Review Jurnal
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Gizi Molekuler Dan Genetika
Dosen Pengampu : dr. Paramasari Dirgahayu, Ph.D
Oleh
Uliyanti
S531508049
Uliyanti
ABSTRAK
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan ideal bagi pertumbuhan dan
perkembangan bayi karena ASI memiliki faktor protektif dan nutrien yang dapat
menjamin status gizi bayi baik serta menurunkan angka kesakitan dan kematian
anak. Kandungan zat imunologik pada ASI berfungsi untuk melindungi organ
bayi dari infeksi. Beberapa diantara zat imunologik tersebut adalah
Immunoglobulin, Sekretori, dan Laktoferin. Nutrisi pada ASI memiliki peran
penting dalam pencegahan alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A yang
membantu melindungi saluran cerna dan mengikat protein asing yang berpotensi
sebagai alergen dan menghambat absorpsinya. Selain itu, juga komponen-
komponen bioaktif pada ASI dan probiotik akan membantu menurunkan derajat
keparahan dermatitis atopik dengan memodulasi protein proteoglikan pada
enterosit yang menyebabkan aktivasi sel-sel dendritik dan respon Th1. Namun ada
juga beberapa penelitian yang tidak menunjukkan hubungan antara ASI dan
kejadian alergi, hal ini kemungkinan karena adanya paparan alergan seperti debu,
makanan, asap rokok, dan paparan obat-obatan misalnya antihistamin ataupun
antibiotik yang tidak bisa dikendalikan dalam penelitian tersebut sehingga terjadi
respon imun yang kemungkinan dapat meningkatkan Ig E. Namun dari beberapa
hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan kandungan ASI dengan kejadian
alergi pada bayi terkait dengan zat imunologik yang terdapat pada ASI terkait
dengan perlindungannya terhadap alergi.
Pendahuluan
ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar
payudara wanita melalui proses laktasi. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan
ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi karena ASI memiliki faktor
protektif dan nutrien yang dapat menjamin status gizi bayi baik serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian anak. Menurut Elvira Verduci et al, (2014) ASI
merupakan makanan yang ideal atau standar untuk bayi dan memberikan
keuntungan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi kesehatan. United
Nation Children Fund (UNICEF) dan World Helath Organization (WHO)
merekomendasikan sebaiknya anak hanya disusui ASI selama paling sedikit enam
bulan. Hal ini dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian anak.
Dalam laporan WHO disebutkan bahwa hampir 90% kematian balita terjadi di
negara berkembang dan lebih dari 40% kematian disebabkan diare dan infeksi
saluran pernapasan akut, yang dapat dicegah dengan ASI eksklusif (Omar Sazaly
Aldy, Bugis M Lubis, Pertin Sianturi, Emil Azlin, Guslihan D Tjipta, 2009).
Berbagai penelitian menunjukan bahwa pemberian ASI dapat menurunkan
kejadian infeksi gastrointestial tract, respiratory tract dan otitis media. Selain itu,
pemberian ASI secara siginifikan mampu mengurangi kejadian Necrotizing
entercolitis (NEC) (Elvira Verduci et al, 2014). Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Omar Sazaly Aldy, dkk. (2009) yang menyatakan bahwa beberapa penelitian
membuktikan ASI dapat mengurangi kejadian berbagai infeksi selama masa bayi
dan balita terhadap gastroenteritis, infeksi saluran pernapasan, otitis media, sepsis
neonatorum, dan infeksi saluran kemih. Chen dkk dalam Omar Sazaly Aldy, dkk.
(2009) menyatakan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI, dua kali lebih sering
masuk rumah sakit dibandingkan bayi mendapat ASI. Suatu meta-analisis di
negara maju dari bayi dengan penyakit saluran pernafasan berat yang diberi susu
formula membutuhkan rawat inap lebih dari tiga kali lipat dibandingkan bayi yang
diberi ASI eksklusif 4 bulan atau lebih. Menurut Omar Sazaly Aldy, dkk. (2009)
Penyakit saluran cerna dan saluran nafas dapat dicegah dengan ASI eksklusif,
oleh karena ASI kaya mengandung berbagai faktor aktif imunologis khususnya
antibodi. Kemampuan ASI dalam melindungi dan mengurangi angka kesakitan
dan kematian berkaitan dengan kandungan ASI yang unik dan unggul baik nutrisi
maupun komponen bioaktifnya (Ballard, OJD., Morrow, AL., 2013).
Imunologi ASI
Keunggulan ASI yang bersih, selalu segar, warna, bau, rasa, dan
komposisi yang tidak dapat ditiru oleh susu lain bukan hanya merupakan sumber
zat gizi bagi bayi tetapi juga zat anti kuman yang kuat karena adanya beberapa
faktor yang bekerja secara sinergi membentuk suatu sistem imunologi.
Pembentukan sistem imun pada manusia dimulai sejak embrio dilanjutkan selama
masa fetus dan sempurna dalam beberapa tahun setelah lahir. Fetus tumbuh dalam
suatu lingkungan sangat terlindung, bebas kuman, dan kurang berpengalaman
terhadap zat antigenik.
ASI kaya mengandung berbagai faktor aktif imunologis khususnya
antibodi (Omar Sazaly Aldy, dkk., 2009). Air susu ibu mengandung
imunoglobulin M, A, D, G, dan E, namun yang paling banyak adalah sIgA.
Sekretori IgA pada ASI merupakan sumber utama imunitas didapat secara pasif
selama beberapa minggu sebelum produksi endogen sIgA, konsentrasi paling
tinggi pada beberapa hari pertama post partum. Selama masa pasca lahir, bayi
rentan terhadap infeksi patogen yang masuk, oleh sebab itu sIgA adalah faktor
protektif penting terhadap infeksi (Omar Sazaly Aldy, dkk. 2009). Studi dari
Swedia menyatakan bahwa kadar antibodi IgA dan IgM secara bermakna lebih
tinggi pada bayi mendapat ASI dibandingkan yang tidak mendapat ASI.
Imunoglobulin A (Ig A) yang terdapat di dalam antibodi maternal didapat dari
sistem imun saluran cerna dan pernafasan yang dibawa melalui sirkulasi darah
dan limfatik ke kelenjar payudara, akhirnya dikeluarkan melalui ASI sebagai
sIgA.
Selain itu, Leukosit (90% dari jumlah sel) di dalam ASI terutama terdiri
dari makrofag (90%). Sel makrofag ASI merupakan sel fagosit aktif sehingga
dapat menghambat multiplikasi bakteri pada infeksi mukosa usus. Selain sifat
fagositik, sel makrofag juga memproduksi lisozim, C3 dan C4, laktoferin,
monokin seperti IL-1 serta enzim lainnya. Makrofag ASI dapat mencegah
enterokolitis nekrotikans pada bayi. Limfosit (10% dari jumlah sel) 50% terdiri
atas limfosit T dan 34% limfosit B. Fungsi limfosit untuk mensintesis antibodi
IgA, memberikan respons terhadap mitogen dengan cara berproliferasi,
meningkatkan interaksi makrofag – limfosit dan pelepasan mediator. Leukosit
ASI dapat bertahan terhadap perubahan pH, suhu dan osmolaritas, sama dengan
yang terjadi pada binatang bertahan selama seminggu pada orang utan dan domba.
Telah diketahui bahwa ASI akan mempengaruhi respons imun, sehingga
akan mempengaruhi kejadian atopi. Zat kekebalan yang terdapat dalam ASI antara
lain Lactobacillus bifidus secretory IgA (sIgA), lisozim, laktoperoksidase, dan
leukosit akan menurunkan risiko infeksi saluran pencernaan, saluran pernapasan,
infeksi telinga, diabetes melitus, dan penyakit alergi. Bayi yang mendapat ASI
memiliki profil mikrobiota yang didominasi oleh Bifidobacterium dan
Lactobacillus, sedangkan pada bayi yang diberi susu formula adalah Coliform,
Enterococi, dan Bacteroides. Hal ini menyiratkan ASI mungkin memiliki faktor
yang berperan dalam terbentuknya mikrobiota usus yang baik. Selain itu didukung
juga dengan bukti bahwa ASI pada bayi yang mengalami ekzem atopi memiliki
konsentrasi antiinflamasi TGF-β yang lebih rendah dibandingkan dengan ASI ibu
yang anaknya tetap sehat selama proses laktasi ini (Tetty Yuniati, 2001).
Dermatitis Atopi
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi kronis dan residif, disertai
rasa gatal yang biasanya muncul pada bayi dan anak- anak ditandai adanya riwayat
atopik pada diri sendiri atau pada keluarganya (Djuanda, 2008). Dermatitis atopi
merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering terjadi pada anak. Penyakit ini
sering ditemukan bersama dengan asma, rhinitis alergi dan hay fever. Umumnya
disertai dengan peningkatan kadar IgE serum penderita. Menurut The National
Institute of Allergy and infectious Diseases, setiap tahun terdapat lebih dari 50 juta
penduduk USA yang menderita penyakit alergi (Walter L. Hurley, and Peter K.
Theil, 2011). Hampir 36 juta mengalami rintis alergi. Dermatitis atopi, merupakan
salah satu penyakit kulit terbanyak dan terutama terjadi pada bayi dan anak-anak,
prevalensinya sekitar 10%. Prevalensi dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh
dunia dengan jumlah tersering pada usia 1 tahun pertama, cenderung relaps, dan
diikuti allergic march hingga dewasa (Anita Halim, dkk., 2014).
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis dermatitis atopik,
diantaranya adalah faktor genetik dan Laktasi. Menurut Morar et al (2006) dalam
Anita Halim, dkk., 2014 menyatakan bahwa Sekitar 80% dari bayi dengan
dermatitis atopik memperlihatkan peningkatan level serum total IgE. Riwayat
orangtua diperkirakan mempunyai peranan penting pada penyebab dermatitis
atopik dan penyakit atopik lainnya karena genetik merupakan faktor risiko yang
sering memicu penyakit pada bayi. Meskipun, tidak selalu ditemukan hubungan
yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah. Menurut Anita Halim, dkk., 2014
Orang tua yang menderita alergi merupakan determinan terkuat dari penyakit alergi
pada anak. Hal ini dikarenakan kecenderungan aktivitas faktor-faktor modifikasi dari
ekspresi genetik yang dimiliki kedua orang tua, akan diturunkan kepada keturunannya
dan menjadi cetakan perintah pada saat pemprograman epigenetik
Selain faktor genetik, faktor Laktasi juga berhubungan dengan kejadian
DA. Terjadi perbedaan bayi yang mendapat ASI dengan yang tidak ASI. Melalu
penelitian yang dilakukan Yang tahun 2009 tentang hubungan antara menyusui
dan terjadinya dermatitis atopik menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana
hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat efek proteksi menyusui secara eksklusif
paling tidak selama 3 bulan terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak-anak
dengan riwayat keluarga yang positif dermatitis atopik (Yang et al., 2009).
Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di Indonesia, dermatitis atopik
berada pada urutan pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum
ditemukan pada anak-anak. Di klinik dermatovenerologi RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat
73 kasus dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data
di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah
pasien DA mengalami peningkatan dari 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006,
tahun 2007 menjadi 148 pasien (11,05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230
pasien (11,65%) (Zulkarnain I.,2009). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20%
dan 19% pada anak perempuan (Tada J., 2002).
Simpulan
Nutrisi pada ASI memiliki peran penting dalam pencegahan alergi. ASI
kaya akan immunoglobulin A yang membantu melindungi saluran cerna dan
mengikat protein asing yang berpotensi sebagai alergen dan menghambat
absorpsinya. Selain itu, juga komponen-komponen bioaktif pada ASI dan
probiotik akan membantu menurunkan derajat keparahan dermatitis atopik dengan
memodulasi protein proteoglikan pada enterosit yang menyebabkan aktivasi sel-
sel dendritik dan respon Th1. Namun ada juga beberapa penelitian yang tidak
menunjukkan hubungan antara ASI dan kejadian alergi, hal ini kemungkinan
karena adanya paparan alergan seperti debu, makanan, asap rokok, dan paparan
obat-obatan misalnya antihistamin ataupun antibiotik yang tidak bisa dikendalikan
dalam penelitian tersebut sehingga terjadi respon imun yang kemungkinan dapat
meningkatkan Ig E.
Referensi