Anda di halaman 1dari 13

KOMPOSISI ASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN

ALERGI PADA BAYI

Review Jurnal
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Gizi Molekuler Dan Genetika
Dosen Pengampu : dr. Paramasari Dirgahayu, Ph.D

Oleh
Uliyanti
S531508049

PROGRAM PASCASARJANA ILMU GIZI


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
KOMPOSISI ASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN ALERGI PADA BAYI

Uliyanti

ABSTRAK

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan ideal bagi pertumbuhan dan
perkembangan bayi karena ASI memiliki faktor protektif dan nutrien yang dapat
menjamin status gizi bayi baik serta menurunkan angka kesakitan dan kematian
anak. Kandungan zat imunologik pada ASI berfungsi untuk melindungi organ
bayi dari infeksi. Beberapa diantara zat imunologik tersebut adalah
Immunoglobulin, Sekretori, dan Laktoferin. Nutrisi pada ASI memiliki peran
penting dalam pencegahan alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A yang
membantu melindungi saluran cerna dan mengikat protein asing yang berpotensi
sebagai alergen dan menghambat absorpsinya. Selain itu, juga komponen-
komponen bioaktif pada ASI dan probiotik akan membantu menurunkan derajat
keparahan dermatitis atopik dengan memodulasi protein proteoglikan pada
enterosit yang menyebabkan aktivasi sel-sel dendritik dan respon Th1. Namun ada
juga beberapa penelitian yang tidak menunjukkan hubungan antara ASI dan
kejadian alergi, hal ini kemungkinan karena adanya paparan alergan seperti debu,
makanan, asap rokok, dan paparan obat-obatan misalnya antihistamin ataupun
antibiotik yang tidak bisa dikendalikan dalam penelitian tersebut sehingga terjadi
respon imun yang kemungkinan dapat meningkatkan Ig E. Namun dari beberapa
hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan kandungan ASI dengan kejadian
alergi pada bayi terkait dengan zat imunologik yang terdapat pada ASI terkait
dengan perlindungannya terhadap alergi.

Kata kunci : ASI, Imunologik, Alergi

Pendahuluan

ASI (Air Susu Ibu) merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar
payudara wanita melalui proses laktasi. Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan
ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi karena ASI memiliki faktor
protektif dan nutrien yang dapat menjamin status gizi bayi baik serta menurunkan
angka kesakitan dan kematian anak. Menurut Elvira Verduci et al, (2014) ASI
merupakan makanan yang ideal atau standar untuk bayi dan memberikan
keuntungan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi kesehatan. United
Nation Children Fund (UNICEF) dan World Helath Organization (WHO)
merekomendasikan sebaiknya anak hanya disusui ASI selama paling sedikit enam
bulan. Hal ini dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian anak.
Dalam laporan WHO disebutkan bahwa hampir 90% kematian balita terjadi di
negara berkembang dan lebih dari 40% kematian disebabkan diare dan infeksi
saluran pernapasan akut, yang dapat dicegah dengan ASI eksklusif (Omar Sazaly
Aldy, Bugis M Lubis, Pertin Sianturi, Emil Azlin, Guslihan D Tjipta, 2009).
Berbagai penelitian menunjukan bahwa pemberian ASI dapat menurunkan
kejadian infeksi gastrointestial tract, respiratory tract dan otitis media. Selain itu,
pemberian ASI secara siginifikan mampu mengurangi kejadian Necrotizing
entercolitis (NEC) (Elvira Verduci et al, 2014). Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Omar Sazaly Aldy, dkk. (2009) yang menyatakan bahwa beberapa penelitian
membuktikan ASI dapat mengurangi kejadian berbagai infeksi selama masa bayi
dan balita terhadap gastroenteritis, infeksi saluran pernapasan, otitis media, sepsis
neonatorum, dan infeksi saluran kemih. Chen dkk dalam Omar Sazaly Aldy, dkk.
(2009) menyatakan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI, dua kali lebih sering
masuk rumah sakit dibandingkan bayi mendapat ASI. Suatu meta-analisis di
negara maju dari bayi dengan penyakit saluran pernafasan berat yang diberi susu
formula membutuhkan rawat inap lebih dari tiga kali lipat dibandingkan bayi yang
diberi ASI eksklusif 4 bulan atau lebih. Menurut Omar Sazaly Aldy, dkk. (2009)
Penyakit saluran cerna dan saluran nafas dapat dicegah dengan ASI eksklusif,
oleh karena ASI kaya mengandung berbagai faktor aktif imunologis khususnya
antibodi. Kemampuan ASI dalam melindungi dan mengurangi angka kesakitan
dan kematian berkaitan dengan kandungan ASI yang unik dan unggul baik nutrisi
maupun komponen bioaktifnya (Ballard, OJD., Morrow, AL., 2013).

Komposisi Kandungan ASI


Air susu ibu merupakan suatu cairan kompleks dengan sejumlah besar
protein, sel, dan komponen lainnya. Kandungan dari setiap tahapan berguna untuk
bayi baru lahir, terutama upaya adaptasi fisiologis terhadap kehidupan di luar
kandungan. Semakin matang ASI, konsentrasi imunoglobulin, total protein dan
vitamin yang larut di dalam lemak menurun, sedangkan laktosa, lemak, kalori,
dan vitamin yang larut dalam air meningkat. Beberapa studi yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa nutrisi memiliki peran penting dalam pencegahan alergi. ASI
merupakan makanan bayi yang keluar dari kelenjar susu pada payudara ibu. ASI
kaya akan immunoglobulin A yang membantu melindungi saluran cerna dan
mengikat protein asing yang berpotensi sebagai alergen dan menghambat
absorpsinya (Budiastuti M, 2007).
Komposisi zat gizi ASI sejak hari pertama menyusui berubah dari waktu
ke waktu sesuai dengan tahap adaptasi bayi. Perubahan komposisi ASI ini terjadi
untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan gizi bayi. Komposisi ASI pada saat
mulai menyusui (fore milk) berbeda dengan komposisi pada akhir menyusui (hind
milk). Kandungan protein fore milk (berwarna bening dan encer) cukup tinggi,
tetapi kandungan lemaknya rendah bila dibandingkan dengan hind milk (berwarna
putih dan kental). Ini menunjukkan bahwa komposisi ASI bersifat dinamis dan
sesuai dengan kebutuhan dan proses adaptasi bayi dari lingkungan semula (dalam
rahim) dan di luar rahim. Rasanya pun bervariasi sesuai dengan makanan yang
dikonsumsi ibu. ASI juga sesuai untuk kebutuhan bayi prematur. Antara lain,
kandungan proteinnya lebih tinggi dan lebih mudah diserap.
ASI pertama yang keluar disebut kolostrum dan mengandung banyak
immunoglobulin IgA yang baik untuk pertahanan tubuh bayi melawan penyakit.
Kolostrum, zat ini berfungsi melindungi bayi dari berbagai penyakit. Dalam
kolostrum terdapat protein, vitamin A, karbohidrat, dan lemak rendah yang
berguna bagi bayi di hari-hari pertamanya. Keunggulan susu manusia (ASI) bila
dibandingkan dengan susu hewan atau susu sumber lain terletak pada kecukupan
dan kelengkapan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan bayi, termasuk kandungan
protein dan asam aminonya. Kandungan fenilalanin dan tirosin di dalam ASI lebih
sedikit karena jika berlebihan dapat berbahaya bagi neonatus (bayi baru lahir).
Sistin yang penting untuk pertumbuhan lebih banyak terdapat pada ASI (Ballard,
OJD., Morrow, AL., 2013).
ASI mengandung banyak zat imunologik yang bersih dan bebas
kontaminasi dan berfungsi untuk melindungi organ bayi dari infeksi. Beberapa
diantara zat imunologik tersebut adalah Immunoglobulin, Sekretori, dan
Laktoferin. Zat Immunoglobulin yang terdapat dalam kolostrum berfungsi
mencegah terjangkitnya penyakit pada bayi. Sekretori dapat melumpuhkan bakteri
patogen seperti E.coli serta berbagai virus dalam saluran pencernaan. Sedangkan
Laktoferin merupakan sejenis protein yang berfungsi sebagai antibodi dan dapat
mengikat zat besi dalam saluran pencernaan. Selain itu, dalam ASI juga terdapat
faktor bifidus yang belum ada tiruannya dalam susu formula. Zat ini penting
untuk merangsang pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus yang membantu
melindungi usus bayi dari peradangan atau penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi
beberapa jenis bakteri patogen, seperti E. coli. Selain itu, ASI juga terdapat sel-sel
darah putih hidup yang diperlukan untuk membantu kekebalan tubuh bayi
(Ballard, OJD., Morrow, AL., 2013). ASI juga memiliki komponen CD14 terlarut
(sCD14) yang memiliki peran penting didalam kolonisasi kuman usus segera setelah
kelahiran dan respon imun adaptif terhadap kolonisasi kuman.

Tabel 1. Komposisi Makronutrisi (g/dL) dan energi (kcal/dL) ASI

Protein Fat Lactose Energy


Author (Year), n Mean (± 2 SD) Mean (± 2 SD) Mean (± 2 SD) Mean (± 2 SD)
Donor human milk samples
Wojcik et al (2009), n=415 1.2 (0.7, 1.7) 3.2 (1.2, 5.2) 7.8 (6.0, 9.6) 7.8 (6.0, 9.6)
Representative values of mature
milk, term infants
Reference standard 0.9 3.5 6.7 65 to 70
Preterm, 24-hour collection, first
8 weeks of life
Bauer & Gerss (2011)
Born <29 weeks, n=52 2.2 (1.3, 3.3) 4.4 (2.6, 6.2 7.6 (6.4, 8.8) 78 (61, 94)
Born 32-33 weeks, n=20 1.9 (1.3, 2.5) 4.8 (2.8, 6.8) 7.5 (6.5, 8.5) 77 (64, 89)
Preterm donor milk
Hartmann (2012), n=47 1.4 (0.8, 1.9) 4.2 (2.4, 5.9) 6.7 (5.5, 7.9) 70 (53, 87)
Sumber : Ballard, OJD., Morrow, AL., 2013 .
Tabel 2. Beberapa Komponen Bioaktif pada ASI

Component Function Reference


Cells
Macrophages Protection against infection, Jarvinen, 2002, Yagi, 2010,
T-cell activation Ichikawa, 2003
Stem cells Regeneration and repair Indumathi, 2012
Immunoglobulins
IgA/sIgA Pathogen binding inhibition Van de Perre, 2003, Cianga,
1999; Brandtzaeg, 2010;
Kadaoui, 2007; Corthesy, 2009;
Hurley, 2011; Agarwal, 2010;
Castellote, 2011
IgG Anti-microbial, activation of Cianga, 1999; Agarwal, 2010
phagocytosis (IgG1, IgG2,
IgG3); anti-inflammatory,
response to allergens (IgG4
IgM Agglutination, complement Brandtzaeg, 2010; Van de Perre,
activation 1993; Agarwal, 2010
Cytokines
IL-6 Stimulation of the acute Ustundag, 2005; Meki, 2003;
phase response, B cell Mizuno, 2012; Agarwal, 2010;
activation, pro-inflammatory Castellote, 2011

IL-7 Increased thymic size and Aspinall, 2011; Ngom, 2004


output
IL-8 Recruitment of neutrophils, Claud, 2003; Ustundag, 2005;
proinflammatory Meki, 2003; Maheshwari, 2002;
Maheshwari, 2003;
Maheshwari, 2004; Hunt, 2012;
Agarwal, 2010; Castellote,
2011; Mehta, 2011
IL-10 Repressing Th1-type Meki, 2003; Agarwal, 2010;
inflammation, induction of Castellote, 2011; Mehta, 2011
antibody production,
facilitation of tolerance
IFNγ Pro-inflammatory, stimulates Hrdy, 2012; Agarwal, 2010
Th1 response
TGFβ Anti-inflammatory, Penttila, 2010; Kalliomaki,
stimulation of T cell 1999; Saito, 1993; Nakamura,
phenotype switch 2009; Letterio, 1994; Ando,
2007; Ozawa, 2009; Donnet-
Hughes, 2000; Verhasselt, 2008;
Verhasselt, 2010; Penttila, 2003;
Mosconi, 2010; Okamoto, 2005;
Penttila, 2006; Peroni, 2009;
McPherson, 2001;
Ewaschuk, 2011; Castellote,
2011
TNFα Stimulates inflammatory Rudloff, 1992; Ustundag, 2005;
immune activation Erbağci, 2005; Meki, 2003;
Agarwal, 2010; Castellote, 2011
Anti-microbial
Lactoferrin Acute phase protein, chelates Adamkin, 2012; Sherman, 2004;
iron, antibacterial, anti- Manzoni, 2009; Hirotani, 2008;
oxidant Buccigrossi, 2007; Velona, 199
Lactadherin/ MFG E8 Anti-viral, prevents Stubbs, 1990; Kusunoki, 2012;
inflammation by enhancing Aziz, 2011; Shi, 2004; Chogle,
phagocytosis of apoptotic 2011; Baghdadi, 2012; Peterson,
cells 1998;
Newburg, 1998; Shah, 2012;
Miksa, 2006; Komura, 2009;
Miksa, 2009; Wu, 2012;
Matsuda, 2011; Silvestre, 2005
Oligosaccharides & glycans
HMOS Prebiotic, stimulating Newburg, 2005; Morrow, 2005;
beneficial colonization and DeLeoz, 2012; Marcoba, 2012;
reducing colonization with Kunz, 2012; Ruhaak, 2012;
pathogens; reduced Bode, 2012
inflammation
Gangliosides Brain development; anti- Wang B, 2012
infectious
Glycosaminoglycans Anti-infectious Coppa, 2012; Coppa 2011
Sumber : Ballard, OJD., Morrow, AL., 2013 .

Imunologi ASI
Keunggulan ASI yang bersih, selalu segar, warna, bau, rasa, dan
komposisi yang tidak dapat ditiru oleh susu lain bukan hanya merupakan sumber
zat gizi bagi bayi tetapi juga zat anti kuman yang kuat karena adanya beberapa
faktor yang bekerja secara sinergi membentuk suatu sistem imunologi.
Pembentukan sistem imun pada manusia dimulai sejak embrio dilanjutkan selama
masa fetus dan sempurna dalam beberapa tahun setelah lahir. Fetus tumbuh dalam
suatu lingkungan sangat terlindung, bebas kuman, dan kurang berpengalaman
terhadap zat antigenik.
ASI kaya mengandung berbagai faktor aktif imunologis khususnya
antibodi (Omar Sazaly Aldy, dkk., 2009). Air susu ibu mengandung
imunoglobulin M, A, D, G, dan E, namun yang paling banyak adalah sIgA.
Sekretori IgA pada ASI merupakan sumber utama imunitas didapat secara pasif
selama beberapa minggu sebelum produksi endogen sIgA, konsentrasi paling
tinggi pada beberapa hari pertama post partum. Selama masa pasca lahir, bayi
rentan terhadap infeksi patogen yang masuk, oleh sebab itu sIgA adalah faktor
protektif penting terhadap infeksi (Omar Sazaly Aldy, dkk. 2009). Studi dari
Swedia menyatakan bahwa kadar antibodi IgA dan IgM secara bermakna lebih
tinggi pada bayi mendapat ASI dibandingkan yang tidak mendapat ASI.
Imunoglobulin A (Ig A) yang terdapat di dalam antibodi maternal didapat dari
sistem imun saluran cerna dan pernafasan yang dibawa melalui sirkulasi darah
dan limfatik ke kelenjar payudara, akhirnya dikeluarkan melalui ASI sebagai
sIgA.
Selain itu, Leukosit (90% dari jumlah sel) di dalam ASI terutama terdiri
dari makrofag (90%). Sel makrofag ASI merupakan sel fagosit aktif sehingga
dapat menghambat multiplikasi bakteri pada infeksi mukosa usus. Selain sifat
fagositik, sel makrofag juga memproduksi lisozim, C3 dan C4, laktoferin,
monokin seperti IL-1 serta enzim lainnya. Makrofag ASI dapat mencegah
enterokolitis nekrotikans pada bayi. Limfosit (10% dari jumlah sel) 50% terdiri
atas limfosit T dan 34% limfosit B. Fungsi limfosit untuk mensintesis antibodi
IgA, memberikan respons terhadap mitogen dengan cara berproliferasi,
meningkatkan interaksi makrofag – limfosit dan pelepasan mediator. Leukosit
ASI dapat bertahan terhadap perubahan pH, suhu dan osmolaritas, sama dengan
yang terjadi pada binatang bertahan selama seminggu pada orang utan dan domba.
Telah diketahui bahwa ASI akan mempengaruhi respons imun, sehingga
akan mempengaruhi kejadian atopi. Zat kekebalan yang terdapat dalam ASI antara
lain Lactobacillus bifidus secretory IgA (sIgA), lisozim, laktoperoksidase, dan
leukosit akan menurunkan risiko infeksi saluran pencernaan, saluran pernapasan,
infeksi telinga, diabetes melitus, dan penyakit alergi. Bayi yang mendapat ASI
memiliki profil mikrobiota yang didominasi oleh Bifidobacterium dan
Lactobacillus, sedangkan pada bayi yang diberi susu formula adalah Coliform,
Enterococi, dan Bacteroides. Hal ini menyiratkan ASI mungkin memiliki faktor
yang berperan dalam terbentuknya mikrobiota usus yang baik. Selain itu didukung
juga dengan bukti bahwa ASI pada bayi yang mengalami ekzem atopi memiliki
konsentrasi antiinflamasi TGF-β yang lebih rendah dibandingkan dengan ASI ibu
yang anaknya tetap sehat selama proses laktasi ini (Tetty Yuniati, 2001).

Alergi Pada Bayi


Alergi merupakan suatu kelainan reaksi berlebih (hipersensitivitas) sistem
imun tubuh terhadap subtansi spesifik (alergen) yang mengakibatkan kerusakan
jaringan (Mulya Safri dan Aulia Rahman Putra, 2015). Penyakit alergi pada bayi
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian. Kulit dan saluran nafas
adalah organ yang paling sering terpejan alergan dan terlibat dalam penyakit
alergi. Pada bayi dan anak-anak, susu sapi merupakan jenis makanan yang paling
sering menyebabkan alergi (Saroh, S.A., 2013). Respon alergi sebagian besar
dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE). Penyakit alergi disebabkan terjadi perbedaan
signifikan dari pola perkembangan imun saat janin dan setelah lahir. Penyakit
alergi merupakan ekspresi akhir dari genotipe seseorang yang berespon terhadap
perubahan lingkungan melalui pemprograman epigenetik (Charlotte Giwercman
Carson, 2013).

Dermatitis Atopi
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi kronis dan residif, disertai
rasa gatal yang biasanya muncul pada bayi dan anak- anak ditandai adanya riwayat
atopik pada diri sendiri atau pada keluarganya (Djuanda, 2008). Dermatitis atopi
merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering terjadi pada anak. Penyakit ini
sering ditemukan bersama dengan asma, rhinitis alergi dan hay fever. Umumnya
disertai dengan peningkatan kadar IgE serum penderita. Menurut The National
Institute of Allergy and infectious Diseases, setiap tahun terdapat lebih dari 50 juta
penduduk USA yang menderita penyakit alergi (Walter L. Hurley, and Peter K.
Theil, 2011). Hampir 36 juta mengalami rintis alergi. Dermatitis atopi, merupakan
salah satu penyakit kulit terbanyak dan terutama terjadi pada bayi dan anak-anak,
prevalensinya sekitar 10%. Prevalensi dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh
dunia dengan jumlah tersering pada usia 1 tahun pertama, cenderung relaps, dan
diikuti allergic march hingga dewasa (Anita Halim, dkk., 2014).
Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis dermatitis atopik,
diantaranya adalah faktor genetik dan Laktasi. Menurut Morar et al (2006) dalam
Anita Halim, dkk., 2014 menyatakan bahwa Sekitar 80% dari bayi dengan
dermatitis atopik memperlihatkan peningkatan level serum total IgE. Riwayat
orangtua diperkirakan mempunyai peranan penting pada penyebab dermatitis
atopik dan penyakit atopik lainnya karena genetik merupakan faktor risiko yang
sering memicu penyakit pada bayi. Meskipun, tidak selalu ditemukan hubungan
yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah. Menurut Anita Halim, dkk., 2014
Orang tua yang menderita alergi merupakan determinan terkuat dari penyakit alergi
pada anak. Hal ini dikarenakan kecenderungan aktivitas faktor-faktor modifikasi dari
ekspresi genetik yang dimiliki kedua orang tua, akan diturunkan kepada keturunannya
dan menjadi cetakan perintah pada saat pemprograman epigenetik
Selain faktor genetik, faktor Laktasi juga berhubungan dengan kejadian
DA. Terjadi perbedaan bayi yang mendapat ASI dengan yang tidak ASI. Melalu
penelitian yang dilakukan Yang tahun 2009 tentang hubungan antara menyusui
dan terjadinya dermatitis atopik menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana
hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat efek proteksi menyusui secara eksklusif
paling tidak selama 3 bulan terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak-anak
dengan riwayat keluarga yang positif dermatitis atopik (Yang et al., 2009).
Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di Indonesia, dermatitis atopik
berada pada urutan pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum
ditemukan pada anak-anak. Di klinik dermatovenerologi RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember 2007, terdapat
73 kasus dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data
di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah
pasien DA mengalami peningkatan dari 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006,
tahun 2007 menjadi 148 pasien (11,05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230
pasien (11,65%) (Zulkarnain I.,2009). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20%
dan 19% pada anak perempuan (Tada J., 2002).

Mekanisme Dermatitis Atopi


Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogen atau alergen dari
luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah inhalasi atau secara
langsung melalui kontak dengan kulit (Karel Duchén M., 1999). Pada pemaparan
pertama terjadi sensitasi, dimana alergen akan ditangkap oleh sel penyaji antigen
(Antigen Presenting Cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan kepada
sel limfosit T dengan bantuan MHC kelas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi
aktif dan mengenali alergen tersebut melalui reseptor (T cell reseptor = TCR).
Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena
mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel
plasma dan memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di
dalam sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast dan basofil. Pada paparan
alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi
ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi Mast
Cell. Degranulasi Mast Cell akan mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia
(preformed mediators) seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera,
ataupun mediator yang baru dibentuk seperti leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin
D2 (PGD2) dan lain sebagainya (Harijono, 2007).

Sumber : Endaryanto, E., dan Harsono, 2010


Gambar 1. Mekanisme Alergi

Hubungan ASI dengan Kejadian Alergi Atopi Pada Bayi


Air susu ibu merupakan nutrisi terbaik untuk bayi. Selain memenuhi
kebutuhan nutrisi, ASI juga berperan dalam pembentukan kekebalan tubuh dan
pencegahan penyakit alergi (Anita Halim, dkk., 2014). Keunggulan ASI yang
bersih, selalu segar, warna, bau, rasa, dan komposisi yang tidak dapat ditiru oleh
susu lain bukan hanya merupakan sumber zat gizi bagi bayi tetapi juga zat anti
kuman yang kuat karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergi
membentuk suatu sistem imunologi. Menurut Omar Sazaly Aldy, dkk., 2009 ASI
kaya mengandung berbagai faktor aktif imunologis khususnya antibodi.
Pengaruh imunologis berhubungan dengan kenyataan bahwa ASI kaya
dengan berbagai faktor aktif khususnya antibodi. Air susu ibu mengandung
imunoglobulin M, A, D, G, dan E, namun yang paling banyak adalah sIgA. ASI
kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu melindungi saluran
cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi sebagai alergen dan
menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan menstimulasi pematangan
saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk menerima antigen, mengatur flora
normal saluran cerna dan faktor imunomodulator. Bayi dengan resiko tinggi
atopik yang tidak mendapat ASI eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk
menderita dermatitis atopik (Budiastuti M., 2007).
Beberapa penelitian menyatakan bahawa ASI yang diberikan secara
eksklusif selama enam bulan kehidupan akan memberikan keuntungan nutrisional
dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI eksklusif selama enam bulan
dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari pemberian makanan yang dapat
menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi alergi. Pemberian ASI terutama dalam
6 bulan pertama kehidupan (ASI eksklusif) krusial dalam kejadian penyakit alergi
terutama alergi makanan. Hal ini dikarenakan kandungan Sekretori Imunoglobulin A
(S-IgA) yang dimiliki ASI berperan sentral dalam perlindungan mukosa saluran cerna
bayi yang belum matur. Bayi belum dapat memproduksi S-IgA sendiri dalam jumlah
adekuat sehingga S-IgA dari ASI merupakan sumber utama S-IgA bayi. S-IgA
mencegah protein luar lolos dari mukosa saluran cerna dan berinteraksi dengan APCs
dalam aliran darah saluran cerna (Omar Sazaly Aldy, dkk. 2009).
Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa ASI yang diberikan secara
eksklusif dari 0 - 6 bulan, selain memberikan manfaat nutrisi ternyata mampu
melindungi bayi terhadap kejadian dermatitis atopik (Saeedeh Farajzadeh, et al,
2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Schoetzau di Jerman pada
tahun 1995- 1998, diikuti oleh 1121 bayi yang mempunyai risiko atopik
menunjukkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif merupakan faktor protektif
terhadap kejadian dermatitis atopik dengan RR 0,47 dan Cl 95% (0,30-0,47).
Insiden dermatitis atopik selama satu tahun pertama pada bayi yang diberi ASI
eksklusif sebesar 9,5%, sedangkan pada bayi yang diberi susu formula sebesar
14,8% (Schoetzau, 2002) dalam Mulya Safri, Aulia Rahman Putra, (2015).
Sekretori IgA pada ASI merupakan sumber utama imunitas didapat secara
pasif selama beberapa minggu sebelum produksi endogen sIgA, konsentrasi
paling tinggi pada beberapa hari pertama post partum. Selama masa pasca lahir,
bayi rentan terhadap infeksi patogen yang masuk, oleh sebab itu sIgA adalah
faktor protektif penting terhadap infeksi (Omar Sazaly Aldy, dkk. 2009). Sekretori
IgA (sIgA) melindungi membran mukosa saluran pencernaan dan pernafasan,
antibodi IgG dan IgM, hormon, antioksidan, vitamin, sitokin, faktor pertumbuhan,
komponen, prostaglandin, granulosit, makrofag, serta limfosit B dan T (Lodge, DJ
Tan, MXZ Lau, X Dai, R Tham, AJ Lowe, G Bowatte, KJ Allen, SC Dharmage,
2015). Menurut Kirsi-Marjut Järvinen (2000) Imunoglobulin A sekretorik (sIgA)
yang terdapat dalam ASI akan bertahan dalam saluran cerna dan mencegah
melekatnya alergen/ kuman patogen pada dinding saluran cerna. Berbagai
senyawa lain dalam ASI seperti laktoferin, lisozim, oligosakarida, musin, dan
interferon, memengaruhi kolonisasi mikroflora, meningkatkan maturasi mukosa
usus dan respon imun humoral, serta memodulasi sistem imun ke arah Th1
sehingga mengurangi risiko kejadian alergi (Silvers KM, Frampton CM, Wickens
K, 2012).
Selain itu, Sel makrofag, limfosit, dan polimorfonuklear yang banyak
terdapat dalam kolostrum, bersama dengan sel epitel pada kelenjar payudara
memproduksi senyawa seperti transforming growth factor-alpha (TGF-α),
transforming growth factor-beta (TGF-β), dan interleukin (Robert M. Lawrence,
MD, and Camille A. Pane, MD, 2007). Senyawa TGF-β berperan dalam
pembentukan kekebalan tubuh melalui peningkatan kemampuan bayi menyintesis
sIgA sebagai respon terhadap antigen yang masuk lewat makanan . Kalliomaki
dkk dalam (Anita Halim, dkk., 2014) memaparkan 2 teori tentang mekanisme ASI
dalam mencegah DA, yaitu toleransi oral dan penundaan sensitisasi dini.
Berbagai antigen makanan ditemukan dalam ASI, berkaitan dengan diet
ibu. Antigen dalam jumlah kecil ini berikatan dengan antibodi spesifik dari ASI,
menimbulkan efek protektif dengan cara menginduksi reaksi yang toleran
terhadap antigen tersebut, yang disebut dengan toleransi oral. Penundaan
sensitisasi dini terjadi melalui adanya sIgA di mukosa usus bayi yang
menghalangi masuknya antigen ke mukosa, dan secara tidak langsung terjadi pada
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Sejumlah penelitian ilmiah berusaha
untuk membuktikan peran ASI dalam mencegah kejadian DA, tetapi hasilnya
masih kontroversi. Penelitian kohort prospektif oleh Kull dkk dalam (Anita
Halim, dkk., 2014) menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif selama minimal
4 bulan dapat mengurangi risiko terjadinya DA dan asma sampai usia 4 tahun
pertama. Efek protektif ASI terhadap DA juga ditemukan pada beberapa
penelitian lainnya. Di lain pihak, beberapa studi melaporkan bahwa ASI tidak
memengaruhi risiko terjadinya DA atau bahkan berkaitan dengan meningkatnya
risiko DA (Achmad Syaiful Ludfi, dkk., 2012).
Selain itu, kandungan ASI yang cukup baik yaitu probiotik dan prebiotik
akan membantu menurunkan derajat keparahan dermatitis atopik dengan
memodulasi protein proteoglikan pada enterosit yang menyebabkan aktivasi sel-
sel dendritik dan respon Th1. Respon Th1 ini akan menekan Th2. Sehingga
kejadian dermatitis atopik dapat dicegah. Probiotik telah dibuktikan dapat
mengontrol inflamasi karena alergi dan menurunkan gejala yang berhubungan
dengan dermatitis atopik dengan mekanismenya adalah melalui peningkatan
produksi sitokin TGF-b. probiotik mampu menginduksi IL-12 dan IL-10 dan
dengan kuat melakukan inhibisi terhadap aktivitas proliferasi dari Limfosit T-CD
serta menurunkan IL- 4, IL-5, IFN- dan menjaga kadar IL-10 tetap cukup
sehingga memungkinkan terjadinya toleransi oral dan homeostasis saluran cerna
(Subijanto MS, 2005).

Simpulan
Nutrisi pada ASI memiliki peran penting dalam pencegahan alergi. ASI
kaya akan immunoglobulin A yang membantu melindungi saluran cerna dan
mengikat protein asing yang berpotensi sebagai alergen dan menghambat
absorpsinya. Selain itu, juga komponen-komponen bioaktif pada ASI dan
probiotik akan membantu menurunkan derajat keparahan dermatitis atopik dengan
memodulasi protein proteoglikan pada enterosit yang menyebabkan aktivasi sel-
sel dendritik dan respon Th1. Namun ada juga beberapa penelitian yang tidak
menunjukkan hubungan antara ASI dan kejadian alergi, hal ini kemungkinan
karena adanya paparan alergan seperti debu, makanan, asap rokok, dan paparan
obat-obatan misalnya antihistamin ataupun antibiotik yang tidak bisa dikendalikan
dalam penelitian tersebut sehingga terjadi respon imun yang kemungkinan dapat
meningkatkan Ig E.

Referensi

Achmad Syaiful Ludfi, Luki Agustina, Fetarayani D, Baskoro A, Gatot S, Chairul


Effendi, 2012. Asosiasi penyakit alergi atopi anak dengan atopi orang
tua dan faktor lingkungan. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 13 Nomor
1 Januari 2012. pp. 53-62.
Anita Halim, Zakiudin Munasir, Rinawati Rohsiswatmo, 2014. Manfaat
Pemberian ASI Eksklusif dalam Pencegahan Kejadian Dermatitis
Atopi pada Anak. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 15, No. 6, April 2014. pp.
345-352.
Ballard, OJD., Morrow, AL., 2013. Human Milk Composition: Nutrients and
Bioactive Factors. Pediatri Clinic North America. 2013 February ;
60(1): 49–74.
Budiastuti, M., Wandita, S., Sumadiono, 2007. Exclusive breastfeeding and risk
of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran,
Volume 39, No. 4, Desember 2007: 192-198.
Charlotte Giwercman Carson, 2013. Risk factors for developing atopic
dermatitis. Danish Medical Journal 2013 : Volume 6 No. 7. pp. 1-24.
Elvira Verduci, Giuseppe Banderali, Salvatore Barberi, Giovanni Radaelli,
Alessandra Lops, Federica Betti, Enrica Riva and Marcello Giovannini,
2014. Epigenetic Effects of Human Breast Milk. Nutrients 2014, 6,
1711-1724.
Isnaniyah Usman, Eva Chundrayetti, Oea Khairsyaf, 2015. Faktor Risiko dan
Faktor Pencetus yang Mempengaruhi Kejadian Asma pada Anak di
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(2).
pp. 392-397.
Karel Duchén M., 1999. Human milk factors and atopy in early childhood.
Linköping University Medical Dissertations No. 580. Department of
Health and Environment Division of Paediatrics Faculty of Health
Sciences, Linköping University Linköping, Sweden.
Kirsi-Marjut Järvinen, 2000. Human milk immunology in relation to the
development of cow’s milk allergy in the breast-fed. ACADEMIC
DISSERTATION. Department of Dermatology, Skin and Allergy
Hospital University of Helsinki, Helsinki, Finland.
Lodge, DJ Tan, MXZ Lau, X Dai, R Tham, AJ Lowe, G Bowatte, KJ Allen, SC
Dharmage, 2015. Breastfeeding and asthma and allergies: a
systematic review and meta-analysis. Acta Pædiatrica 2015. 104,
pp.38–53
Mataram, IKA., 2011. Aspek Imunologi Air Susu Ibu. Jurnal Ilmu Gizi.
Volume 2 Nomor 1, Februari 2011. pp. 37-48.
Mulya Safri, Aulia Rahman Putra, 2015. Early allergy symptoms in infants
aged 0-6 months on breast milk substitutes. Journal Paediatri
Indonesia, Vol. 55, No. 1, January 2015. pp. 18-22.
Omar Sazaly Aldy, Bugis M Lubis, Pertin Sianturi, Emil Azlin, Guslihan D
Tjipta, 2009. Dampak Proteksi Air Susu Ibu Terhadap Infeksi. Jurnal
Sari Pediatri 2009;11(3):167-73).
Robert M. Lawrence, MD, and Camille A. Pane, MD, 2007. Human breast milk:
current concepts of immunology and infectious diseases. Foreword.
Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care 2007;37:7-36.
Rulina Suradi, 2001. Spesifitas Biologis Air Susu Ibu. Sari Pediatri, Volume. 3,
No. 3, Desember 2001: 125 – 129.
Saeedeh Farajzadeh, Armita Shahesmaeili, Nasrin Bazargan, Zahra Mohebbi
Poorkani, Zakiyeh Karaminejad, Hamideh Aghaei, Nasim Pourdamghan,
2011. Relationship between duration of breastfeeding and
development of atopic dermatitis. Journal of Pakisan Association of
Dermatologists 2011; 21: 80-86.
Silvers KM, Frampton CM, Wickens K, 2012. Breastfeeding Protects against
Current Asthma up to six years of age. The Journal of Pediatrics.
JPeds.2011.11.055.
Teuku Zulfikar, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono, 2011. Prevalens Asma
Berdasarkan Kuesioner ISAAC dan Hubungan dengan Faktor yang
Mempengaruhi Asma Pada Siswa SLTP di Daerah Padat Penduduk
Jakarta Barat Tahun 2008. Jurnal Respir Indo Vol. 31, No. 4, Oktober
2011. pp. 181-191.
The Academy of Breastfeeding Medicine, 2011. ABM Clinical Protocol #24:
Allergic Proctocolitis in the Exclusively Breastfed Infant. Journal
Breastfeeding Medicine. Volume 6, Number 6, 2011.
Walter L. Hurley, and Peter K. Theil, 2011. Perspectives on Immunoglobulins
in Colostrum and Milk. Nutrients 2011, 3, pp. 442-474.
Yousuke Takemura, Yutaka Sakurai, Satoshi Honjo, Akira Kusakari, Tomokuni
Hara, Motonobu Gibo, Akira, Tokimatsu, and Nobuo Kugai, 2001.
Relation between Breastfeeding and the Prevalence of Asthma.
American Journal of Epidemiology. Vol. 154, No. 2, 2001.
Tetty Yuniati, Abdurachman Sukadi, 2011. Kejadian Atopi pada Bayi Usia 6
Bulan yang Mendapat Kombinasi ASI dan Susu Formula
Mengandung Probiotik dan Nonprobiotik. Jurnal MKB, Volume 43
No. 2, Tahun 2011

Anda mungkin juga menyukai