Anda di halaman 1dari 6

Komunikasi dalam keperawatan

Komunikasi dalam Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu
untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Nursalam (2007) menyatakan,
komunikasi juga merupakan suatu seni untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu pesan
dengan cara yang mudah sehingga orang lain dapat mengerti dan menerima maksud dan tujuan
pemberi pesan Menurut Potter dan Perry (1993), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu
intrapersonal, interpersonal dan publik. Makalah ini difokuskan pada komunikasi interpersonal yang
terapeutik. Komunikasi interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara sedikitnya dua orang atau
dalam kelompok kecil, terutama dalam keperawatan. Komunikasi interpersonal yang sehat
memungkinkan penyelesaian masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan
personal.

2. Prinsip-prinsip Komunikasi

Adapun prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers yaitu :

• Perawat harus mengenal dirinya sendiri

• Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, percaya, dan menghargai

• Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien

• Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien, baik fisik maupun mental

• Perawat harus dapat menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi pasien

• Kejujuran dan terbuka

• Mampu sebagai role model

• Altruisme

• Bertanggung jawab

3. Komponen-komponen dalam Komunikasi

a. Sender (pemberi pesan): individu yang bertugas mengirimkan pesan.

b. Receiver (penerima pesan): seseorang yang menerima pesan. Bisa berbentuk pesan yang diterima
maupun pesan yang sudah diinterpretasikan.

c. Pesan : informasi yang diterima, bisa berupa kata, ide atau perasaan. Pesan akan efektif bila jelas
dan terorganisir yang diekspresikan oleh si pengirim pesan.
d. Media: metode yang digunakan dalam pesan yaitu kata, bisa dengan cara ditulis, diucapkan,
diraba, dicium. Contoh: catatan atau surat adalah kata; bau badan atau cium parfum adalah
penciuman (dicium), dan lain-lain.

e. Umpan balik: penerima pesan memberikan informasi/ pesan kembali kepada pengirim pesan
dalam bentuk komunikasi yang efektif. Umpan balik merupakan proses yang kontinue karena
memberikan respons pesan dan mengirimkan pesan berupa stimulus yang baru kepada pengirim
pesan.

4. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi

a.Situasi/suasana

Situasi/suasana yang hiruk pikuk atau penuh kebisangan akan mempengaruhi baik/tidaknya pesan
diterima oleh komunikan, suara bising yang diterima komunikan saat proses komunikasi berlangsung
membuat pesan tidak jelas, kabur, bahkan sulit diterima. Oleh karena itu, sebelum proses
komunikasi dilaksanakan, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa supaya tenang dan nyaman.
Komunikasi yang berlangsung dan dilakukan pada waktu yang kurang tepat mungkin diterima
dengan kurang tepat pula. Misalnya, apabila perawat memberikan penjelasan kepada orang tua
tentang cara menjaga kesterilan luka pada saat orang tua sedang sedih, tentu saja pesan tersebut
kurang diterima dengan baik oleh orang tua karena perhatian orang tua tidak berfokus pada pesan
yang disampaikan perawat, melainkan pada perasaan sedihnya.

b.Kejelasan pesan

Kejelasan pesan akan sangat mempengaruhi keefektifan komunikasi. Pesan yang kurang jelas dapat
ditafsirkan berbeda oleh komunikan sehingga antara komunikan dan komunikator dapat berbeda
persepsi tentang pesan yang disampaikan. Hal ini akan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan
komunikasi yang dijalankan. Oleh karena itu, komunikator harus memahami pesan sebelum
menyampaikannya pada komunikan, dapat dimengerti komunikan dan menggunakan artikulasi dan
kalimat yang jelas.

5. Pentingnya Komunikasi dalam Pelayanan Kesehatan

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya selalu memerlukan orang lain dalam menjalankan dan
mengembangkan kehidupannya. Hubungan dengan orang lain akan terjalin bila setiap individu
melakukan komunikasi diantara sesamanya. Kepuasan dan kenyamanan serta rasa aman yang
dicapai oleh individu dalam berhubungan sosial dengan orang lain merupakan hasil dari suatu
komunikasi. Komunikasi dalam hal ini menjadi unsur terpenting dalam mewujudkan integritas diri
setiap manusia sebagai bagian dari sistem sosial.

Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari memberikan dampak yang sangat penting
dalam kehidupan, baik secara individual maupun kelompok. Komunikasi yang terputus akan
memberikan dampak pada buruknya hubungan antar individu atau kelompok. Tatanan klinik seperti
rumah sakit yang dinyatakan sebagai salah satu sistem dari kelompok sosial mempunyai kepentingan
yang tinggi pada unsur komunikasi.

Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas
pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut
dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur
hubungan antar individu yang bekerja Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal
utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya.
Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal.
Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja di rumah sakit, baik
hubungan secara horisontal ataupun hubungan secara vertikal. Hubungan yang terjalin antar tim
multidisplin termasuk keperawatan, unsur penunjang lainnya, unsur adminitrasi sebagai provider
merupakan gambaran dari sisi konsumen internal. Sedangkan konsumen eksternal lebih mengarah
pada sisi menerima jasa pelayanan, yaitu klien baik secara individual, kelompok, keluarga maupun
masyarakat yang ada di rumah sakit.Seringkali hubungan buruk yang terjadi pada suatu rumah sakit,
diprediksi penyebabnya adalah buruknya sistem komunikasi antar individu yang terlibat dalam
sistem tersebut.

Ellis (2000) menyatakan jika hubungan terputus atau menjadi sumber stres, pada umumnya yang
ditunjuk sebagai penyebabnya adalah komunikasi yang buruk.Keperawatan yang menjadi unsur
terpenting dalam memberikan pelayanan dalam hal ini perawat berperan sebagai provider. Fokus
perhatian terhadap buruknya komunikasi juga terjadi pada tim keperawatan. Hal ini terjadi karena
beberapa sebab diantaranya adalah:

(1) Lemahnya pemahaman mengenai penggunaan diri secara terapeutik saat melakukan intraksi
dengan klien.

(2) Kurangnya kesadaran diri para perawat dalam menjalankan komunikasi dua arah secara
terapeutik.

(3) Lemahnya penerapan sistem evaluasi tindakan (kinerja) individual yang berdampak terhadap
lemahnya pengembangan kemampuan diri sendiri.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu diupayakan suatu hubungan interpersonal yang
mencerminkan penerapan komunikasi yang lebih terapeutik. Hal ini dimaksudkan untuk
meminimalkan permasalahan yang dapat terjadi pada komunikasi yang dijalin oleh tim keperawatan
dengan kliennya. Modifikasi yang perlu dilakukan oleh tim keperawatan adalah melakukan
pendekatan dengan berlandaskan pada model konseptual sebagai dasar ilmiah dalam melakukan
tindakan keperawatan. Sebagai contoh adalah melakukan komunikasi dengan menggunakan
pendekatan model konseptual proses interpersonal yang dikembangkan oleh Hildegard E.Peplau.

1. ISU TERKAIT APLIKASI KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT DENGAN DOKTER

Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh
sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga
menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu
perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan
perawat terjadi secara efektif.

Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal
ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam memandang pasien,
dalam prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses
kolaborasi. Kendala psikologis keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya menempatkan
kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya
lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan
kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing Center (ANCC)
melakukan risetnya pada 14 rumah sakit melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya
mungkin dilakukan, tetapi juga berdampak langsung pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan
Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan korelasi positif antara kualitas hubungan dokter-perawat
dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.

Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional.
Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi
pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih
tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih
medukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada
perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.

Dari hasil observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter. Perawat
bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi medis yang juga
didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang meliputi proses
keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat rumah
sakit pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam
melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa perawat
merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang
mendukung.

Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat
menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa
pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.

2. ISU TERKAIT APLIKASI KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT DENGAN PERAWAT

Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada klien komunikasi antar tenaga kesehatan
terutama sesama perawat sangatlah penting. Kesinambungan informasi tentang klien dan rencana
tindakan yang telah, sedang dan akan dilakukan perawat dapat tersampaikan apabila hubungan atau
komunikasi antar perawat berjalan dengan baik. Hubungan perawat- perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan dapat diklasifikasikan menjadi hubungan profesional, hubungan struktural
dan hubungan intrapersonal.
Hubungan profesional antara perawat- perawat merupakan hubungan yang terjadi karena adanya
hubungan kerja dan tanggung jawab yang sama dalam memberikan pelayanan keperawatan.

Hubungan sturktural merupakan hubungan yang terjadi berdasarkan jabatan atau struktur masing-
masing perawat dalam menjalankan tugas berdasarkan wewenang dan tanggungjawabnya dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Laporan perawat pelaksana tentang kondisi klien kepada
perawat primer, laporan perawat primer atau ketua tim kepada kepala ruang tentang
perkembangan kondisi klien, dan supervisi yang dilakukan kepala ruang kepada perawat pelaksana
merupakan contoh hubungan struktural.

Hubungan interpersonal perawat- perawat merupakan hubungan yang lazim dan terjadi secara
alamiah. Umumnya, isi komunikasi dalam hubungan ini adalah hal- hal yang tidak terkait dengan
pekerjaan dan tidak membawa pengaruh dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Isu yang terkait dengan hubungan perawat dengan perawat yaitu perawat cendrerung lebih nyaman
atau lebih senang berkomunikasi dengan sesama perawat yang bertugas di ruangan yang sama,
misalnya ruangan bedah, dibanding dengan harus berkomunikasi dengan perawat yang bertugas
diruangan lain.

3. ISU TERKAIT APLIKASI KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT DENGAN APOTEKER

Peran perawat dalam pemberian obat dan pengobatan telah berkembang dengan cepat dan luas
seiring dengan perkembangan pelayanan kesehatan. Perawat diharapkan terampil dan tepat saat
melakukan pemberian obat. Tugas perawat tidak sekedar memberikan pil untuk diminum atau
injeksi obat melalui pembuluh darah, namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian
obat tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting
untuk dimiliki perawat.

Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahankan dengan mendorong
klien untuk proaktif jika membutuhkan pengobatan. Dengan demikian, perawat membantu klien
membangun pengertian yang benar dan jelas tentang pengobatan, mengkonsultasikan setiap obat
yang dipesankan, dan turut bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan
bersama tenaga kesehatan lainnya.

Keberhasilan promosi kesehatan sangat tergantung pada cara pandang klien sebagai bagian dari
pelayanan kesehatan, yang juga bertanggung jawab terhadap menetapkan pilihan perawatan dan
pengobatan, baik itu berbentuk obat alternative, diresepkan oleh dokter, atau obat bebas tanpa
resep dokter. Sehingga, tenaga kesehatan terutama perawat harus dapat membagi pengetahuan
tentang obat-obatan sesuai dengan kebutuhan klien.

Perawat bertanggung jawab untuk melakukan interpretasi yang tepat terhadap order obat yang
diberikan. Isu komunikasi yang sering terjadi antara perawat dengan apoteker adalah pada saat
order obat yang dituliskan tidak dapat terbaca, maka dapat terjadi misinterpretasi perawat dengan
apoteker terhadap order obat yang harus diberikan kepada pasien.
Kesalahan pemberian dosis obat dapat dihindari bila baik perawat dan apoteker sama-sama
mengetahui dosis yang diberikan. Perawat dapat melakukan pengecekkan ulang dengan tim medis
bila terdapat keraguan dengan kesesuaian dosis obat.

4. ISU TERKAIT APLIKASI KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT DENGAN AHLI GIZI

Prinsip-prinsip ilmu gizi menjadi kontroversial ketika konsep "obat gizi" dan "marjinal kekurangan
gizi" yang diperkenalkan. Konsep nutrisi obat didasarkan pada asumsi bahwa makanan dan obat
dapat memiliki efek terapeutik, terutama ketika gizi individu diberikan dalam dosis pharmacologic
(Ghen dan Corso 2000). Konsep ini kontroversial karena advokat penggunaan lebih tinggi daripada
tingkat gizi yang tersedia dalam makanan; gizi seperti itu harus diberikan dalam bentuk suplemen.
Konsep marjinal kekurangan gizi didasarkan pada hipotesa yang halus kekurangan gizi terjadi
sebelum mulai frank, klasik kekurangan. Marjinal seperti kekurangan Mei akhirnya memberikan
kontribusi pada perkembangan penyakit bersifat merosot (Kesehatan Media of America Somer dan
1992).

Isu yang terkait dengan gizi yaitu apabila perawat tidak mengkonunikasikan kepada ahli gizi tentang
obat- obatan yang digunakan pasien sehingga dapat terjadi pemilihan makanan oleh ahli gizi yang
bisa saja menghambat absorbsi dari obat tersebut. Jadi diperlukanlah komunikasi dua arah yang
baik antara perawat dan ahli gizi agar pemenuhan gizi pasien sesuai dengan apa yang diharapkan.

Anda mungkin juga menyukai