Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

“Livestock to 2020, the next food revolution” merupakan misi bersama lembaga-lembaga
pangan di dunia karena peran penting sektor peternakan dalam menyediakan pangan sumber
protein hewani. Permintaan akan produk peternakan seperti daging, telur, dan susu terus
mengalami peningkatan seiring pertumbuhan penduduk dan perbaikan kondisi ekonomi.
Akan tetapi, kondisi yang terjadi seperti yang diramalkan Thomas Malthus bahwa
pertumbuhan penduduk akan mengikuti pola deret ukur, sedangkan pertumbuhan produksi
pangan akan mengikuti deret hitung. Krisis pangan menjadi ancaman.

Diperlukan terobosan untuk meningkatkan produktivitas peternakan supaya mampu


memenuhi pangan hewani bagi manusia dan sebagai upaya menghindari krisis pangan yang
diramalkan akan terjadi. Pakan menjadi kunci penting dalam produktivitas ternak, selain
faktor genetik dan lingkungan lainnya. Oleh karena itu, teknologi bidang pengolahan pakan
seharusnya menjadi perhatian apabila produktivtias ternak ingin ditingkatkan.

Peternakan di Indonesia mengandalkan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Hal tersebut
didasari oleh potensi limbah pertanian sebagai pakan ternak. Selain itu, apabila pakan yang
diberikan kepada ternak berasal dari main product pertanian, peternak tidak sanggup
membayar untuk itu karena harga yang cukup mahal. Sehingga sistem pengembangan
agribisnis pola integrasi tanaman ternak dan optimalisasi pemanfaatan limbah atau dikenal
dengan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) menjadi primadona karena
paling memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia.

Menurut Syamsu et al. (2003), produksi limbah pertanian di Indonesia sebagai sumber pakan
ruminansia adalah 51.546.297,3 ton bahan kering atau 23.151.344,6 ton TDN, limbah
pertanian ini dapat menyediakan pakan untuk ternak ruminansia sebanyak 14.750.777,1 ST.
Suastina dan Kayana (2005), menjelaskan satuan ternak (ST) adalah ukuran yang digunakan
untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan ternak yang digunakan.
Satu ekor sapi dewasa yang berumur lebih dari dua tahun akan mengkonsumsi rumput atau
hijauan sebanyak 30 – 35 kg per hari (1 ST). Seekor ternak muda umur 1 – 2 tahun
mengkonsumsi hijauan 15 – 17,5 kg per hari (0,5 ST) dan seekor pedet umur kurang dari satu
tahun akan mengkonsumsi hijauan sebanyak 7,5 – 9,0 kg per hari (0,25 ST).

Perkebunan nanas menghasilkan limbah yang cukup tinggi dan berpotensi sebagai pakan
ternak. Produksi buah nanas secara nasional pada tahun 2013 adalah sebesar 1.558.196 ton
(BPS, 2014). Menurut Nurhayati (2013), limbah kulit nanas yang dihasilkan dari industri
pengolahan buah nanas mencapai 27% dari total produksi buah nanas. Menurut Raharjo
(2013),terdapat sekitar 596 ribu ton setahun limbah kulit nanas yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pakan ternak alternatif. Ginting et al. (2005) menyatakan kulit nanas
mengandung nutrien yang cukup tinggi yaitu bahan kering 14,22%, bahan organik 81,90%,
abu 8,1%, protein kasar 3,50%, serat kasar 19,69%, lemak kasar 3,49% dan neutral digestible
fiber (NDF) 57,27% dan merupakan sumber energi dengan kandungan energi bruto 4.481
kkal. Nurhayati (2013) mendapatkan bahwa kulit nanas masih memiliki nilai gizi yang baik
yaitu bahan kering 88,9503%, abu 3,8257%, serat kasar 27,0911%, protein kasar 8,7809%
dan lemak kasar 1,1544%. Ini berarti bahwa potensi kulit nanas sebagai sumber pakan ternak
cukup tinggi serta cukup menjanjikan.
Dengan diversifikasi pemanfaatan produk samping (by-product) yang sering dianggap
sebagai limbah (waste) dari limbah pertanian dan perkebunan menjadi pakan dapat
mendorong perkembangan agribisnis ternak secara integratif dalam suatu sistem produksi
terpadu dengan pola pertanian dan perkebunan melalui daur ulang biomas yang ramah
lingkungan atau dikenal “zero waste production system” (Wahyono et al., 2003).

Limbah perkebuanan nanas

Perkebunan nanas di Indonesia

Buah nanas berasal dari Amerika Selatan, yakni Brazilia, Argentina, dan Paraguay. Saat ini,
buah nanas merupakan salah satu komoditas buah yang banyak dikembangkan di Indonesia,
terutama di daerah Sumatera dan Jawa (Gambar 1). Dalam rencana strategis Kementerian
Pertanian RI 2015-2019, buah nanas menjadi salah satu fokus komoditas strategis orientasi
ekspor.

Gambar 1. Daerah produsen buah nanas di Indonesia (Kementan, 2013)

Berdasarkan Angka Tetap (ATAP) 2011 dari Direktorat Jenderal Hortikultura, perkembangan
luas panen nanas di Indonesia selama tahun 2000-2011 mengalami peningkatan dengan
ratarata pertumbuhan 10,77% per tahun (Gambar 2).

Gambar 2. Perkembangan luasan panen buah nanas di Indonesia.

Seiring dengan perkembangan luas panennya, produksi nanas di Indonesia selama tahun
2000-2011 mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 16,08% per tahun. Tahun
2000 produksi nanas Indonesia hanya sebesar 399.299 ton dan meningkat sebesar 9,54% di
tahun 2011 menjadi 1.540.626 ton. Produksi nanas Indonesia di tahun 2011 didominasi dari
nanas luar Jawa dengan produksi mencapai 1.091.784 atau 70,87% dari produksi nanas
Indonesia, diikuti oleh nanas Jawa dengan produksi 448.842 ton (29,13%) (Kementan, 2013).
Produksi buah nanas secara nasional pada tahun 2013 adalah sebesar 1.558.196 ton (BPS,
2014). Produksi dunia nanas mencapai 18 juta ton. Indonesia merupakan leading sector
produsen di tingkat asia dengna beberapa negara seperti China, India, Vietnam, Philiphina,
dan Thailand (FriutTrop, 2007).

Limbah nanas

Produksi buah nanas secara nasional mencapai 1.558.196 ton pada tahun 2013 (BPS, 2014).
dan sebagian besar disumbang oleh lima daerah utama penghasil nanas yaitu Sumatera Utara,
Riau, Lampung, Jawa Barat dan Jawa Tengah (Kementan, 2013). Potensi tanaman nanas
sebagai sumber bahan pakan ternak dimungkinkan, apabila terdapat industri yang akan
mengolah buah nanas menjadi produk hasil olahan berupa sari nanas. Tingkat rendemen
sekitar 15%, atau dihasilkan produk limbah berupa campuran kulit dan serat perasan daging
buah sebesar 85%. Walaupun tidak seluruh produksi tanaman nanas digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pabrik pengolah yang ada, secara potensi terdapat 596 ribu ton per
tahun limbah segar nanas yang dapat dimamfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Bila
dikonversikan ke dalam bahan kering dengan kadar air 24%, maka terdapat potensi sebesar
143 ribu ton pertahun limbah nanas kering. (Poerwanto, 2005).

Gambar 3. Presentase berat bagian buah nanas (Tahit et al., 2008)

Kandungan nutrien limbah kulit nanas merupakan sumber energi yang potensial, karena
kandungan karbohidratnya yang tinggi, yaitu 71,6% bahan ekstrak tanpa N (BETN) dan 9,35
% serat kasar. Produksi limbah kulit nanas yang dihasilkan dalam industri pengalengan nanas
sangat besar. Tiap hektar lahan yang digunakan menghasilkan sekitar 14 ton buah, dan sekitar
60-80% kulit nanas di buang sebagai limbah. (Hutagulang, 1978). Kandungan limbah nanas
(Tabel 1) memiliki potensi besar untuk mencukupi kebutuhan nutrien ternak.

Tabel 1. Kandungan nutrien limbah nanas (%) bahan kering (Murni, et al., 2008)
Komposisi PK SK Abu LK BET

Daun segar 9.1 23.6 4.9 1.6 60.8

Daun silase 6 22.8 10 2.9 58.3

Dedak nanas kering 3.5 16.2 5.2 0.5 74.6

Kulit 6.4 16.7 4.1 0.9 71.9

Mahkota 7.2 25.4 3.7 0.8 62.9

Pucuk 7 22.3 4.1 0.8 65.7

Inti 7.1 19.7 2.3 1 69.9

Hiasan 6.8 16.2 2.6 0.9 73.5

Ampas 7.8 21.9 4.4 1.2 64.7

Kulit buah dan serat perasan daging buah nanas merupakan sumber energi yang potensial
untuk ternak ruminansia. Kandungan serat (NDF) yang relatif tinggi memungkinkan bahan
tersebut digunakan untuk menggantikan rumput sebagai pakan dasar. Limbah nanas berupa
campuran serat perasan daging buah dan kulit buah sebagai produk sisa pengolahan buah
segar menjadi jus nanas. Limbah nanas mengandung serat (NDF) yang relatif tinggi (57,3%),
sedangkan protein kasar termasuk rendah yaitu hanya 3,5%. Oleh karena itu, potensi
penggunaannya bukan sebagai komponen penyusun konsentrat, namun lebih sebagai pakan
dasar penyusun ransum. Limbah nanas yang telah dikeringkan dapat digunakan langsung
sebagai pakan dasar, sedangkan bila digunakan sebagai pakan dasar dalam pakan komplit
limbah harus digiling terlebih dahulu. Sebagai pakan dasar, limbah nanas diharapakan dapat
meminimalisir ketergantungan akan pengadaan hijauan pakan bagi kebutuhan ternak.
(Winarno.1993). Sebagai pakan dasar limbah nanas diharapkan dapat meminimalisir
ketergantungan terhadap adanya pakan hijauan bagi kebutuhan ternak ruminansia khususnya
sapi.
Pengolahan limbah nanas sebagai pakan ternak

Teknologi pengolahan limbah nanas untuk menghasilkan bahan pakan ternak (Gambar 4)
pada dasarnya karena limbah nanas mengandung air dalam jumlah besar, sehingga
membutuhkan pengeringan secara intensif dan cepat untuk menghindari kerusakan bahan.
Namun, limbah nanas dapat pula diproses menggunakan teknologi fermentasi untuk
menghasilkan produk silase limbah nanas. Hal ini dimungkinkan karena kandungan air
sebesar 75% sesuai bagi proses pembuatan silase (McDonald, 1995).

Gambar 4. Skema pengolahan limbah nanas sebagai pakan ternak (Ginting dan Krisnan,
2009)

Teknologi ini dapat mengatasi masalah cepatnya limbah mengalami kerusakan apabila tidak
segera dikeringkan. Dengan demikian pengolahan limbah menjadi silase dapat menghindari
proses penggilingan maupun pengeringan, karena silase limbah dapat langsung digunakan
sebagai pakan dasar. Hal ini dengan sendirinya berpotensi untuk mengurangi biaya
pengolahan secara signifikan, walaupun untuk mengolah limbah kedalam bentuk silase juga
membutuhkan biaya, antara lain untuk pembuatan silo dan bahan aditif.

Diperlukan analisis efisiensi ekonomis untuk mengetahui proses pengolahan yang paling
optimal dalam memanfaatakan limbah nanas tersebut yang hasilnya akan ditentukan oleh
skala produksi. Limbah nanas mengandung serat (NDF) yang relatif tinggi (57,3%),
sedangkan protein kasar termasuk rendah yaitu hanya 3,5%. Oleh karena itu, potensi
penggunaannya bukan sebagai komponen penyusun konsentrat, namun lebih sebagai pakan
dasar penyusun ransum. Limbah nanas yang telah dikeringkan dapat digunakan langsung
sebagai pakan dasar, sedangkan bila digunakan sebagai pakan dasar dalam pakan komplit
limbah

Produktivitas ternak dengan pakan limbah nanas


Pada ternak kambing, terjadi pertambahan bobot badan berkisar antara 62-66 g dengan
konversi pakan berkisar antara 8,6-12,2 setelah diberi pakan limbah nanas. Pertambahan
bobot badan cenderung menurun dan konversi pakan cenderung semakin tinggi dengan
meningkatnya taraf substitusi hijauan dengan limbah nanas. Oleh karena itu, taraf
penggunaan limbah nanas untuk mensubstitusi hijauan perlu ditentukan berdasarkan
pertimbangan optimal biologis maupun optimal ekonomisnya. Adanya potensi limbah nanas
dalam mensubstitusi sebagian atau seluruh komponen hijauan dalam pakan merupakan ”nilai
nutrisi” yang dibutuhkan dalam mengembangkan sistem integrasi produksi ternak
dengantanaman nanas.

Limbah nanas dapat menggantikan porsi serat dalam pakan sebagian atau sepenuhnya
(Müller, 1978) dan sebagian konsentrat pada pakan ternak pedaging (Geoffroy, 1985).
Limbah nanas sangat baik dan mudah dicerna (73-75% bahan organik tercerna) pada sapi,
domba dan kambing (Müller, 1978). Limbah nanas fermentasi kurang asam dibandingkan
limbah segar dan hewan lebih memilih fermentasi limbah nanas tersebut (Sruamsiri, 2007).
Ensiled limbah nanas dapat diberikan pada sapi penggemukan (steer hingga 70% dari pakan
dengan suplemen protein dan 2,5 kg hijauan segar dapat menghasilkan keuntungan berat
badan harian yang tinggi (1 kg / hari) dan juga menurunkan biaya pakan (Geoffroy et al.,
1984). Hal ini juga bisa menggantikan hingga 60% jagung silase tanpa mempengaruhi
keuntungan berat badan harian (Prado et al., 2003). Silase yang terbuat dari 80 persen limbah
nanas dan 10 persen litter poultry dengan molases dan aditif dapat mengurangi biaya pakan.
Limbah nanas yang dicampur dengan jerami padi bisa menggantikan hingga 50 persen dari
serat dalam total ransum campuran sapi perah tanpa mempengaruhi produksi susu (Sruamsiri,
2007).

Babi tidak dapat memakan konsetrat yang terbuat dari nanas secara ad libitum terdapat dalam
ransum. Serat kasar yang tinggi (SK>20%) dibatasi penggunaannya untuk terank babi yaitu
hanya sekitar 27 kg bobot badan. Namun, penambahan hingga 50% dalam ransum ternak
babi dewasa (57 kg bobot badan) dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi
konversi pakan. Apapbila pemberiannya melampaui 50% dalam ransum, ternak babi dapat
mengalami depresi (Göhl, 1982). Pemberian 15% tepung limbah nanas dalam pakan unggas
akan menekan rasio konversi pakan dan pemberian diatas 20% akan menyebabkan penurunan
berat badan (Hutagalung, Webb dan Jalaludin, 1973).

Kesimpulan

Limbah nanas di Indonesia memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai pakan ternak. Nutrien
yang terkandung dalam limbah nanas masih tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai pakan
substitusi untuk mengurangi biaya pakan. Namun perlu optimalisasi dengan teknologi tepat
guna supaya limbah tersebut mampu dimanfaatkan secara optimal.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Buahbuahan dan Sayuran Tahunan di Indonesia, 1995 –
2013. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2006. Peran Indonesia Sebagai Eksportir
Nanas.

Geoffroy, F. 1985. Fruits and fruit by-products as cereal substitutes in animal feeding. In
Proceedings of the FAO Expert Consultation on the Substitution of Imported Concentrate
Feeds in Animal Production Systems in Developing Countries, Bangkok, 9–13 September
1985, FAO.

Ginting, S .P. R., Krisnan., Tarigan, A. 2005. Substitusi hijauan dengan limbah nanas dalam
pakan komplit. makalah Agripet Vol 15, No. 1, April 2015 26 disampaikan dalam seminar
nasional teknologi peternakan dan veteriner. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan.
Bogor. 12-13 September 2005

Ginting, S .P. dan R., Krisnan. 2009. Petunjuk Teknis: Teknologi Pemanfaatan Pakan
Berbahan Limbah Hortikultura untuk Ternak Kambing. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Departemen Pertanian.

Göhl, B. 1982. Les aliments du bétail sous les tropiques. FAO, Division de Production et
Santé Animale, Roma, Italy web icon.

Hutagulang. 1978. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Hutagalung, R.I., Webb, B.H. & Jalaludin, S., 1973. Evaluation of agricultural products and
by-products as animal feeds. 1. The nutritive value of pineapple bran for chicks. Malaysian
Agricultural Research, 2: 39−47.

Kementan. 2013. Informasi Komoditas Hortikultura: Nanas. Pusat data dan sistem informasi
pertanian. No. 04/03/I

Mc Donald, P., R.A. Edwards and J.F.D. Greenhalgh. 1995. Animal Nutrition. Third Edition.
Logman, London and New York

Müller, Z.O. 1978. Feeding potential of pineapple waste for cattle. Revue Mondiale de
Zootechnie, 25: 25−29.

Murni, R., Suparjo, A., Ginting, B. L. Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Lab.
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Nurhayati. 2013. Penampilan ayam pedaging yang mengkonsumsi pakan mengandung kulit
nanas disuplementasi dengan yoghurt. Agripet 13 (02) : 15-20.

Poerwanto, R. 2005. Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Buah Berbasis Mutu. Makalah
disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pengembangan Sentra Produksi Buah-buahan,
Cisarua, Bogor. Direktorat Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura
Raharjo. 2013. Effect of ratio of wild grass – concentrate on digestibilities of dry matter and
organic matter by in-vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3):796-803.

Sruamsiri, S. & Silman, P. 2009. Nutritive value and nutrient digestibility of ensiled mango
by-products. Maejo International Journal of Science and Technology, 3: 371−378.

Suastina, I.G.P.B. dan I.G.N Kayana. 2005. Analisis Finansial Usaha Agribisnis Peternakan
Sapi Daging. Majalah Ilmiah Peternakan 8(2)

Syamsu, J.A., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo dan E.G. Said. 2003. Daya dukung limbah pertanian
sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13 (1): 32 – 37

Tahir I., S. Sumarsih, dan S. D. Astuti. 2008. Kajian penggunaan limbah buah nanas local
(Ananas comosus, l) sebagai bahan baku pembuatan nata. Makalah Seminar Nasional Kimia
XVIII, Jurusan Kimia FMIPA UGM Yogyakarta

Wahyono, D.E., Hardianto, R., Anam, C., Wijono, D.B., Purwanto, T. dan Malik, M., 2003.
Strategi Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Agroindustri Untuk Pembuatan Pakan Lengkap
Ruminansia. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong, Lembang, Jawa Barat.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta

Prado, I.N., Lallo, F.H., Zeoula, L.M., Caldas Neto, S.F., Nascimento, W.G. & Marques, J.de
A. 2003. Bulls performance in feedlot with levels of substituting corn silage by pineapple by-
products silage. Revista Brasileira de Zootecnia., 32: 737−744.

Anda mungkin juga menyukai