Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR

CARA PENANGANAN DAN PEMBERIAN OBAT

PADA HEWAN PERCOBAAN

Jumat, 17 Maret 2017

Kelompok I

Shift C / 07.00 – 10.00

Deka aulia Septa 260110160083 Teori Dasar


Frita Karisma 260110160088 Pembahasan
Luthfia Azzahra 260110160098 Tujuan dan Prosedur
Gita Dwi Lestari 260110160099 Alat, Bahan, dan Editor
Atharia Refi 260110160102 Pembahasan
Praditya Alfatan 260110160106 Teori Dasar
Lupita Churry Aini 260110160107 Kesimpulan
Ismi Khairunnisa 260110160114 Data Pengamatan
Gita Widi 260110160117 Data Pengamatan
Michelle Ferdinand 260110160119 Prinsip

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DASAR


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017

Nilai TTD
I. Tujuan

1. Mengetahui dan mampu menangani hewan untuk percobaan farmakologi secara


baik.

2. Mengetahui sifat-sifat hewan percobaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi


responnya.

3. Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian serta


pengaruhnya terhadap efek yang ditimbulkan.

II. Prinsip

1. Percobaan Farmakologi

Percobaan yang mempelajari efek dari senyawa kimia pada jaringan hidup
(Kee dan Evelyn, 1996).

2. Rute Pemberian obat

Rute pemberian obat yanng sering yaitu berasal dari absopsi adalah oral
(melalui mulut); cairan, suspensi, pil, tablet, atau kapsul; sublingual (di bawah
lidah untuk absorpsi vena); bukal (antara gusi dan pipi); topikal (dipakai pada
kulit); inhalasi (semprot aerosol); instilasi (pada hidung, mata, telinga, rektum,
atau vagina); dan empat rute parental yaitu intrsdermal, subkutan, intramuskular
dan intravena. (Kee dan Evelyn, 1996).

3. Penentuan dosis

Dosis yang benar adalah dosis yang diresepkan untuk klient tertentu dalam
batas yang direkomendasikan untuk obat yang bersangkutan(Kee dan Evelyn,
1996).

4. Pemilihan hewan
Hewan yang dipakai sebagai model suatu laboratorium medis merupakan
suatu modal dasar yang mutlak dalam berbagai penelitian dengan syarat anara lain
persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
penggolongannya, faktor ekonomis, ketersediaan dipasaran dan mampu
memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono,
1987).

III. Teori Dasar

Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana


faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang
terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu

1. Hewan liar.

2. Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.

3. Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistim barrier (tertutup). Hewan yang bebas sama sekali dari benih
kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem isolator Sudah barang tentu
penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan macam
percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan,
semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian,
apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya
akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah maupun
hewan yang bebas kuman (Sulaksono, 1987).

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang


kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai
model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan- persyaratan
tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang memadai
dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh,
serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia
(Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis
anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim
dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal
ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam
waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Memilih rute
penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik

b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya
lama

c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus

d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui


bermacam-macam rute (Katzug, 1989).

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan


besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula
kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat
secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat beredar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang bekerja
setempat misalnya salep. Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:

a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal

b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan

c. Inhalasi langsung ke dalam paru-paru.


Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:

a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung,


telinga

b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru

c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur,


saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan
atau larut dalam cairan badan

Rute penggunaan obat dapat dengan cara:

a. Melalui rute oral

b. Melalui rute parenteral

c. Melalui rute inhalasi

d. Melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan
sebagainya

e. Melalui rute kulit (Anief, 1990).

Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal
(dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,
subkutan, dan intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-
beda. Pemberian secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri,
intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung
masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara
pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui
kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan
akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan
(Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
IV. Alat dan Bahan

4.1 Alat

a. Alat suntik

b. Sonde oral

4.2 Bahan

a. Aquadest

b. Mencit

c. NaCL Fisiologis

d. Tikus

4.3 Gambar Alat

a. Alat suntik b. Sonde Oral

V. Prosedur Kerja

Cara mengambil dan memegang mencit ataupun tikus yaitu diangkat ujung
ekornya dengan tangan kanan, letakkan pada suatu tempat yang permukaannya
tidak licin misalnya kasa, ram kawat, sehingga jika ditarik mencit akan
mencengkram. Telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuk sedangkan
ekornya dipegang dengan tangan kanan. Kemudian posisi tubuh mencit dibalikkan
sehingga perut menghadap pemegang dan ekor dijepitkan antara jari manis dan
kelingking tangan kiri. Untuk mencit ujung ekor yang dipegang, untuk tikus
pangkal ekor.

1. Rute pemberian obat secara oral

Mencit atau tikus dipegang tengkuknya. Sonde oral yang telah diisi sediaan
obat dalam bentuk cair diselipkan dekat ke langit-langit mencit dan
diluncurkan masuk ke esofagus. Larutan didesak keluar dari sonde oral.

2. Rute pemberian secara subkutan

Mencit atau tikus dipegang, selanjutnya penyuntikan dilakukan di bawah kulit


tengkuk atau abdomen. Seluruh jarum ditusukkan langsung ke bawah kulit
dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.

3. Rute pemberian obat secara intraperitoneal

Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih


tinggi dari kepala. Pegang tikus atau mencit dengan satu tangan, pegang
ekornya diantara jari telunjuk dan jari tengah, lalu larutan obat disuntikkan
pada abdomen bawah tikus di sebelah garis midsagital.

4. Rute pemberian secara intramuskular

Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih


tinggi dari kepala. Pegang tikus atau mencit dengan satu tangan, pegang
ekornya diantara jari telunjuk dan jari tengah, lalu larutan obat disuntikkan ke
dalam sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain dari kaki
belakang. Harus selalu dicek apakah jarum tidak masuk ke dalam vena,
dengan menarik kembali piston alat suntik.
VI. Data Pengamatan dan Hasil Perhitungan

No Perlakuan Hasil
1 Mengukur berat pada dua tikus dan BB Mencit 1 = 20 gram
empat mencit kemudian ditandai BB Mencit 2 = 23 gram
BB Mencit 3 = 26 gram
BB Mencit 4 = 27 gram
BB Mencit 5 = 27 gram
BB Tikus 1 = 149 gram
BB Tikus 2 = 170 gram
2 Melakukan suntik secara oral pada tikus
melalui tepi langit-langit sampai esofagus

3 Melakukan suntik secara subkutan


melalui bawah kulit tengkuk

4 Melakukan suntik secara secara oral pada


mencit melalui tepi langit-langit sampai
esofagus

5 Melakukan suntik secara subkutan pada


mencit melalui bagian bawah kulit
tengkuk
6 Melakukan suntik secara intramuscular
pada mencit melalui otot paha posterior

7 Melakukan suntik secara intraperitoneal


pada mencit dibagian antara kepala
dengan abdomen

Perhitungan :

1. Mencit
a. Dosis peroral

=1

b. Dosis subkutan

= 0,575

c. Dosis intraperitoneal

= 1,3

d. Dosis intramuscular

= 0,0675

e. Dosis intravena
= 0,675

2. Tikus
a. Dosis peroral

= 3,725

b. Dosis subkutan

= 1,7

VII. Pembahasan

Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui dan menangani hewan


untuk percobaan farmakologi secara baik, mengetahui sifat-sifat hewan
percobaan dan faktor-fakor yang mempengaruhi responnya, serta mengenal
teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian. Hewan yang
digunakan sebagai uji coba pada praktikum ini adalah tikus dan mencit.
Hewan tersebut digunakan sebagai percobaan karena struktur dan sistem
organ yang ada di dalam tubuhnya mirip dengan struktur organ yang ada di
dalam tubuh manusia, selain itu karena proses metabolisme dalam tubuhnya
berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek
pengamatan. Tikus yang digunakan sejumlah 2 ekor dan mencit yang
digunakan sejumlah 4 ekor.

Sebelum melakukan penyuntikan, perlu diketahui cara memegang hewan


tikus dan mencit karena cara memegang dari masing-masing jenis hewan
berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil).
Kesalahan dalam cara memegang dapat menyebabkan kecelakaan atau hips
ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan
penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang
memegangnya. Untuk mencit cara memegang yang benar yaitu dengan
memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, diletakan pada alas kasar,
kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit
tengkuknya seerat/setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan,
dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian,
mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan. Untuk
tikus, dapat diperlakukan seperti mencit, tetapi sebaliknya bagian ekor yang
dipegang adalah pangkalnya lalu perutnya dipegang dan leher dijepit di antara
jari tengah dan telunjuk.

Selain itu, sebelum melakukan percobaan terlebih dahulu harus dicari


volume pemberian obat/dosis pada tikus dan mencit. Volume cairan/dosis
yang diberikan tidak boleh melebihi batas maksimal, sebab akan
mengakibatkan efek farmakologis yang membahayakan hewan uji. Untuk
menghitung dosis, pertama-tama tikus dan mencit ditimbang dengan
timbangan digital. Masing-masing hewan diberi tanda untuk membedakannya.
Setelah diketahui bobot tubuhnya lalu dihitung menggunakan rumus dan
diperoleh nilai dosis yang diperlukan.

Selanjutnya dilakukan pemberian obat kepada hewan percobaan:

• Peroral

Pemberian secara oral dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi jarum
oral atau sonde oral (berujung tumpul). Hal ini untuk meminimalisir terjadinya
luka atau cedera. Sonde oral ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian
perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang sampai
esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Letak saluran menuju paru-
paru terletak di sebelah kiri pada mencit sedangkan saluran menuju lambung
ada di sebelah kanan pada mencit. Sehingga apa bila dilihat dari sisi praktikan,
sonde akan dimasukkan ke sebelah kiri tikus. Perlu diperhatikan bahwa cara
peluncuran/pemasukansonde yang mulus disertai pengeluaran cairan
sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Sebelum
memasukan sonde oral, posisi kepala mencit adalah menengadah dan
mulutnya terbuka sedikit, sehingga sonde oral akan masuk secara lurus ke
dalam tubuh mencit. Volume larutan aquades yang disuntikan pada mencit
sebanyak 1 ml dan pada tikus 3,725 ml.

Pada praktikum ini pemberian secara oral pada mencit berhasil ditandai
dengan tidak terjadi apa-apa pada mecit. Namun, pada tikus terjadi kesalahan
dimana cairan yang diinjeksi masuk ke dalam sistem pernafasan atau paru-
paru sehingga menyebabkan gangguan pernafasa dan kematian. Cara
mengetahui pemberian obat secara oral berhasil atau tidak yaitu dengan
melihat apakah cairan yang diberikan secara peroral kepada mencit atau tikus
keluar melewati mulut atau hidungnya. Hal ini menandakan bahwa sonde
belum masuk sempurna ke dalam lambung, mungkin karena sonde masih
berada di tenggorokan atau sudah masuk kedalam paru-paru mencit.

• Intramuscular

Pada praktikum ini pemberian obat secara intramuscular dilakukan dengan


menggunakan larutan NaCl fisiologis sebanyak 0,675 ml pada mencit.
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot pada daerah otot paha.

• Subkutan

Injeksi subkutan dilakukan dengan memasukkan obat ke dalam jaringan


penghubung. Cairan yang digunakan adalah NaCl. Dosis yang diberikan untuk
tikus sebanyak 1,7 ml sedangkan mencit sebanyak 0,575 ml Penyuntikkan
dilakukan dibawah kulit pada daerah kulit tengkuk, tikus dan mencit dicubit
diantara jempol dan telunjuk. Jarum suntik dimasukkan secara paralel dari
arah depan menembus kulit. Penyuntikan dilakukan dengan cepat untuk
menghindari pendarahan yang terjadi karena pergerakan kepala dari mencit
dan tikus. Injeksi subkutan pada praktikum ini berhasil, jarum suntik telah
melewati kulit pada saat alat suntik ditekan, cairan yang bereda didalamnya
dengan cepat masuk ke daerah bawah kulit. Keadaan hewan percobaan baik-
baik saja tidak terjadi pendarahan.

• Intraperitonel

Pada praktikum ini pemberian secara Intraperitonel (IP) menggunakan


larutan NaCl fisiologis. Volume yang diberikan pada mencit sebanyak 1,3 ml.
Cara injeksi peritonial yaitu, mencit dipegang dengan memegang ujung
ekornya dengan tangan kanan, diletakan pada alas kasar, dibiarkan mencit
menjangkau/mencengkram alas kasar (penutup kawat kandang). Kemudian
tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya
seerat/setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara
jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah
terpegang oleh tangan kiri, Kepala agak kebawah abdomen. Jarum disuntikkan
dengan sudut 100dari abdomen agak pinggir, untuk mencegah terkenanya
kandung kemih dan apabila terlalu tinggi akan mengenai hati. Disini obat
langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih
cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme
serempak sehingga durasinya agak cepat.

Demikianlah macam-macam rute pemberian obat yang dilakukan pada


praktikum ini. Setelah melakukan percobaan, tikus dan mencit dietanasi.
Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit dilakukan sedemikian rupa
sehingga hewan mati dengan seminimal mungkin rasa sakit. Cara pengorban
dilakukan dengan dua cara, yaitu secara fisik dan kimia. Untuk cara fisik bisa
digunakan dislokasi leher. Caranya adalah mencit dipegang dengan
memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, diletakan pada alas kasar,
mencit dibiarkan menjangkau/mencengkram alas kasar (penutup kawat
kandang) sehingga meregangkan badannya. Ketika hewan meregangkan
badannya, pada bagian tengkuk diberi suatu penahan yang keras dan dipegang
dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanan menarik ekornya dengan keras
sampai lehernya terdislokasi. Cara kimianya adalah dengan menggunakan eter
atau pentobarbital natrium pada dosis letal sehingga dapat membnuh hewan-
hewan tersebut, dan juga dengan menggunakan gas CO2.

VIII. Kesimpulan

1. Dapat mengetahui dan mampu menangani hewan untuk percobaan


farmakologi secara baik.

2. Dapat mengetahui sifat-sifat hewan percobaan dan faktor-faktor yang


mempengaruhi responnya.

3. Dapat mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute


pemberian serta pengaruhnya terhadap efek yang ditimbulkan.
Daftar Pustaka

Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.
42-43.
Katzung, B.G., 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.
Kee, JL., dan Evelyn R H. 1996. Farmakologi. Jakarta : Penerbit EGC
Siswandono dan Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga Press
Sulaksono, M.E., 1987. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan
Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis.
Jakarta.
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai