Anda di halaman 1dari 14

Referat

Meningitis Tuberkulosis pada Anak

Disusun oleh:

Yoana Priska 11 2015 120

Pembimbing:

Dr. Sonny Kusuma Yuliarso, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Periode 24 Oktober 2016 – 31 Desember 2016

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningitis Tuberkulosis kebanyakan terjadi di negara berkembang, tempat
dimana penyakit tuberculosis sering ditermukan. Meningitis Tuberkulosis seringkali
menyerang anak-anak karena ketidakmampuan mereka menampung infeksi primer dari
Mycobacterium tuberculosis di paru-paru.
Meningitis tuberculosis merupakan salah satu penyakit yang mematikan.
Persentase mortalitas dari penyakit ini mecapai 30%. Dan 50% dari penderita yang
selamat bisa mengalami gejala sisa neurologis, termasuk keterlambatan perkembangan
pada anak-anak, kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan saraf kranial.1
Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting untuk mengurangi
risiko terjadinya komplikasi dari meningitis tuberkulosa.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat kelulusan pada kepaniteraan
klinik.
2. Tujuan Khusus
Dokter umum mampu mengenal dan mendiagnosis penyakit meningitis tuberculosis
yang sering terjadi pada anak-anak, sehingga dapat memberikan pengobatan yang
tepat sesuai kompetisinya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberculosis merupakan
hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari
infeksi primer pada paru.
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal Fluid
(CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis purulenta
dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan meningitis
serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan gejala klinis
meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga diperlukan pengetahuan dan
tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal ini berkaitan dengan penanganan
selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya.
Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan
penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotic spektrum
luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis
tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83%
disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru.2

B. Epidemiologi
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan
mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi
setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers for Disease Control (CDC)
melaporkan pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB
ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya
bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor
genetik yang menentukan respon imun seseorang.3

3
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian
tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang
ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur
dibawah 3 bulan.3

C. Klasifikasi
Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis dapat
diklasifikasikan menjadi tiga stage yang terdiri atas:
 Stage I Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit neurologis.
 Stage II Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti
kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis.
 Stage III Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat.2

D. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap yaitu mula-mula
terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama
infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi
keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan
antigen TB dari focus kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses
imunologi, langsung masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6
bulan setelah infeksi primer.
Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena
dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus dan
peningkatan tekanan intracranial.

4
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (pia mater dan
araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di
daerah basal otak.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis :
o Araknoiditis Proliferatif.
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan
adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi
dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf
kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering
terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan
timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II,
maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan
kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila
mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran
yang sifatnya permanen.
o Vaskulitis.
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal
ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark
serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien
selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau
arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya
bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri
yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi.
Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa
pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan

5
fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena
adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabangcabangnya, dan arteri
karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat
yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau
total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas
tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.
o Hidrosefalus.
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis
yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.

E. Diagnosis
Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis
yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada hasil foto rontgen
toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama
adalah ketika basil My-cobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet
menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional.
Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi
metastatik kaseosa focisubependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah
bertambahnya ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan
mengakibatkan meningitis.4
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan
menimbulkan gejala sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan terapi
yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering
dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner
serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf
kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal yang
dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.4

6
Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-
faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan
patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan
dalam waktu beberapa minggu.
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan
punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-
otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap
kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda
Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena meningitis, biasanya
menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi,
demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya
membuat gerakan tidak beraturan.

7
Berdasarkan tabel di atas, diagnosis kemungkinan meningitis TB (probable)
adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12. Diagnosis mungkin bisa meningitis
TB (possible) jika skor di atas 6 di bawah 10.
Penilaian cairan serebrospinalis pada pasien dengan meningitis TB dapat
menunjukkan warna yang jernih, pleocytosis sedang dengan peningkatan pada limfosit,
peningkatan kandungan protein dan konsentrasi glukosa yang sangat rendah. Penemuan
ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan penemuan meningitis bakterial lain, yaitu
pada meningitis bakterial tipikal penemuan pada cairan serebrospinalis adalah berwarna
keruh putih, pleocytosis yang sangat tinggi dan dengan peningkatan pada neutrofil.5
Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis di
bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih menunjukkan
peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500 per µL sel darah putih
di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan protein di atas 1 g/L dan glukosa kurang dari
2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa ditemukan hasil penemuan laboratorium
yang berbeda.
Untuk meyakinkan diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain baru-
baru ini telah dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi adenosine deaminase activity
(ADA), pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang dikeluarkan oleh limfosit, deteksi
antigen dan antibodi bakteri M.tuberculosis dan immunocytochemical staining of
mycobacterial antigens (ISMA) pada sitoplasma makrofag CSF.5
Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel (cell
mediated immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis. Aktivitas ADA tidak dapat
membedakan meningitis TB dengan meningitis bakterial lainnya, tapi aktivitas dari ADA
dapat menjadi informasi tambahan yang berguna untuk menyingkirkan diagnosis
meningitis yang diakibatkan selain bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas
>93% dan spesifitas <80%) dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8
U/L (sensitivitas 59% dan spesifitas >96%) dapat membantu menegakkan diagnosis
meningitis TB (p<0.001). Namun, nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk
mengonfirmasi atau mengeksklusi diagnosis meningitis TB (p=0.07). Hasil positif palsu
juga bisa ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV.6,7

8
Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh antigen
bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skin testing untuk
mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk mendiagnosis TB
ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi menurut asal atau
sumber infeksi primernya.8 Telah dilaporkan kegagalan tes pengukuran IFN-ɣ ini
diakibatkan oleh kematian limfosit yang cepat ketika distimulasi dengan antigen
M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat ditemukan negatif meskipun
sesungguhnya telah terdapat infeksi TB.9
Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF berdasarkan asumsi bahwa
pada stase inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh makrofag dan pada stase
selanjutnya basil TB tersebut berkembang dan bertambah di dalam makrofag (27). Hasil
tes yang positif mengindikasikan bahwa terdapat isolat bakteri TB di dalam CSF. Pada
studi terbaru di dapatkan sensitivitas 73.5% dan spesifitas 90.7% dengan nilai prediksi
positif dan negatif sebesar 52.9% dan 96% berturut-turut.10
Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi
lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (deficit
neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi
menggunakan metode molekular dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan
serebrospinal (CSF). Namun segala metode untuk memastikan sebuah diagnosis
meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi inisiasi. Kultur memerlukan 2
sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi mikroskopik untuk basil tahan asam
dan isolasi kultur memiliki sensitivitas rendah.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen berbeda: administrasi
obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen atau penatalaksanaan tekanan
intrakranial yang meningkat. Berikut adalah guideline dan dosis pemberian obat anti TB
untuk infant dan anak-anak baik lini pertama dan lini kedua.5

9
10
Fluoroquinolone menambah aktivitas antituberkulosis pada terapi standar, tetapi
harus dimulai sesegera mungkin sebelum terjadi koma untuk mendapatkan outcome lebih
baik. Meningitis tuberkulosa merupakan penyakit tuberculosis ekstrapulmoner yang
sifatnya fatal dan harus segera didiagnosis dan diterapi. Kemungkinan besar pasien
meningitis tuberkulosa mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone.4
Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua atau lebih
jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari penggunaan FDC adalah
menurunkan resiko pembentukan resistensi terhadap obat dan medication errors yang
lebih sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu diresepkan. Anak-anak di atas usia 8
tahun dengan berat badan lebih dari 30 kg dapat diberikan standard four-drug FDC atau
FDC yang memiliki kandungan 4 jenis obat TB standar yang digunakan pada pasien
dewasa selama fase intensif (dua bulan) terapi.11

Tabel 3. FDC untuk TB pada usia > 8 tahun dan berat badan > 30 kg.

Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk regimen


meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin. Isoniazid 15-20
mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15-20 mg/kg/day (dosis harian
maksimum 600 mg). Ethionamide 15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 1 g).
Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian maksimum 2 g). Meningitis TB juga
merupakan indikasi penggunaan kortikosteroid, biasanya yang digunakan adalah
prednisone oral yang diberikan dosis 2 mg/kg/hari (maksimum 60 mg per hari) selama

11
empat minggu sebagai tambahan obat TB dan dilakukan tapering off setelah dua minggu
(total penggunaan kortikosteroid 6 minggu).11

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Tai, 2013), antara
lain hidrosefalus, abses otak, gangguan pendengaran, peningkatan tekanan dalam otak
( tekanan itrakranial ), kerusakan otak, kejang, serangan otak, dan araknoiditis.

H. Pencegahan
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung
dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan
cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih sebelum
makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan meningkatkan sistem
kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi
Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan
untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita
untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya
tuli atau ketidak mampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk
mencegah dan mengurangi cacat.

I. Prognosis
Secara umumnya, penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat
motorik atau mental atau meninggal tergantung dari umur penderita, jenis kuman
penyebab, berat ringan infeksi, lama sakit sebelum mendapat pengobatan, serta kepekaan
kuman terhadap antibiotik yang diberikan.

12
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan pasien
dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan intracranial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bidstrup C, Andersen PH, Andersen AB. Tuberculous meningitis in a country with a low
incidence of tuberculosis: still a serious disease and a diagnostic challenge.Scand J Infect
Dis 2002.
2. Meningitis tuberculosis. http://www.mayoclinic.com/health/tuberculosis.
3. Nofareni. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi Terjadinya
Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU. 2003; 1-13.
4. Thwaites GE, Bhavnani SM, Chau TTH, Hammel JP, Torok ME, Wart SAV, et. al. A
randomized pharmaco-kinetic and pharmacodynamic comparison of fl uo-roquinolones
for tuberculous meningitis. Antimicrob Agents Chemother 2011.
5. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in
children. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università degli Studi di
Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore Policlinico. Via Commenda
9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis 2012: 92; 377-383.
6. Tuon FF, Higashino HR, Lopes MI, Litvoc MN, Atomiya AN, Antonangelo L, et al.
Adenosine deaminase andtuberculous meningitisea systematic review with meta-
analysis.Scand J Infect Dis. 2010; 42.
7. Corral I, Quereda C, Navas E, Martín-Dávila P, Pérez-Elías MJ, Casado JL, et
al.Adenosine deaminase activity in cerebrospinalfluid of HIV-infected patients: limited
value for diagnosis of tuberculous meningitis.Eur J Clin Microbiol InfectDis. 2004; 23.
8. Liao CH, Chou CH, Lai CC, Huang YT, Tan CK, Hsu HL, et al. Diagnostic perfor-mance
of an enzyme-linked immunospot assay for interferon-gamma in extrapulmonary
tuberculosis varies between different sites of disease.J Infect. 2009; 59.
9. Simmons CP, Thwaites GE, Quyen NT, Chau TT, Mai PP, Dung NT, et al. The clinical
benefit of adjunctive dexamethasone in tuberculous meningitis is not associated with
measurable attenuation of peripheral or local immune responses.J Immunol. 2005; 175.

13
10. Shao Y, Xia P, Zhu T, Zhou J, Yuan Y, Zhang H, et al. Sensitivity and specificity of
immunocytochemical staining of mycobacterial antigens in the cytoplasm of
cerebrospinalfluid macrophages for diagnosing tuberculous meningitis.J ClinMicrobiol.
2011; 49.
11. DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis guidelines of the
Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases. South Afr J Epidemiol
Infect. 2009; 24(3).

14

Anda mungkin juga menyukai