1. Al-Lihyani
Al- Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan Kepada nabi kita Muhammada
SAW
1. Az-Zujaj
Al-Quran merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi yang menghimpun
surat-surat , dan kisah-kisah, juga perintah dan larangan atau menghimpun intisari kitab-kitab
suci sebelumnya,
1. Al-asya`ri
Al-Quran adalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yangsaling menguatkan
danterdapat kepemimpinan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
2. Al- Farra
Al-Quran dalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan
1. a. Al- Jurajani :
Al- Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis
dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan
2. Manna al-Qatthan :
Al-Quran adalah kiatb ynag diturunkan Allah kepada Nabi uhammad SAW dan orang
yang membacanya akan memperoleh pahal
3. Abu Syahbah :
Al-Quran adalah kitab yang diturunkan baik lafaz atau makna kepada Nabi terakhir,
diriwayatkan secara mutawatir (penuh kepastian dan keyakinan) ditulis pada mushaf dari
surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas.
4. Pakar Ushul Fiqh, dan Bahasa Arab :
Al-Quran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Nya, lafaznya dengan mengandung
mukjizat , membacannya mepunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir dan ditulis
pada mushaf
Pada masa nabi, wahyu yang diturnakan oleh Allah kepadanya tidak hanya di eksprersikan dalam
betuk hafalan tapi juga dalam bentuk tulisan.
Sekretaris pribadi nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin Kahtab,
Khalid Bin Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana
yaitu lontaran kayu, pelepah kurma., tulang-belulang, dan batu.
Faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi yaitu membukukan hafalan yang
telah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat dan mempersentasikan wahyu dengan cara yang
paling sempurna
Pada masa Khalifah Abu Bakar beliau memerintahkan untuk mengumpulkan wahyu-wahyu yang
tersebar, kedalam satu mushaf, Usaha pengumpulan ini dilakukan setelah terjadi perang
Yamamah pada 12 H yang telah menggugurkan nyawa 70 orang penghafal Al-Quran. Akibat
dari kekhawatiran atas kelestarian Al-Quran , maka dipercayakan Zaid bin tsabit untuk
mengumpulkan wahyu tersebut. Usaha pengumpulan tersebut selesai dalam waktu ± 1 tahun
yaitu pada 13 H.
Kemudian pada masa khalifah Usman bin Affan terjadi perselisihan paham tentang perbedaan
cara baca Al-Quran yang sudah berada pada titik yang menyebabkab umat Islam saling
menyalahkan yang pada akhirnya menyebabkan perselisihan . Akibat peristiwa tersebut , timbul
lah inisiatif khaalifah Usman untuk mengumpulkan Al-Quran. Orang yang melakukan resensi
Al-Quran adalah ; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Alsh dan Abdurrahman bin Al-
Harish .
Dengan demikian suatu naskah absah Al-Quran yang disebut Mushaf Usmani telah diterapakan
dan salinan nya di bagi beberapa wilayah utama daerah Islam
Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Usman tidak memiliki harakat dan tanda titik, sehingga
orang non arab yang memeluk Islam merasa kesulitan membaca mushaf tersebut
Oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik ( 685-705 ) dilakukan penyempurnaan oleh
dua tokoh berikut :
1. Ubaidilllah bin ziyad, beliau melebihkan alif sebagai pengganti dari huruf yang di buang
2. Al-Hajjad bin yusuf Ats- Tsaqafi, beliau menyempurnakan mushaf Usmani pada sebelas
tempat yang memudahkan pembaca mushaf,
3. Abu Al-Aswad Ad- Du`Ali , Yahya Bin Ya`Mar, Nashr Bin Asyim Al-Laits sebagai
orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani.
4. al-Khalid bin Ahmad Al- Farahidi Al-Azdi , beliau orang yang pertama kali meletakkan
hamzah , tasdid, arrum dan Al-Isyamah adalah .
PENUTUP
KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Hal yang
demikian disebabkan oleh beberapa faktor yang nantinya akan mempermudah Nabi untuk
menerimanya serta membuktikan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar kitab yang diturunkan oleh
Allah SWT. Dzat yang Maha bijaksana sehingga Al-Qur’an turun sesuai dengan tujuan dan
fungsinya.
Di atas juaga pada intinya menjelaskan bahwa sesuai dengan masing-masing pendapat
para ulama, Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf. Dan hal tersebut mempunyai dalil-dalil
tersendiri serta mempunyai beberapa hikmah yang terkandung di dalamnya.
Pengertian Al-Qur'an Diturunkan Atas
Tujuh Huruf
Dengan "ini" berat Anda turun 37 kg saat tidur! Pembakar lemak terdahsyat!
Bacalah sebelum dihapus! Berat Anda 89 kg? Bisa jadi 55 kg! Sebelum tidur harus
Bau mulut akibat parasit! Mereka akan lenyap jika Anda minum sesendok...
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar, karena Al-
Qur'an diturunkan ditengah-tengah umat yang berbahasa arab melalui nabi yang berbahasa arab
sekalipun ini bukan berarti bahwa islam hanya untuk bangsa arab. Keadaan Al-Qur'an dalam
bahasa arab dijelaskan oleh Al-Qur'an sendiri yang menurut perhitungan Muhammad Fuad Abd
al-Baqi pada sebelas tempat. Diantaranya adalah ayat-ayat berikut :
1. Surah Yusuf ayat 2
" Sesungguhnya, Kami menurunkan Al-Qur'an yang berbahasa Arab agar kamu
memahaminya"
2. Surah As-syu'ara ayat 195
" Dengan bahasa Arab yang jelas".
Dalam menafsirkan ayat pertama, Rasyid Ridha menyatakan bahwa Al-qur'an dsampaikan
kepadamu sesuai dengan bahasamu yaitu bahasa Arab, supaya kamu dapat mengetahui berbagai
hal tentang ilmu agama, berita berita rasul, ilmu dan hikmah, peradaban dan politik.
Al-Alusi menafsirkan ayat kedua dengan menyatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam
bahasa arab, jelas makna dan maksudnya agar dapat memberi kesan tentang apa yang
dikehendakinya. Turunnya Al-Qur'an dalam bahasa arab yang jelas bertujuan memberikan
informasi tentang apa yang dibutuhkan oleh manusia, baik menyangkut urusan agama maupun
dengan urusan dunia.
Berdasarkan dua ayat dan keterangan dua mufassir diatas, jelas bahwa bahasa yang digunakan
Al-Qu'an adalah bahasa arab asli. Sekalipun bukan berarti bahwa Al-Qu'an diturunkan khusus
untuk bangsa arab, sebab berdasarkan keterangan Al-Qu'an sendiri dan praktet Nabi, agama
Islam yang bersumber pokoknya Al-Qu'an ditujukan untuk seluruh umat manusia. Dengan
demikian Al-Qu'an dalam berbahasa arab tidak ada masalah. Akan tetapi, masalahnya bahasa
arab itu sendiri terdiri dari berbagai rumpun, apakah Al-Qu'an menggunakan semua rumpun itu
atau hanya menggunakan rumpun tertentu?. Dalam pada itu ditemulan pula beberapa hadits yang
menjelaskan bahwa Al-Qu'an diturunkan dalam tujuh huruf. Muhammad Abd Al-Azim
mengemukakan sepuluh hadits yang dipandang sahihsebagai dalil tentang turunnya Al-Qu'an
dalam tujuh huruf diantaranya adalah sebagai berikut :
Hadits Pertama
" Dari Ibnu Abbas r.a bahwa ia berkata : " Berkata Rasulullah saw, : " Jibril membacakan
kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus menerus meminta
tambahan dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf" (Diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim).
Hadits Kedua
" Kemudian berkata Rasulullah saw. : " Sesungguhnya Al-Qur'an itu diturunkan atas tujuh ahruf
(huruf) maka baca kamulah mana yang muda daripadanya".(Diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim).
Hadits kedua ini berasal dari Umar bin Khattab yang membawa Hisyam Ibnu Hakim
kehadapan Rasulullah karena membaca surah Al-furqan dengan berbagai cara baca dan
Rasulullah pernah membacanya dengan cara itu kepada Umar. Setelah Hisyam
memperdengarkan bacaannya kepada Rasul, Rasul berkata : " Demikianlah ia diturunkan" dan
seterusnya menyambungnya dengan sabdanya di atas.
Melihat periwayat hadit-hadits ini dan asalnya dari sahabat-sahabat Nabi yang ke tsiqahannya
tidak perlu dipertanyakan lagi, maka hadits-hadits ini dapat dinali shahih, bahkan para ulama
tidak mempersoalkan ke sahihannya bersama hadits lain yang menerangkan turunnya Al-qur'an
atas tujuh huruf.
Sebagian ulama memahami bahawa kata tujuh disini tidak dimasudkan dengan makna
bilangan tujuh yang sebenarnya. Menurut mereka tujuh disini hanya menunjukkan banyaknya
kemungkinan cara membaca Al-qur'an yang dibolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum
muslimin yang pada pokoknya terdiri dari orang-orang arab yang menggunakan berbagai lahjah
pada masa turunnya Al-qur'an. Namun dari hadits pertama diatas, dapat dipahami bahwa kata
tujuh memang disini dimaksudkan "tujuh" dalam arti bilangan yang dikenal. Selanjutnya,
bilangan tujuh disini merupakan batas maksimal darivkemungkinan kemungkinan bacaan Al-
qur'an yang dibolehkan. Sebab, dalam hadits diatas disebutkan bahwa Rasul terus menerus
meminta agar Jibril membacakan kepadanya dengan cara yang lain sehingga menjadi kemudahan
dari umatnya untuk membacanya sebagai yang dijelaskna pada hadits kedua. Ternyata Jibril
hanya sampai pada cara yang ketujuh dan tidak menambahnya lagi.
Sedangkan kata " ahruf" yang merupakan bentuk jamak dari "harf" dalam bahasa indonesia
selalu diterjemahkan dengan huruf. Dalam bahasa arab kata "harf " adalah lafal musytarak
(mempunyai banyak arti). sesuai dengan penggunaannya, "harf" bisa 'tepi sesuatu', 'puncak',
'satu huruf ejaan', 'unta yang kurus', 'aliran air', bahasa', 'wajih' (bentuk) dan sebagainya. Karena
itu, "sab'ah ahruf" bisa diartikan dengan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan,
dan tujuh bentuk (awjuh). Meskipun para ulama berbeda pendapat dalan menafsirkannya
sebagaimana akan di kemukakan pada pembahasaan yang akan datang, namun makna yang lebih
mengana dalam hubungan ialah tujuh bentuk (awjuh) perbedaan yang mungkin terjadi dalam
bacaan Al-Qur'an.
Keterangan di atas bukan berarti bahwa setiap kata dari Al-Qur'an harus dibaca atas tujuh
bentuk. Maksudnya adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan perbedaan bacaan dalam satu kata
atau ayat-bagaimanapun banyaknya-tidak lebih dari tujuh bentuk.
Misalnya tentang kalimat:
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> ِين
ِ َم ٰـ ِل ِك يَ ۡو ِم ٱلد
diriwayatkan dapat dibaca dengan tujuh atau sepuluh cara, kalimat:
اغوت أ ُ ف
ْ َو ْعبُد الط
dibaca dengan 22 qiraat, dan kata: أ ُ فdengan 37 bahasa. Namun, perubahan dalam semua
kalimat dan kata-kata ini dan yang seumpamanya tidak keluar dari tujuh bentuk perubahan.
Untuk memahami pengertian ini lebih lanjut, ada baiknya diketahui kondisi historis yang
melatar belakangi timbulnya hadits-hadits tentang turunnya Al-Qur'an atas tujuh huruf.
Dipahami dari hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dari Ubay Ibn Ka'b
bahwa rasul meminta kemaafan dan kemampuan Allah agar Jibril menambah bentuk bacaan al-
qur'an samapai kepada tujuh bentuk ketika ia berada di Adhaa ani Ghiffar yang maksudnya Quba
atau suatu tempat dekat Madinah atau tempat di madinah. Riwayat ini menunjukkan bahwa
permohonan untuk keringan itu tidak terjadi kecuali hijrah. Hal ini tentunya menimbulkan
pertanyaan, mengapa permohonan itu baru muncul di Madinah sementara ayay-ayat Al-Qur'an
sudah turun selama 13 tahun di Mekkah? Peristiwa ini menunjukkan bahwa kebutuhan kepada
bentuk bacaan yang bervariasi itu baru dirasakan di Madinah setelah tersiarnya Islam ke berbagai
kabilah dengan berbagai bahasa atau lahjah (dialek) dan susunannya yang kadang-kadang satu
kabilat sulit mengikuti lahjah kabilah lainnya termasuk lahjah Kuraisy.pada periode Mekkah,
Islam pada dasarnya masih terbatas di kalangan orang-orang Mekkah. karena itu, bagimereka
tidak kesulaitan membaca Al-Qur'an sekalipun harus dalam satu lahjah dan bentuk susunannya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pokok dari turunnya Al-Qur'an atas tujuh huruf
adalah untuk memberi kemudahan bagi suku-suku Arab yang mengalami kesulitan dalam
membacanya. Selanjutnya, dapat dipahami pula bahwa kesulitan itu bisa dalam penuturan
hurufnya, kata-katanya, kalimatnya, dan bahkan susunannya. Untuk mewujudkan kemudahan ini
maka terjadilah sebagian perubahan huruf, atau kata atau kalimat atau susunan kalimat dalam
sebagian ayat-ayat Al-Qur'an. Perubahan-perubahan ini menyebabkan perbedaan-perbedaan yang
jelas antara satu qiraah dan qiraah lainnya. Perbedaannya bukan hanya dalam pengucapan dan
huruf semata tetapi juga pada kalimat dan susunannya. Karena itu, ungkapan tentang Al-Qur'an
diturunkan atas tujuh huruf ini lebih tepat diartikan sebagai tujuh bentuk perbedaan bacaan Al-
Qur'an sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Abu al-Fadhl al-Razi dalam kitab Al-Lawaih.
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang
bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti
kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” (as-Suyuti berkata: “Penafsiran ulama
tentang makna hadits ini tidak kurang dari empat puluh pendapat [al-itqaan jilid 1 hal 45])
namun kebanyakan pendapat-pendapat itu saling tumpang tindih. Di sini kita kemukakan
beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
a. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa
mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan
dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan
jika tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan
bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamin dan
Yaman.
Menurut Abu Hatim as-Sijistani, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim,
Azad, Rabi’ah, Hawazin dan Sa’d bin Bakar. Dan diriwayatkan juga pendapat yang lain. (lihat
al-itqaan jilid 1 hal 47)
b. Suatu kaum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa
kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu
bahasa paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa
Quraisy. Sedangkan sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamin
atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya karena yang dimaksud dengan tujuh huruf
dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah al-Qur’an, bukan tujuh
bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam arti dan makna.
Berkata Abu ‘Ubaid: “Yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa,
tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam al-Qur’an. Sebagaiannya bahasa Quraisy, sebagian
lain bahasa Hazail, Hawazin, Yaman, dan lain-lain.” Dan katanya pula: “Sebagian bahasa-bahasa
itu lebih beruntung karena dominan dalam al-Qur’an.”
c. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah,
yaitu: amr [perintah], nahyu [larangan], wa’d [janji], wa’id [ancaman], jadal [perdebatan], qasas
[cerita], dan masal [perumpamaan]. Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam mutasyabih dan
amtsal.
Dari Ibn Mas’ud, Nabi berkata: “Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan
satu huruf. Sedang al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu: zajr
[larangan], amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.” (Hadits Hakim dan Baihaqi)
d. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam
hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf [perbedaan] yaitu:
1. Ikhtilaaful asmaa’ [perbedaan kata benda]: dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan cabang-
cabangnya, seperti tasniyah, jamak dan ta’nis. Misalnya firman Allah: walladziina Hum li
amaanaatiHim wa ‘aHdiHim raa’uun (al-Mukminuun: 8), dibaca “li amaanatiHim” dengan
bentuk mufrad dan dibaca pula “li amaanaatiHim” dengan bentuk jamak. Sedang rasamnya
dalam mushaf adalah tertulis “lam hamzah mim nun ta’ Ha’ dan mim” [tanpa harakat/syakal],
yang memungkinkan kedua qira’at itu karena tidak adanya alif yang disukun. Tetapi kesimpulan
akhir dari kedua macam qira’at itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak
dimaksudkan untuk arti istigraq [keseluruhan] yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan
dengan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak, yaitu semua
jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
2. Perbedaan dalam segi i’rab [harakat akhir kata], seperti firman Allah: maa Haadzaa basyaran
(Yusuf: 31). Jumhur membacanya dengan nasab [accusative], dengan alasan “maa” berfungsi
seperti “laisa”; dan ini adalah bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah al-Qur’an
diturunkan. Sedang Ibn Mas’ud membacanya dengan rafa’ [nominative]: “maa Haadzaa
basyarun” sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan “maa” seperti
“laisa”.
Juga seperti firman-Nya: fatalaqqaa adama mir rabbiHii kalimaatin (al-Baqarah: 37) ayat ini
dibaca dengan menasabkan “adama” dan merafa’kan “kalimaatun” (fatalaqqaa adama mir
rabbiHii kalimaatun)
3. Perbedaan dalam tasrif, seperti firman-Nya: qaaluu rabbanaa baa-‘id baina asfaarinaa (Saba’:
19), dibaca dengan menasabkan “rabbanaa” karena menjadi munaadaa mudaaf dan “baa-‘id”
dibaca dengan bentuk perintah [fi’il amr]. Lafadz “rabbanaa” dibaca pula dengan rafa’ sebagai
mubtada’ dan “baa-‘ada” dengan membaca fathah huruf ‘ain sebagai fi’il madli yang
kedudukannya menjadi khabar atau sebutan. Juga dibaca “ba’-‘ada” dengan membaca fathah dan
mentasydidkan huruf ‘ain dan merafa’kan lafadz “rabbanaa”
Termasuk kelompok ini adalah perbedaan karena perubahan huruf, seperti “ya’lamuunaa” dan
“ta’lamuuna”, dengan ya’ dan dengan ta’. Dan lafadz “ash-shiraatha” dan “as-siraatha” dalam
firman-Nya: iHdinash shiraathal mustaqiima (al-Faatihah: 6).
4. Perbedaan dalam taqdim [mendahulukan] dan ta’khir [mengakhirkan], baik terjadi pada huruf
seperti firman-Nya: afalam yai-asu (ar-Ra’d: 31) yang dibaca pula “afalam ya’yasu” maupun di
dalam kata seperti firman-Nya: “fayaqtuluuna wa yuqtaluuna” (at-Taubah: 111) dimana yang
pertama “fayaqtuluuna” di-mabni-fa’il-kan [dibaca dalam bentuk aktif] dan yang kedua “wa
yuqtaluuna” di-mabni-maf’ul-kan [dibaca dalam bentuk pasif] disamping dibaca pula dengan
sebaliknya, yaitu yang pertama di-mabni-maf’ul-kan dan yang kedua di-mabni-fa’il-kan.
Adapun qira’at: wa jaa-at sakratul haqqi bil mauti (Qaaf: 19) sebagai ganti dari firman-Nya: “wa
jaa-at sakratul mauti bil haqqi” adalah qira’at aahaad dan syadz yang tidak mencapai derajat
mutawatir.
5. Perbedaan dalam segi ibdaal [penggantian], baik penggantian huruf dengan huruf, seperti
“wandhur ilal ‘idhaami kaifa nunsyizuHaa” (al-Baqarah: 259) yang dibaca dengan huruf za dan
mendlamahkan nun, disamping dibaca pula dengan huruf ra’ dan memfathahkan nun; maupun
penggantian lafadz dengan lafadz, seperti firman-Nya: kal-‘iHnil manfuusyi (al-Qari’ah: 5) yang
dibaca oleh Ibn Mas’ud dan lain-lain dengan “kash-shuufil manfuusyi”. Terkadang juga
penggantian ini terjadi pada sedikit perbedaan makhraj atau tempat keluar huruf, seperti firman-
Nya: thalhim man-dluudin (al-Waaqi’ah: 29) yang dibaca dengan “thal-‘in” karena makhraj ha’
dan ‘ain itu sama dan keduanya termasuk huruf halaq.
6. Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan. Ikhtilaf dengan penambahan [ziyadah]
misalnya firman Allah “wa a-‘adda laHum jannaatin tajrii tahtaHal anHaaru (at-Taubah: 100)
yang dibaca juga dengan “min tahtiHal anHaaru” dengan tambahan “min”, keduanya merupakan
qira’at yang mutawatir. Mengenai perbedaan karena adanya pengurangan [naqs], seperti dalam
firman-Nya: qaalut takhadzallaaHu waladan (al-Baqarah: 116) tanpa huruf wawu, sedang jumhur
ulama membacanya: “wa qaalut takhadzallaaHu waladaa” dengan wawu. Perbedaan dengan
adanya penambahan dalam qira’at ahad [orang perorangan] dapat diwakili dengan qira’at Ibn
Abbas: wa kaana amaamaHum malikuy ya’khudzu kulli safiinatin shaalihatin ghashban (al-
Kahfi: 79), dengan penambahan “shaalihatin” dan penggantian kata “amaama” dari kata “waraa-
a” sedang qira’at jumhur ialah: “wa kaana waraa-aHum malikuy ya’khudzu kulla safiinatin
ghashban”. Demikian pula perbedaan karena pengurangan dapat diberi contoh dengan qira’at
“wadzdzakara wal untsaa” sebagai ganti dari ayat yang lazim dibaca “wa maa khalaqadzdzakara
wal untsaa (al-Lail: 3).
7. Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim [menebalkan] dan tarqiq [menipiskan], fathah dan
imalah, idzHar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam dan lain-lain. Seperti membaca imalah
dan tidak imalah dalam firman-Nya: “Hal ataaka hadiitsu muusaa” yang dibaca dengan
mengimalahkan kata “ataa” dan “muusaa”, membaca tarqiq ra dalam firman-Nya “Khabiiram
bashiiran” mentafkhimkan huruf lam dalam kata “ath-thalaaq”, mentashilkan hamzah dalam
firman-Nya “qad aflaha” (al-Mukminun: 1) dan mengisymamkan huruf ghain dengan
didlamahkan bersama kasrah dalam firman-Nya “wa ghii-dlal maa-u” (Huud: 44). Dan
seterusnya.
e. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah
[maksudnya, bukan bilangan antara enam dan delapan] tetapi bilangan tersebut hanya sebagai
lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh
adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama dari
perkataan semua orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab lafadz
sab’ah [tujuh] dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam
bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam bilangan puluhan, dan tujuh ratus dalam bilangan
ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu. (lihat al-
itqaan, jilid 1 hal 45)
f. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah
qiraat tujuh.