Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat

dicegah, dan dapat ditangani, yang memiliki karakteristik gejala pernafasan yang

menetap dan keterbatasan aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran nafas

dan atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel

berbahaya (GOLD, 2017).


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang

memiliki beban kesehatan tertinggi, World Health Organization (WHO) dalam

Global Status of Non-communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan

PPOK ke dalam empat besar penyakit tidak menular yang memiliki angka

kematian yang tinggi.


Menurut WHO lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun

2012, yang sama dengan 6% dari semua kematian global tahun ini. Lebih dari

90% kematian PPOK terjadi pada negara yang berpenghasilan rendah menengah.

Penyebab utama PPOK adalah asap tembakau (melalui penggunaan tembakau

atau perokok pasif). Penyakit ini sekarang mempengaruhi pria dan wanita hampir

sama. PPOK tidak dapat disembuhkan, tetapi pengobatan dapat memperlambat

perkembangan penyakit (WHO, 2013).


Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan

peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia. Menurut prediksi WHO, PPOK

yang saat ini merupakan penyebab kematian ke-4 diseluruh dunia diperkirakan

1
2

pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ke-3 di seluruh dunia (WHO,

2012). Dan data prevalensi lain dari PPOK yang ada sangat bervariasi berdasarkan

metode survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada

setiap studi. Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013

(RISKESDAS), prevalensi PPOK sebesar 3,7 %, angka kejadian penyakit ini

meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)

dibandingkan perempuan (3,3%), dan PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10

penyebab kematian di Indonesia. Sedangkan untuk provinsi Jawa Timur berada

pada urutan ke-15 berdasarkan jumlah penderita PPOK di Indonesia dengan

prevalensi sebesar 3,6 % (RISKESDAS, 2013).


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan

ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. PPOK

mencakup emfisema, dengan ciri-ciri hilangnya elastisitas paru dan kerusakan

parenkim paru dengan pelebaran ruang-ruang udara, dan bronkitis kronis dengan

ciri-ciri adanya sumbatan saluran kecil udara dan batuk produktif selama lebih

dari tiga bulan yang berlangsung selama lebih dari dua tahun berturut-turut

(Saputra Lyndon, 2011). Serta mencakup Asma bronkial yaitu peradangan kronis

jalan napas yang ditandai dengan reaksi meningkat dari trakhea dan bronkhus

terhadap berbagai macam rangsangan berupa kesukaran bernafas disebabkan oleh

penyempitan saluran nafas (Muttaqin, 2014).


Faktor resiko serta penyebab PPOK yang penting adalah usia (biasanya usia

pertengahan), dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara,

maupun polusi tempat kerja, asma / hiperreaktivitas bronkus, status sosioekonomi,

dan infeksi. Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak
3

nafas, dan gejala yang lain berupa batuk berdahak, mengi, dan penurunan

aktifitas. Pasien biasanya mendefinisikan sesak nafas sebagai peningkatan usaha

untuk bernafas, rasa berat saat bernafas. Batuk bisa muncul secara hilang timbul,

dan biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini

juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien.

Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak (COPD Health

Center, 2010).
Kejadian serangan berulang pada penderita PPOK juga dapat muncul kembali

dimana hal tersebut merupakan derajat keseringan kambuhnya gejala ppok yang

diukur dari berbagai macam gejala seperti batuk berdahak, sesak nafas (dyspnea),

mengi, dan penurunan aktivitas yang berupa seberapa sering gejala ini kambuh

dalam hitungan minggu, bulan dan tahn (ST George’s Respiratory Questionnaire).

Kejadian serangan berulang pada penderita PPOK paling besar disebabkan oleh

faktor kegagalan program pengobatan, penderita masih merokok, adanya faktor

aktivitas fisik berlebihan dimana penderita masih sering bekerja berat, infeksi

saluran nafas, faktor allergen, polusi serta adanya paparan asap rokok, dan faktor

stress emosional (Dikrullah Ahmad, 2013 dalam penelitian faktor yang

menyebabkan kekambuhan pada pasien dengan PPOK di RSUD Kanjuruhan

Kepanjen Malang).
Kejadian serangan berulang yang dapat diketahui dari timbulnya gejala-gejala

pada pasien PPOK jika dibiarkan, atau tidak dilakukan penatalaksanaan yang

dapat memperburuk kondisi dari gejalanya seperti batuk berdahak secara terus

menerus, produksi sputum meningkat dan terjadi perubahan warna sputum, sesak

nafas bertambah, maka termasuk dalam gejala PPOK eksaserbasi akut yang
4

termasuk kegawat daruratan namun sudah terdapat penatalaksanaan PPOK yaitu

dengan pemberian edukasi sebagai salah satu upaya preventif dan promotif,

pemberian obat-obatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, dan nutrisi yang dapat

meminimalkan timbulnya kejadian serangan berulang pasien PPOK. Namun

terdapat juga penatalaksanaan rehabilitasi medis / fisik yang sudah terbukti dari

randomised controlled trials (RCTS) terhadap manfaat rehabilitasi paru yang

dapat menunjukkan perbaikan sesak napas, kapasiti latihan, kualiti hidup dan

merupakan terapi tambahan untuk menghilangkan gejala yaitu breathing

exercise : pursed lip breathing dan diaphragma breathing (PDPI, Revisi 2011).

Breathing exercise : pursed lip breathing dan diaphragma breathing juga

merupakan bagian tindakan keperawatan dalam perannya sebagai rehabilitator

yang termasuk dalam nursing treatment (Mangunnegoro, H et al, 2001).


Tujuan latihan napas pada pasien PPOK adalah untuk mengatur frekuensi dan

pola pernapasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki fungsi

diafragma, fungsi ventilasi alveoli untuk pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja

pernapasan, memperbaiki mobilitas sangkar thorax, mengatur dan

mengkoordinasi kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih efektif dan

mengurangi kerja pernapasan sehingga sesak napas berkurang dan mengakibatkan

kualitas hidup meningkat (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011).


Teknik latihan pernapasan pada rehabilitasi PPOK terdiri dari teknik pursed-

lips breathing dan diaphragma breathing. Pursed-lips breathing sering dilakukan

oleh pasien secara spontan, pursed-lips breathing mengaktifkan otot perut selama

ekspirasi yang dapat memperbaiki pertukaran gas dan dapat dilihat dengan

membaiknya saturasi oksigen arteri. Pursed-lips breathing juga memperbaiki pola


5

napas, meningkatkan volume tidal dan mengurangi sesak nafas. Sedangkan pada

diaphragma breathing menurut Holloways, Ram (2004) dalam jurnal Windarti

(2011), diaphragma breathing bertujuan untuk melatih cara bernafas dengan

benar, melenturkan dan memperkuat otot pernapasan serta meningkatkan

sirkulasi. Pada penderita PPOK latihan ini ditujukan untuk memperbaiki fungsi

pernapasan, juga bertujuan melatih penderita mengatur pernapasan jika terasa

serangan sesak nafas yang mendadak, serta dapat meningkatkan kenyamanan /

rileks.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pursed lip breathing dan

diaphragma breathing bermanfaat bagi perbaikan kualitas hidup penderita PPOK,

yang mana perbaikan kualitas hidup dapat dilihat dari frekuensi serangan yang

menurun. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian mengenai

“Pengaruh breathing exercise : pursed lip breathing dan diaphragma breathing

terhadap penurunan frekuensi serangan pada penderita penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK)”.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah breathing exercise : pursed lip breathing dan diaphragma breathing

berpengaruh terhadap penurunan frekuensi serangan pada penderita PPOK ?


1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya pengaruh breathing exercise : pursed lip breathing dan

diaphragma breathing terhadap penurunan frekuensi serangan pada penderita

PPOK.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi gejala-gejala yang timbul sebagai tanda terjadinya

kejadian serangan berulang pada penderita PPOK.


6

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kejadian

serangan berulang pada penderita PPOK.


3. Mengetahui penurunan frekuensi serangan pada penderita PPOK yang

sudah mendapatkan dan menjalani breathing exercise : pursed lip

breathing dan diaphragma breathing dengan yang belum pernah

mendapatkan dan menjalaninya.


1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian kesehatan

pernafasan khususnya dalam pengaruh breathing exercise : pursed lip breathing

dan diaphragma breathing terhadap perbaikan kualitas hidup penderita Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Sekaligus sebagai bahan masukan atau sumber

bagi penelitian selanjutnya.


1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk

memaksimalkan penggunaan breathing exercise : pursed lip breathing dan

diaphragma breathing sebagai terapi pada penderita Penyakit Paru Obstruksi

Kronik (PPOK).
1.4.3 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini sebagai bahan masukan dan kontribusi dalam bidang keilmuan

khususnya pada bidang keperawatan untuk melakukan intervensi keperawatan

yaitu breathing exercise : pursed lip breathing dan diaphragma breathing pada

penderita PPOK secara maksimal serta informasi ilmiah sekaligus sebagai acuan

penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai