Anda di halaman 1dari 16

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

JURUSAN FARMASI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR

UJI EFEK HIPNOTIK-SEDATIV OBAT TRADISIONAL

NAMA MAHASISWA :
1. RIKE ADLIANA (PO714251161049)
2. IYUT PRASTIWI (PO714251161026)
3. LINDA PERMATASARI (PO714251161028)
4. MIRTA SARI (PO714251161032)
5. MUH.FADLY DWI SUPRAPTO (PO714251161034)
6. NURHAYU BASAN (PO714251161043)
7. NURUL AZMI R (PO714251161045)
8. USNADILA (PO714251161056)
9. ZAHRA THAHIRAH S (PO714251161059)
KELOMPOK : 3/D.IV/K1
HARI PRAKTIKUM : RABU
PEMBIMBING : Drs. H. TAHIR AHMAD, M.Kes, Apt

JURUSAN FARMASI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang

merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling

berhubungan satu dengan yang lain. Fungsi sistem saraf antara lain :

mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan

lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat atau

sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti

sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian

dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh

perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan

reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat

ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif

hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut analeptika.

Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat

(SSP) yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan

tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu

hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis.

Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap

perangsangan emosi dan menenangkan. Sedatif menekan reaksi terhadap

perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat.

Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks


hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot. Obat hipnotik menyebabkan kantuk

dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur

fisiologis.

Penggunaan obat tradisional juga bisa dilakukan untuk memperoleh efek

sedative-hipnotik. Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia sendiri saat ini sudah

cukup luas. Pengobatan tradisional ini terus dikembangkan & dipelihara sebagai

warisan budaya bangsa yang terus ditingkatkan melalui penggalian, penelitian,

pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan dengan pendekatan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, dilakukanlah praktikum kali ini

untuk menguji efek sedative-hipnotik dari ekstrak jengger ayam.

B. Tujuan

1. Dapat mengetahui pengaruh pemberian ekstrak jengger ayam pada hewan uji

(mencit putih jantan)

2. Dapat mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi (dosis) ekstrak jengger

ayam terhadap efek sedatif pada hewan uji (mencit putih jantan)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dasar

1. Defenisi

Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat

(SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan ,

hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan

mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas,

menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik

menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang

menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995).

Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi

diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau

menyebabkan tidur. Umumnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bila zat-zat

ini diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan

menenangkan,maka dinamakan sedatif (Tjay,2002).

Obat-obatan hipnotik sedative adalah istilah untuk obat-obatan yamg mampu

mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas

moderate yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah

substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan

onset serta mempertahankan tidur. Efeknya bergantung dosis, mulai dari ringan

yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga berat yaitu

kehilangan kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati (Tjay, 2002).


Pada penilaian kualitatif dari obat tidur, perlu diperhatikan faktor-faktor

kinetik berikut:

a. lama kerjanya obat dan berapa lama tinggal di dalam tubuh

b. pengaruhnya pada kegiatan esok hari

c. kecepatan mulai bekerjanya

d. bahaya timbulnya ketergantungan

e. efek “rebound” insomnia

f. pengaruhnya terhadap kualitas tidur

g. interaksi dengan otot-otot lain

h. toksisitas, terutama pada dosis berlebihan (Tjay,2002)

2. penggolongan hipnotik-sedatif

a. golongan barbiturate : fenobarbital, butobarbital, siklobarbital, dan lain-lain.

Penggunaannya sebagai sedative-hipnotika kini paraktis sudah ditinggalkan

berhubungan adanya zat-zat benzodiazepine yang jauh lebih aman. Tetapi ada

beberapa obat-obat barbiturate yang masih digunakan untuk indikasi tertentu,

misalnya fenobarb dan mefobarb sebagai anti-epileptika dan pentotal sebagai

anastetikum.

b. Benzodiazepine : tamazepam, nitrazepam, flurazepam, flunitrazepam,

triazolam, estazolam, dan midazolam. Obat-obat ini pada umumnyakini

dianggap sebagai obat tidur pilihan karena toksisitas dan efek sampingnya

yang relative paling ringan.


c. Lain-lain : morfin, juga berkhasiat hipnotis kuat, tetapi terlalu berbahaya

unntuk digunakan sebagai obat tidur.

d. Obat-obat obsolete : senyawa brom, kalium, natrium, dan turunan urea. Obat-

obat inni hanya berkhasiat lemah dan dahulu hanya digunakan sebagai obat

pereda (Sol.Charchot). Bahaya akumulasi dan toksisitasnya besar sehingga

tidak digunakan lagi dalam terapi modern.

3. Fisiologi Tidur

Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua system pada batang otak,yaitu

Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region(BSR).

RAS di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat

mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual,

pendengaran, nyeri, dan sensori raba, serta emosi dan proses berfikir. Pada saat

sadar, RAS melepaskan katekolamin,sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan

serum serotonin dari BSR (Tarwoto,Wartonah,2003).

Tidur ditandai dengan:

a. Aktivitas fisik, minimal

b. Perubahan-perubahan fisiologis tubuh dan

c. Penurunan respon terhadap rangsangan eksternal


4. Stadia tidur

Selama satu malam terjadi 4-5 siklus tidur & setiap siklus terdiri dari 2 fase,yaitu :

a. Fase Non REM atau deep sleep

Disebut juga dgn tidur tenang atau tidur SWS (Slow Wave Sleeps).

Berlangsung +/- 1 jam. Terdiri dari 4 fase.

Ciri : Denyutan jantung, tek. Darah dan pernapasan teratur. Relaksasi tanpa

gerakan otot muka dan mata.

b. Fase REM ( Rapid Eye Movement ) atau disebut active sleep

Disebut juga dengan tidur paradoksal. Berlangsung 5-15 menit, pada siklus

akhir rata-rata 20-30 menit.

Ciri-ciri :

- Aktivitas mirip dengan keadaan sadar & aktif.

- Gerakan mata cepat ke satu arah

- Jantung, tekanan darah dan pernafasan turun naik.

- Aliran darah ke otak bertmbah & otot-otot mengendor

B. Uraian Bahan

1. Aquadest (Dirjen POM Edisi III : 96)

Nama resmi : Aqua destillata

Nama lain : Air suling, aquadest

RM / BM : H2O / 18,02

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak

berbau
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Kegunaan : Sebagai pelarut.

2. Na.CMC (Depkes RI 1979, hal 401)

Nama resmi : Natrii carboxymethylcellulosum

Nama lain : Natrium karboksimetilselulosa

RM/BM : C23H46N2O6.H2SO4.H2O/694,85

Pemerian : Serbuk atau butiran putih atau putih kuning

gading tidak berbau/hampir tidak berbau,

higroskopik.

Kelarutan : Mudah mendispersi dalam air, membentuk

suspensi koloidal, tidak larut dalam etanol

(95%), dalam eter dan dalam pelarut organik.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

Kegunaan : Sebagai pensuspensi obat/sampel.

Khasiat : Sebagai kontrol.

3. Ekstrak Jengger ayam

Klasifikasi tanaman Jengger ayam

Regnum : Plantae

Sub Regnum : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub Kelas : Hamamelidae


Ordo : Caryophyllales

Famili : Amaranthaceae

Genus : Celosia

Spesies : Celosia cristata L

Morfologi

Umumnya, jengger ayam ditanam di halaman dan di taman-taman, jarang

terdapat tumbuh liar. Tanaman ini dapat ditemukan dari dataran rendah sampai

ketinggian 1.000 m dpl. Terna semusim ini tumbuh tegak, tinggi 60–90 cm,

berbatang tebal dan kuat, bercabang, beralur. Daun tunggal, bertangkai, letak

berseling. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai memanjang dengan

panjang 5–12 cm, lebar 3,5–6,5 cm, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi

rata, pertulangan menyirip, warnanya hijau dengan sedikit garis merah di

tengah daun. Bunga majemuk berbentuk bulir, tebal berdaging, bagian atas

melebar seperti jengger ayam jago, berlipat-lipat dan bercangap atau

bercabang, keluar di ujung batang atau di ketiak daun, warnanya ungu, merah,

dadu, atau kuning. Buah kotak, bulat telur, merah kehijauan, retak sewaktu

masak, terdapat dua atau beberapa biji kecil, berwarna hitam. Perbanyakan

dengan biji.

Kandungan

Bunga mengandung minyak lemak, kaempferitrin, amaranthin, pinitol,

sedangkan pada daun terdapat saponin, flavonoida, dan polifenol.


C. Uraian Hewan Uji

1. Klasifikasi mencit (Mus musculisI). (Anonim, 2013)

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Mammalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

2. Morfologi

Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat (Rodentia) yang cepat berbiak,

mudah dipelihara dalam jumlah banyak variasi genetiknya cukup besar, serta sifat

anatomi dan fisiologinya berkarakteristik dengan baik. Mencit hidup dalam daerah

yang cukup luas, penyebarannya mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas

dan dapat hidup terus menerus. Kadang secara bebas sebagai hewan liar, mencit

paling banyak digunakan adalah mencit albino swiss yang dibagi berdasarkan sifat

genetiknya dan sifat lingkungan hidup. (Malole dan Pramono, 1989)


BAB III

METODE KERJA

A. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan yaitu batang pengaduk, Erlenmeyer, gelas kimia,

gelas ukur, spoit oral, stopwatch, timbangan.

Bahan yang digunakan yaitu aquadest, ekstrak jengger ayam, mencit,

Na.CMC

B. Cara kerja

1. Sebelum perlakuan hewan uji (mencit) yang digunakan terlebih dahulu

dipuasakan selama 8-12 jam

2. Kemudian mencit dibagi menjadi 3 kelompok, dimana masing-masing terdiri

dari 3 ekor mencit.

3. Untuk setiap kelompok beri mencit 1 larutan Na.CMC (control), mencit 2

diberi larutan ekstrak 2%, dan mencit 3 diberi larutan ekstrak 5% dengan dosis

masing-masing 1 ml.

4. Setelah diberi sediaan, kemudian diamati dan catat waktu perubahan tingkah

laku mencit berupa tidur (onset obat).

5. Catat durasi tidur mencit setiap 30 menit.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Bahan K BB Onset Durasi Total Rata-

uji (gram) obat 30’ 60’ 90’ rata

1 25 15’ 25” 1’ 45” - 1’ 36” 3’ 19”


Na. 4’ 8”
2 24 4’ 30” - 3’ 15” 2’ 6” 5’ 21”
CMC
3 24 56’ - 3’ 44” - 3’ 44”

1 25 20’ 13’ 24’ - 37’

ekstrak 2 26 5’ 11” 14’ 26” 2’ 10” 16’ 32’ 52” 36’

2,5% 3 26 20’ 5” 3’ 7” 17’ 20’ 2” 40’ 23” 45”

16”

1 32 18’ 20” 3’ 43” 9’ 14” 25’ 23” 38’ 20”


ekstrak 30’
2 27 6’ 5” 2’ 18” 9’ 10” 21’ 49” 33’ 17”
5% 16”
3 29 7’ 51” 2’ 26” 6’ 26” 10’ 20” 19’ 12”

B. Pembahasan

Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat yang
mengandung. Ekstrak ini terlebih dahulu dibuat dalam konsentrasi 2,5% dan 5%
dengan Na.CMC sebagai control. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak terhadap efektivitas sedatif pada mencit
putih jantan.
Pengamatan efek sedatif dari ekstrak ini dilakukan dengan menghitung
onset obat serta jumlah durasi ekstrak yang memberikan efek sedative pada
mencit setiap 30 menit selama 90 menit.
Dari hasil praktikum diperoleh onset obat atau dalam hal ini obat sudah
memberikan efek pada mencit yaitu 5’45” pada konsentrasi 2,5%, 10’ 25” pada
konsentrasi 5%, dan 25’ 18” pada control. Sementara durasi obat pada konsentrasi
2,5% yaitu 36’ 45”, pada konsentrasi 5% yaitu 30’16”, dan pada control yaitu 4’
8”. Hal ini menunjukan ekstrak jengger ayam dapat memberikan efek sedative
sehingga dapat digunakan untuk tujuan terapi. Dari data tersebut juga menunjukan
pada konsentrasi 2,5% sudah memberikan efek maksimum. Namun data hasil
pengamatan tersebut diperoleh dari durasi efek yang selisihnya cukup jauh
disetiap mencti. Hal ini dapat disebabkan oleh :

1. Pembuatan larutan ekstrak yang kurang homogen, sehingga zat aktif dari
ekstrak tidak terdistribusi merata
2. Pengambilan larutan dengan spuit, volumenya kurang tepat sehingga dosis
obat yang diambil tidak sesuai dari yang ditetapkan
3. Pada saat pemberian obat secara peroral pada mencit zat obat tidak masuk
semua karena jatum belum sampai pada saluran cerna, sehingga obat yang
diberikan keluar lagi
4. Pemberian obat secara kasar dapat menyebabkan mencit stress, mencit yang
stress akan memperlama onset obat dan mempercepat durasi obat
5. Konsentrasi obat yang akan mencapai suatu target obat atau reseptor
dipengaruhi oleh farmakokinetiknya yang mencakup proses absorpsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Kemungkinan pada mencit terdapat
perbedaan pada pola-pola tersebut. Saat proses absorpsi, kemungkinan
terdapat obat yang tidak diabsorpsi secara sempurna. Hal ini menyebabkan
konsentrasi obat yang akan didistribusi menjadi lebih sedikit.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan data hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa konsentrasi 2,5%

dari ekstrak jengger ayam memberikan efek sedative maksimum yang

ditunjukkan onset obat yang cepat serta durasinya yang lebih lama dibanding

konstrasi 5% dan control.

B. Saran

Dalam melakukan praktikum buat larutan ekstrak sehomogen mungkin

sehingga zat aktifnya merata serta hati-hati dalam memasukan spoit ke mulut

mencit.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III Depkes RI : Jakarta

H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia: Jakarta.

Syamsudin. 2011. Farmakologi Eksperimental. Universitas Indonesia : Jakarta

Tim farmakologi. 2017. Buku pegangan praktikum farmakologi. prodi D.IV


Farmasi Poltekkes Kemenkes Makassar: Makassar

Tjay, T. H. dan Rahardja. K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima Cetakan


Kedua. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
LAMPIRAN

Pemberian obat ke mencit secara oral Mencit menunjukan efek sedatif

Anda mungkin juga menyukai