Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan :
praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman
VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan
pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek
pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek
pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah: pendidikan
modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai
pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek pendidikan
dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era reformasi
sekarang. Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan telah mengalami
perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan
gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari
pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa
dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam
kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk
panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan
untuk membentuk sebuah system pendidikan yang berlandaskan pada ideologi
Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa
dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan
zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk
pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan
Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru
yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini
tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan.
Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan
demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk
dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa
menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan
kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan
diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari
kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan
antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula
bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan
Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang
yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia
pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan
Jepang-lah sistem pendidikan disatukan
Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda. Satu
sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil
merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya
melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial,
demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga
dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan
pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis
bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan
sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik
terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu
sendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk menulis
makalah mengenai “ SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA BELANDA,
JEPANG DAN SETELAH KEMERDEKAAN “

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis
merumuskan, pokok permasalahan :
1. Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa Belanda?
2. Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa Jepang?
3. Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa setelah kemerdekaan?

3. Tujuan dan Manfaat penulisan


a. Tujuan Penulis :
Untuk mendeskripsikan perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang telah berlaku di Indonesia

khususnya pada masa pendudukan Jepang, Belanda, dan setelah kemerdekaan.

b. Manfaat Penulisan

Semakin menambah pengetahuan penulis tentang perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang

telah trjadi di Indonesia pada setaip dekade pemerintahan. Selain itu, juga melatih penulis dalam membuat atau menuliskan

suatu karya ilmiah. Juga diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa .

4. Metodologi Penulisan
Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan
misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan menggunakan teknik serta
alat – alat tertentu. Dalam penulisan ini digunakan metode kepustakaan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika
menerapkan pola pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda
hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah
ongko loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan
pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa
ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas
dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda
sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan
tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin
memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang
status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan
persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat utamanya
adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer
dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia.
Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang
pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan
baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini
dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran
mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami
peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua
sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru.
Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki
jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu
saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa
Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS
(Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China
Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik
kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang
setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap.
Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa
Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat
ini. Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk
memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO
sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia
berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun
militer pemerintah Kolonial Belanda.
Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah
Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang
lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka
kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang
pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan
sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School).
Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini.
Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima)
tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah
disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini,
kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang
disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni
yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan
Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai,
Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat
diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut
pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan
memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap
dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak
sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan
Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki
sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan
rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga
dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin
terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri.
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial.
Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu
sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan
bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu
saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO
dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi
guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada
posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara
jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang
yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam
pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini
merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh
kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda. Adapun
kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang
terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana,
dan standar lulusan setiap tahunnya.
Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk.
Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi,
namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil,
maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan,
pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang
menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang
sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh disiplin, tentu
saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan
kegiatan belajar-mengajar.
Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas
berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan
dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan
partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah.
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah
negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan
dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua
sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara
pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking
hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya
sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.

B. Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang


Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai
bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan
China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di
bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke
berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran
Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun
menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi
besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat,
Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa
pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer
dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya
menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942.
Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan
yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain:
1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan
menggantikan Bahasa Belanda;
2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan
berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk
SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3
atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama)
dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga
dengan lama studi 3 tahun.
3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di
bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4. Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan
menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta,
Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan
setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi.
Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang
tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka.
Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman
kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan
sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan
format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun
patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat
Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya
Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat
menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki
keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi
pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1. Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2. Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
3. Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4. Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5. Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan
beberapa aktivitas berikut ini:
1. Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi;
2. Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno
Heika setiap pagi;
3. setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita
Asia Raya;
4. Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
5. Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
6. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang
menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-
sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-
bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga
memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di
bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses
resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa
China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku
berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses
pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan
sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta
mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta
harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa
misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara
Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya
kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan
dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa
kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa
Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam
sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok
pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3)
Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni
kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan
berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim,
Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis
membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal
TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam,
Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai
aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam
dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
C. Pendidikan Masa Indonesia Merdeka
Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka tak jauh dengan
sistem persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas. Pada masa ini,
kualitas pendidikan masih dikatakan stabil dengan kurikulum mencomot dari apa
yang dilakukan penguasa Jepang terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja, karena
persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut politik yang terus-menerus,
maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik. Pendidikan mengalami
sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak diabaikan sementara oleh
pemerintah Indonesia sendiri.
Pada masa awal kemerdekaan ini, guru-guru bekas pengajar pada masa
kolonial Belanda dipekerjakan kembali meskipun dengan gaji yang lebih kecil.
Kondisi yang berubah membuat mereka tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari
mereka yang masih menerapkan pola pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda,
sehingga cenderung menghasilkan setidaknya mutu lulusan yang sama dengan
masa Kolonial Belanda.

Pada masa Orde Baru, pendidikan mengalami perubahan yang cukup


signifikan. Agar bangsa Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan
negara-negara maju lainnya, maka secara kuantitas dibangunlah semua sarana
pendidikan di setiap daerah. Alhasil, sekolah begitu banyak berdiri di tanah air.
Secara kuantitatif pendidikan mengalami perkembangan yang pesat. Setiap anak
dapat bersekolah dengan mudah. Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa terjaga
dengan baik. Kekurangan guru yang baik menjadi problematika pemerintah
Indonesia. Sekolah Pendidikan Guru yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak
cukup menyediakan lulusannya yang siap pakai. Jumlah sekolah melebihi kapasitas
guru yang ada. Akibatnya, pemerintah mengambil jalan pintas. Semua lulusan
setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki
kemampuan dan ketrampilan sebagai guru yang layak.

Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan pendayagunaan sarana dan


prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat tajam antara sekolah desa
dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya mengandalkan kebijakan
pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas berhasil, namun penyediaan
sarana dan prasarana lainnya tidak mendukung. Sementara itu, sekolah perkotaan
dengan bantuan orang tua siswa dan akses yang mudah pada pemerintah pusat
mendapatkan bantuan buku-buku perpustakaan dan sarana pendukung lain yang
baik.

Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak sebanding dengan


perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun
tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan
kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap semua informasi dan
pengetahuan.

Di sisi lain, perubahan kurikulum terjadi hampir setiap 10 (sepuluh) tahun.


Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya kurikulum 1984. Kurikulum 1984 diganti
dengan kurikulum 1994. Demikian pula kurikulum 1994 mengalami beragam
tambahn yang dibuktikan dengan adanya suplemen 1994.

Agaknya perubahan kurikulum tersebut dilaksanakan karena terkait dengan


perkembangan jaman. Tuntutan perbaikan kualitas dan juga kepentingan politik
tertentu melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan ideologi.
Contohnya adalah pemberlakuan materi PSPB pada kurikulum 1984 yang sarat
dengan muatan ideologis dan politis. Demikian pula salah satu syarat kenaikan kelas
seorang siswa harus mendapatkan nilai minimal 6,0 dengan skala 1 sampai dengan
10 pada nilai raport. Jika nilai dibawah itu, maka siswa tidak dapat naik kelas
meskipun pelajaran lain mendapat 9 (sembilan).

Pada masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini model pembelajaran yang


sangat terkenal adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif di mana guru
memberikan peluang dan respon bagi siswa yang memang memiliki kecerdasan dan
kepintaran. Sistem ini dipergunakan untuk merubah model pengajaran yang kaku
dan statis seperti yang dilaksanakan pada masa sebelumnya.

Pendidikan Masa Reformasi Pada masa reformasi, jelas sekali kebijakan


yang dihasilkan terkait dengan aspek politik dan ekonomi. Munculnya suplemen
1999 juga dalam rangka kepentingan politik yang mendasarinya.

Namun semenjak penataran P-4 (Eka Prasetya Pancakarsa) ditiadakan


maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi yang semestinya.

Pada tahun 2004 mulai diberlakukan kebijakan kurikulum baru. Kurikulum


berbasis kompetensi menjadi jawaban atas perkembangan jaman. Kurikulum ini
berusaha untuk memberikan solusi atas perubahan jaman dan globalisasi yang
melanda dunia mana saja.

Namun demikian, dunia pendidikan bukan berarti lepas dari persoalan yang
ada. Pembaharuan kurikulum ternyata tidak diimbangi dengan manajemen dan
kebijakan baru dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Ujian nasional dengan
pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara terpusat telah memberangus
standar proses yang seharusnya menjadi titian utama kurikulum 2004.

Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru menjadi satu faktor yang belum
dituntaskan pada masa reformasi ini. Kesejahteraan guru mulai diperhatikan ketika
era Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan gaji guru hingga sama dengan
pegawai negeri lainnya. Pada akhirnya era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
kesejahteraan guru dan anggaran pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang
guru dan dosen serta sistem pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan
secara menyeluruh dengan konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan
sebesar satu kali gaji pokok.
Kurikulum 2006 akhirnya diberlakukan pula dalam menekankan makna
keberfungsian semangat kompetensi dan kepentingan lokal. Tidak hanya itu saja,
pemerintah juga memberikan subsidi dana bagi sekolah dari tingkat dasar sampai
SLTP lewat Dana Bos. Di samping itu, pemerintah memberlakukan MBS sebagai
model manajemen sebuah sekolah yang efektif dan efisien. Pemerintah pula
memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya peningkatan kualitas sekolah
secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi
sesuatu yang lazim ada situasi persekolahan saat ini.

BAB II
KESIMPULAN
Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan kebijakan
pendidikan yang dihasilkan. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi
politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan sebagai
sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan.
Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan semata.

Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang
disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Akibatnya,
semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai bangsa maju di
kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu
sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan
Peta.

Sebaliknya, pada masa Indonesia merdeka pendidikan diarahkan sebagai


medium pembangkit rasa nasionalisme. Karena keadaan tertentu, periode ini tidak
banyak pengembangan pendidikan yang bisa diharapkan. Secara kualitas,
pendidikan tetap terjaga mutunya hanya pendirian bangunan sekolah tidak banyak
artinya.

Pada masa Orde Baru, perubahan kurikulum senantiasa silih berganti.


Perubahan dilaksanakan dalam rangka mengantisipasi kepentingan global yang
berubah. Hal ini pun masih dilanjutkan dengan pergantian kurikulum pada era
reformasi. Kurikulum 2006 merupakan alternatif terakhir dari bangunan kurikulum
dalam sejarah Indonesia. Artinya, pemerintah tetap belajar dari pengalaman.
Lintasan pendidikan yang berusia cukup tua pada akhirnya menghasilkan kebijakan
yang penuh nuansa keberpihakan pada esensi pendidikan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.


Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai

Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-


1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Zaenuddin, 2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai