Anda di halaman 1dari 8

Arsitektur Tradisional Bugis Makassar

ARSITEKTUR TRADISIONAL BUGIS MAKASSAR


(Survei pada Atap Bangunan Kantor di Kota Makassar)

Rahmansah
Jurusan Pendidikan Teknik Sipil Dan Perencanaan Universitas Negeri Makassar
Bakhrani Rauf
Jurusan Pendidikan Teknik Sipil Dan Perencanaan Universitas Negeri Makassar

ABSTRACT
Traditional architecture builds upon rules adopted traditions of local
communities. Traditional architecture is also a formation of cultural elements that
grow and develop along with the growth of a tribe that serve as an identity of the
tribe. Traditional architecture should be preserved in order to maintain their
extinction. The purpose of this study was to determine changes in the traditional
architecture of Bugis Makassar on the roof of an office building in the city of
Makassar. Samples were selected intentionally, namely the office of Governor of
South Sulawesi, South Sulawesi Provincial Parliament offices, office Makassar
City Council, and the Office of PT. PELNI Branch Makassar. Data obtained
through field observations, interviews with planning consultants, building users,
and tracking documents. The analysis used is descriptive analysis. The results
showed that the traditional architecture of Bugis Makassar amended on the roof
of the building, namely: a) The shape of the roof, b) color of the roof, c)
arrangement timpalaja / sambulayang, and d) the height / slope of the roof.
Keywords: Makassar Bugis traditional architecture, roof, change

PENDAHULUAN bentuk, ragam hias dan cara


pelaksanaannya diwariskan turun
Arsitektur sebagai salah satu bagian
temurun dari generasi ke generasi.
dari karya budaya, sarat dengan makna
Arsitektur tradisional adalah cermin tata
kehidupan, merupakan apresiasi terhadap
nilai dan budaya yang ditradisikan oleh
lingkungan alam sekitar, hingga ekspresi
masyarakatnya (Budihardjo, 1997).
perwujudan seni estetika jiwa manusia.
Arsitektur tradisional adalah
Arsitektur tradisional dibangun
kebudayaan fisik yang dalam konteks
berdasarkan kaidah-kaidah tradisi yang
tradisional merupakan bentuk ungkapan
dianut masyarakat setempat. Arsitektur
yang berkaitan erat dengan kepribadian
tradisional juga merupakan suatu
masyarakatnya. Ungkapan fisik sangat
bentukan dari unsur kebudayaan yang
dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural dan
tumbuh dan berkembang bersamaan
lingkungan dimana ia tumbuh dan
dengan pertumbuhan suatu suku bangsa
berkembang, sehingga perbedaan latar
sehingga dijadikan sebagai suatu identitas
sosio-kultural dan lingkungan
suku bangsa tersebut. Arsitektur
mempengaruhi ungkapan dalam
tradisional adalah suatu bangunan yang

56 Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014


Rahmansah, Bakhrani Rauf

arsitekturalnya. Kebijakan pemerintah kita perlukan termasuk oleh generasi


terkait pelestarian budaya antara lain: 1) penerus”. Selanjutnya Anwar (2005)
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun berpendapat bahwa kurangnya
1992, bahwa kewajiban Pemerintah Pusat pemahaman makna dan nilai tentang
dengan seluruh jajarannya dan arsitektur Bugis Makassar, sehingga
Pemerintah Daerah bersama-sama dengan dikhawatirkan akan sirna dan pupus
segenap warganya mengembangkan terakibat kehilangan jati dirinya.
kebudayaan dalam arti yang luas, Arsitektur sebagai salah satu aspek
sehingga kehidupan budaya warga kebudayaan adalah merupakan
bersangkutan dapat mengalami kemajuan. perwujudan nilai-nilai yang dianut dan
2) Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun dipelihara untuk diwariskan kegenerasi
1982, bahwa kewajiban Pemerintah berikutnya. Bahwa penutur asli (Panrita
Daerah bersangkutan maupun Pemerintah Bola/Balla) kurang mampu
Pusat untuk memperhatikan berbagai menyampaikan secara sistematis dan juga
fenomena budaya yang antara lain sudah mulai uzur dan pupus; yang apabila
terungkap pada karya arsitektur tidak diregenerasikan maka sudah dapat
peninggalan masa lalu yang lengkap dipastikan akan kehilangan identitas
dengan nilai-nilai yang melekat padanya, arsitektur. Dilain pihak, lebarnya
untuk kemudian menciptakan peraturan kesenjangan pemahaman dan persepsi
yang khusus mengatur lingkungan hayati, tentang arsitektur bagi para pelaku
spasial dan sosial yang berkaitan dengan pambangunan.
kekhasan daerahnya. Menurut Saliya (2003), mengatakan
Kota Makassar sebagai ibu Kota bahwa arsitektur tradisional pada
Provinsi Sulawesi Selatan menjadi pusat dasarnya tidak mengenal ukuran yang
pelayanan regional, berkembang diiringi formal seperti meter atau feet. Ukuran
dengan pembangunan berbagai fasilitas yang digunakan adalah selalu bersifat
termasuk fasilitas perkantoran untuk kongkrit yakni merujuk pada ukuran atau
menunjang fungsinya. Sebagian besaran benda, misalnya: ukuran bagian
bangunan perkantoran di Kota Makassar tubuh manusia, seperti depa, hasta, tinggi
menjadikan arsitektur tradisional lokal pundak, rentang-rentang tegak dan lebar
sebagai inspirasi di dalam perencanaan langkah. Besaran-besaran ini selalu
dan perancangan. Penerapannya dapat dikaitkan dengan nilai-nilai kosmologis
dilihat melalui elemen (tangible) yang memandang segala sesuatu dalam
khususnya pada atap bangunan. kaitan dengan posisi terhadap alam
Arsitektur sebagai salah satu aspek semesta atau jagad raya yang merupakan
kebudayaan adalah merupakan bagian dari proses penciptaan alam raya.
perwujudan nilai-nilai yang dianut dan Hal tersebut sejalan dengan Ronald
dipelihara untuk diwariskan kegenerasi (2005) bahwa satuan ukuran yang
berikutnya. Hal tersebut sejalan dengan digunakan untuk menentukan besaran
pernyataan Yudono (2008) bahwa: panjang atau jarak, digunakan bagian
“semakin cepat dilakukan kajian untuk tubuh mulai dari ibu jari, telapak tangan,
menggali kearifan arsitektur tradisional telapak kaki dan panjang lengan atau
lokal semakin baik, sebelum para sesepuh yang lebih dikenal dengan ukuran
bijak cerdik cendekia bidang budaya, antropometrik.
sosiologi dan arsitektur tradisional Arsitektur tradisional sebagai salah
terlanjur berpulang sehingga kita dapat satu bentuk warisan budaya merupakan
merajut kembali local wisdom pengendapan fenomena dari waktu ke
architecture tacit knowledge, yang sangat waktu yang berlangsung secara runtut
Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014 57
Arsitektur Tradisional Bugis Makassar

evolusioner dengan situasi budaya yang perbandingan dari anggota badannya


penuh konflik perubahan atau sendiri. Dasar ukuran itu adalah : tinggi
perkembangan. Tuntutan akan makna dan badan, panjang depa, panjang langkah,
identitas dari arsitektur semakin panjang hasta, panjang jengkal dan
meningkat. Kekerdilan penalaran kognitif panjang atau lebar jari.
dan kemiskinan penghayatan afektif atas Masalah penelitian ini adalah
nafas dan jiwa yang melembari arsitektur bagaimana perubahan arsitektur
tradisional selama ini telah tradisional Bugis Makassar pada bagian
mengakibatkan munculnya bangunan- atap bangunan kantor di Kota Makassar
bangunan yang berbedak tradisional, yang terdiri atas: a) bentuk atap, b) warna
komponen fisik dan wajah visualnya atap, c) susunan timpalaja, dan c)
dipakai, tetapi falsafah nilai, sistem ketinggian/kemiringan atap. Oleh karena
perlambang dan pemaknaan sosial itu tujuan penelitian ini adalah untuk
ditiadakan (Budihardjo, 1989). mengetahui perubahan arsitektur
Mardanas (1985) dahulu kala suku tradisional Bugis Makassar pada atap
Bugis Makassar menganut kepercayaan bangunan kantor di Kota Makassar yang
attau riolong yang mengajarkan terdiri atas: a) bentuk atap, b) warna atap,
pandangan kosmologis, bahwa alam raya c) susunan timpalaja, dan c)
(makro kosmos) bersusun tiga tingkat, ketinggian/kemiringan atap.
yaitu: botting langi’ (dunia atas), ale
kawa (dunia tengah) dan uri liyu (dunia METODE PENELITIAN
bawah). Pusat ketiga bagian alam raya
Penelitian ini merupakan penelitian
ialah botting langi, tempat
deskriptif. Populasi di dalam penelitian
bersemayamnya dewata Seuwae.
ini adalah bangunan kantor yang
Pandangan kosmologis tentang makro
menerapkan arsitektur tradisional Bugis
kosmos diwujudkan pada rumah
Makassar pada atap bangunan di Kota
tinggalnya yang dianggap sebagai mikro
Makassar. Sampel diambil secara sengaja
kosmos. Oleh karena itu, rumahnya
(purpossive sampling) yaitu kantor
terdiri atas tiga bagian yaitu: rakkeang
Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan,
(para-para/loteng), ale bola (badan
kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan,
rumah) dan awa bola (kolong rumah).
kantor DPRD Kota Makassar, dan kantor
Ketiga bagian itu terpusat pada posi bola
PT. PELNI Cabang Makassar.
yaitu bagian yang dianggap suci.
Variabel yang diteliti adalah
Tato (2008) mangatakan bahwa
perubahan atap yaitu a) perubahan bentuk
konsep arsitektur tradisional Bugis
atap, b) perubahan warna atap, c)
Makassar memandang kosmos terbagi
perubahan susunan timpalaja, dan d)
atas tiga bagian, sehingga secara
perubahan ketinggian atap. Pengumpulan
struktural rumah tradisional Bugis
data dilakukan dengan a) observasi, b)
Makassar terdiri dari: a) struktur bagian
wawancara, dan c) kajian pustaka.
bawah, b) struktur badan rumah, dan c)
Teknik analisis data yang
struktur bagian atas.
digunakan adalah analisis deskriptif yaitu
Ketiga bagian-bagian struktur di
mendiskripsikan secara mendalam
atas memperlihatkan adanya keserasian
perubahan a) bentuk atap, b) warna atap,
antara struktur bagian bawah, struktur
c) susunan timpalaja//sambulayang, dan
tengah dan struktur atas. Hal ini
d) ketinggian/kemiringan atap.
disebabkan karena ukuran yang mereka
gunakan didasarkan pada ukuran

58 Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014


Rahmansah, Bakhrani Rauf

1. Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan 2. Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan

3. Kantor DPRD Kota Makassar 4. Kantor PT. PELNI Cabang Makassar

Gambar 1. Tinjauan Atap dari Sisi Perubahan Bentuk

1. Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan 2. Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan

3. Kantor DPRD Kota Makassar 4. Kantor PT. PELNI Cabang Makassar

Gambar 2. Tinjauan Atap dari Sisi Perubahan Warna

HASIL DAN PEMBAHASAN Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD


Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD
Tinjauan Atap dari Perubahan Bentuk
Kota Makassar, dan kantor PT. PELNI
Atap pada arsitektur tradisional Cabang Makassar.
Bugis Makassar berbentuk prisma segi Bentuk atap pada kantor Gubernur
tiga memanjang ke belakang. Untuk Provinsi Sulawasi Selatan dan kantor
melihat perubahan bentuk atap dapat DPRD Provinsi Sulawesi Selatan secara
dilihat pada Gambar 1, yaitu utuh menerapkan bentuk atap prisma segi
perbandingan antara kantor Gubernur tiga pada masing-masing atap bangunan
Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014 59
Arsitektur Tradisional Bugis Makassar

tersebut. Namun pada kantor DPRD Kota Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD
Makassar dan kantor PT. PELNI Cabang Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD
Makassar tidak menerapkan secara utuh Kota Makassar, dan kantor PT. PELNI
bentuk atap prisma segi tiga pada masing- Cabang Makassar.
masing atap bangunan tersebut. Atap Perubahan warna atap pada
pada kantor Gubernur Provinsi Sulawasi gambar tersebut adalah atap kantor
Selatan dan kantor DPRD Provinsi Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan,
Sulawesi Selatan memiliki atap berbentuk kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan,
prisma segi tiga. Sedangkan kantor dan kantor DPRD Kota Makassar
DPRD Kota Makassar memiliki bentuk menerapkan warna atap sesuai dengan
gabungan atap prisma segi tiga dan warna atap arsitektur tradisional Bugis
bentuk atap perisai, dan kantor PT. Makassar. Atap kantor DPRD Kota
PELNI Cabang Makassar memiliki Makassar berwarna cokelat. Atap Kantor
bentuk atap prisma segi tiga yang DPRD Kota Makassar berwarna jingga
ditumpuk bersusun dua. dan berwarna cokelat, dan atap kantor
Bentuk atap kantor DPRD Kota PT. PELNI Cabang Makassar berwarna
Makassar menggabungkan bentuk atap jingga.
prisma dan perisai. Atap pada bagian atas Semua warna atap merupakan
secara utuh menerapkan bentuk atap warna buatan hasil olahan industri dan
prisma segi tiga dan atap pada bagian bukan merupakan warna alami material.
bawah berbentuk perisai. Atap bagian Perubahan warna atap dipengaruhi oleh
atas dan bagian bawah memiliki jarak pemakaian jenis material atap olahan
yang juga berfungsi sebagai ventilasi. Hal industri seperti atap kantor Gubernur
ini memberikan kesan bahwa atap selain Provinsi Sulawesi Selatan, atap kantor
berbentuk perisai juga berbentuk prisma DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, atap
segi tiga sebagai mana pada bentuk atap kantor DPRD Kota Makassar dan atap
arsitektur tradisional Bugis Makassar. Kantor PT. PELNI Cabang Makassar
Perubahan bentuk atap tersebut yang memakai atap genteng. Pemakaian
didasari oleh budaya dan tradisi yang jenis material industri didasarkan pada
melekat pada masyarakat Bugis pertimbangan ketahanan, kemudahan
Makassar. Selain itu juga diwarnai dalam pemeliharaan, kemudahan dalam
dengan kemampuan perencana, pemasangan, pertimbangan konsultan
pelaksana, dan keinginan pengguna perencana dan pemilik bangunan.
bangunan. Pemakaian material atap alami
tidak dapt digunakan lagi. Hal itu
disebabkan oleh perkembangan
Tinjauan Atap dari Perubahan Warna teknologi. Pemakaian atap dan
Warna atap arsitektur tradisional pemakaian warna yang mengikuti
Bugis Makassar berasal dari warna dasar perkembangan teknologi ini masih tetap
material atap yang diperoleh dari alam terterima oleh budaya yang dianut oleh
seperti atap daun nipa, alang-alang dan masyarakat Bugis Makassar. Perubahan
daun rumbia berwarna cokelat, atap daun warna atap tersebut didasari oleh budaya
lontar berwarna kuning muda tanpa dan tradisi yang melekat pada masyarakat
menggunakan pewarna buatan atau cat. Bugis Makassar. Selain itu juga diwarnai
Untuk melihat perubahan warna atap dengan kemampuan perencana,
dapat dilihat pada Gambar 2, yaitu pelaksana, dan keinginan pengguna
perbandingan antara kantor Gubernur bangunan.

60 Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014


Rahmansah, Bakhrani Rauf

1. Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan 2. Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan

3. Kantor DPRD Kota Makassar 4. Kantor PT. PELNI Cabang Makassar

Gambar 3. Tinjauan Atap dari Sisi Perubahan Susunan


Perubahan susunan timpalaja/
Tinjauan Atap dari Perubahan
sambulayang penutup atap bagian depan
Susunan
dan belakang pada gambar tersebut
Susunan timpalaja/ sambulayang adalah atap kantor Gubernur Provinsi
penutup atap bagian depan dan belakang Sulawesi Selatan bersusun empat, atap
pada arsitektur tradisional Bugis kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan
Makassar merupakan simbol stratifikasi bersusun lima, atap kantor DPRD Kota
sosial masyarakat Bugis Makassar, Makassar bersusun lima, atap kantor
sehingga dengan melihat susunan Bank BTN Cabang Makassar tidak
timpalaja/ sambulayang atap rumahnya bersusun dan atap Kantor PT. PELNI
dapat diketahui strata sosial penghuninya. Cabang Makassar bersusun empat.
Masyarakat Bugis Makassar secara garis Perubahan susunan
besarnya terdiri dari tiga pelapisan yaitu: timpalaja/sambulayang atap kantor tidak
wija arung (bangsawan), to sama/to dipengaruhi oleh adanya strata sosial
maradeka (rakyat), wija ata (hamba melainkan hanya dipandang dari sisi
sahaya). Seorang yang berstatus estetika dan kemampuan perencana
bangsawan boleh saja tinggal di saoraja mengombinasikan struktur timpalaja
atau boleh membangun rumah yang /sambulayang tersebut. Atap bangunan
besarnya sama dengan saoraja. Penutup kantor pemerintah, jumlah susun
bubungan (timpalaja) bertingkat sampai timpalaja/sambulayang semata-mata
lima. Bola (rumah rakyat dan hamba dipikirkan hanya unsur estetika dan
sahaya), Penutup bubungan timpalaja sirkulasi udara pada bagian atap
atap rumahnya tidak bertingkat. Untuk bangunan.
melihat perubahan susunan timpalaja
dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu Tinjauan Atap dari Perubahan
perbandingan antara kantor Gubernur Kemiringan
Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD
Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD Ketinggian atap arsitektur
Kota Makassar, dan kantor PT. PELNI tradisional Bugis Makassar ditentukan
Cabang Makassar. berdasarkan ketinggian atap dan tidak

Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014 61


Arsitektur Tradisional Bugis Makassar

berdasarkan sudut kemiringan. Makassar memiliki sudut kemiringan 600.


Ketinggian atap disesuaikan dengan kantor Gubernur Provinsi Sulawesi
status penghuninya. Golongan Arung = ½ Selatan memiliki sudut kemiringan 450.
lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk Ketinggian atap arsitektur
+ 3 jari pemilik, golongan Tosama = ½ tradisional Bugis Makassar tidak dapat
lebar rumah + 1 telapak tangan, golongan diterapkan pada bangunan perkantoran.
Ata = ½ lebar rumah + 1 siku + tinggi Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan
kepala + kepalan tangan pemilik. Untuk material penutup atap dan fungsi
melihat perubahan sudut ketinggian atap bangunan sebagai kantor. Penggunaan
dapat dilihat pada Gambar 4, yaitu sudut kemiringan atap 150 sampai 600
perbandingan antara kantor Gubernur dipengaruhi oleh pemakaian jenis
Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD material atap pabrikasi seperti atap seng,
Provinsi Sulawesi Selatan, kantor DPRD atap genteng, onduline dan atap metal.
Kota Makassar, dan kantor PT. PELNI Atap seng dan onduline memerlukan
Cabang Makassar. sudut kemiringan atap minimal 150 untuk
Perubahan ketinggian atap pada mengalirkan air hujan sedangkan atap
gambar tersebut adalah ketinggian atap genteng dan atap metal memerlukan
pada semua sampel yang diteliti sudut kemiringan atap minimal 300 untuk
ditentukan berdasarkan sudut kemiringan dapat mengalirkan air hujan. Begitu pula
dan tidak berdasarkan ketinggian atap dengan fungsi bangunan sebagai
dengan antropometrik sebagaimana pada perkantoran, bangunan perkantoran
atap arsitektur tradisional Bugis merupakan milik pemerintah, penghuni
Makassar. Atap kantor DPRD Provinsi bangunan berganti-ganti sesuai dengan
Sulawesi Selatan memiliki sudut periode dan kepentingan pemerintah,
kemiringan 450. Atap kantor DPRD Kota sehingga tidak dapat menerapkan
Makassar memiliki sudut kemiringan 300 ketinggian atap berdasarkan ukuran
pada atap bagian bawah dan sudut antropometrik penghuni bangunan
kemiringan 600 pada atap bagian atas. tersebut sebagaimana pada atap arsitektur
Atap kantor PT. PELNI Cabang tradisional Bugis Makassar.

1. Kantor Gubernur Provinsi 2. Kantor DPRD Provinsi Sulawesi


Sulawesi Selatan Selatan

3. Kantor DPRD Kota Makassar 4. Kantor PT. PELNI Cabang Makassar

Gambar 4. Tinjauan Atap dari Sisi Perubahan Kemiringan


62 Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014
Rahmansah, Bakhrani Rauf

Perubahan ketinggian/kemiringan Mardanas dkk. 1985. Arsitektur


atap kantor tidak dipengaruhi oleh adanya Tradisional Sulawesi Selatan.
strata sosial melainkan hanya dipandang Ujung Pandang: Depdikbud
dari sisi estetika dan kemampuan
perencana mengombinasikan struktur Republik Indonesia. 1982. Undang-
atap tersebut. Atap bangunan kantor Undang Republik Indonesia No. 4
pemerintah, ketinggian/kemiringan Tahun 1982 Tentang Ketentuan
semata-mata dipikirkan hanya unsur Pokok Pengelolaan Lingkungan
estetika pada bagian atap bangunan. Hidup. Lembaran Negara Republik
Perubahan ketinggian/kemiringan atap Indonesia Tahun 1982 Nomor 12.
tersebut didasari oleh budaya dan tradisi
yang melekat pada masyarakat Bugis Republik Indonesia. 1992. Undang-
Makassar. Selain itu juga diwarnai undang Republik Indonesia Nomor
dengan kemampuan perencana, 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
pelaksana, dan keinginan pengguna Budaya. Direktorat Jenderal
bangunan. Sejarah dan Purbakala. Jakarta.

KESIMPULAN Ronald, A. 2005. Nilai-nilai Arsitektur


Tradisional Jawa. Gadjah Mada
Arsitektur tradisional Bugis Iniversity press, Yogyakarta.
Makassar telah mengalami perubahan
pada bagian atap bangunan. Perubahan Saliya. 2003. Perjalanan Malam.
tersebut dapat dilihat melalui: 1) Lembaga Arsitektur Indonesia
perubahan bentuk atap, 2) perubahan Ikatan Arsitektur Indonesia-Jawa
warna atap, 3) perubahan susunan Barat, Bandung.
timpalaja//sambulayang, dan 4)
Perubahan ketinggian/kemiringan atap. Tato, S. 2008. Arsitektur Tradisional
Meskipun Arsitektur tradisional Bugis Sulawesi Selatan dari Masa ke
Makassar telah mengalami perubahan Masa. Makalah disajikan dalam
pada bagian atap bangunan namun Seminar Regional Arsitektur
perubahan tersebut tetap menganut Rumah dan Perumahan Tradisional
prinsip-prinsip budaya dan tradisi di Kawasan Timur Indonesia,
masyarakat Bugis Makassar. Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Unhas dan BPTPT Makassar,
DAFTAR PUSTAKA Makassar 24 April 2008.
Anwar. J, 2005. Arsitektur dan Budaya Yudono, A. 2008. Kearifan Arsitektur
Masyarakat Bugis Makassar. Tradisional Rumah Panggung
dalam Hunian Modern. Makassar.
Budihardjo, E. 1989. Jati Diri Arsitektur
Indonesia, Alumni, Bandung.

Budihardjo, E. 1997. Arsitek dan Arsitek


Indonesia Menyosong Masa
Depan. Andi, Yogyakarta.

Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014 63

Anda mungkin juga menyukai