Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Tonsil


Tonsil palatina dan tonsil faringeal merupakan bagian terpenting dari sistem cincin
Waldeyer, dimana keduanya merupakan bagian terbesar dari sistem tersebut dan menjadi salah
satu dari sistem pertahanan mukosa karena terletak didepan pintu masuk dari saluran
pernafasan dan saluran pencernaan. Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring
yang terdiri dari:1,2
1. Adenoid (pharyngeal)
2. Tonsil lingualis
3. Tonsil palatina
4. Lateral faringeal band
5. Pharyngeal Granulation
6. Tubal Tonsil (Gerlach)
7. Ventricel lateralt lymphoid tissue

Gambar 2.1 Letak anatomi tonsil yang membentuk cincin Waldeyer


Tonsila Faringeal (adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti
suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini
tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus.
Adenoid terletak pada nasofaring yaitu pada dinding atas nasofaring bagian belakang.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun
dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Pada masa pubertas adenoid
ini akan menghilang atau mengecil sehingga jarang sekali dijumpai pada orang dewasa. Ukuran
adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
Apabila adenoid membesar maka akan tampak sebagai sebuah massa yang terdiri dari
4-5 lipatan longitudinal anteroposterior serta mengisi sebagian besar atas nasofaring. Berlainan
dengan tonsil, adenoid mengandung sedikit sekali kripta dan letak kripta tersebut dangkal.
Tidak ada jaringan khusus yang memisahkan adenoid ini dengan m. konstriktor superior
sehingga pada waktu adenoidektomi sukar mengangkat jaringan ini secara keseluruhan.
Adenoid mendapat darah dari cabang-cabang faringeal A. Karotis interna dan sebagian kecil
dari cabang-cabang palatina A. Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus
ke dalam V. Jugularis interna. Sedangkan persarafan sensoris melelui N. Nasofaringeal yaitu
cabang dari saraf otak ke IX dan juga melalui N. Vagus.

Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah
diantara kedua tonsil palatina dan meluas ke arah anteroposterior dari papilla sirkumvalata ke
epiglottis. Jaringan limfoid ini menyebar ke arah lateral dan ukurannya mengecil. Dipisahkan
dari otot-otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa. Jumlahnya bervariasi, antara 30-100
buah. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-sel
limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri, yang
akhirnya membentuk detritus.
Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A.
Karotis eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke V. Jugularis interna. Aliran
limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N. IX.
Tonsila Palatina
Tonsil terletak di bagian samping belakang orofaring, dalam fossa tonsilaris, berbentuk
oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm, tebal 15 mm, dan berat sekitar
1,5 gram. Berat tonsil pada laki-laki berkurang dengan bertambahnya umur, sedangkan pada
wanita berat bertambah pada masa pubertas dan kemudian menyusut kembali.
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
supratonsilar. Tonsil ini terletak di lateral orofaring dengan dibatasi oleh:
 Lateral → muskulus konstriktor faring superior
 Anterior → muskulus palatoglosus
 Posterior → muskulus palatofaringeus
 Superior → palatum mole
 Inferior → tonsil lingual

Gambar 2.2. Anatomi tonsil palatina dan komponen disekitarnya

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).
Fossa tonsilaris di bagian depan dibatasi oleh pilar anterior (arkus plalatina anterior),
sedangkan di bagian belakang dibatasi oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang
kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. Palatina membentuk
palatum molle. Bagian atas fossa tonsilaris kosong dinamakan fossa supratonsiler yang
merupakan jaringan ikat longgar.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan berhubungan
dengan fascia faringobasilaris yang melapisi M. konstriktor faringeus. Kapsul tonsil tersebut
masuk ke dalam jaringan tonsil, membentuk septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf
tonsil.
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plika triangularis,
dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang-kadang membesar. Plika ini
penting karena sikatrik yang terbantuk setelah proses tonsilektomi dapat menarik folikel
tersebut ke dalam fossa tonsilaris, sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.
Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit, disebut sebagai
plika semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat dengan ruang
supratonsil dan disebut glandula salivaris mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam
pembentukan abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak antara tonsil
dengan fosa tonsilaris mudah dipisahkan.
Di sekitar tonsil terdapat 3 ruang potensial yang secara klinik sering menjadi tempat
penyebaran infeksi dari tonsil. Ketiga ruang potensial tersebut adalah :
1. Ruang peritonsil (ruang supratonsil)
Berbentuk hampir segitiga dengan batas-batas :
- Anterior : m. palatoglosus
- Lateral & posterior : m. palatofaringeus
- Dasar segitiga : pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivarius Weber, yang bila terinfeksi dapat menyebar ke
ruang peritonsil, menjadi abses peritonsil.
2. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar 3, berbentuk oval, merupakan sudut yang dibentuk oleh
ramus dan korpus mandibula. Di sebelah medial terdapat m. Buccinator, sementara pada bagian
postero-medialnya terdapat m. Pterygoideus internus dan bagian atas terdapat fasikulus longus
M. temporalis. Bila terjadi abses hebat pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus
disertai sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses peritonsil.
3. Ruang parafaring (ruang faringomaksila; ruang pterygomandibula)
Merupakan ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat pembuluh darah besar,
sehingga bila terjadi abses, berbahaya sekali. Adapun batas-batas ruang ini adalah
- Superior : Basis kranii dekat foramen jugulare
- Inferior : Os hyoid
- Medial : M. Konstriktor faringeus superior
- Lateral : Ramus ascendens mandibula, tempat m. Pterygoideus interna dan bagian
posterior kelenjar parotis
- Posterior : Otot-otot prevertebra
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh prosesus styloideus dan otot-otot yang
melekat pada prosesus styloideus tersebut :
- Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena: radng tonsil, mastoiditis,
parotitis, karies gigi atau tindakan operatif.
- Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat : A. karotis interna, V. Jugularis, N.
Vagus dan saraf-saraf simpatis.
Ruang parafaring ini hanya dibatasi oleh fascia yang tipis dengan ruang retro faring.
Ruang retrofaring
Batas-batasnya adalah sebagai berikut :
- Anterior : fascia m. Konstriktor superior
- Posterior : fascia prevertebralis
- Superior : basis cranii
- Inferior : mediastinum setinggi bifurkasio trakea
- Lateral : parafaringeal space

Vaskularisasi
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu: arteri maksilaris
eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden,a. maksilaris
interna dengan cabangnya yaitu a.palatina desenden, a. lingualis dengancabangnya yaitu a.
lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas dibagian luar m.
konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina
asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posteriormenuju tonsil. Arteri
faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagianluar m. konstriktor
superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirimcabangnya ke tonsil, plika
anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser
palatina artery member vaskularisasi tonsil dan palatum moledari atas dan membentuk
anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsilmembentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring

Gambar 2. Pendarahan tonsil


FISIOLOGI
Fungsi jaringan limfoid faring adalah memproduksi sel-sel limfosit tetapi peranannya sendiri
dalam mekanisme pertahanan tubuh masih diragukan. Penelitian menunjukkan bahwa tonsil
memegang peranan penting dalam fase-fase permulaan kehidupan terhadap infeksi mukosa
nasofaring dari udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
sintesis imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa IgG. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2%
dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil
adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%.
Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Hasil penelitian mengenai kadar antibodi pada tonsil menunjukkan bahwa perenkim tonsil
mempunyai kemampuan untuk memproduksi antibodi. Penelitian terakhir menyatakan bahwa
tonsil memegang peranan dalam memproduksi Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal resisten
terhadap organisme patogen.
Sewaktu baru lahir tonsil secara histologis tidak mempunyai centrum germinativum, biasanya
ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis, barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan
adenoid, yamg pada permulaan kehidupan masa kanak-kanak dianggap normal dan dipakai
sebagai indeks aktifitas sistem imun. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia
3 – 10 tahun. Pada waktu pubertas atau sebelum masa pubertas, terjadi kemunduran fungsi
tonsil yang disertai proses involusi.
Kuman-kuman patogen yang terdapat dalam flora normal tonsil dan faring tidak menimbulkan
peradangan, karena pada daerah ini terdapat mekanisme pertahanan dan hubungan timbal balik
antara berbagai jenis kuman.
Terdapat 2 bentuk mekanisme pertahanan tubuh, yaitu :
1. Mekanisme pertahanan non spesifik
Berupa kemampuan sel limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa tempat
lapisan mukosa tonsil sangat tipis sehingga menjadi tempat yang lemah terhadap masuknya
kuman ke dalam jaringan tonsil. Dengan masuknya kuman ke dalam lapisan mukosa, maka
kuman ini akan ditangkap oleh sel fagosit, dalam hal ini adalah elemen tonsil. Selanjutnya sel
fagosit akan membunuh kuman dengan proses oksidasi dan digesti.
2. Mekanisme pertahanan spesifik
Merupakan mekanisme pertahanan yang penting dalam mekanisme pertahanan tubuh
terhadap udaran pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah. Tonsil dapat
memproduksi IgA yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal terhadap organisme
patogen. Disamping itu, tonsil dan adenoid juga dapat menghasilkan IgE yang berfungsi untuk
mengikat sel basofil dan sel mastosit, dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi
mediator vasoaktif, yaitu histamin. Sel basofil yang terutama adalah sel basofil dalam sirkulasi
(sel basofil mononuklear) dan sel basofil dalam jaringan (sel mastosit).
Bila ada alergen, maka alergen tersebut akan bereaksi dengan IgE sehingga permukaan
sel membrannya terangsang dan terjadilah proses degranulasi. Proses ini akan menyebabkan
keluarnya histamin sehingga timbul reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu atopi, anafilaksis,
urtikaria, dan angioedema.
Dengan teknik immunoperoksida, dapat diketahui bahwa IgE dihasilkan dari plasma
sel terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid, dan kripta tonsil. Sedangkan
mekanisme kerja IgA, bukanlah menghancurkan antigen akan tetapi mencegah substansi
tersebut masuk ke dalam proses imunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus,
IgA mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu, IgA merupakan barier untuk
mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.
2.2. Definisi Tonsilitis
Tonsilitis adalah suatu reaksi peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang diakibatkan oleh bakteri,
virus, dan jamur.3,4

2.3. Klasifikasi
pada dasarnya terjadi suatu reaksi peradangan pada tonsil palatina bisa disebebkan
melalui transmisi lewat udara (air borne droplets), tangan dan juga ciuman serta kondisi tersebt
dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak-anak. Oleh sebab itu peradangan pada
tonsilitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut5,6:
1. Tonsilitis Akut: tonsilitis viral dan tonsilitis bakteri
2. Tonsilitis membranosa: tonsilitis difteri, tonsilitis septik dan angina plaut vincent
(stomatitis ulsero membranosa), penyakit kelainan darah, proses spesifik dan tuberkulosis,
infeksi jamur (moniliasis, aktinimikosis, blastomikosis), infeksi virus morbili, pertusis dan
skarlatina.
3. Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau
subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau
degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil
yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Durasi maupun beratnya
keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan
dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. Tonsilitis kronis adalah suatu
kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang
berulang.

2.4. Etiologi

Etiologi Tonsilitis
1. Tonsilitis Viral
Tonsilitis viral disebabkan oleh virus Epstein Barr, selain itu diketahui juga bahwa Hemofillus
influenza dapat menyebabkan tonsilitis viral akut yang sifatnya supuratif. Pada dasarnya gejala
tonsilitis viral lebih menyerupai gejala common cold kecuali yang disebabkan oleh virus
coxschakie, dimana pada pemeriksaan rongga mulutnya adakn ditemukan luka kecil pada
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan oleh pasien.5,6
2. Tonsilitis Bakterial
Tonsilitis bakterial adalah peradangan akut pada tonsil yang disebabkan oleh aktivitas bakteri,
seperti: grup A Streptokokus Beta hemolitikus, pneumokokus, streptokokus viridian dan
piogenes. Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada pasien tonsilitis baktelian adalah nyeri
tenggorokan dan nyeri saat menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa
nyeri di sendi, anoreksia dan otalgia. Rasa nyeri yang terjadi pada telinga ini disebabkan oleh
karena nyeri alih melalui saraf glosofaringeus. Pada pemeriksaan akan tampak tonsil yang
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel serta ditemukan
pembengkakan pada kelenjar mandibular dan juga nyeri tekan.5,6
3. Tonsilitis Difteri
Penyebab dari tonsilitis difteri adalah suatu jenis kuman yang spesifik, yaitu Corynebacterium
diphteriae yang termasuk dalam kelompok kuman gram positif dan berada biasanya di aluran
nafas atas, seperti hidung, faring dan laring. Tonsilitis difteri biasa terjadi pada anak-anak yang
berusia kurang dari 10 tahun namun pada orang dewasa masih mungkin terjadi. Seseorang yang
terinfeksi dari kuman difteri akan mengalami tiga golongan gejala, berupa: 1) gejala umum,
seperti demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan nyeri
saat menelan. 2) gejala lokal, seperti tonsil membengkak yang tertutup bercak putih kotor
membentuk membran semu, dimana membran tersebut dapat meluas ke pallatum molle, uvula,
nasofaring, laring, trakhea, bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas serta mudah berdarah.
3) gejala akibat oksitosin seperti pada jantung dapat menyebabkan miokarditis, dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan pernafasan bila mengenai saraf kranial.5,6
4. Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi
sehingga kejadian tonsilitis septik dapat menjadi suatu kejadian epidemik.5,6
5. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)
Penyebab penyakit ini merupakan suatu bakteri jenis spirochaeta atau triponema yang terdapat
pada penderita dengan tingkat hygine mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejala yang
akan timbul pada pasien dengan penyakit ini berupademam dengan kenaikan suhu sampai
390C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang disertai dengan gangguan pencernaan, rasa nyeri
pada bagian mulut, hipersalivasi, serta gigi dan gusi mudah berdarah.5,6
6. Penyakit Kelainan Darah
Tidak jarang tanda pertama dari leukimia akut, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan dibawah
kulit sehingga pada pemeriksaan akan tampak bercak kebiruan. Pada kasus ini, tonsil akan
ditemukan dalam kondisi yang mengalami pembengkakan ditutupi oleh suatu membran semu
tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat pada tenggorokan pasien. 5,6
7. Tonsilitis Kronik
Terjadinya peradangan pada tonsil yang sifatnya kronik disebabkan oleh beberapa faktor yang
mendukung seperti: rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan yang
dikonsumsi, tingkat hygine mulut yang buruk, pengaruh perubahan cuaca, kelelahan fisik dan
juga pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Pada dasarnya kuman yang mendasari yang
terjadinya peradangan kronik pada tonsil sama dengan peradangan akut, namun pada beberapa
kondisi kuman dapat berubah menjadi kuman golongan gram negatif. Adapun gejala yang
dapat terjadi pada pasien yang mengalami peradangan kronik pada tonsil berupa adanya
penghalang atau mengganjal, tenggorokan terasa kering, pernafasan berbau. Saat pemeriksaan
ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi oleh
detritus.6,7

2.5 Tonsilitis Kronik


2.5.1 Definisi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang frekuensi terjadinya paling sering bila
dibandingkan dari semua penyakit tenggorokan yang sifatnya berulang.1,7 Pada dasarnya
terjadinya tonsilitis kronik sebagai akibat proses peradangan tonsil yang menetap atau kambuh
karena infeksi akut atau subklinis yang berulang.7 Pada tonsilitis kronik, ukuran tonsil
membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstriuksi kripta
tonsil, namun dapat juga ditemukan yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang
kronik.2

2.5.2 Epidemiologi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi sari seluruh penyakit
THT. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia, prevalensi
tonsilitis kronis 3,8% tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6%. Data morbiditas pada anak
yang menderita tonsilitis kronis menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada umur
5-14 tahun menempati urutan kelima (10,5% laki-laki dan 13,7% perempuan). Hasil
pemeriksaan pada anak-anak dan dewasa menunjukkan total penyakit pada telinga hidung dan
tenggorokan berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk dan didapati 38,4% diantaranya
merupakan penderita penyakit tonsilitis kronis.8

2.5.3 Etiologi
Pada dasarnya peradangan pada tonsil yang bersifat kronis selain dipermudah oleh
faktor perdisposisi juga disebabkan oleh beberapa jenis kuman seperti, kuman grup A
Sterptococus beta haemolitikus, Pneumococus, Streptococus viridans dan streptococus
piogenes. Kuman yang mendasari terjadinya tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis akut,
namun pada beberapa kondisi kuman dapat berubah menjadi kuman golongan gram
negatif.5,9,10 Faktor-faktor predisposisi yang diketahui mempermudah timbulnya tonsilitis
kronik adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, tingkat hygine
mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat.5,9

2.5.4 Patofisologi
Tonsilitis kronik dapat bermula dari tonsilitis akut. Pada tonsilitis kronik akibat proses
peradangan yang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid tersebut diganti dengan jaringan parut dan mengalami
pengerutan sehingga kripta menjadi melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus,
yang merupakan suatu kumpulan dari leukosit polimorfonuklear, epitel yang telah mati dan
juga bakteri yang telah mati. Proses tersebut terus berlanjut dan meluas sehingga menembus
kapsul tonsil, sehingga pada akhirnya menimbulkan suatu perlekatan dengan jaringan disekitar
fosa tonsilitis. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.5,6,9
Gambar 2.7. Pembesaran tonsil. Disebabkan oleh (A) Tonsilitis berulang (B) Pada pasien
Obstructive Sleep Apnea (C) Unilateral hipertrofi tonsil

Gambar 2.8. Pembesaan tonsil

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa


T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

2.6 Manifestasi Klinis


Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang
-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri
waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering
dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin
tampak, yakni :
- Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar,
kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
- Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan
ditutupi eksudat yang purulen.

2.7 Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada
beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak
terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil,
biasanya membuat lekukan dan seringkali dianggap sebagai "kuburan" dimana tepinya
hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang
rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau
Pneumokokus.

2.7. Diagnosis Banding


Gejala yang paling sering dialami oleh penderita tonsilitis adalah disfagia dan
pembesaran pada tonsil. Berikut ini beberapa penyakit yang bisa menjadi diagnosis banding
dari tonsilitis :
 Hipertrofi tonsil
 GERD (Gastro Esophageal Reflux)
 Limphoma of the head and neck
 NPC (Nasopharingeal carcinoma)
 Tumor ganas tonsil

Gambar 2.9. Gambaran hipertrofi tonsil (a) Tonsil kanan yang mengalami hipertrofi (b)
Kissing tonsils, tonsil menyebabkan Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran semu
yang menutupi tonsil (Tonsilitis Membranosa)
a. Tonsilitis Difteri
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus
mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan
regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah
besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel
darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
1. Penyakit Kronik Faring Granulomatus
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah buruk karena
anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga
(otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit
ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele
dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan
disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulseasi dan
proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial,
dengan dasar jaringan granulasi yang lunak.
Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri tenggorokan
(odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringan atau kultur, foto X-ray dan biopsi jaringan.

2.8. Pemeriksaan Penunjang


 Terapi: Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur
atau obat isap. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa tidak
berhasil.
 Faktor penunjang : Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

2.8. Penatalaksanaan Tonsilitis


Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut
maupun tonsilitis kronis. Antibiotik jenis penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian
besar kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan bakteriologi
sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif jenis lain selain penisilin. Pada bakteri penghasil
beta laktamase perlu antibiotik yang stabil terhadap enzim ini seperti amosisilin clavulanat.11
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat di atasi, operasi dapat tetap dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anastesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman. Di Amerika Serikat,
karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia,
tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak
sulit. Indikasi dilakukannya tonsilektomi dapat dibagi menjadi: 6
1. Indikasi absolut
 Tonsilitis rekuren akut > 3x/tahun
 Post abses peritonsilar. Pada anak, tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu setelah abses
diobati. Pada dewasa, serangan kedua abses peritonsilar merupakan indikasi asolut.
 Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
 Hipertrofi tonsil yang menyebabkan :
a. Obstruksi saluran napas (sleep apnea)
b. Sulit menelan
 Suspek keganasan. Pembesaran tonsil unilateral kemungkinan limfoma pada anak, dan
kemungkinan karsinoma epidermoid pada dewasa. Sebelumnya harus dilakukan
dahulu biopsi eksisional.
 Karier difteri

2. Indikasi relatif
 Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan penatalaksanaan
medis yang adekuat)
 Tonsillitis yang berhubungan dengan biakan steptokokus menetap dan patogenik
(keadaan karier)
 Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis
(biasanya pada dewasa muda)
 Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan
tonsillitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk
 Radang tonsil kronik menetap yang tidak memberikan respon pada penatalaksanaan
medis (biasanya dewasa muda)
 Hipertropi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan
gigi geliga yang menyempitkan jalan napas bagian atas
 Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten

Teknik Operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi
kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka
pada tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada
morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi operasi.
Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi
standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine
dan diseksi. Beberapa teknik tonsilektomi diantaranya :
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil
dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa
tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan
yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Metode pengangkatan
tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan
menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi
tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk
mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk
menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini
mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
4. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru
disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui
pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan
total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi
jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk karena dapat
memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan.
Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar
untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan
terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung suatu partikel
yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah
ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga
menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat
meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan merupakan peralatan
ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan
dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat) untuk
menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan reses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

Kontraindikasi
A. Kontraindikasi absolut:
 Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik, hemofilia dan purpura
 Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes melitus, penyakit jantung dan
sebagainya.
B. Kontraindikasi relatif:
 Palatoschizis
 Anemia (Hb <10 gr% atau HCT <30%)
 Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (tidak termasuk abses peritonsiler)
 Poliomielitis epidemik
 Usia di bawah 3 tahun (sebaiknya ditunggu sampai 5 tahun)
Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum,
sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi.
a. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Komplikasi yang
dapat ditemukan berupa :
1. Laringospasme
2. Gelisah pasca operasi
3. Mual muntah
4. Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
5. Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
6. Hipersensitif terhadap obat anestesi.

b. Komplikasi Bedah
 Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus). Perdarahan dapat terjadi selama
operasi, segera sesudah operasi atau dirumah.
 Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau
vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri
berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
 Komplikasi lain
Demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia,
pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan
pneumonia.

2.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menderita tonsilitis adalah
sebagai berikut :(9,10,11,12)
1. Sleep Apnea
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur,
seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (obstructive
sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medis yang serius,
ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan
berkurangnya asupan oksigen secara periodik.11,12
2. Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala
penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus. Diagnosa
dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
3. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau
secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi
yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
1. Komplikasi sekitar tonsil
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari
penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran
dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh darah.
Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os
mastoid dan os petrosus.
d. Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan
sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya
kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk
bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh
• Demam rematik dan penyakit jantung rematik
• Glomerulonefritis
• Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
• Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
• Artritis dan fibrositis.

2.10. Prognosis
Tonsilitis biasanya dapat sembuh dalam waktu beberapa hari dengan beristirahat
dan pengobatan suportif. Penanganan gejala klinis dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi. Antibiotik tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita
telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya. Infeksi yang sering
terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus.
2.11 Obstructive Sleep Apnea
Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya episode apnea atau
hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan kelainan sentral, obstruksi jalan napas atau
campuran. Obstruksi apnea adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun
dengan usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang tidak disertai
dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas.11
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan sindrom gangguan tidur umum dimana terjadi
obstruksi jalan napas komplit ataupun parsial yang dapat disebabkan kolapsnya faring saat tidur
yang menyebabkan pasien mendengkur keras atau tersedak, terjaga, mengganggu tidur dan
mengantuk di siang hari. ketika terjadi obstruksi jalan napas dapat menyebabkan terjadinya
hipopnea ataupun apnea.13
A. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya obstructive sleep apnea (OSA) pada anak antara lain sebagai
akibat hipertrofi adenoid dan tonsil, disproporsi kraniofasial dan obesitas. Hipertrofi adenoid
dan tonsil adalah keadaan yang paling sering menyebabkan OSA pada anak. Ukuran adenoid
dan tonsil tidak berbanding lurus dengan berat ringannya OSA. Terdapat anak dengan
hipertrofi adenoid yang cukup besar, namun OSA yang terjadi masih ringan. Anak lain dengan
pembesaran adenoid yang ringan dapat menunjukkan gejala OSA yang berat.11,13,14
Faktor resiko OSA yang lain adalah obesitas. Pada dewasa, obesitas merupakan
penyebab pertama terjadinya OSA sedangkan pada anak dengan obesitas bukan sebagai
penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSA pada obesitas karena terdapat penyempitan
saluran nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak
di sekitar saluran nafas, maupun kompresi eksternal leher dan rahang. Kemungkinan lain
adalah pada pasien obesitas dengan leher yang besar mempunyai velofarings yang lebigh
mudah mengalami kolaps sehingga mempermudah terjadinya sumbatan saluran nafas atas pada
waktu tidur. 11,13,14
Umum • Obesitas (IMT >30 kg/m2)
• Gender (pria> wanita)
• Riwayat OSA pada keluarga
• Pasca-menopause
Genetik atau kongenital • sindrom Down
• sindrom Pierre-Robin
• sindrom Marfan
Abnormalitas hidung/faring • Rinitis
• Polip nasi
• Hipertrofi tonsil dan adenoid
• Deviasi septum nasi
Penyakit lain • Akromegali
• Hipotiroidisme
Kelainan struktur saluran napas atas • Lingkar leher >40cm
• Abnormalitas sendi temporomandibula
• Mikrognatia
• Retrognatia
• Makroglosia
• Abnormalitas palatum
• Kraniosinostosis

B. Klasifikasi
a. Central sleep apnea (CSA)
Kejadiannya dimulai dari pusat control pernafasan diotak. Terjadi ketika otak tidak
mengirimkan sinyal yang memadai ke otot-otot pernafasan, sehingga otot-otot pernafasan
mengalami paralisis atau kelumpuhan. Ini biasanya terjadi pada bayi atau pada orang dewasa
dengan penyakit jantung, penyakit serebrovaskular atau penyakit herediter atau kelainan
bawaan juga dapat disebabkan oleh keracunan obat. 11
b. Obstruktif sleep apnea (OSA)
Hambatan saluran pernafasan selama tidur diperkirakan sekitar 4% dari pria dan 2% dari
perempuan dari seluruh kasus sleep apnea ini. Dalam sebuah penelitian orang dewasa 18 tahun
yang mengalami hambatan pernafasan selama tidur diperkirakan 1,5% dari semua angka
kejadian pertahun. Yang paling mengkhawatirkan adalah lebih 10% dari orang-orang yang
mengalami serangan ini membutuhkan perawatan khusus di Rumah Sakit.11
c. Gabungan dipusat persarafan pernafasan diotak dan hambatan pernafasan atau
obstruksi pernafasan
Patogenesis
Pada OSA terjadi pendorongan lidah dan palatum ke belakang sehingga aposisi dengan dinding
faring posterior yang menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Sewaktu tidur oklusi
saluran napas menyebabkan berhentinya aliran udara meskipun pernapasan masih berlangsung
sehingga timbul apnea, asfiksia sampai proses terbangun yang singkat dari tidur dan terjadi
perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat diteruskan kembali. Dengan
perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai kejadian berikutnya terulang kembali.
Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi melebihi kekuatan
stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa penderita dengan
penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertropi adenotosilar,
magroglossia atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring menyebabkan complaince saluran
napas atas meningkat sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan negatif.
Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang berlebihan pada
dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya ventilasi saat tidur dan jaringan
lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter saluran napas yang merupakan predisposisi
terjadinya penutupan prematur saat jaringan otot relaksasi waktu tidur.
Saat bangun, aktiviti otot saluran napas atas lebih besar dari normal, kemungkinan kompensasi
dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi. Aktiviti otot yang menurun saat tidur
menyebabkan kolaps saluran napas atas sewaktu inspirasi. Reduksi fisiologis aktivitas saluran
napas atas terjadi selama tidur REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi aktiviti
otot saluran napas atas sehingga terjadi kolaps.
Beberapa penderita juga tampak obstruksi hidung, tahanan tinggi merupakan predisposisi
kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif meningkat di faring saat inspirasi
menyebabkan kontraksi diafragma meningkat untuk mengatasi tahanan aliran udara di hidung.
Akhir obstructive apnea tergantung proses terbangun dari tidur ke tingkat tidur yang lebih
dangkal dan diikuti oleh aktiviti otot dilator dan abduktor saluran napas atas dan perbaikan
posisi saluran napas.
Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak, uvula dan besar lidah, saluran napas
atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring ukuran dan konturnya normal (gambar
4).
Gambar 4. Saluran Nafas Normal dan Mendengkur

C. Gejala Klinis
Beberapa gejala pada penderita sleep apnea, diantaranya:11,13,15
o Pada pagi atau siang hari
 Rasa ngantuk yang berlebihan
 Kurang konsentrasi
 Daya ingat menurun
 Sakit kepala
 Perubahan mood
 Mudah cemas atau marah
 Refluks gastroesofageal
o Pada malam hari
 Cegukan atau tersedak
 Sering terbangun waktu malam
 Mendengkur
 Mengeluarkan air liur saar tidur (Drooling)
Akibat yang paling ringan dari sleep apnea adalah turunnya produktivitas karena
kualitas tidur yang buruk, kualitas tidur yang buruk menyebabkan tidak segarnya tubuh saat
bangun, akibatnya konsentrasi akan menurun saat bekerja karena orang akan mengantuk.
D. Diagnosa Sleep Apnea
Pada anamnesis dapat digali riwayat obesitas, sering terbangun pada malam hari dan
riwayat keluarga (seperti alergi riwayat alergi terhadap pajanan tertentu), riwayat mendengkur,
dll. Ada riwayat mendengkur 3 kali/ lebih perminggu menunjukkan kemungkinan adanya
obstruksi sleep apnea. Selain itu, dapat juga digali riwayat seperti posisi tidur yang tidak benar,
sakit kepala dipagi hari, kelelahan, kepribadian yang iritabel, gangguan tumbuh kembang serta
gangguan perilaku atau kepribadian.14,15
Tampilan klinis orang dengan sleep apnea terkadang tidak begitu spesifik sehingga
menuntut kecermatan dalam mendiagnosanya. Dalam mendiagnosanya slalu diawali dengan
anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik dan jika perlu pemeriksaan penunjang.14
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan seperti:
 Pembesaran atau malformasi dari tonsil palatine, adenoid dan uvula.
 Adanya celah, penyempitan atau kompresi palatum dan faring.
 Gangguan tumbuh kembang, hal ini dapat diketahui dengan chart berat badan, tinggi
badan, umur serta index masa tubuh.
Seorang dikatakan menderita OSA jika terdapat:
 Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, bangun beberapa kali ketika
tidur, tidur yang tidak menghasilkan rasa segar, perasaan lelah sepanjang hari dan
gangguan konsentrasi.
 Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan dengan sebab
lain. 11,13
Klasifikasi OSA berdasarkan indeks AHI (Apnea-Hipopnea Index):13
 Normal : AHI ≤5
 Mild OSA : AHI 5-15
 Moderate OSA : AHI 15-30
 Severe OSA : AHI ≥ 30
Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI) dan beratnya
hipoksemi seperti berikut:
RDI SaO2 (%)
• Mild 5-20 >85
• Moderate 21-40 65-84
• Severe >40 <65
Teknik pemeriksaan telah dikembangkan untuk memperkirakan pasien mana yang lebih baik
menjalani operasi atau menggunakan peralatan oral daripada menggunakan nasal continuous
positive airway pressure. Untuk itu dilakukan pemeriksaan nasofaringoskopi rutin oleh ahli
THT guna mengevaluasi saluran nafas atas, baik pada waktu penderita bangun ataupun tidur.

Gambar 5. Naso-Faringo-Laringoskopi
Sleep nasoendoscopy memungkinkan penilaian dinamis faring pada waktu tidur. Tempat di
mana terjadi obstruksi dapat terlihat sehingga bisa dilakukan terapi yang spesifik, sesuai
dengan tempat terjadinya sumbatan:
• Kavum nasi
• Palatum
• Basis lidah
• Dinding lateral faring
• Epiglotis
Sumbatan yang ditemukan pada pemeriksaan sleep nasoendoscopy menurut Pringle dan Croft
(1993) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
• Derajat 1 : hanya ditemukan vibrasi dari palatum
• Derajat 2 : hanya ditemukan obstruksi palatum
• Derajat 3 : obstruksi palatum dan perluasan ke orofaring yang intermiten
• Derajat 4 : obstruksi pada beberapa level
• Derajat 5 : hanya ditemukan obstruksi pada basis lidah
E. Penatalaksanaan Sleep Apnea
Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu :
 Intervensi bedah :
Pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula dan faring; somnoplasty; trakeostomi.
 Perubahan gaya hidup :
Menurunkan berat badan; menghindari alkohol dan obat-obatan pembantu untuk tidur;
menghindari kelelahan yang sangat dan mengkonsumsi kafein.
 Alat-alat buatan :
Alat untuk mereposisi rahang dan mencegah lidah jatuh ke belakang (mempertahankan posisi
lidah); cervical collars atau bantal; CPAP. Positive airway pressure (PAP) diketahui
merupakan terapi baku emas untuk OSA. Bentuk umum dari PAP adalah continuous positive
airway pressure (CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau
variasivariasi lain. Sullivan dkk melaporkan penggunaan nasal CPAP sebagai terapi OSA.
Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif di jalan napas atas pada tingkat yang
konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas atas tetap paten/terbuka selama tidur dan
mempertahankan volume paru sehingga membantu faring tetap paten. Hal tersebut dapat
mencegah terjadinya apnea dan dapat mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi
menggunakan CPAP akan meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi
ini dianggap efektif untuk pasien OSA sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan
utama serta merupakan terapi seumur hidup karena jika pasien menghentikan pemakaian CPAP
maka gejala-gejala OSA akan terulang kembali. Studi dari Brown University Medical School
mempelajari bagaimana pengaruh penggunaan CPAP terhadap kemampuan daya ingat.
• Pasien yang menggunakan CPAP < 2 jam tiap malam hari (misalnya : pada pasien yang
tingkat kepatuhannya rendah) mempunyai 21% fungsi daya ingat yang normal.
• Pasien yang menggunakan CPAP 2-6 jam tiap malam mempunyai 44% fungsi daya
ingat yang normal.
• Pasien yang menggunakan CPAP 6 tiap malam (pengobatan dan tingkat kepatuhan
yang optimal) mempunyai 68% fungsi daya ingat yang normal.

Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan bedah
dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat
berupa diet pada anak dengan obesitas dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway
Pressure ).
1 . Tonsilektomi

Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan tonsilektomi merupakan tindakan yang harus

dilakukan karena keuntungannya lebih besar. Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak

sekitar 75-100%.3,21 Pada anak dengan etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka

keberhasilannya tinggi tetapi apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan disproporsi

kraniofasial maka pascaoperasi akan tetap timbul OSAS. Meskipun demikian, karena OSAS

terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran nafas atas relatif kecil dibandingkan dengan

ukuran absolut dari tonsil dan adenoid, maka para ahli berpendapat tindakan tonsilektomi

dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada keadaan di atas. Kadang-kadang gejala masih

ada dan dalam beberapa minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya seperti

penanganan obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan tonsilektomi.

2. Continuous positive airway pressure (CPAP)

Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak termasuk bayi, anak

obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan kelainan kraniofasial. Pada kelompok usia

anak, CPAP terutama berguna untuk pasien yang obesitas dan pasien dengan OSAS yang

menetap setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Sebenarnya indikasi

pemberian CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien

masih mempunyai gejala OSAS atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau

adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal tersebut

memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif.

Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau dengan

tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan pasien. Efek samping

CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar selang masker.

Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam pada kulit.
Dekongestan, tetes hidung dengan NaCl fisologis atau penggunaan sistem CPAP dengan

menggunakan humidifer dapat mengurangi efek samping.

3. Penurunan berat badan

Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan. Dengan penurunan

berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS yang nyata. Penurunan berat badan

merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak dengan predisposisi obesitas.

Sayangnya menurunkan berat badan pada anak lebih sulit dilakukan dari pada dewasa.

Pendekatan yang dilakukan harus bertahap karena menurunkan berat badan secara drastis tidak

dianjurkan pada anak. Perlu kesabaran dan perhatian tenaga kesehatan lebih banyak dalam

yang menangani pasien dengan obesitas. Cara ideal adalah menurunkan berat badan secara

perlahan dan konsisten, hal ini memerlukan waktu lama. Selain memperbaiki diet pada

obesitas, hal yang perlu diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin menyertainya seperti

diabetes melitus atau hipoertensi. Oleh karena itu sambil menunggu berat badan turun

diperlukan pemasangan CPAP. Nasal CPAP harus digunakan sampai mencapai penurunan

berat badan yang cukup. Peningkatan berat badan akan memperburuk OSAS dan penurunan

berat badan dapat menurunkan gejala OSAS. Dalam hal penanganan obesitas termasuk di

dalamnya adalah modfikasi perilaku, terapi diet, olah raga (exercise), dan obat-obatan. Pada

pasien OSAS yang berat dan memberi komplikasi yang potensial mengancam hidup

memerlukan perawatan di rumah sakit.

4. Obat-obatan

Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah terjadinya


OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan nasal atau steroid inhaler.
Progresteron telah digunakan sebagai stimulan pernafasan pada pasien anak dengan obesity
hipoventilation syndrom. Keberhasilan pemberian obatobat tersebut kurang bermakna
sehingga kurang dianjurkan. Obat-obat penenang dan obat yang mengandung alkohol harus
dihindarkan karena dapat memperberat OSAS.
Terapi
A. Terapi Non-Bedah
Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al.
memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip nCPAP sangat
sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung, maka setiap kecenderungan
jalan napas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan napas dapat
distabilkan, sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan
gejala pada siang hari. Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja pernapasan (work of
breathing).6
CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical OSA dan
merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan
membaiki gejala ketiduran pada siang. CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSA dan
keefektifannya tergantung pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien.9
Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan. Perlu
dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga dan medikamentosa. Berdasarkan
penelitian, penurunan berat badan 10% - 15% dikaitkan dengan penurunan 50% kejadian apnea
dan perbaikan keadaan klinis. Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi
dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA.
Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup
(pronasi).5
Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement
dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke
depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan
mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada penderita
OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai sedang
khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu
diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula sehingga
pemakaiannya diperlukan seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu.3
B. Terapi Bedah
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa
sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping
seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang
tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika,
sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.3,5
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi
saluran napas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi
dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi
CPAP.6
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring yang berlebih
diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat kaku dinding faring yang
akan mencegah kolaps. Metode ini angka keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan
OSA. Komplikasi metode ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum
namun hanya bersifat sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.3
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik fungsional
dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di hidung.
Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung pada
pengobatan dengan CPAP.4
4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan oleh sebagian
besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan
setiap sisi akar dari uvula diikuti dengan pengurangan 50% dari uvula distal sehingga
memperpendek dan meningkatkan ukuran dan posisi
uvulopalatal kompleks.3,6
5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran udara bagian
atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari hypopharyngeal posterior dan
dinding orofaringeal, penurunan kolaps jalan napas. Pasien ada yang dipilih
berdasarkan tingkat keparahan mereka apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan
kraniofasial, seperti micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi
terapi lain.3,6
6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction.
Teknik ini dengan memasukkan elektroda ke berbagai bagian langit-langit lunak
dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami
lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. Prosedur ini dapat diulang beberapa kali dan
dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian atas, termasuk tonsil dan
pangkal lidah.3,6
7. Pemasangan implan Pillar pada palatum. Implan Pillar atau implan palatal merupakan
teknik yang relatif baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk
penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini
bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil
diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan
snoring.6
8. Trakeostomi, tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila metode lain
tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomi dilakukan dengan by pass obstruksi
salur napas atas. Indikasi trakeostomi adalah pasien dengan cor pulmunale, obesity
hypoventilation syndrome, aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi
surgical lain gagal

Komplikasi
 OSAS dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di
antaranya:
 Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat,
sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.
 Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina pektoris,
penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
 Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
 Metabolik: diabetes metabolik, obesitas.
 Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
 Hematologis: polisitemia.
BAB IV

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) PADA TONSILITIS KRONIS

4.1 Kesimpulan

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan

kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan

kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi

setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh

kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut

tonsilitis kronis hipertrofi.

Faktor risiko OSAS pada anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Pada dewasa,

obesitas merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS, sedangkan pada anak meskipun

merupakan faktor risiko tetapi bukan merupakan yang utama.

OSAS merupakan penyebab kesakitan yang cukup sering ditemukan pada anak

Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur, seperti

mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep

apnea). Obstructive sleep apnea atau OSAS merupakan kondisi medik yang serius, ditandai

dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya

asupan oksigen secara periodik.

Manifestasi klinis OSAS dapat berupa mendengkur dengan episode apnea, infeksi

respiratorik berulang, gangguan belajar dan tingkah laku, mengantuk pada siang hari, gagal

tumbuh, enuresis, bernapas melalui mulut, dengan atau tanpa hipertrofi tonsil dan adenoid atau

kelainan kraniofasial.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bohne, S. Siggel, R. et al. 2013. Clinical Significance and Diagnostic Usefulness of


Serologic Markers for Improvement of Outcome of Tonsilectomy in Adult with
Chronic Tonsillitis. Biomed Central. Journal of Negative Result in Biomedicine.
2. Lucina, G. Claudia, E. et al. 2013. Tonsillar Hyperplasia and Recurrent Tonsilitis:
Clinical- Histological Correlation. Brazilian Journal of Otorrinolaryngology.
3. Palandeng, A. Tumbel, R.E.C, Dehoop, J. 2014. Penderita Tonsilitis di Poliklinik THT-
KL BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Januari 2010-Desember 2012. Jurnal
e-clinic, Vol 2, No.2.
4. American Academy of Otorrinolaryngology-Head and Neck Surgery. 2012. Tonsillitis.
Hal. 1-3.
5. Soepardi, E. A, Iskandar, N, dkk. 2007. Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta. FKUI.
6. Adams, L. G. Boies, L. R. Higler, P. A. 2013. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. EGC.
7. Ugras, S. Kutluhan, A. 2008. Chronic Tonsillitis can be Diagnosed with
Histopathologic Finding. Turkey. Eur J Gen Med. Vol 5.
8. Sapitri, V. 2013. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis yang diindikasikan
Tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher jambi. Jambi. Artikel Ilmial. Hal 3.
9. Arun, R. Shailaja, U. et al. 2013. Chronic Tonsilitis in Children: an Ayurvedic Bird
View. Review Article. International Aryuvedic Medical Journal. Vol. 1, No 4.
10. Paolo, C and Tewfik, L. 2003. Tonsilitis and its Complication. Article. The Canadian
Journal Of Diagnosis.
11. Supriyanto, B. Deviani, R. 2005. Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Sari Pediatri,
Vol. 7 No. 2.
12. Nunez-fernandez D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep Apnea, Upper
Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook. 2008.
13. Mannarino, MR. Fillipo, FD. Pirro, M. 2012. Obstructive Sleep Apnea Syndrome.
European Journal of Internal Medicine 23. p. 586-593.
14. American Academy Of Pediatrics. 2012. Diagnosis and Management of Childhood
Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Vol. 130, No. 3.
15. Nachalon, Y. Lowenthal, N. Dotan, SG. Goldbart, AD. 2014.Clinical Study:
Inflamation and Growth in Young Children With Obstructive Sleep Apnea Syndrome
Before and After Adenotonsillectomy. Mediators of Inflammation.
16. Patrick, J. Strollo, Jr. Ryan, J. et al. 2014. Upper Airway Stimulation for Obstructive
Sleep Apnea. The New England Journal of Medicine 370;2.

Anda mungkin juga menyukai