Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MATA KULIAH PANCASILA

ANALISIS ARTIKEL “ RELEVANSI PANCASILA DALAM HIDUP


KEKINIAN” BERDASARKAN NILAI-NILA YANG TERKANDUNG
DALAM PANCASILA

OLEH :
NAMA : FITRATULLAH
NIM : 1700013212
KELAS PSYCHOLOGI :D
MATA KULIAH : PANCASILA
DOSEN PENGAJAR : TRISNA SUKMAYADI,S.Pd.,M.Pd.

FAKULTAS PSYCHOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2017
ANALISIS NILAI-NILAI PANCASILA DALAM ARTIKEL “RELEVANSI PANCASILA
DALAM HIDUP KEKINIAN -OLEH YUDI LATIF”

ARTIKEL
Setiap kali kata optimisme hendak kita lukis di atas kanvas kehidupan bangsa, selalu saja
menerjang badai pesimisme yang menggentarkan. Perayaan Idul Fitri dan Hari Kemerdekaan
Indonesia mestinya memantulkan semangat optimisme jiwa pemenang. Namun memburuknya
perekonomian, kerentanan politik, dan dekadensi keadaban publik yang kita alami, membuat
cuaca kebatinan bangsa ini diliputi kabut pesimisme.

Dalam situasi paradoks seperti itu, yang kita perlukan untuk menyongsong langit harapan
bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme yang fleksibel—optimisme
dengan mata terbuka. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa
keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat.
Meski demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membuat
kita terpenjara dalam ketidakberdayaan.

Pemikiran konvensional beranggapan kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti


menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme
cenderung mendorong pada kesuksesan. Tetapi optimisme harus berjejak pada realitas dan visi.

Tanpa keduanya, optimisme hanya sekadar lamunan kosong yang mengarahkan kita ke jalan
sesat. Untuk berjejak pada realitas, yang diperlukan adalah kejujuran untuk menerima kenyataan.
Kita tidak bisa menutup mata akan kebenaran dan kenyataan adanya berbagai krisis yang
mengancam kehidupan bangsa. Kita tidak bisa bersikap tenang-tenang saja, seolah-olah keadaan
bangsa ini baik-baik saja; on the right track.

Melebihi dugaan semula para ahli, krisis multidimensional yang mendera Indonesia saat ini
bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal sulam. Krisis ini begitu luas
cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai situasi ”zaman peralihan” (axial age) dalam
gambaran Karen Armstrong (2006). Zaman jahiliyah (kalabendu) yang penuh prahara,
pertikaian, kedunguan, kehancuran tata nilai dan keteladanan.

Sekitar delapan dekade yang lalu, Mohandas K. Gandhi menengarai adanya ancaman yang
mematikan dari “tujuh dosa sosial”: ‘politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras,
perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa
humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan’. Ketujuh dosa ini sekarang telah menjadi warna
dasar dari kehidupan kita.

Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam
apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima), atau apa yang disebut Al-
Farabi sebagai “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah).

Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba
mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan
disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi; ketamakan
dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan:
kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.

Paling nyata kita hadapi hari ini adalah ancaman krisis perekonian seperti ditandai oleh
merosotnya nilai tukar rupiah, jatuhnya indeks saham gabungan, jatuhnya harga komoditi
andalan, menurunnya penerimaan pajak, serta ancaman pemutusan hubungan kerja dalam skala
massif.

Selain itu, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang ditengarai oleh Bung
Karno pada 1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada
demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara
meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).

Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi hari ini.
Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi dengan keringat
dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi
kepentingan orang banyak; aparatur negara sejauh ini belum mampu menegakkan hukum dan
ketertiban; politisi dan pejabat negara kurang memperhatikan visi dan wawasan perjuangan;
perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari etika seperti terpisahnya air dengan minyak.
Adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru saling bertikai, berlomba
menghancurkan kewibawaan negara.

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan untuk memulihkannya kita memerlukan lebih
dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan,“Where
there is no vision, the people perish.” Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis
nasional ini berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha
“penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa
berlandaskan dasar falsafah dan pandangan dunia bangsa Indonesia sendiri.

Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar
kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan (signification), dan pandangan
dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan
bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan,
kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsung dan
kejayaan bangsa.

Akibat keteledoran, ketidaktaatan dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila oleh bangsa
sendiri, terutama oleh para penyelenggara negara, bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut.
Pelan-pelan menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri
berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya dari luar “rumah”; pada tempat-tempat
yang tampak benderang.

Seseorang bertanya kepada mereka,“Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun
menjawab, “kunci rumah”. “Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” Jawabannya, “Di dalam
rumah kami sendiri”. Lantas, “Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” Jawabannya, “Karena
rumah kami gelap.”

Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan
pandangan hidup negara Indonesia sendiri yang tercermin melalui Pancasila. Saat ini yang
diperlukan adalah mengikuti cara Soekarno, menggali kembali mutiara yang terpendam itu,
mengargumentasikan dan mengkontekstulisasikannya dalam kehidupan semasa, dan
mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan.

Dalam perjalanannya, sejarah konseptualisi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase


“pembibitan”, fase “perumusan”, dan fase “pengesahan”. Fase “pembibitan” setidaknya dimulai
pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan
gerakan seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic
nationalism). Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 29 Mei-1 Juni 1945, dengan Pidato Soekarno (1 Juni)
sebagai mahkotanya yang memunculkan istilah Panca Sila.

Rumusan Pancasila dari Pidato Soekarno itu lantas digodok dalam pertemuan Chuo Sangi In
yang membentuk “Panitia Sembilan”, yang melahirkan rumusan baru Pancasila dalam versi
Piagam Jakarta, pada 22 Juni. Fase “pengesahan” dimulai pada 18 Agustus 1945 dalam sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang melahirkan rumusan final, yang
mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.

Sejak tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische
Gronslag), ideologi negara dan pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa Indonesia. Istilah-
istilah tersebut bisa dimaknai dengan merujuk pada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Dalam
pidato tersebut, ia menyebut istilah “Philosfische Gronslag” sebanyak 4 kali plus 1 kali
menggunakan istilah “filosifische principe”; sedangkan istilah “Weltanschauung” ia sebut
sebanyak 31 kali.

Tentang istilah “Philosophische Grondslag”, ia definisikan sebagai “Fundamen, filsafat, pikiran


yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung
Indonesia Merdeka.” Frase “untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka” menjelaskan
bahwa Pancasila sebagai Philosophische Grondlag merupakan padanan dari istilah “Dasar
Negara”.

Alhasil, pengertian Pancasila sebagai “dasar negara” tak lain adalah Pancasila sebagai “dasar
filsafat/falsafah negara”. Dengan kata lain, Pancasila sebagai pandangan hidup/pandangan dunia
(Weltanschauung) bangsa Indonesia hendak dijadikan sebagai ideologi negara.
Pembumian Pancasila
Diperlukan penyegaran pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk menangkal
berjangkitnya beragam ancaman ekstremisme. Dengan menguatkan nilai-nilai Ketuhanan yang
berkebudayaan, kebangsaan yang berprikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang
berorientasi keadilan sosial, Indonesia akan mampu menghadapi perkembangan baru dengan
suatu visi global yang berkearifan lokal.

Tinggal masalahnya, bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan


keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu
sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah apa yang disebut
Kuntowijoyo (2001) dengan proses “radikalisasi Pancasila”. “Radikalisasi” dalam arti ini adalah
pengakaran ideologi, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana
negara ini ditata-kelola dengan benar.

Radikalisasi Pancasila yang dimaksudkannya ialah (1) mengembalikan Pancasila sebagai


ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu,
(3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan,
koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya
melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal,
dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam
kehidupan dan ketatanegaraan; sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat
fungsional. Pemikiran-pemikiran lain yang bersifat abstraksi-filosofis juga bukan tanpa makna.
Tetapi pemikiran yang bersifat abstraksi-filosofis menjadi lebih bermakna sejauh diberi kaki
operasionalisasinya agar bisa menyejarah dan memiliki makna bagi kehidupan kemanusian
dalam konteks negara-bangsa Indonesia.
ANALISIS
Berdasarkan artikel “Relevansi Pancasila dalam Hidup Kekinian” dapat dilihat bahwa penulis
ingin menyampaikan betapa merosotnya nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia
saat ini.
Sesuai judul dari artikel “Relevansi Panacasila dalam Hidup Kekinian” penulis ingin
meninginformasikan kepada pembaca tentang bagaimana kondisi bangsa dan negara saat ini.
Banyak situasi-situasi paradoks atau ketidakjelasan yang melahirkan suatu pemikiran pesimis
bangsa baik kepada penyelenggaraan negara maupun pemimpin negara. Dalam tulisan ini,terlihat
bahwa penulis ingin memberikan informasi kepada kelompok-kelompok orang yang
berkecimpung dan menekuni bidang pendidikan,politik,hukum,sosial dan lain sebagainya. Hal
ini terlihat dari tenik penulisan dan pemilihan kata yang digunakan oleh penulis banyak
mengunakan istilah-istilah dalam ilmu sosial yang tidak dimengerti oleh khalayak pada
umumnya,sehingga tulisan ini tidak akan sampai secara efektif apabila pembacanya tidak berasal
dari kelompok yang telah disebutkan diatas, dengan kata lain sasaran penulis untuk
mempubikasian tulisannya yaitu pada orang-orang tertentu.
Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara perlu dianggap sebagai fundamen atau dasar
pemikiran dalam pembangunan dan penyelenggaraan negara. Penulis ingin menyampaikan
bahwa di era sekarang ini,banyaknya terjadi konflik atau krisis kebangsaan sesungguhnya terjadi
karena bangsa Indonesia tidak lagi memahami nilai-nilai dan pandangan hidup negara Indonesia
yang tercermin dalan nilai-nilai pancasila. Itulah mengapa penulis mengibaratkan bangsa
Indonesia bagaikan anak yang kehilangan kunci didalam rumahnya namun mencari kunci
tersebut diluar rumah. Artinya krisis yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia jawabannya
adalah “Pancasila”.
Dalam sila pertama pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” terdapat nilai “keyakinan dan
ketakwaan kepada Tuhan”,dimana nilai ini akan menjadi nilai dasar dalam nilai-nilai
kebudayaan,kebangsaan yang berprikemanusian serta demokrasi yang beriorientasi pada
keadilan sosial. Dinamisnya perkembangan kehidupan masyarakat indonesia yang terus
mengalami kemajuan yang tidak dibarengi dengan nilai-nilai Ketuhanan menjadikan Indonesia
sebagai negara yang korup dan jahil. Bahkan hukum yang dibuat oleh aparatur negara dapat
dipermainkan (attraction of justice). Kurangnya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa berdampak
pada merosotnya “nilai Kemanusian dan Persatuan Bangsa” pada sila kedua dan ketiga
pancasila. Hal ini teraktualisasi dengan banyaknya problematika yang dihadapi bangsa Indonesia
dikarenakan oleh kelakuan bangsanya sendiri. Cita-cita ingin mewujudkan keberadaban yang
bermoral namun hari ini kita melihat warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya,rasa
saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan,hukum dan institusi tidak
mampu meredam korupsi,ketamakan,dan hasrtat meraih kehormatan merajalela.
Akhirnya politik yang mulanya dibentuk berdasarkan semangat demokrasi dan kemusyarawatan
yang “bernilai keadilan” lenyap dan dirasa sudah tidak berpihak pada kepentingan masyarakat
Indonesia. Prilaku politik dan birokrasi mencerminkan adanya kemerosotan moril pada
penyelenggara atau pemerintah negara dimana beberapa orang yang menggenggam otoritas
berlomba untuk menghancurkan negara demi mendapatkan kehormatan untuk dirinya sendiri
yang melenyapkan pula “nilai persatuan”. Jika dikaitkan dengan sila kelima pancasila yaitu
“nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”,maka fakta yang terjadi hari ini adalah
keadilan itu hanyalah angan belaka yang tidak pernah dijadikan tujuan penyelenggaraan negara.
Banyaknya krisis mengakibatkan masalah perekonomian ditandai dengan merosotnya nilai tukar
rupiah,menurunnya penerimaan pajak,dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya menciptakan
kemiskinan dan ketidaksejahteraan dalam masyarakat Indonesia dan kematian.
Oleh kaena banyaknya krisis yang dihadapi oleh bangsa Indonesia,penulis dalam tulisannya
mengatakan bahwa sebab dari krisis-krisis dan konflik tersebut yaitu karena
keteledoran,penyelewengan dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai pancasila oleh bangsa sendiri.
Sehingga obat yang diperlukan unuk menyembuhkan penyakit akut bangsa ini adalah dengan
Pancasila itu sendiri. Maka diperlukan penyegaran pemahaman dan realisasi dari nilai-nilai
Pancasila yang harus di budi luhurkan dari sekarang untuk pembentukan karakter bangsa yang
bermoral kedepannya. Penulis memberikan solusi yaitu adanya proses radikalisasi pancasila
yang artinya pengakaran ideologi yang membuat pancasila menjadi efektif sekaligus menjadi
petunjuk bagaimana negara ini seharusnya dijalankan. Radikalisasi bukan diartikan sebagai
penguatan dan menungkatkan kebanggaan terhadap bangsa sendiri secara berlebihan yang akan
mejurumuskan bangsa Indonesia kepaham chauvinisme,melainkan radikalisasi pancasila
bertujuan untuk mengembalikan pancasila sebagai ideologi dan pedoman bangsa serta sebagai
kritik kebijakan negara.

Anda mungkin juga menyukai