Abstract
Pendahuluan
1
Untuk selanjutnya disingkat HI.
44 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
Penulis mengambil tipe keempat yang relatif “lepas” dari pengaruh Barat
dengan menggabungkannya dengan pendekatan Sosiologi-Historis. Penggunaan
pendekatan ini dimaksudkan agar teori atau konsep yang dihasilkan nantinya bisa
terlepas dari dominasi wacana keilmuan Hubungan Internasional Barat. Oleh
sebab itu, penulis akan menggunakan alternatif ke-empat dari metode perumusan
soft theory, menurut Acharya dan Buzan, yakni berfokus pada penggalian data
lokal/regional, kemudian merumuskan konsep berdasarkan data yang diperoleh.
2
Acharya dan Buzan, op.cit. Tipe nomor 2 dan 3, meskipun memiliki kontribusi, dianggap tidak
bisa terlepas dari pengaruh Barat. Seperti halnya Soekarno dan juga sarjana-sarjana HI yang
sebagian besar menempuh pendidikan Barat. Khusus untuk nomor satu, meskipun studi terhadap
pemikiran para pemikir lokal klasik patut terus didorong, tetap memiliki kelemahan, yakni hanya
mengangkat masa-masa keemasan suatu bangsa.
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 45
3
Steve Smith, “Alternative Approaches to International Theory,” dalam Baylis and Steve Smith,
The Globalization of World Politics.
46 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
1) Ilusi reifikasi: memandang masa kini secara efektif terisolasi dari masa
lalu, membuatnya muncul sebagai sesuatu yang statis, self-constituting, otonom
dan sebagai entitas yang konkret, sehingga mengaburkan konteks sosio-
historisnya. 2) Ilusi naturalisasi: memandang masa kini secara efektif bersifat
“alami” karena muncul secara spontan dan sesuai dengan hukum alam manusia.
Hal itu mengaburkan proses historis dan sosial, identitas/eksklusi sosial dan
norma-norma yang menentukan masa kini. 3) Ilusi keabadian: memandang masa
kini abadi karena dianggap alami dan melawan perubahan struktural. Hal ini
mengaburkan proses yang membentuk kembali masa kini, sebagai tatanan yang
terus menerus berubah.
Perang Dingin. Para penstudi hubungan internasional masih tidak bisa melepaskan
diri dari determinasi struktur internasional yang sepanjang sejarah bersifat anarkis
dan selalu diisi oleh pertarungan kekuatan-kekuatan besar. Hal ini akan menjadi
jelas jika menyimak pidato Hatta di depan sidang Badan Pekerja Komite Nasional
pada 2 September 1948.
”Sovjet Russia sendiri memberi tjontoh kepada kita, bahwa politik internasional
tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka, tetapi dengan realitet dan dengan
logika jang rasionil. Dalam tahun 1935, tatkala Sovjet Russia menghadapi arus
fascis, ia merubah haluanja jang radikal jang menentang negara-negara
demokrasi Barat, dan mengandjurkan kepada kaum komunis di luar Russia untuk
memberhentikan seranganja kepada pemerintah-pemerintah kapitalis dan beserta
dengan mereka mengadakan suatu volksfront-politik untuk menentang fascis
(Ibid).”
memperkokoh struktur yang telah mapan. Satu kelemahan mendasar dari rumusan
Hatta, dan juga para sarjana HI setelahnya, mengenai politik luar negeri Indonesia
adalah mereka menjelaskan perilaku suatu negara bukan sebagai agen yang
otonom, tetapi dari kemampuan negara beradaptasi dengan struktur internasional
(anarki). Hal yang sama terjadi pada penganut Sosiologi-Historis gelombang
pertama: Theda Skocpol dan Charles Tilly. Meskipun pada awalnya berusaha
“memasukkan kembali negara” sebagai unit analisis, pada akhirnya mereka tetap
terjebak dengan menetapkan anarki sebagai variabel determinan, sehingga mereka
kembali “menendang negara keluar” dari analisis hubungan internasional
(Hobson, 2000: 175-191).
Guna menghindari kesalahan yang sama, maka tidak ada cara lain selain
menggali warisan pemikiran lokal dan menjadikannya sebagai dasar perumusan
THI Non-Barat. Seperti telah disinggung di atas, warisan pemikiran yang
dimaksud di sini adalah pemikiran Jawa. Pada bagian selanjutnya akan dibahas
mengenai perbedaan konsep kekuasaan Jawa dan Barat. Hal ini penting karena
kekuasaan merupakan konsep utama dalam Studi Ilmu Politik, atau secara khusus
Studi Politik Internasional. Sehingga pembedaan di antara Jawa dan Barat akan
membawa perubahan yang berarti pada Studi Hubungan Internasional, tidak
hanya pada tataran praktis, tetapi juga pada tataran epistemologi dan ontologi.
Pada bagian ini akan dijabarkan konsep kekuasaan Jawa dan perbedaannya
dengan konsep kekuasaan Barat. Hal ini penting, untuk menjaga jarak dari
pemikiran Barat, sehingga akan menghasilkan pemikiran yang “non-Barat”.
Menurut Anderson (2006: 21-23), terdapat empat perbedaan utama mengenai
konsep kekuasaan, antara Barat dan Jawa.
1. Bagi para pemikir Barat, kekuasaan bersifat abstrak, seperti halnya konsep
otoritas ataupun legitimasi. Kekuasaan hanya bisa dinilai dari akibat-
akibatnya, dalam konteks pola-pola interaksi sosial, seperti kepatuhan, tatanan
ataupun harapan-harapan terhadap pihak lain. Sedangkan bagi para pemikir
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 49
4
Dari titik ini huruf pertama kekuasaan Jawa menggunakan huruf kapital “K”, karena merupakan
representasi dari kekuatan Ilahiah.
50 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
Tabel 2
Perbandingan Konsep Kekuasaan Barat dan Jawa
Seorang penguasa tidak boleh memiliki tujuan atau pemikiran lain untuk
pembelajarannya, selain peperangan, pemerintahan dan kedisiplinan,
karena hanya hanya itulah satu-satunya seni yang dibutuhkan
pemimpin,... Dan di sisi lain, orang menyaksikan, ketika penguasa lebih
mementingkan kemewahan daripada kekuatan (persenjataan), mereka
akan kehilangan negaranya.
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 51
kosmos dengan alam makro kosmos (Moertono dikutip oleh Ali, 1986: 27). Oleh
sebab itu, jika mengintegrasikan pemikiran politik Jawa ke dalam Studi Hubungan
Internasional, maka para penstudi tidak bisa menghindari penetapan raja atau
pemimpin negara sebagai unit analisis.
meminjam konsep Waltz, Stephen Walt, juga menawarkan dua pilihan bagi
negara untuk melakukan aliansi: balancing atau bandwagoning. Balancing berarti
bergabung dengan pihak (negara) yang beroposisi dengan sumber ancaman.
Sedangkan bandwagoning berarti bergabung dengan pihak (negara) yang menjadi
sumber ancaman. Sumber-sumber ancaman yang disampaikan oleh Walt juga
bersifat tangible, yang terdiri atas: total kekuasaan,5 kedekatan geografis,
kemampuan menyerang, dan niatan menyerang. Pada titik ini, kesimpulan Walt
sama dengan Waltz, bahwa pilihan harus tetap diambil, baik suka maupun tidak.
The
The
Weaker Strong
State(s)
State(s)
State
A
Gambar 1. Perilaku negara berdasarkan teori Balance of Power
5
Power di sini memiliki indikator yang sama dengan Morgenthau, seperti populasi, industri dan
kemampuan militer, keunggulan teknologi. Semuanya bersifat tangible.
6
Randall Schweller, Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist States Back In,
International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer, 1994), pp. 72-107.
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 55
The The
Threatening Opposition
State(s) State(s)
State
A
Revisionis Status
t State(s) Quo
State(s)
State A
(Limited
aims
state)
(tata tentrem kerta raharja). Karena Kekuasaan menurut perspektif Jawa secara
epistemologis berbeda dengan pandangan Barat, maka perimbangan bukanlah
suatu kondisi yang “ada”. Ketidakstabilan bukanlah suatu kondisi di mana
terdapat dua penggenggam kekuasaan yang tidak seimbang kekuatannya (atau
ancamannya, atau kepentingannya) dan menuntut tindakan penyeimbangan untuk
mengembalikan keseimbangan. Akan tetapi ketidakstabilan terjadi karena
Kekuasaan tidak mampu dikonsentrasikan secara sempurna, sehingga terpecah
dan menimbulkan kekacauan.
Sekilas pandangan ini sama dengan perspektif Barat, yang pada akhirnya
kekuasaan terpecah dan memunculkan dua “kutub” yang saling bertentangan dan
mengimbangi. Akan tetapi dalam pandangan Jawa, pengkonsentrasian Kekuasaan
hanya dapat dilakukan oleh raja atau pemimpin negara. Oleh sebab itu
konsentrasi-perpecahan dan besar-kecilnya Kekuasaan dinilai dari sudut pandang
sang raja (subyektif) bukan dari sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Sehingga
tidak ada gambaran mengenai perimbangan kekuasaan dari sudut pandang Jawa.
Politik Penyerapan
penyerahan diri secara sukarela dari negara tetangga kepada kekuasaan tertinggi
penguasa (Anderson, 2006: 45).
Satu konsep utama yang ingin penulis sampaikan di sini adalah politik
penyerapan. Seperti yang telah sedikit disinggung di atas, pemikiran politik Jawa
menekankan pada stabilitas dan keamanan, yang sangat bergantung pada
konsentrasi Kekuasaan. Apabila konsentrasi Kekuasaan berjalan sempurna, maka
kekacauan di dalam negeri bisa ditanggulangi dan ancaman dari luar negeri bisa
diserap masuk ke dalam (lihat gambar 3).
Tidak ada tugas yang lebih urgent daripada memelihara perdamaian. Tanpa
perdamaian kemerdekaan kita tak banyak faedahnya. Pemulihan dan
pembangunan negri-negri kita akan sedikit sekali artinya. Revolusi-revolusi
kita akan tak mendapat kesempatan melanjutkan perjalanannya. Apa yang
dapat kita perbuat? Bangsa-bangsa Asia dan Afrika hanya mempunyai
kekuasaan materil yang kecil belaka. Bahkan kekuatan perekonomianya
sangat rapuh dan lemah. Kita tak dapat berkecipung dalam politik adu
tenaga. Diplomasi bagi kita bukan diplomasi yang memegang pentung yang
besar. Pada diplomat kita rata-rata semuanya tidak dapat sokongan dari
deretan pembom jet yang kompak. Apa yang dapat kita perbuat? Kita dapat
berbuat banyak! Kita dapat menyuntikan suara budi kita ke dalam urusan-
urusan duniawi. Kita dapat memobilisasi semua akan spiritual, moral, dan
politisi dari Asia Afrika untuk kepentingan perdamaian
(www.indonesianvoices.com).”
7
Mengacu pada konsep sentripetal (pemusatan) Jawa, yang terlihat dari nama-nama penguasa
Yogyakarta – Hamengku Buwana (Pemangku Jagad Raya) dan Paku Alam – serta penguasa
Surakarta Paku Buwana (Paku Jagad Raya) dan Mangkunagara (Pemangku Negara). Lihat Franz
Magnis Suseno, op.cit, hal 107.
58 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
State(s) State(s)
A B
Jawa
8
Konsep ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti ideologi, politik,
ekonomi, masyarakat, budaya, dan militer. Lihat Leonard C. Sebastian dan Irman G. Lanti, ibid,
hal. 149.
60 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
Dari uraian singkat di atas terlihat jelas bahwa terdapat beberapa kesamaan
ide antara dynamic equilibrium dan konsep kekuasaan Jawa. Pertama, mencegah
terciptanya rivalitas antar negara. Kedua, penggunaan cara yang halus (dialog)
untuk menyelesaikan konflik. Ketiga, mencegah munculnya dominasi dengan
“menyerap” negara-negara besar ke dalam kerangka kerjasama regional. Pola
yang sama berlangsung semenjak kepemimpinan Soekarno – dengan menggagas
Konferensi Asia-Afrika dan kemudian menjadi cikal bakal gerakan non-blok
ataupun Soeharto – dengan menggagas terbentuknya organisasi regional ASEAN.
Penutup
(akan) pernah muncul dalam benak pemimpin Jawa. Politik luar negeri yang
bebas dan aktif bukan merupakan respon dari sistem internasional yang bipolar
sewaktu Perang Dingin, akan tetapi lebih merupakan refleksi dari alam bawah
sadar para pemimpin Jawa, yang menekankan pada penyerapan Kekuasaan.,
keseimbangan, dan kepemimpinan dunia. Praktis, model kepemimpinan Jawa
sangatlah dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya sebagai kesatria Jawa, yang
tidak mengenal perimbangan kekuasaan, karena menganggap dirinya sebagai
pemusat Kekuasaan. Sehingga ada atau tidaknya bipolaritas, politik luar negeri
Indonesia “bebas dan aktif” akan relatif tetap terjaga.
Tulisan ini tentu hanyalah awal dari usaha penggalian Teori Hubungan
Internasional Non-Barat. Mengingat luas dan beragamnya kebudayaan Nusantara
maka tulisan ini tentunya tidak terlepas dari proses penyederhanaan dan
generalisasi. Namun, hal ini menjadi pertanda bagus yang diharapkan akan
memunculkan perspektif-perspektif baru dari kebudayaan Nusantara lainnya.
Sehingga perspektif-perspektif Hubungan Internasional ataupun Politik
Internasional akan semakin kaya dan beragam.
REFERENSI
Buku
Acharya, Amitav., dan Barry Buzan. 2010. “Why Is There No Non-Western
International Relations Theory?” dalam Acharya, Amitav., dan Barry
Buzan (Ed). 2010. Non-Western International Relations Theory:
Perspectives on and Beyond Asia. London, New York: Routledge.
Ali, Fachry. 1986. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern.
Jakarta: Gramedia.
Abdulgani, Retnowati. 2007. Soeharto The Life and Legacy of Indonesia’s Second
President. Singapore: Marshall Cavendish.
Kennedy, Paul. 1998. The Rise and Fall of The Great Powers. London: Unwin
Hyman Limited.
Losco, Joseph., dan Leonard William. 2005. Political Theory. (terj. Haris
Munandar). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 3rd ed.
London: Palgrave.
Sebastian, Leonard C., dan Irma G. Lanti. 2010. “Perceiving Indonesian Approach
to International Relations Theory”, dalam Acharya, Amitav., dan
Barry Buzan (Ed). 2010. Non-Western International Relations
Theory: Perspectives on and Beyond Asia. London, New York:
Routledge.
Jurnal
Schweller, Randall. 1994. “Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist
States Back In”, International Security, Vol. 19, No. 1. Summer.
Walt, Stephen M. 1985. “Alliance Formation and The Balance of World Power”,
International Security, Vol. 9, No. 4. Spring.
Internet
Natalegawa, Marty. 2013. “An Indonesian Perspective on The Indo-Pacific”,
diakses melalui
http://csis.org/files/attachments/130516_MartyNatalegawa_Speech.pdf.
http://www.indonesianvoices.com/index.php/sejarah-kemerdekaan/1203-pidata-ir-
soekarno- pada-saat-konverensi-asia-afrika-di-bandung