Anda di halaman 1dari 2

Pengendalian kecacingan pada hewan lebih efektif dengan melakukan

manajemen pemeliharaan yang baik dan pemberian anthelmintik yang cocok.


Tindakan pengendalian bertujuan untuk menekan derajat infeksi sehingga tidak
menimbulkan kerugian. Higiene kandang merupakan salah satu tindakan yang
dapat dilakukan untuk memberantas agen infektif yang terdapat di kandang dan
lingkuangan sekitarnya. Telur Toxocara sp. yang dikeluarkan bersama feses pedet
merupakan sumber kontaminan di lingkungan kandang. Hewan dewasa akan
terinfeksi apabila menelan telur yang telah berkembang menjadi telur infektif.
Oleh karena itu, harus dihindarkan terjadinya penumpukan feses di lantai
kandang. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperbaiki
nutrisi hewan. Kualitas pakan yang baik secara tidak langsung dapat
meningkatkan kekebalan inang terhadap infeksi. Menurut Purwanta et al. (2009),
nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap
infeksi cacing. Selain itu, harus dihindarkan sumber pakan atau hijauan yang
berasal dari daerah yang menjadi habitat siput Lymnea. Konsumsi hijauan yang
lembab dan tercemar metaserkaria atau telur infektif merupakan salah satu
penyebab terjadinya infeksi larva cacing saluran pencernaan dan cacing hati.
Prinsip pengendalian fasciolosis pada ternak ruminansia adalah memutus daur
hidup cacing. Secara umum, strategi pengendalian fasciolosis didasarkan pada
musim (penghujan dan kemarau). Pada musim penghujan, populasi siput
mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi
(Martindah et al. 2005).

Pemberian obat cacing dapat dilakukan sejak sapi berumur 1-2 bulan
kemudian berulang 6 bulan kemudian (Pribadi 1991). Pemberian obat cacing
untuk mencegah kecacingan dapat menggunakan Albendazole, Nitroxynile,
Meniclopholan, Carbontetrachlorida, dan Bithionol. Pemberian Nitroxynil dengan
dosis 10mg/Kg berat badan dan Carbontetrachlorida dengan dosis 50mg/Kg berat
badan secara subcutan, Sedangkan Meniclopholan dengan dosis 50mg/Kg berat
badandan Albendazole dalam bentuk bolus yang pada berat badan tertentu (< 150
Kg: 1,5 bolus, 150-300 Kg: 3 bolus, 300-400 Kg: 4 bolus, dan >400: 5,5 bolus) di
berikan secara oral (Kurniasih 2007).

Pada praktikum kali ini dilakukan pemberian obat cacing albendazole cair
pada pedet dan sapi perah. Albendazole diberikan dengan dosis 75 mg/kg BB dan
diberikan secara per oral. Menurut Alexander (1985) albendazole cair pada ternak
sapi diberikan dengan dosis 10 mg/kg bb secara oral. Albendazole merupakan
anthelmintik berspektrum luas, efektif menyerang cacing saluran pencernaan,
cacing hati, cacing tambang dan beberapa cacing gilig. Pemberian piperazin pada
infeksi T. vitulorum bisa dilakukan pada pedet yang berumur antara 10-21 hari
(Satrija et al. 2011). Rekomendasi dari Estuningsih (2005), salah satu jenis
anthelmintik yang dapat digunakan untuk membunuh larva T. vitulorum adalah
Levamisol. Levamisol bisa membunuh larva T. vitulorum pada anak sapi 7 hari
setelah infeksi (Hossain et al. 1980).

Daftar Pustaka

Pribadi ES. 1991. Manajemen Kesehatan Ternak. Peternakan Indonesia Vol. 71.

Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi Cacing Saluran


Pencernaan (Gastrointestinal) pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja di
Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1):10-21.

Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan


Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai
Penyakit Infeksius. Wartazoa. 15(3):143-154.

Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB. 2011. Efficacy of piperazine dihydrochlloride


against Toxocara Vitulorum in buffalo calves. Jurnal Veteriner. 12(2):77 82.

Alexander F. 1985. An Introduction to Veterinary Pharmacology 4 ndedition.


London (UK): Longman.

Hossain MI, Dewan ML, Baki MA. 1980. Preliminary studies on the efficacy of
tetramisole hydrochloride (ICI) against transmammary migration of
Toxocara (Neoascaris) vitulorum larvae in buffalo cows. Bangladesh
Journal of Agricultural Sciences. 7(1):25-28.

Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya pada Manusia.
Wartazoa. 15(3):136-142.

Anda mungkin juga menyukai