TINJAUAN PUSTAKA
Insersi kateter vaskular sebagai akses vaskular merupakan hal yang sudah biasa
dilakukan di rumah sakit selama lebih dari 60 tahun. Insersi kateter vaskular
intravena. Teknik insersi kateter vaskular ini diperkenalkan pertama kali oleh
Werner Forssmann pada tahun 1929 (Shah dkk, 2013). Pada tahun 1953, Sven-Ivar
bantuan guidewire dan teknik ini dikembangkan oleh Sheldon untuk pemasangan
kateter hemodialisis untuk tindakan hemodialisis segera pada tahun 1960 (Schanzer
gangguan ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis segera atau pasien penyakit
ginjal kronis dengan akses vaskular permanen atau akses peritoneal dialisis yang
Awalnya kateter ini terdiri dari satu lumen kateter, kemudian berkembang menjadi
dua lumen (double lumen) dan yang terakhir berkembang menjadi tiga lumen (triple
7
8
lumen). Kateter hemodialisis double lumen memiliki dua koaksial lumen arteri dan
vena yang terpisah dan diposisikan dalam satu kateter. Lubang arteri pada ujung
diameter lumen antara 11-14 French (Fr). Secara umum kateter hemodialisis yang
lebih panjang dipakai pada tempat insersi di vena jugularis kiri atau vena femoralis,
untuk memastikan bahwa ujung kateter terletak pada posisi yang tepat. Diameter
lumen kateter yang lebih besar dapat memberikan volume darah yang lebih besar
pada saat dialisis. Volume darah yang dianjurkan oleh NKF KDOQI adalah lebih
yang kaku pada suhu kamar tapi lembut pada suhu tubuh, sehingga mengurangi
tunnelled juga terbuat dari bahan silikon. Kateter hemodialisis tunnelled umumnya
resiko infeksi. Ekstensi eksternal ini dapat berbentuk lengkung atau lurus. Kateter
menjauhi garis rambut sehingga mengurangi resiko infeksi pada hub kateter (Choi
sementara umumnya dipakai untuk jangka waktu yang singkat. Panduan NKF
yang diinsersi pada vena femoralis tidak lebih dari lima hari dan tidak lebih dari 21
2.2 Definisi
kembali ke pasien.
2. Kolonisasi kateter: hasil kultur dari ujung kateter atau hub kateter positif
semikuantitatif ujung distal kateter (15 koloni unit per segmen kateter) dan
kultur darah vena perifer atau aspirasi darah dari kateter pada pasien
5. Infeksi tempat insersi kateter: nyeri, eritema dan atau inflamasi dengan
radius 2 cm dari tempat insersi kateter dengan eksudat dengan atau tanpa
6. Tunnel infection: nyeri, eritema atau inflamasi lebih dari 2cm dari tempat
dan cairan eksudat yang mungkin keluar dari tempat insersi kateter dengan
Bloodstream Infection
bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan US Renal System Data 2011 terdapat lebih
dari 370,000 pasien yang melakukan hemodialisis rutin. Delapan puluh persen dari
pasien ini dilakukan pemasangan kateter hemodialisis untuk akses vaskular pada
hemodilisis dengan prevalensi 900 per juta populasi pada tahun 2011. Penggunaan
kateter hemodialisis sebagai akses vaskular juga meningkat dari 3% pada 2002
Registry 2012 terdapat 4977 pasien baru hemodialisis pada tahun 2007 dan terus
meningkat menjadi 19,621 pasien baru pada 2012. Penggunaan kateter hemodialisis
11
hemodialisis dari 3291 pada tahun 2007 menjadi 26,132 pada tahun 2012.
pada penggunaan kateter hemodialisis. The Centers for Diseases Control and
Prevention (CDC) di Amerika Serikat tahun 2008 melaporkan sekitar 37,000 kasus
diinsersi pada vena femoral akan lebih besar dibandingkan vena jugular interna dan
vena subclavia. Insiden infeksi terkecil bila kateter hemodialisis diinsersi pada vena
menentukan strategi pencegahan dan terapinya. Jabber (2005) menjabarkan ada tiga
yaitu imunitas pasien (disfungsi leukosit, status uremia, kelebihan zat besi),
Tabel 2.1. Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena
dan Panhotra, 2005)
bakteremia pada pasien hemodialisis. Faktor lain yang berpengaruh pada penelitian
Penelitian yang dilakukan Powe dkk. (1999) menunjukkan hasil yang berbeda
yaitu adanya korelasi usia dan penyakit diabetes mellitus dengan resiko infeksi.
Faktor resiko lainnya adalah penggunaan kateter hemodialisis dan kadar albumin
yang rendah (kurang dari 3,5g/dl). Gupta dkk. (2011), menunjukkan hasil yang
serupa yaitu diabetes mellitus, kadar albumin yang rendah dan pemakaian kateter
Penelitian Gupta juga menunjukkan adanya korelasi antara anemia dan infeki
kateter hemodialisis.
resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis
infeksi karena gangguan fungsi imunitas dan defisiensi fungsi fagositosis. Kadar
albumin yang rendah menunjukkan kadar nutrisi yang rendah pada pasien
kadar CRP yang tinggi dan kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko
fistula. Penelitian ini juga menunjukkan usia tua dan kadar serum albumin yang
rendah merupakan faktor resiko kematian pada pasien penyakit ginjal kronis.
14
fungsi neutrofil pada pasien penyakit ginjal kronis yaitu defisiensi neutrofil dan
disfungsi dari jalur metabolik. Berbagai faktor yang mempengaruhi meliputi zat
besi yang berlebih, anemia yang berhubungan dengan penyakit ginjal, peningkatan
Cytosolic calcium, kadar ureum yang tinggi, terapi dialisis dan waktu sejak dialisis
pertama kali.
merupakan salah satu faktor kematian akibat infeksi pada pasien penyakit ginjal
kronis. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hematokrit kurang dari 27%
dan 27%-30% memiliki peningkatan resiko kematian akibat infeksi sebesar 82%
dan 25%. Hematokrit yang rendah berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis
dan proses infeksi, dimana akan terjadi gangguan respon sumsum tulang terhadap
eritropoetin. Kondisi ini berpotensi menyebabkan peningkatan kadar zat besi dan
gangguan fagositosis leukosit sehingga resiko infeksi dan kematian akibat infeksi
akan meningkat.
Zat besi merupakan elemen essensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat besi
dibutuhkan untuk beberapa proses imun. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan
leukosit. Selain tubuh, zat besi juga dibutuhkan oleh bakteri. zat besi yang berlebih
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar zat besi yang berlebih (dinilai
dari kadar serum ferritin) merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pada pasien
15
penyakit ginjal kronis. Boeleart dkk. (1990) menunjukkan bahwa kadar serum
ferritin yang lebih dari 1000 mcg/L memiliki resiko 2,92 kali terjadi bakteremia
ferritin yang lebih dari 650 mcg/L mengganggu fungsi fagositosis neutrofil.
1. Perpindahan flora kulit dari permukaan kulit ke kateter melalui jalur insersi
kateter.
Related Bloodstream Infection (gambar 2.2) (Blankestijn 2001; Safdar dan Maki
2.5 Diagnosis
kriteria:
Secara praktis, untuk menegakkan diagnosis CRBSI berdasarkan dari satu atau dua
Bloodstream Infection adalah mikroorganisme yang sama antara kultur darah dan
Shah dkk. (2013) menyatakan bahwa diperlukan minimal dua buah kultur
darah bila curiga adanya infeksi pada kateter. Dua buah kultur darah diambil
17
melalui punksi vena perifer bila ujung distal kateter (5cm) juga dilakukan kultur.
Alternatif lain bila ujung distal kateter tidak dikultur adalah satu buah kultur darah
yang dipunksi dari vena perifer dan minimal satu buah kultur darah yang diambil
dari lumen kateter. Untuk mengurangi kontaminasi kultur darah, kulit dan hub
kateter dibersihkan dengan iodine atau alkohol chlorhexidine dan dibiarkan kering
Hasil kultur darah yang diambil melalui kateter hemodialisis yang positif
infection dari darah yang diambil dari kateter hemodialisis diperlukan metode
kultur kuntitatif. Metode ini menyatakan hasil kultur yang positif bila jumlah koloni
yang diisolasi dari darah yang diambil melalui kateter hemodialisis minimal lima
banyak ditemukan adalah enterococci dan bacilli gram-negatif aerob (lihat tabel
2.6 Pencegahan
permukaan luar kateter dan lumen kateter. Tindakan pencegahan dimulai sejak
yang asepsis.
opersi yang lebih rendah dibandingkan povidone iodine. (Gunatilake dkk, 2011)
19
mencapai 7 episode / 1000 hari kateter dibandingkan 5,6 episode / 1000 hari kateter
pada vena jugular interna dan 2,7 episode / 1000 hari kateter pada vena subclavia
untuk bakteri Gram positf (mupirocin) dapat mengurangi angka kejadian Catheter-
agen tunggal atau dikombinasi dengan cairan antiseptik lain (citrate, taurolidine
seperti heparin atau EDTA. Cairan antimikrobial yang dapat dipakai meliputi
yang lebih baik dalam mencegah terjadinya CRBSI dibandingkan dengan heparin
lock (lihat tabel 2.3). Penelitian ini menunjukkan penurunan angka CRBSI dan
Tabel 2.3 Perbandingan pemakaian antimikrobial lock dan heparin lock dalam
mencegah terjadinya catheter-related bacteremia (Labriola dkk, 2008)
sumber infeksi, efek samping antimikrobial yang lebih rendah, resiko minimal
terjadinya resistensi obat dan mudah dikerjakan untuk pasien rawat jalan. (Saxena
lock. Dosis gentamicin yang dipakai bervariasi mulai dari 4mg/ml sampai 40mg/ml
dan semua menunjukkan efektifitas yang sama. (Yahav dkk, 2008; Labriola dkk,
2008).