis atau keterampilan lain, maupun
komunikasi sosial individu.

• Jika disertai dengan keterlambatan gangguan motoris


atau sensoris saat bicara maka kesulitan bicara tersebut
merupakan dampak sertaan yang berhubungan dengan
masalah.
GANGGUAN PENGLIHATAN
.
• Mengalami iritasi mata kronis, seperti mata berair, lingkaran mata
merah, mata bengkak.
• Mual, penglihatan ganda, kabur selama membaca.
• Menggosok-gosokkan mata, mengerutkan dahi, atau mengubah raut
muka ketika melihat objek yang berjarak.
• Memiliki sikap hati-hati yang berlebihan dalam berjalan, jarang
berlari, dan terhuyung-huyung untuk alasan yang tidak nyata.
• Secara abnormal tidak memperhatikan papan tulis, grafik di dinding
atau peta.
• Mengeluh bahwa penglihatannya kabut dan berusaha untuk
menghilangkan halangan visual.
• Gelisah berlebihan, lekas marah, dan gugup ketika mengikuti tugas
visual yang berlangsung lama.
• Mengedipkan mata secara berlebihan, terutama selama membaca.
• Kebiasaan memegang buku dengan jarak yang sangat dekat, sangat
jauh atau dalam posisi yang tidak biasa ketika membaca.
• Memiringkan kepala ke satu sisi ketika membaca.
GANGGUAN PENDENGARAN
• Mendengarkan televisi atau radio dengan volume suara yang
lebih tinggi daripada anak lain
• Duduk sangat dekat dengan televisi ketika volume cukup
memadai untuk didengar oleh anak lain dalam ruangan yang
sama
• Meminta ulang hal-hal yang sudah dijelaskan
• Mempunyai kesulitan dalam tugas atau kegiatan sekolah
• Mempunyai masalah dalam bicara dan bahasa
• Memperlihatkan perilaku yang buruk
• Tidak perhatian
• Mengeluh sulit mendengar atau merasa telinganya terhalang.
BERKESULITAN BELAJAR

• Gangguan akademis, yang mencakup kesulitan dalam


membaca, menulis dan berhitung,
• Gangguan nonsymbolic (bukan lambang), yaitu kesulitan
dalam proses mengenal kembali, menghubungkan
pengetahuan baru dengan pengalaman yang lampau, atau
ketidakmampuan memanfaatkan hasil pengamatan, dan
• Gangguan symbolic (gangguan linguistik), dimana anak
mampu mendengar tapi tidak mengerti apa yang dikatakan
orang lain, atau anak yang tidak mampu mengaitkan
pengertian obyek yang dilihatnya ataupun anak yang
mengalami kesulitan dalam menyuarakan pengertian atau
menyatakan maksudnya dengan suatu isyarat.
ANAK BERBAKAT
KARAKTERISTIK Perilaku Positif Perilaku Negatif
Belajar dengan cepat dan Mengingat dan menguasai fakta- Mudah bosan, suka
mudah fakta dasar secara cepat mengganggu anak lain
Membaca secara intensif Membaca banyak buku dan Menolak tanggung jawab
menggunakan perpustakaan orang lain
sendiri
Perbendaharaan kata Mengkomunikasikan ide-idenya Menimbulkan kemarahan
sangat maju baik sekali
Tetap menjaga banyak Siap mengingat dan merespon Memonopoli diskusi
informasi
Rentang perhatiannya Komitmen tinggi terhadap tugas Bertahan dengan kegiatan
sangat lama atau proyek rutin kelas, tidak suka
diganggau
Memiliki keingintahuan Suka bertanya, dan puas dengan Terus gampang marah
yang tinggi, punya ide-ideanya
banyak minat
Bekerja mandiri Menciptakan dan menemukan di Menolak kerja dengan
luar tugas yang diberikan orang lain
KARAKTERISTIK Perilaku Positif Perilaku Negatif

Memiliki rasa humor Mampu mentertawakan dirinya Membuat joke yang kejam
sendiri atau trick terhadap orang
lain
Memahami dan Mampu memecahkan problem- Melakukan intervensi
mengenal hubungan problem sosial orang lain

Prestasi akademik tinggi Mengerjakan tugas sekolah Sombonga, tidak sabar


dengan baik terhadap lain.
Lancar dlm ekspresi Kuat di bidang verbal dan angka- Mengarahkan teman
verbal angka; mengarahkan teman sebaya dengan cara-cara
sebaya dengan cara-cara positif negatif

Individualistik Memiliki teman sedikit; memiliki Bertahan terhadap apa


rasa keunikan sendiri yang diyakini

Memiliki dorongan diri Menghendaki arah dan bantuan Agresif dan menantang
yang kuat guru yang minimal orang lain.
Menemukenali masalah mental emosional pada
anak pra sekolah usia 36 bulan – 72 bulan
• Apakah anak seringkali terlihat marah tanpa sebab yang jelas?
(seperti banyak menangis, mudah tersinggung atau bereaksi
berlebihan terhadap hal-hal yang sudah biasa dihadapinya)
• Apakah anak tampak menghindar dari teman-teman atau anggota
keluarganya? (seperti ingin merasa sendirian, menyendiri atau
merasa sedih sepanjang waktu, kehilangan minat terhadap hal-hal
yang biasa sangat dinikmati)
• Apakah anak terlihat berperilaku merusak dan menentang terhadap
lingkungan di sekitarnya? (seperti melanggar peraturan yang ada,
mencuri, seringkali melakukan perbuatan yang berbahaya bagi
dirinya atau menyiksa binatang atau anak-anak lainnya)
• Apakah anak memperlihatkan adanya perasaan ketakutan atau
kecemasan berlebihan yang tidak dapat dijelaskan asalnya dan tidak
sebanding dengan anak lain seusianya?
• Apakah anak mengalami keterbatasan oleh karena adanya
konsentrasi yang buruk atau mudah teralih perhatiannya, sehingga
mengalami penurunan dalam aktifitas sehari-hari atau prestasi
belajarnya?
• Apakah anak memperlihatkan adanya perasaan ketakutan atau
kecemasan berlebihan yang tidak dapat dijelaskan asalnya dan tidak
sebanding dengan anak lain seusianya?
Lanjutan
• Apakah anak mengalami keterbatasan oleh karena adanya
konsentrasi yang buruk atau mudah teralih perhatiannya, sehingga
mengalami penurunan dalam aktifitas sehari-hari atau prestasi
belajarnya?
• Apakah anak menunjukkan perilaku kebingungan sehingga
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan membuat keputusan?
• Apakah anak menunjukkan adanya perubahan pola tidur? (seperti
sulit tidur sepanjang waktu, terjaga sepanjang hari, sering terbangun
di waktu tidur malam oleh karena mimpi buruk, mengigau)
• Apakah anak mengalami perubahan pola makan? (seperti kehilangan
nafsu makan, makan berlebihan atau tidak mau makan sama sekali)
• Apakah anak seringkali mengeluh sakit kepala, sakit perut atau
keluhan-keluhan fisik lainnya?
• Apakah anak seringkali mengeluh putus asa atau berkeinginan untuk
mengakhiri hidupnya?
• Apakah anak menunjukkan adanya kemunduran perilaku atau
kemampuan yang sudah dimilikinya? (seperti mengompol kembali,
menghisap jempol, atau tidak mau berpisah dengan
orangtua/pengasuh)
• Apakah anak melakukan perbuatan yang berulang-ulang tanpa alasan
yang jelas?
Interpretasi
Bila ada jawaban ya, maka kemungkinan anak
mengalami masalah mental emosional.
Bila jawaban ya hanya 1 : bisa dilakukan
konseling dengan orangtua tentang
perkembangan, kemudian diamati selama 3
bulan ada perubahan atau tidak jika tidak perlu
dirujuk ke ahli kesehatan jiwa/tumbuh kembang
anak
Bila jawaban ya 2 atau lebih : rujuk ke rumah
sakit yang ada psikiater atau tumbuh kembang
anak. Sertakan hasil pengisian yang telah
dilakukan,
Gangguan Pusat Perhatian/Gangguan Pusat
Perhatian Hiperaktif (GPP/GPPH)
• Gagal memberikan perhatian sesuatu yang detail, atau
kurang teliti dalam bekerja, mengerjakan tugas sekolah atau
tugas lainnya.
• Mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian dalam
suatu tugas atau permainan
• Seakan tidak mendengar ketika dipanggil atau diajak
berbicara
• Tidak mengikuti instruksi dan gagal dalam menyelesaikan
tugas-tugas sekolah atau sutau pekerjaan (bukan dalam arti
bersikap melawan atau tidak memahami instruksi)
• Mengalami kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktifitas
• Menghindari tidak suka atau malas untuk tugas yang
memerlukan pengendalian diri (misal : dalam mengerjakan
pekerjaan sekolah atau pekerjaan rumah)
• Kehilangan alat-alat untuk mengerjakan tugas atau aktifitas
(misal : buku, mainan, peralatan dll)
Beda Aktif Vs Hiperaktif
Anak aktif memiliki kecenderungan menjadi
anak cerdas. Sedangkan si hiperaktif
menunjukkan adanya disfungsi neurologis
Anak yang hanya sekadar aktif, pada otaknya
tidak terdapat gangguan. Hanya saja energi
yang terkumpul berlimpah dan si kecil
berkeinginan untuk selalu bergerak sehingga ia
mempunyai mobilitas yang cukup tinggi
dibandingkan anak lain.
Secara kasat mata anak aktif dan hiperaktif
memiliki kesamaan perilaku, padahal kalau ditilik
lebih lanjut ada perbedaannya
Anak Aktif
• Fokus (perhatian kuat) : Anak aktif memiliki
kemampuan kuat untuk memfokuskan
perhatian. Ketika bermain pasel misalnya, anak
aktif cenderung melakukan problem solving
dengan baik.
• Lebih penurut : Sikap menentang pada anak
aktif tidak sekuat pada anak hiperaktif. Ia masih
bisa diberi tahu dan dapat mematuhinya dengan
lebih baik
• Konstruktif : Ketika diberikan mainan, pasel
umpamanya, si aktif akan berusaha melakukan
hal sesuai permintaan
Lanjutan
• Ada waktu lelah : Anak aktif umumnya memiliki
batas mobilitas. Ketika merasa lelah, dia akan
menghentikan kegiatannya dan beristirahat.
• Lebih sabar : Anak aktif punya kesabaran yang
lebih tinggi dibandingkan anak hiperaktif. Ketika
menyelesaikan pasel misalnya, anak aktif
berusaha dengan keras dan sabar untuk
menyelesaikan tugasnya hingga tuntas.
• Intelektualitas tinggi : Umumnya, anak aktif
punya kecenderungan menjadi anak cerdas. Ia
memiliki tenaga, rasa ingin tahu, dan kesempatan
yang lebih besar untuk mengetahui hal-hal baru.
Ciri secara umum anak hiperaktif
• Tidak Fokus : Anak dengan gangguan hiperaktivitas
tidak bisa berkonsentrasi lebih dari lima menit.
Dengan kata lain, ia tidak bisa diam dalam waktu lama
dan mudah teralihkan perhatiannya kepada hal lain
• Menentang : Anak dengan gangguan hiperaktivitas
umumnya memiliki sikap penentang/pembangkang
atau tidak mau dinasehati.
• Destruktif : Perilakunya bersifat destruktif atau
merusak. Ketika menyusun lego misalnya, anak aktif
akan menyelesaikannya dengan baik sampai lego
tersusun rapi. Sebaliknya anak hiperaktif bukan
menyelesaikannya malah menghancurkan mainan
lego yang sudah tersusun rapi
Lanjutan……………
• Tak kenal lelah : Anak dengan gangguan
hiperaktivitas sering tidak menunjukkan sikap lelah.
Sepanjang hari dia akan selalu bergerak ke sana
kemari, lompat, lari, berguling, dan sebagainya.
• Tanpa tujuan : Semua aktivitas dilakukan tanpa
tujuan jelas. Kalau anak aktif, ketika naik ke atas
kursi punya tujuan, misalnya ingin mengambil
mainan atau bermain peran sebagai Superman.
• Tidak sabar dan usil : Yang bersangkutan juga
tidak memiliki sifat sabar. Ketika bermain dia tidak
mau menunggu giliran.
• Intelektualitas rendah : Seringkali intelektualitas
anak dengan gangguan hiperaktivitas berada di
bawah rata-rata anak normal.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001. Pedoman Penimbangan Balita di Posyandu, Depkes RI, Jakarta


I Dewa Nyoman Supariasa, 2001. Penilaian Status Gizi, Penerbit Buku Kedokteran
EGC,
Jakarta.

Roy Meadow & Simon Newll., 2002, Lecture Notes Pediatrica, Penerbit Erlangga,
Jakarta

Soetjiningsih, 1998. Tumbuh Kembang Anak Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

18

Anda mungkin juga menyukai