Anda di halaman 1dari 5

SUKU KUBU (ANAK DALAM) DI JAMBI

Suku Kubu atau yang biasa disebut Suku Anak Dalam adalah satu suku minoritas
yang hidup di wilayah Propinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Menurut tradisi lisan, Suku
Kubu merupakan orang Maalau Sesat yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam,
Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian disebut Moyang Segayo.
Tradisi lain menyebutkan, mereka berasal dari Paguruyuang, yang mengungsi ke
Jambi. Ini diperkuat dengan kenyataan, adat Suku Anak Dalam memiliki kesamaan
bahasa dengan Suku Mingkabau.
Suku Anak Dalam hidup secara nomaden yaitu berpindah-pindah dari satu hutan ke
hutan lainnya. Mereka berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuan makanan, akan
tetapi sebagian dari mereka sekarang sudah ada yang memiliki lahan karet dan lahan
pertanian lainnya.
Walau belum punah, namun kondisi Suku Anak Dalam sangat memprihatinkan dan
terancam. Kondisi ini disebabkan oleh semakin sedikitnya wilayah hutan untuk mereka
jelajahi karena penebangan hutan yang terjadi di Jambi dan Sumatra Selatan.
Penyebab lainnya, Taman Nasional Bukit Duabelas itu sendiri, setelah diresmikan,
mereka kehilangan hak untuk mengelola hutan. Pencemaran air sungai juga turut
memperburuk keadaan, karena Suku Anak Dalam masih bergantung dengan air sungai
sebagai sumber air mereka.

JUMLAH PENDUDUK
uku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah
salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di
Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi,
dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
1. Mata Pencaharian
Pada dasarnya, kebutuhan makanan pokok dan kebutuhan lain orang Kubu dipenuhi
oleh hutan. Mereka memperoleh makanan dengan cara berburu dan meramu. Di hutan,
mereka meramu buah-buahan, ubi kayu, dammar, dan lain-lain tetapi tidak selalu
dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum laki-laki bertugas memburu hewan dihutan
dan membuka hutan untuk ladang. Kaum laki-laki menebang pohon dan kaum
perempuan memotong tumbuh-tumbuhan kecil. Pada umumnya, mereka hanya
menggunakan uang dengan orang luar (terang).
Memburu binatang besar dilakukan oleh laki-laki dan pola berburu bergantung pada
musim. Ada 3 jenis babi yang diburu, babi hutan, babi jengkot, dan babi biasa. Mereka
juga memburu rusa dan kijang, dan memburu burung seperti burung tiung, elang, dan
gagak, serta hewan lainnya.
Pada waktu lampau, hasil dari kegiatan berburu dan meramu ditukar (barter) dengan
orang luar/terang dan pedagang di pinggir sungai. Barang yang mau ditukar oleh orang
Rimba ditinggalkan di pinggir sungai yang diketahui pedagang yang melewati tempat
itu. Pada waktu pedagang lewat, dia menaruh barangnya yang ingin ditukar dan setelah
itu dia akan kembali lagi. Orang Rimba kembali ke tempat penukaran setelah pedagang
tak ada disana dan memilih yang diinginkan dari barang yang dimiliki pedagang.
Mereka menaruh barang hasil hutan mereka yang menurut mereka setara dengan
barang dari pedagang yang mereka pilih. Pedagang atau orang Terang kembali dan
mengambil atau merubah yang dia ingin tukar. Proses itu diulangi sampai kedua pihak
puas tanpa komunikasi visual. Pada akhirnya proses penukaran selesai dan orang
Rimba mengambil barang yang ditawarkan oleh orang Terang dan lalu bersembunyi
danmasuk ke hutan. Tetapi untuk masa sekarang, sistem itu sudah berubah.

PERKAWINAN
Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling
menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur
14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada
orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada
orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan
yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok
Rimba dan kelompok Rimba lain.
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu pertama dengan mas kawin.
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus
ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya. Ketiga,
dengan per ukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis
dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut.
Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara
kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu.
Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya
Minangkabau.

KELAHIRAN
Sistim kehidupan , pernikahan, melahirkan, pengobatan dan kematian
selalu dikaitkan dengan kehadiran roh roh atau Dewo Dewo upacara
ritual pengobatan dan penyampaikan permohonan kepada roh roh dan Dewo
dilakukan melalui Proses ritual "Besale", kegiatan ini dilakukan secara bersama sama
dipimpin oleh Temenggung dan seorang dukun yang disebut malin.Sebelum ritual
Besale dilakukan, masyarakat atau keluarga suku anak dalam terlebih dahulu
mempersiapkan sesajian berupa berbagai macam hasil meramu,kemenyan sejumlah
hewan buruan.Kegiatan ini biasanya dilakukan pada menjalang dini hari,dan beberapa
kelompok suku anak dalam melakukan Ritual Besale ketika menjelang bulan purnama.

Setelah semua kelengkapan Besale di lakukan Temenggung dan Malim memimpin


ritual dengan membaca mantera mantera, pembacaan mantera di lakukan secara
khusuk,menjelang acara pokok dimulai para anak dalam melaksanakan acara menari
seperti tari lalak gendang dqan tari elang, suara bunyi bunyian bernuansa alam
menyelimuti keheningan malam.

Saat malin memimpin acara pengobatan, semua warga tidak boleh bersuara,orang luar
suku anak dalam dilarang berada di lokasi Besale,bahkan suara binatang hutan
termasuk kucing dan anjing dilarang mendekat lokasi, bilaterdengar suara
anjing,kucing atau suara burung malam ,si malim mendadak pingsan,bila Malim
pingsan acara dihentikan hingga Malim kembali siuman.dan dilanjutkan kembali
hingga menjelang fajar menyingsing di ufuk timur.

ADAT TARIAN
Upacara pengobatan tradisional inilah yang kemudian menginspirasi lahirnya sebuah tari
kreasi yang diberi nama tari Kubu. Tari kreasi Kubu ditarikan oleh lima orang laki -laki dan
lima orang perempuan, dengan mengenakan pakaian yang biasa digunakan masyarakat suku
Kubu dalam kesehariannya.
Gerak tari Kubu bertumpu pada gerakan tangan dan hentakan kaki. Pada bagian akhir
digambarkan bagaimana seorang yang sedang terserang penyakit diangkat secara beramai-
ramai dan didoakan dengan mantera-mantera, yang sebelumnya diberikan ramuan obat yang
berasal dari alam. Para penari yang lain kemudian membentuk formasi melingkar dengan
seseorang yang sedang terjangkit penyakit berada di tengahnya.

Tari Kubu diiringi oleh alunan musik rampak yang dihasilkan dari perpaduan alat musik
tradisional berupa kendang, perkusi, dan kecrek. Suara rampak dari garapan musik pengiring
disesuaikan dengan gerak hentakan kaki para penari. Tata cahaya juga berpengaruh bagi
terciptanya suasana, sehingga para penonton ikut larut dalam cerita yang sedang dibangun
melalui tarian.
Secara umum, tari Kubu mencoba mengangkat kembali ide bahwa manusia tidak akan lepas
dan selalu bergantung dengan alam, dan alam menjadi penopang kehidupan manusia. Tari
kubu mengamanatkan manusia untuk tetap melestarikan alam dengan memanfaatkannya, dan
bertanggungjawab dengan cara menjaga dan melestarikannya untuk kehidupan generasi
selanjutnya
Uniknya perkawinan suku kubu pada musim buah - buahan. Didalam suku kubu, buah -
buahan merupakan syarat antaran dari mempelai laki - laki untuk melamar pihak
perempuan. Sebelum melamar pihak laki - laki mengirim utusan ke tempat pihak
perempuan dengan maksud apakah pihak perempuan sudah ada calon dari lelaki lain
atau tidak. Jika tidak ada, maka pihak laki - laki akan melamar pihak perempuan.
Setelah kedua belah pihak sepakat, maka keluarga dari pihak laki - laki dan perempuan
akan mengawinkan anaknya pada hari tertentu. Maka dibuat kata sepakat untuk
menentukan tempat berlangsungnya perkawinan. Menurut pengakuan suku kubu,
tempat untuk berlangsungnya perkawinan yaitu di suatu sungai yang ada lubuknya
(sungai yang dalam). Setelah perkawinan dimulai, kerabat dekat dan sanak dekat
diundang untuk datang ke pesta dengan membawa buah - buahan seperti salak hutan,
buah rotan, dll. Sesudah itu maka kaum kerabat mempersiapkan kayu yang besarnya
sebesar paha, lalu dibuang kulitnya dan terus diberi oli supaya licin. Kayu tersebut
diletakkan diatas sungai yang panjangnya + 4 meter. Guna kayu tersebut untuk meniti
pada waktu ijab kabul. Setelah sampai hari yang telah ditentukan maka orang tua
perempuan dan mempelai laki - laki siap mengadakan ijab kabul. Adapun bunyi ijab
kabul suku kubu adalah sebagai berikut :RUAK - RUAK RUKU - RUKUKURO - KURO
MANJAT DINDINGTACACAK BENDO AKUJADI DARAH, JADI DAGING. Setelah ijab
kabul dibaca, lalu penganten laki - laki meniti kayu yang sudah dikuliti. Dan kalau
terjatuh harus diulang sampai tiga kali. Kalau tidak berhasil sampai tiga kali, maka
penganten perempuan harus menyiram kayu tersebut. Seteleh tiba diseberang sungai,
penganten perempuan menyambut penganten laki - laki dan dibawa ke suatu tempat
pelaminan yang ditutupi dengan daun kayu. Pelaminan tersebut berukuran kira - kira 2
x 3 meter. Menurut adat suku kubu, selama tiga hari tiga malam penganten tidak boleh
diganggu dan didekati. Bila ada orang atau kerabatnya yang mau mendekati maka
orang tersebut harus bersiung (menyahut) terlebih dahulu. Jika tidak bersiung berarti
orang tersebut sudah melanggar adat. Uniknya lagi tentang perceraian suku kubu,
untuk memutuskan hubungan suami isteri, yang mereka lakukan cukup dengan
mengambil sepotong kayu dan dibuang di depan isterinya, maka jatuhlah talak satu.

KEMATIAN
Peristiwa Kematian merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi suku anak
dalam,dan mereka akan pindah atau Melangun ke lokasi lain,mereka beranggapan
daerah itu adalah lokasi yang sial.
Bila terjadi peristiwa kematian, terutama perempuan suku anak dalam sambil berjalan
menangis sejadi sadinya, mereka meraung raung dan meratapi kematian angggota
keluarganya,dan mereka tidak akan pernah menoleh kebelakang,mereka pergi
meninggalkan si jenazah,dan untuk mengurus penyemayaman jenazah di lakukan oleh
suku anak dalam di luar kelompok mereka.
Jenazah suku anak dalam dibawa oleh 3-5 orang warga masuk kedalam hutan
belantara,mereka membuat Bale bale sekitar 1,5 -2 meter dari tanah,dan meletakkan
Jenazah di atas bale bale dan menutupi bale bale dengan atap daun atau plastic ,mayat
suku anak dalam tradisional dalam tidak pernah di kubur,konon jenazah suku anak
dalam dijadikan santapan binatang binatang liar.

TRADISI SUKU
Suku anak dalam memiliki tradisi yang begitu kental dan sangat bervariasi. Cara
berpakaiannya pun kini bervariasi, yaitu: (1) bagi yang tinggal di hutan dan berpindah-pindah
pakaiannya sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja. (2) yang tinggal di
hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang
menggunakan pakaian seperti masyarakat umum seperti baju, sarung atau celana, (3) yang
tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar atau desa, berpakaian seperti masyarakat
desa lainnya. Namun kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam
wilayah pemukimannya.

Anda mungkin juga menyukai