Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

Fraktur os nasal adalah trauma langsung pada os nasal, yang dapat menyebabkan
fraktur kartilago dan os septum sehingga kehilangan struktur penyangga. Fraktur os nasal
merupakan kasus yang paling sering terjadi pada trauma kraniofasial yang dapat meyebabkan
depress dorsum nasi disebut saddle nose.1,2,3

Ross melaporkan fraktur os nasal terjadi karena perkelahian 34%, kecelakaan 28%
dan olahraga 23%. Insiden fraktur os nasal di Amerika kira-kira 51.200 kasus pertahun
walaupun angka ini dapat lebih tinggi karena banyak pasien tidak dating untuk berobat dan
kasus tidak dilaporkan. Fraktur os nasal banyak terjadi pada usia 15-40 tahun dan lebih
banyak terjadi pada laki-laki. Perbandingan angka kejadian fraktur os nasal antara laki-laki
dan perempuan 2:1. Ditemukan 21 kasus os nasal di RS Sardjito tahun 2002, tahun 2003
sebanyak 17 kasus, dan 20 kasus di tahun 2004. Kejadian murni fraktur os nasal, ditemukan
11 kasus pada tahun 2002, 8 kasus pada tahun 2003, dan 12 kasus pada tahun 2004. Kasus
lainnya berupa fraktur multiple maksiofasial dengan atau tanpa cedera kepala.1,4

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan bengkak pada hidung, nyeri,
deformitas berupa depress dari arah depan atau samping atau seluruh pyramid hidung deviasi
pada satu sisi, krepitasi, epistaksis dan hidung tersumbat. Dilakukan inspeksi intranasal untuk
menilai hematom septum. Hematom septum yang tidak tertangani dapat menyebabkan
resorbsi ke kartilago septum dan menyebabkan deformitas hidung.1,2

Penatalaksanaan fraktur os nasal dapat dilakukan dengan reposisi tertutup dan reposisi
terbuka. Indikasi operasi untuk fraktur os nasal adalah karena adanya kelainan fungsi dan
kosmetik.1

1
BAB 11

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung perlu diingat kembali tentang
anatomi hidung. Anatomi dan fungsi fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali
sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologis yang dapat berlanjut menjadi suatu
penyakit atau kelainan.3,6,11,12

Pada tulang tengkorak, lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut aperture
piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh kedua os nasal dan processus frontal os
maksila. Dasarnya dibentuk oleh process aleveolaris maksila. Pada garis tengah ada
penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.3

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (0s nasal), 2) Processus frontalis
os maxilla, 3) Processus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu: 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago
ala mayor), 3) Tepi anterior kartilago septum.3

Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang
masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan bagian belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.3

Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.3

Tiap cavum nasi mempunyai dinding 4 buah, dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum terbentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah : lamina perpendikularis os ethmoid, vomer, krista nasalis
os maxilla, krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan rawan adalah : kartilago septum
(lamina perpendikularis), kolumela.3

2
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan yang luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah konka. Terletak paling bawah ialah konka inferior, lebih kecil lagi adalah
konka media, superior, sedangkan terkecil adalah konka suprema ini biasanya rudimenter.3

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maxilla dan labirin
ethmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
ethmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medial,dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dan dasar hidung dan lateral rongga
hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus terletak
terletak diantara konka media dan dinding lateral romgga hidung. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid
posterior dan sphenoid.3

3
4
2.1.1. batas Rongga Hidung

dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk ole hos maxilla dan
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dari ronnga hidung. Lamina kribiformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os ethmoid, tulang-tulang ini berlubang-lubang
tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior atap hidung dibentuk
ole hos sphenoid.3,6,11

2.1.2. Perdarahan Hidung


1. Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. ethmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
2. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maxillaris interna,
diantaranya ialah ujung a. palatine mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media.
3. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomis dari cabang-cabang a. etmoid anterior, a.
labialis superior dan a. palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s
Area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.
4. Vena hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.3

2.1.3. Persarafan Hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n. oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maxillaris melalui
ganglion sfenopalatina.3
Ganglion Sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau autonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari n. maksilla, serabut parasimpatis dan n. petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.3

5
2.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori structural, teori revolusioner dan repro fungsional, fungsi fisiogis
hidung dan sinus paranasal yaitu :
1. Fungsi Respirasi
Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), menyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme immunologik lokal.
2. Fungsi Penghidu
Karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu.
3. Fungsi Fonetik
Berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang.
4. Fungsi Statik dan Mekanik
Untuk meringankan beban kepala, proteksi tethadap trauma dan pelindung panas.
5. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskular dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebarkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pancreas.3

2.3. Fraktur Os Nasal


2.3.1. Definisi
Fraktur nasal adalah fraktur pada os nasal akibat adanya ruda paksa yang dapat
mengancam banyak fungsi. Fraktur os nasal adalah trauma langsung yang menyebabkan
fraktur kartilago dan septum sehingga kehilangan struktur penyangga dan merupakan kasus
terbanyak pada trauma wajah.1,2,3,4,5

2.3.2. Etiologi
Penyebab trauma nasal adalah5 :
1. Mendapat serangan misalnya pukulan
2. Injury karena olahraga
3. Kecelakaan lalu lintas
4. Masalah kelahiran
6
5. Kadang-kadang iatrogenic

2.3.3. Epidemiologi
Fraktur nasal merupakan kasus terbanyak pada trauma wajah. Trauma tumpul pada
kecelakaan motor, trauma karena olahraga, latihan fisik ynag berlebihan merupakan
penyabab umum terjadinya fraktur os nasal. Ross melaporkan fraktur os nasal terjadi karena
perkelahian 34%, kecelakaan 28% dan olahraga 23%.1
Ditemukan 21 kasus trauma os nasal di RS Sardjito tahun 2002, tahun 2003 sebanyak
23 kasus dan 20 kasus di tahun 2004. Kejadian murni fraktur os nasal, ditemukan 11 kasus
pada tahun 2002, 8 kasus pada tahun 2003 dan 12 kasus pada tahun 2004. Kasus lainnya
berupa fraktur multiple maksiofasial dengan atau tanpa cedera kepala.7

2.3.4. Klasifikasi
Fraktur hidung dapat dibedakan menurut5 :
1. Lokasi
Tulang nasal (os nasal), septum nasi, ala nasi, dan tulang rawan (kecil) triangularis.
2. Arah datangya pukulan
 Datang dari arah lateral
Kekuatan terbatas dapat menyebabkan fraktur impresi dari salah satu tulang nasal.
Pukulan lebih besar mematahkan kedua belah tulang nasal dan septum nasi dengan
akibat terjadi deviasi yang tampak dari luar.
 Datang dari arah frontal
Cederanya bias terbatas hanya sampai bagian distal hidung atau kedua tulang nasal bias
patah dengan akibat hidung menjadi pesek dan melebar. Bahkan kerangka hidung luar
dapat terdesak ke dalam dengan akibat cedera pada kompleks ethmoid.
 Datang dari arah kaudal
Relative jarang.
 Kombinasi dengan fraktur wajah tipe Le Fort I, II, III dengan fraktur leher dan cedera
tulang tengkorak lain.

2.3.5. Patofisiologi
Gangguan traumatic os kartilago dan nasal dapat menyebabkan deformitas
eksternal dan obstruksi jalan nafas yang bermakna. Jenis dan beratnya fraktur nasal

7
tergantung pada kekuatan, arah dan mekasisme cedera. Sebuah benda kecil dengan
kecepatan tinggi dapat memberikan kerusakan yang sama dengan benda yang lebih
besar pada kecepatan yang lebih rendah. Trauma nasal bagian lateral yang paling
umum dan dapat mengakibatkan fraktur salah satu atau kedua os nasal. Hal ini sering
disertai dislokasi septum nasi di luar krista maksilaris. Dislokasi septal dapat
mengakibatkan dorsum nasi berbentuk huruf S, asimetris apex dan obstruksi jalan
nafas. Trauma frontal secara langsung pada hidung sering menyebabkan depresi dan
pelebaran dorsum nasi dengan obstruksi nasal yang terkait. Cedera yang lebih parah
dapat mengakibatkan komunisi (pecah menjadi kecil-kecil) seluruh piramida nasal.
Jika cedera ini tidak didiagnosis dan diperbaiki dengan tepat, pasien akan memiliki
kosmetik dan fungsional yang jelek.6

2.3.6. Manifestasi Klinis1,2,3,4,5,6,7


 Bentuk hidung berubah
 Depresi atau pergeseran tulang-tulang hidung
 Epistaksis
 Krepitasi (teraba tulang yang pecah)
 Hidung serta daerah sekitarnya bengkak
 Nyeri tekan pada tulang yang terkena
 Luka robek
 Obstruksi jalan nafas
2.3.7. Diagnosis
1. Anamnesa
Riwayat trauma yang jelas mengenai hidung harus dicurigai kemungkinan terjadinya
trauma nasal. Jika disertai epistaksis kemungkinan besar terjadi fraktur terbuka. Jika pasien
mengeluhkan adanya perubahan bentuk hidung dan ada riwayat obstruksi jalan nafas, fraktur
nasal selalu terjadi. Harus dicari riwayat terjadinya trauma, kapan terjadinya, alat yang
menyebabkan trauma dan intensitas trauma.1,2,3,5,6

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dari luar tidak memberikan banyak informasi karena ada edema atau
hematoma local yang menutupi struktur tulang hidung. Harus diperiksa hidung dari lateral,
atas, bawah. Pada pemeriksaan dari dalam, diperhatikan kedudukan septum dan kemungkinan

8
adanya hematoma septi. Pada palpasi hidung, dicoba menggerak-gerakkan dan mencari
adanya struktur seperti “tangga” pada tengkorak hidung.1,2,3,5,6
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal, posisi waters dan
juga bila perlu dapat dilakukan CT Scan untuk melihat fraktur hidung atau kemungkinan
fraktur penyerta lainnya. Rontgenogram tulang-tulang wajah dan tulang-tulang hidung harus
dibuat, terutama untuk proses hokum, walaupun biasanya hal ini hanya merupakan
keterangan insidensi untuk evaluasi klinis. Hasil foto rontgen tidak boleh mempengaruhi
penatalaksanaan akhir, karena tidak pernah dapat menggantikan anamnesis serta pemeriksaan
intranasal dan ekstranasal. Penentuan perlu tidaknya dilakukan pembedahan tidak didasarkan
atas gambaran foto rontgen tetapi dari gambaran klinis.1,2,3,5,6

2.3.8. Diagnosa Banding1


1. Fraktur os naso ethmoidalis
2. Fraktur maksilla

2.3.9. Penatalaksanaan
Pada kasus trauma wajah dan leher, yang harus diperhatikan pertama kali adalah
menjaga jalan nafas yang cukup, mengontrol perdarahan dan mengatasi syok neurogenic.
Kedua hal yang terakhir tidak ada gunanya bila pernafasan tidak dipertahankan dengan baik.
1. Konservatif
Fraktur nasal ini jika dibiarkan tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan
struktur hidung dan jaringan lunak sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Pasien
dengan perdarahan hebat biasanya dikontrol dengan pemberian vasokontriktor topical.
Analgetik berperan untuk mengurangi nyeri. Dekongestan untuk mengurangi pembengkakan
mukosa dan antibiotic untuk mengurangi resiko infeksi dan komplikasi.

2. Operatif
Operatif untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penangan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat
fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk
memperbaiki posisi hidung. Rinoplasty adalah operasi plastic pada hidung.

9
3. Penangan fraktur nasal sederhana
Jika hanya fraktur saja, dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam anetesi lokal.
Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif tindakan
penanggulangannya memerlukan anestesi umum. Anestesi lokal dapat dilakukan dengan
pemasangan tampon lidokain 1-2% yang dicampur dengan epinefrin 1:1000%.
Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini dipasang pada masing-masing 3
buah, pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakkan pada meatus superior tepat di
bawah tulang hidung. Tampon kedua diletakkan diantara konka media dan septum dan bagian
distal dari tampon tesebut terletak dekat foramen sfenopalatina dan tampon ketiga
ditempatkan di antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon dipertahankan selama
10 menit. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray
beberapa kali, melalui rhinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan efek
vasokontriksi yang baik.

4. Penanganan fraktur nasal komunitif


 Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur tulang akut yang
sederhana dan unilateral.teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang sering
digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Namun pada kasus
tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan
analgesia lokal yang baik dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan
reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur
tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini
dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, di mana pada waktu tersebut oedem yang terjadi
mungkin sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara total masih dapat
dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma, tetapi setelah itu tindakan reduksi sulit
dikerjakan karena sudah terbentuk proses kalsifikasi pada tulang hidung sehingga
perlu tindakan rinopalsti estetomi.

Alat yang digunakan:


 Elevator tumpu yang lurus (boies nasal fracture elevator)
 Cunam ash
 Cunam walsham
 Speculum hidung pendek dan panjang
10
 Pinset bayonet

Langkah-langkah :
Reposisi dilakukan dengan bantuan cunam walsham . pada penggunaan cunam
walsham ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi, sedangkan sisi lain di
luar hidung di atas kulit diproteksi dengan selang karet. Tindakan manipulasi
dilakukan dengan control pulsasi jari.
Jika deviasi pyramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam ash
digunakan dengan cara memasukkan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua
rongga hidung sambil menekan septm dengan sisi forcep. Sesudah fraktur nasal
dikembalikan pada keadaan semula, dilakukan pemasangan tampon di dalam
rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotic. Setelah
pemasangan tampon pada kedua rongga hidung, dilakukan fiksasi luar (gips)
dengan beberapa lagi gips yang berbentuk seperti huruf T dan dipertahankan
hingga 10-14 hari.

 teknik reduksi terbuka


fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada
daerah dimana fraktur dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi
sampai ke dalam tulang. Masalah pada hidung menjadi kecil Karena mempunyai
banyak suplai aliran darah bahkan pada masa sebelum adanya antibiotic,
komplikasi setelah fraktur jarang terjadi.9

2.3.10. Komplikasi
1. Hematoma septi (penggumpalan darah dibagian septum)
Harus dicari adanya hematom septal pada setiap kasus trauma septal karena
kondisi ini menyebabkan timbulnya infeksi sehingga kartilago septal hilang dan
akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom septal harus dicurigai jika diapati
nyeri dan pembengkakan yang menetap.
2. Epistaksis
Perdarahan anterior karena laserasi arteri ethmoid anterior, cabang dari arteri
oftalmikus (system karotis interna). Perdarahan dari posterior dari arteri ethmoid
posterior atau dari arteri sfenopalatina cabang nasal lateral.

11
3. Infeksi
Tidak umum terjadi, taopi antibiotic profilaksis penting untuk pasien yang
mempunyai penyakit kelemahan kronis, imuno-compromised dan dengan
hematom septal.
4. Kebocoran liquor
Jarang dan disebabkan fraktur “criribriform plate” atau dinding posterior sinus
frontal. Kebocoran kulit cukup diobservasi selama 4-6 minggu dan biasanyab
terjadi penutupan spontan. Konsultasi ke bedah saraf.
5. Komplikasi lanjut
Obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur, deformitas sekunder, synechiae, hidung
pelana dan perforasi septal.4,9

2.3.11. Prognosis
Fraktur nasal dapat diobati dengan hasil yang baik pada sebagian besar pasien hasil
yang memuaskan dengan prosedur yang sederhana termasuk untuk orang tua, remaja
dan anak-anak. Kemudian klasifikasi dan waktu cedera hidung akan sangat
mempengaruhi pendekatan dan hasil dari diagnosis. Fraktur nasal saja tanpa
perdarahan hebat dan aspirasi tidak mengakibatkan kematian.1

12
BAB III

KESIMPULAN

Fraktur os nasal adalah fraktur tulang hidung yang dapat mengakibatkan terhalangnya
jalan pernafasan dan deformitas pada hidung. Jenis dan kerusakan yang timbul tergantung
pada kekuatan, arah dan mekanismenya. Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu : mendapat
serangan misalnya dipukul, injury karena olahraga, kecelakaan (personal accident), dan
kecelakaan lalu lintas. Tanda dan gejalanya berupa berupa bentuk hidung yang berubah,
depresi atau pergeseran tulang-tulang hidung, epistaksis, krepitasi, hidung atau daerah
sekitarnya bengkak, nyeri tekan pada tulang yang terkena, luka robek, obstruksi jalan nafas.
Pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah pemeriksaan radiologi berupa foto nasal lateral
(memakai film oklusi gigi), frontal dan water’s. untuk penanganan pada fraktur os nasal
sederhana dapat dilakukan pemasangan tampon. Pada fraktur nasal lateral dan bilateral dapat
dilakukan reduksi tertutup dan fraktur communitive dilakukan reduksi terbuka.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Huriyati E, Fitria H. penatalaksanaan fraktur os nasal lama dengan komplikasi saddle


nose. FK Universitas Andalas. Padang
2. Bangun dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Kapita selekta kedokteran. 2014.
Media Aeskulapius. Jakarta. 2014. Hal 59-269
3. Soetjipto Damayanti, dkk. Buku ajar ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala dan
leher. Jakarta. 2007. Universitas Indonesia
4. A Tolkha,dkk. Rekonstruksi deformitas pasca-trauma hidung dengan rinoplasti. FK
UGM. Yogyakarta
5. Broek VD, Feenstra L. buku saku ilmu kesehatan tenggorok, hidung dan telinga. Edisi
12. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2010.
6. Rubinstein B, strong B. penatalaksanaan Fraktur Nasal. Available from :
hhtp://majiidsumardi.blogspot.co.id/2011/03/penetalaksanaan-fraktur-nasal.
7. Cody TR, Kern EB, Pearson BW. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
8. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2005. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
9. Bedah umum-General Surgery. Repoisi Fraktur Nasal. 2008. Available from:
http://bedahumum.wordpress.com/2008/12/14/reposisi-fraktur-nasal.
10. Adams GL, Boeis LR. Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
11. Kelley BP, Downey CR, Stal S. Evaluation and Reduction of Nasal Trauma. 2010.
Available from : http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PM
12. Ballengger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid satu.
Binapura Aksara Publisher. Jakarta.
13. Tardy E. koreksi Bedah Kerusakan wajah. Jilid satu. Binapura Aksara Publisher.
Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai