Anda di halaman 1dari 23

Kritik Jawa atas Teori Hubungan Internasional Barat

Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya

Abstract

International Politics studies have been dominated by Western discourse.


The domination has also been affected Indonesian academic circles, which is also
having so many difficulties to escape themselves from Western perspectives,
especially from American School. Consequently, IR scholars usually analize
Indonesia behaviours by using Western perspectives which have no roots in
Nusantara history. This article will try to do the hung up ‘homework’, by doing an
alternative discourse of power in International Politics studies from Javanese
perspectives, by using Historical Sociology method. This article argues that the
Javanese concept of power is ontologically and epistemologically different from
the Western concept of power. Ontologically, in Javanese thoughts, anarchy
along with its derivatives, balance of power, does not exist; epistemologically,
power is concrete, homogenous, and beyond morality. On the other hand, in
Western thoughts, international anarchy is the state of nature, and power depends
on material accumulation and its utilization. The differences both on
epistemological and ontological level have logical consequences to the foreign
policy characteristics of the Javanese leaders.

Keywords: Power, Absorption, Historical Sociology, Non-Western IRT

Pendahuluan

Mengapa tidak ada teori Hubungan Internasional Non-Barat? Pertanyaan


tersebut dikemukakan pertama kali oleh Amitav Acharya dan Barry Buzan (2010)
dalam tulisan pengantar sebuah buku yang berjudul Non-Western International
Relations Theory: Perspectives on and Beyond Asia, pada tahun 2010. Pertanyaan
ini muncul karena, menurut keduanya, sumber-sumber teori Hubungan
Internasional (THI) secara mencolok gagal berhubungan dengan distribusi global
subjek-subjeknya. Teori Hubungan Internasional Barat dinilai terlalu sempit
dalam konteks sumber-sumbernya, namun di sisi lain terlalu dominan dalam hal
pengaruh(Acharya dan Buzan, 2010: 2). Seperti halnya dunia sosial yang tidak
bisa terlepas dari produksi dan reproduksi wacana, maka kegiatan keilmuan
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 43

Hubungan Internasional pun mengalami proses serupa. Produksi dan reproduksi


wacana studi Hubungan Internasional Barat telah banyak memengaruhi cara
pandang aktor-aktor di dalam arena politik internasional. Hasilnya, perilaku
negara dan atau aktor-aktor lain dalam studi Hubungan Internasional (sebagai
representasi dari cara pandang), akan kembali digunakan untuk memperkuat
wacana Hubungan Internasional Barat, sehingga struktur keilmuan yang telah
mapan pun semakin tidak tergoyahkan.

Kritik keilmuan Hubungan Internasional1 ini telah muncul dan


berkembang di Indonesia selama lebih dari 20 tahun. Di beberapa universitas yang
memiliki jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Teori-teori Kritis, termasuk
Postmodern, telah masuk ke dalam kurikulum dan secara luas menjadi bahan
diskusi yang menarik, baik di antara para sarjana maupun mahasiswa. Meski
begitu nampaknya para sarjana HI enggan, atau lebih tepatnya kurang serius,
menggarap pekerjaan rumah ini. Mereka terkesan mapan dengan rumusan
keilmuan Barat: yang meliputi sumber-sumber beserta perangkat metodologisnya.
Meski Acharya dan Buzan telah membuka jalan terhadap perumusan Teori
Hubungan Internasional Non-Barat, sampai saat ini karya-karya para sarjana yang
memenuhi kriteria dua orang tersebut masih minim. Keengganan tersebut semakin
menjadi-jadi ketika dipadu dengan lemahnya struktur institusi di jurusan HI,
kurangnya sumber-sumber data, serta rendahnya insentif dan penghargaan
terhadap kegiatan teorisasi (Sebastian dan Lanti dalam Acharya dan Buzan, 2010:
166).

Muara dari macetnya pekerjaan rumah itu adalah terputusnya hubungan,


yang seharusnya timbal balik, antara akademisi dan praktisi hubungan
internasional. Para akademisi beranggapan bahwa rumusan yang telah mereka
sediakan tidak memiliki arti bagi para praktisi lapangan, yang di sisi lain menurut
praktisi, rumusan tersebut jauh dari kenyataan di lapangan. Kebuntuan inilah yang
hendak dipecahkan oleh Acharya dan Buzan (2010) dengan menawarkan empat
tipe sumber utama dalam merumuskan soft theory non-Barat. 1) Fokus pada
pemikir-pemikir lokal, seperti halnya para pemikir Barat yang fokus pada

1
Untuk selanjutnya disingkat HI.
44 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

pemikiran Thucydides, Hobbes, Machiavelli, Kant, dan lain-lain. 2) Mengambil


pemikiran para pemimpin negara sebagai sumber utama merumuskan teori.
Seperti pemikiran Soekarno, Soeharto dan para pengambil kebijakan luar negeri
kunci lainnya. 3) Tipe ketiga telah dilakukan oleh sebagian besar sarjana Asia.
Mereka mengambil data dari pengalaman lokal/regional, meskipun masih
menggunakan perspektif Barat dalam menganalisis. 4) Tipe ini, yang menurut
Acharya dan Buzan bisa menjadi alternatif, berfokus pada penggalian data
lokal/regional, kemudian merumuskan konsep berdasarkan data yang diperoleh.2

Penulis mengambil tipe keempat yang relatif “lepas” dari pengaruh Barat
dengan menggabungkannya dengan pendekatan Sosiologi-Historis. Penggunaan
pendekatan ini dimaksudkan agar teori atau konsep yang dihasilkan nantinya bisa
terlepas dari dominasi wacana keilmuan Hubungan Internasional Barat. Oleh
sebab itu, penulis akan menggunakan alternatif ke-empat dari metode perumusan
soft theory, menurut Acharya dan Buzan, yakni berfokus pada penggalian data
lokal/regional, kemudian merumuskan konsep berdasarkan data yang diperoleh.

Tulisan ini akan mencoba untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang


tertunda, yakni menyumbangkan wacana alternatif atas konsep kekuasaan dalam
studi Politik Internasional dari sudut pandang pemikiran Jawa. Tulisan ini
berargumen bahwa konsep kekuasaan Jawa memiliki landasan ontologi dan
epistemologi yang berbeda dari konsep kekuasaan Barat. Secara ontologis, di
dalam pemikiran Jawa, anarki berikut turunannya – perimbangan kekuasaan –
tidaklah eksis; secara epistemologis, kekuasaan bersifat konkret, homogen dan
melampaui batas-batas moralitas. Di sisi lain, di dalam pemikiran Barat, anarki
internasional adalah kondisi alamiah di dalam sistem internasional; dan besar-
kecilnya kekuasaan tergantung akumulasi materi dan penggunaannya. Perbedaan-
perbedaan pada level epistemologi dan ontologi tersebut memiliki konsekuensi
logis pada karakteristik kebijakan luar negeri para pemimpin Jawa.

2
Acharya dan Buzan, op.cit. Tipe nomor 2 dan 3, meskipun memiliki kontribusi, dianggap tidak
bisa terlepas dari pengaruh Barat. Seperti halnya Soekarno dan juga sarjana-sarjana HI yang
sebagian besar menempuh pendidikan Barat. Khusus untuk nomor satu, meskipun studi terhadap
pemikiran para pemikir lokal klasik patut terus didorong, tetap memiliki kelemahan, yakni hanya
mengangkat masa-masa keemasan suatu bangsa.
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 45

Bagian pertama artikel ini membahas Historical Sociology, sebagai


metodologi yang penulis gunakan untuk mengkritik THI Barat, atau lebih spesifik
Realisme. Pada bagian kedua, dibahas konsep kekuasaan Jawa. Penulis juga
mengungkapkan perbedaan mendasar mengenai konsep kekuasaan dari sudut
pandang Jawa dan Barat. Bagian ketiga dari tulisan ini merupakan kritik terhadap
teori-teori Politik Internasional dominan Barat, atau lebih spesifik kritik terhadap
Neorealisme. Sedangkan di bagian akhir, penulis menawarkan kerangka teoritis
studi Politik Internasional dari sudut pandang Jawa dan memberikan gambaran
bagaimana kerangka teoritis tersebut menjelaskan politik luar negeri Indonesia.

Sosiologi-Historis: Meretas Jalan THI Non-Barat

Pendekatan Sosiologi-Historis secara eksplisit telah diadopsi oleh para


sarjana HI semenjak awal tahun 1980-an, yang ditandai oleh karya-karya besar
Anthony Giddens di tahun 1985, Michael Mann di tahun 1986 dan 1993, serta
Charles Tilly di tahun 1990. Meski begitu, Theda Skocpol telah memulai studinya
sedikit lebih awal mengenai revolusi sosial di Perancis, Rusia dan China, di tahun
1979 (Hobson dalam Hobden dan Hobson, 2002: 1). Sosiologi historis
memberikan kritik mendasar terhadap struktur yang selama ini kita terima “jadi”
(natural) sebenarnya merupakan hasil dari serangkaian proses sosial yang
kompleks (Smith dalam Baylis dan Smith).3 Dalam Studi Hubungan Internasional,
kritik paling keras memang dilayangkan kepada para neorealis yang terlalu
mengagungkan struktur internasional. Menurut para penganut Sosiologi-Historis,
negara secara spesifik merupakan hasil dari pergulatan kekuatan-kekuatan yang
bekerja pada ranah domestik maupun internasional. Sehingga tidak ada perbedaan
yang jelas di antara masyarakat domestik dan internasional, keduanya saling
berhubungan (Smith). Pada puncaknya, pendekatan Sosiologi-Historis tidak hanya
menggambarkan komposisi negara, tetapi juga menjelaskan bagaimana suatu
negara berkembang dan berubah (Hobden, 1998).

3
Steve Smith, “Alternative Approaches to International Theory,” dalam Baylis and Steve Smith,
The Globalization of World Politics.
46 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

Pendekatan ini dapat menjawab tantangan Acharya dan Buzan dalam


merumuskan suatu teori yang relatif otonom dari pengaruh Barat, karena
Sosiologi-Historis menekankan pada partikularitas ruang dan waktu serta
kompleksitas kekuatan determinan suatu negara. John M. Hobson (2002)
memberikan dua kritik tajam kepada Neorealis, yang dianggapnya terlalu ahistoris
dan asosiologis. Pertama adalah chronofetishism, yaitu asumsi bahwa masa kini
bisa secara memuaskan dijelaskan hanya dengan meneliti masa kini, yang
kemudian menimbulkan tiga ilusi:

1) Ilusi reifikasi: memandang masa kini secara efektif terisolasi dari masa
lalu, membuatnya muncul sebagai sesuatu yang statis, self-constituting, otonom
dan sebagai entitas yang konkret, sehingga mengaburkan konteks sosio-
historisnya. 2) Ilusi naturalisasi: memandang masa kini secara efektif bersifat
“alami” karena muncul secara spontan dan sesuai dengan hukum alam manusia.
Hal itu mengaburkan proses historis dan sosial, identitas/eksklusi sosial dan
norma-norma yang menentukan masa kini. 3) Ilusi keabadian: memandang masa
kini abadi karena dianggap alami dan melawan perubahan struktural. Hal ini
mengaburkan proses yang membentuk kembali masa kini, sebagai tatanan yang
terus menerus berubah.

Kritik kedua disebut Hobson sebagai tempocentrism, yaitu asumsi yang


terlalu menekankan pada kontinuitas, baik periode sejarah maupun sistem negara-
negara, sehingga mengabaikan diskontinuitas dan patahan-patahan sejarah. Bagi
penganut neorealisme, kondisi anarki itu sudah ada sejak zaman dahulu, saat ini,
maupun nanti di masa depan – tidak ada yang berubah. Dalam pemikiran Robert
Gilpin, sejarah diisi oleh siklus jatuh dan bangunnya kekuatan-kekuatan
hegemonik, tidak pernah berubah sepanjang waktu. Satu-satunya yang berubah
adalah aktornya (Hobson, 2002).

Politik Internasional dalam pandangan Jawa, atau lebih spesifik kebijakan


luar negeri Jawa, dua kritik Hobson di atas justru muncul sebagai karakteristik
utamanya. Dalam menganalisis politik luar negeri Indonesia “Bebas-Aktif”,
misalnya, para sarjana HI masih belum bisa melepaskan diri dari kerangka
pemikiran Mohammad Hatta – yang mendasarkan pemikirannya dalam konteks
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 47

Perang Dingin. Para penstudi hubungan internasional masih tidak bisa melepaskan
diri dari determinasi struktur internasional yang sepanjang sejarah bersifat anarkis
dan selalu diisi oleh pertarungan kekuatan-kekuatan besar. Hal ini akan menjadi
jelas jika menyimak pidato Hatta di depan sidang Badan Pekerja Komite Nasional
pada 2 September 1948.

Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia, jang memperdjoangkan kemerdekaan


bangsa dan negara kita, hanja harus memilih antara pro Russia atau pro
Amerika? Apakah tak ada pendirian jang lain harus kita ambil dalam mengedjar
tjita-tjita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil
ialah supaja kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik
internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak
menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri,
jaitu Indonesia Merdeka seluruhnja (Hatta, 2011: 9).

Pandangan seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Acharya dan Buzan


ketika penstudi HI mengambil pemikiran modern para pemimpin negara sebagai
sumber merumuskan teori atau konsep. Hasil pemikiran para pemimpin modern
dianggap telah banyak dipengaruhi oleh wacana Barat. Mohammad Hatta sendiri,
sebagai salah satu pihak yang idenya mengenai politik luar negeri Bebas-Aktif
seringkali dipergunakan oleh para sarjana HI Indonesia, merupakan “anak
kandung” dari sistem pendidikan Barat. Pendidikan terakhirnya ia peroleh dari
Nederland Handelshogeschool di Rotterdam. Sehingga bukan suatu hal yang aneh
jika Hatta memahami politik internasional saat itu dari sudut pandang Barat. Di
dalam pidatonya ia mengatakan:

”Sovjet Russia sendiri memberi tjontoh kepada kita, bahwa politik internasional
tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka, tetapi dengan realitet dan dengan
logika jang rasionil. Dalam tahun 1935, tatkala Sovjet Russia menghadapi arus
fascis, ia merubah haluanja jang radikal jang menentang negara-negara
demokrasi Barat, dan mengandjurkan kepada kaum komunis di luar Russia untuk
memberhentikan seranganja kepada pemerintah-pemerintah kapitalis dan beserta
dengan mereka mengadakan suatu volksfront-politik untuk menentang fascis
(Ibid).”

Meski tidak bisa disimpulkan bahwa Hatta adalah seorang neorealis,


statemen tersebut menyiratkan bahwa dirinya membenarkan pandangan neorealis.

Dalam konteks ini, menggunakan pemikiran Mohammad Hatta sebagai


sumber dalam merumuskan konsep politik luar negeri, berarti sama dengan
48 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

memperkokoh struktur yang telah mapan. Satu kelemahan mendasar dari rumusan
Hatta, dan juga para sarjana HI setelahnya, mengenai politik luar negeri Indonesia
adalah mereka menjelaskan perilaku suatu negara bukan sebagai agen yang
otonom, tetapi dari kemampuan negara beradaptasi dengan struktur internasional
(anarki). Hal yang sama terjadi pada penganut Sosiologi-Historis gelombang
pertama: Theda Skocpol dan Charles Tilly. Meskipun pada awalnya berusaha
“memasukkan kembali negara” sebagai unit analisis, pada akhirnya mereka tetap
terjebak dengan menetapkan anarki sebagai variabel determinan, sehingga mereka
kembali “menendang negara keluar” dari analisis hubungan internasional
(Hobson, 2000: 175-191).

Guna menghindari kesalahan yang sama, maka tidak ada cara lain selain
menggali warisan pemikiran lokal dan menjadikannya sebagai dasar perumusan
THI Non-Barat. Seperti telah disinggung di atas, warisan pemikiran yang
dimaksud di sini adalah pemikiran Jawa. Pada bagian selanjutnya akan dibahas
mengenai perbedaan konsep kekuasaan Jawa dan Barat. Hal ini penting karena
kekuasaan merupakan konsep utama dalam Studi Ilmu Politik, atau secara khusus
Studi Politik Internasional. Sehingga pembedaan di antara Jawa dan Barat akan
membawa perubahan yang berarti pada Studi Hubungan Internasional, tidak
hanya pada tataran praktis, tetapi juga pada tataran epistemologi dan ontologi.

Konsep Kekuasaan Jawa

Pada bagian ini akan dijabarkan konsep kekuasaan Jawa dan perbedaannya
dengan konsep kekuasaan Barat. Hal ini penting, untuk menjaga jarak dari
pemikiran Barat, sehingga akan menghasilkan pemikiran yang “non-Barat”.
Menurut Anderson (2006: 21-23), terdapat empat perbedaan utama mengenai
konsep kekuasaan, antara Barat dan Jawa.

1. Bagi para pemikir Barat, kekuasaan bersifat abstrak, seperti halnya konsep
otoritas ataupun legitimasi. Kekuasaan hanya bisa dinilai dari akibat-
akibatnya, dalam konteks pola-pola interaksi sosial, seperti kepatuhan, tatanan
ataupun harapan-harapan terhadap pihak lain. Sedangkan bagi para pemikir
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 49

Jawa, Kekuasaan4 sifatnya konkret/nyata dan bukan merupakan dalil teoritis.


Kekuasaan merupakan entitas yang independen dan adanya tidak bergantung
pada sesuatu yang lain. Kekuasaan ada pada setiap aspek di alam semesta, di
batu, pohon, api, dan lain sebagainya.

2. Sumber-sumber kekuasaan, dalam pemikiran Barat, bersifat heterogen.


Sumber-sumber kekuasaan bisa berasal dari kekayaan, status sosial, jabatan di
kantor, organisasi, senjata, populasi, dan lain-lain. Sedangkan menurut
pemikiran Jawa, Kekuasaan itu bersifat homogen. Sumber kekuasaan berasal
dari Kekuasaan itu sendiri, tidak bergantung pada sesuatu yang lain.
2. Akumulasi kekuasaan bersifat tidak terbatas dan berbeda-beda dari waktu ke
waktu. Mengacu pada poin ke dua, bisa dikatakan bahwa akumulasi
kekuasaan saat ini jauh lebih besar daripada 100 tahun yang lalu. Berbeda
dengan pemikiran Barat, para pemikir Jawa beranggapan bahwa jumlah
Kekuasaan itu bersifat tetap/konstan di seluruh dunia. Jumlah Kekuasaan tidak
bisa bertambah ataupun berkurang, mereka hanya bisa terkumpul atau
terpecah. Sehingga, pengumpulan/pemusatan Kekuasaan di satu tempat secara
otomatis pengurangan Kekuasaan di tempat lain.
3. Menurut pemikiran Barat, kekuasaan bersifat ambigu dalam hal moralitas. Di
dalam pemikiran politik Barat terdapat perdebatan mengenai kekuasaan yang
absah (legitimate) atau tidak, tergantung dari nilai-nilai moral yang dianut.
Sedangkan pada pemikiran politik Jawa, Kekuasaan secara otomatis absah,
karena Kekuasaan adalah moral itu sendiri. Sehingga, pihak yang memperoleh
Kekuasaan dengan sendirinya memiliki legitimasi atas rakyatnya.

4
Dari titik ini huruf pertama kekuasaan Jawa menggunakan huruf kapital “K”, karena merupakan
representasi dari kekuatan Ilahiah.
50 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

Tabel 2
Perbandingan Konsep Kekuasaan Barat dan Jawa

Kekuasaan Barat Jawa

Sifat kekuasaan Abstrak Konkret

Sumber Heterogen (Kekayaan, Homogen (Kekuasaan tidak


kekuasaan senjata, populasi, dll) bergantung pada hal lain)

Akumulasi Tidak terbatas Tetap/konstan


kekuasaan

Legitimasi Terbatas nilai-nilai moral Melampaui nilai-nilai moral

Karena sumber kekuasaan tidak bergantung pada hal lain, selain


kekuasaan itu sendiri, maka isu sentral pada pemikiran politik Jawa bukan terletak
pada penggunaannya, tetapi pada pengkonsentrasian serta pemeliharaannya. Hal
ini menjadi salah satu karakteristik terpenting dalam memahami politik Jawa –
atau lebih lanjut nanti, secara spesifik, politik internasional dalam perspektif Jawa.

Jika permasalahan utama mengenai kekuasaan pada pemikiran politik


Barat adalah mengenai penggunaannya, maka akan muncul pertanyaan:
bagaimana dan apa dampak dari penggunaan kekuasaan tersebut? Di dalam karya
klasiknya, Thucydides merekam ucapan utusan Athena yang disampaikan kepada
wakil pemerintah Melos,”…kenyataannya, yang kuat melakukan apa yang harus
dilakukan oleh kekuasaan, sedangkan yang lemah hanya bisa menerima.” (Losco
dan William, 2005: 66). Selain Thucydides, seorang pemikir politik abad
pertengahan Florence, Niccolò Machiavelli (Ibid: 132-133) yang karyanya juga
seringkali dijadikan rujukan para sarjana HI modern, juga menekankan pada
penggunaan kekuasaan. Di dalam The Prince dia menulis:

Seorang penguasa tidak boleh memiliki tujuan atau pemikiran lain untuk
pembelajarannya, selain peperangan, pemerintahan dan kedisiplinan,
karena hanya hanya itulah satu-satunya seni yang dibutuhkan
pemimpin,... Dan di sisi lain, orang menyaksikan, ketika penguasa lebih
mementingkan kemewahan daripada kekuatan (persenjataan), mereka
akan kehilangan negaranya.
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 51

Bahkan Paul Kennedy (1988: 133) mengutip pernyataan Napoleon


Bonaparte, yang secara eksplisit mengatakan: “Kekuasaanku bergantung pada
kejayaanku dan kejayaan-kejayaan atas peperangan yang kumenangkan.
Kekuasaanku akan runtuh jika tidak diberi makan kejayaan-kejayaan dan
kemenangan-kemenangan baru. Penaklukkanlah yang membuatku jadi seperti ini,
dan hanya penaklukkanlah yang bisa mempertahankan posisiku.” Konsekuensi
logis inilah yang akan terjadi jika kekuasaan diukur dari penggunaannya.

Mengadopsi pemikiran tokoh-tokoh realis sebelumnya, pemikir Hubungan


Internasional klasik, Hans J. Morgenthau (2010), juga menekankan pada utilisasi
kekuasaan dalam politik internasional. Dalam Politics Among Nations,
Morgenthau menulis: “Kunci untuk memahami politik internasional adalah
dengan memahami konsep kepentingan dalam kaitannya dengan kekuasaan…
Kita beranggapan bahwa para pemimpin negara berpikir dan bertindak dalam
konteks kepentingan yang didefinisikan dengan kekuasaan, dan sejarah
membuktikan asumsi tersebut.” Selaras dengan poin kedua Anderson, yang
memandang bahwa sumber-sumber kekuasaan itu bersifat heterogen, Hans
Morgenthau menyimpulkan bahwa kekuasaan nasional (national power) memiliki
delapan elemen: geografi, sumberdaya alam, kapasitas industri, kesiapan militer,
populasi, karakter nasional, moral nasional, dan kualitas pemerintah (Ibid:123-
180).

Dari pemikiran tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, maka dapat ditarik


kesimpulan bahwa kekuasaan bukanlah variabel penyebab, tetapi hanyalah akibat
dari sesuatu yang lain. Adanya kekuasaan sangat bergantung pada ke-ada-an
“yang lain”, seperti persenjataan, kekuatan militer, populasi, wilayah geografis,
dan lain sebagainya. Sedangkan dalam konsep Jawa, Kekuasaan merupakan
ungkapan kekuatan kosmis (Suseno, 1999: 99), sehingga ia adalah penyebab dari
fenomena-fenomena yang terjadi belakangan. Kekuasaan tidak muncul sebagai
akibat dari penggunaannya, tetapi pengkonsentrasian dan pemeliharaannya.
Sehingga isu sentralnya terletak pada cara-cara pengkonsentrasian serta akibat-
akibat yang ditimbulkan jika upaya tersebut menurun.
52 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

Menurut Franz Magnis, Kekuasaan bersifat metaempiris, sehingga usaha-


usaha untuk memperolehnya dengan cara-cara empiris adalah perbuatan sia-sia
(Ibid: 103). Satu-satunya cara untuk memperolehnya adalah melalui pemusatan
energi kosmis, melalui praktek-praktek yoga atau pengekangan diri. Bentuk-
bentuk dari praktek pengekangan diri tersebut bisa berbeda-beda, seperti puasa,
meditasi, menahan nafsu seksual, dan bentuk-bentuk ritual pemurnian lainnya,
namun tujuannya tetap satu, yakni pemusatan energi kosmis (Anderson, 2006: 33-
34).

Akibat-akibat yang muncul dari pemusatan Kekuasaan adalah terciptanya


kondisi tata tentrem karta raharja, yang secara literal berarti keteraturan,
kedamaian, kemakmuran, nasib baik/keselamatan. Raja yang mampu
mengkonsentrasikan kekuasaan dengan baik dapat dilihat dari ketentraman dan
kemakmuran negaranya. Tanah-tanah subur, hasil pertanian melimpah, aksi
kejahatan dapat dicegah, keadilan tercipta, rakyat merasa aman dan puas dengan
kehidupan mereka. Raja yang berkuasa juga dapat dilihat dari hubungan
eksternalnya. Jika seorang raja mampu mengumpulkan kekuasaan dengan baik,
maka tidak akan ada musuh yang datang dari luar negeri. Raja yang berkuasa
ibarat busa spons yang mampu menghisap kekuatan-kekuatan jahat dan daya-daya
pengacau masuk ke dalamnya (Suseno, 1999: 100-101).

Hal sebaliknya akan terjadi jika penguasa kehilangan Kekuasaannya,


tatanan akan terganggu, sehingga muncul kekacauan di sana-sini. Menyebarnya
Kekuasaan ditandai dengan kekacauan di alam semesta – seperti banjir, gunung
meletus dan wabah penyakit – sebagaimana juga kekacauan sosial – seperti
pencurian, ketamakan dan pembunuhan. Penurunan Kekuasaan seorang raja juga
bisa dilihat dari meningkatnya intensitas gangguan dari luar negeri. Dalam budaya
Jawa, kondisi ini disebut dengan Jaman Edan. Era ini masa bisa dilalui jika
muncul lagi seorang pemimpin yang memperoleh wahyu (Ratu Adil) dan kembali
dapat menciptakan kondisi tata tentrem karta raharja (Anderson, 2006: 33-34).

Salah satu karakteristik menonjol dari pemikiran politik Jawa adalah


dijadikannya raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis. Raja dalam budaya Jawa
merupakan eksponen mikro kosmos kerajaan, yang menghubungkan dunia mikro
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 53

kosmos dengan alam makro kosmos (Moertono dikutip oleh Ali, 1986: 27). Oleh
sebab itu, jika mengintegrasikan pemikiran politik Jawa ke dalam Studi Hubungan
Internasional, maka para penstudi tidak bisa menghindari penetapan raja atau
pemimpin negara sebagai unit analisis.

Keseimbangan dan Perimbangan

Setelah sedikit dipaparkan mengenai konsep Kekuasaan dari sudut


pandang Jawa, di bagian ini akan dijelaskan satu konsep penting lainnya secara
khusus, yakni keseimbangan. Konsep ini secara epistemologis berbeda dengan
konsep keseimbangan Barat. Bagi pemikir Barat, keseimbangan (balance)
memiliki arti distribusi, kebijakan atau sistem multipolar (Nye, 2003: 61-65).
Kesimpulan ini muncul karena eksistensi kekuasaan sendiri tergantung dari
sumber dan penggunaannya (seperti telah dijelaskan di atas). Karena sumber
kekuasaan bersifat tangible dan heterogen maka ketidakseimbangan terjadi karena
satu pihak menggenggam lebih banyak kekuasaan daripada pihak lain. Sehingga
untuk mengembalikan keseimbangan, pihak yang memiliki kekuasaan lebih
rendah harus menambah kekuatannya, entah itu dengan cara meningkatkan
kapabilitas ekonomi dan persenjataan maupun bergabung dengan pihak lain yang
sejalan dengannya (Waltz, 1979: 118). Kondisi ini, menurut Kenneth Waltz,
bukanlah sebuah pilihan. Negara akan melakukan perimbangan kekuasaan tidak
peduli mereka suka atau tidak. Struktur internasional yang anarkis dan sifat dasar
negara yang kompetitif memaksa negara agar melakukan perimbangan demi
keamanan dan keselamatan masing-masing (Ibid: 124-128).

Teori Perimbangan Kekuasaan tersebut pada akhirnya memicu studi lebih


lanjut mengenai pilihan aliansi negara. Kenneth Waltz hanya memberikan hasil
akhir mengenai perilaku negara, tetapi melupakan pertanyaan mendasar apa yang
menyebabkan negara beraliansi dengan negara atau kelompok negara tertentu,
meski berada di bawah sistem internasional yang sama. Stephen M. Walt (1985)
memberikan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Ia menyimpulkan bahwa aliansi
secara umum dipandang sebagai respon terhadap ancaman. Lebih lanjut,
54 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

meminjam konsep Waltz, Stephen Walt, juga menawarkan dua pilihan bagi
negara untuk melakukan aliansi: balancing atau bandwagoning. Balancing berarti
bergabung dengan pihak (negara) yang beroposisi dengan sumber ancaman.
Sedangkan bandwagoning berarti bergabung dengan pihak (negara) yang menjadi
sumber ancaman. Sumber-sumber ancaman yang disampaikan oleh Walt juga
bersifat tangible, yang terdiri atas: total kekuasaan,5 kedekatan geografis,
kemampuan menyerang, dan niatan menyerang. Pada titik ini, kesimpulan Walt
sama dengan Waltz, bahwa pilihan harus tetap diambil, baik suka maupun tidak.

Serupa tapi tak sama, Randall Schweller (1994) memberikan kritiknya


kepada Walt dengan menawarkan teori balance of interest. Ia berargumen bahwa
negara melakukan aliansi bukan berdasarkan faktor power atau ancaman semata,
tetapi karena alasan keuntungan (profit).6 Meski ketiganya nampak berbeda,
asumsi dasarnya tetap sama: keseimbangan adalah perimbangan. Seperti yang
disampaikan oleh Schweller bahwa stabilitas sistem tergantung oleh perimbangan
kekuasaan antara negara revisionis dan konservatif.

The
The
Weaker Strong
State(s)
State(s)

State
A
Gambar 1. Perilaku negara berdasarkan teori Balance of Power

5
Power di sini memiliki indikator yang sama dengan Morgenthau, seperti populasi, industri dan
kemampuan militer, keunggulan teknologi. Semuanya bersifat tangible.
6
Randall Schweller, Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist States Back In,
International Security, Vol. 19, No. 1 (Summer, 1994), pp. 72-107.
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 55

The The
Threatening Opposition
State(s) State(s)

State
A

Gambar 2. Perilaku negara berdasarkan teori Balance of Threat

Revisionis Status
t State(s) Quo
State(s)

State A
(Limited
aims
state)

Gambar 3. Perilaku negara berdasarkan teori Balance of Interest

Berbeda dengan perspektif Barat mengenai keseimbangan, pemikiran Jawa


memandang keseimbangan adalah kondisi di mana Kekuasaan mampu
dikonsentrasikan secara sempurna, sehingga tercipta kondisi aman dan makmur
56 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

(tata tentrem kerta raharja). Karena Kekuasaan menurut perspektif Jawa secara
epistemologis berbeda dengan pandangan Barat, maka perimbangan bukanlah
suatu kondisi yang “ada”. Ketidakstabilan bukanlah suatu kondisi di mana
terdapat dua penggenggam kekuasaan yang tidak seimbang kekuatannya (atau
ancamannya, atau kepentingannya) dan menuntut tindakan penyeimbangan untuk
mengembalikan keseimbangan. Akan tetapi ketidakstabilan terjadi karena
Kekuasaan tidak mampu dikonsentrasikan secara sempurna, sehingga terpecah
dan menimbulkan kekacauan.

Sekilas pandangan ini sama dengan perspektif Barat, yang pada akhirnya
kekuasaan terpecah dan memunculkan dua “kutub” yang saling bertentangan dan
mengimbangi. Akan tetapi dalam pandangan Jawa, pengkonsentrasian Kekuasaan
hanya dapat dilakukan oleh raja atau pemimpin negara. Oleh sebab itu
konsentrasi-perpecahan dan besar-kecilnya Kekuasaan dinilai dari sudut pandang
sang raja (subyektif) bukan dari sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Sehingga
tidak ada gambaran mengenai perimbangan kekuasaan dari sudut pandang Jawa.

Politik Penyerapan

Pada tataran praktis, penerapan kekuasaan bisa dilakukan dengan cara


kasar, halus, atau perpaduan keduanya. Penerapan strategi ofensif, dalam artian
penggunaan serangan militer terhadap musuh, adalah cara yang kasar. Dalam
pemikiran politik Jawa, kekasaran menunjukkan kelemahan dan menimbulkan
dampak yang kontraproduktif bagi usaha pemusatan kekuasaan. Alih-alih
menambah kekuasaan, penggunaan kekerasan pada musuh justru rawan
dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk “menyerap” kekuasaan dari pihak yang
diserang. Sebaliknya, kehalusan dalam perilaku menunjukkan besarnya
kekuasaan. Kehalusan ini diwujudkan dalam bentuk dialog, tekanan diplomatik,
dan segala bentuk cara-cara halus lainnya, yang berpangkal pada pengakuan atas
superioritas dan kekuasaan satu negara. Metode ini juga disebut sebagai
penyerapan (absorption). Menurut Anderson, penyerapan diartikan sebagai
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 57

penyerahan diri secara sukarela dari negara tetangga kepada kekuasaan tertinggi
penguasa (Anderson, 2006: 45).

Satu konsep utama yang ingin penulis sampaikan di sini adalah politik
penyerapan. Seperti yang telah sedikit disinggung di atas, pemikiran politik Jawa
menekankan pada stabilitas dan keamanan, yang sangat bergantung pada
konsentrasi Kekuasaan. Apabila konsentrasi Kekuasaan berjalan sempurna, maka
kekacauan di dalam negeri bisa ditanggulangi dan ancaman dari luar negeri bisa
diserap masuk ke dalam (lihat gambar 3).

Hal tersebut terlihat pada gaya kepemimpinan Soekarno. Presiden


Republik Indonesia pertama itu menginginkan dunia yang harmonis dan
seimbang, tidak memihak pada satu kekuatan besar, apalagi menggunakan
kekuatan militer sebagai alat mencapai kepentingan nasional. Jika asumsi penulis
benar, terdapat kecenderungan bahwa para pemimpin Jawa kerap berperan
sebagai pemimpin dunia (Suseno, 1999: 107)7 dalam urusan perdamaian. Salah
satu gagasan besar Soekarno adalah menggagas konferensi negara-negara Asia-
Afrika pertama di Bandung pada tanggal 18 April 1955. Di dalam sambutannya,
secara eksplisit Soekarno menekankan pada aspek perdamaian dan aspek non
materiil sebagai sumber Power:

Tidak ada tugas yang lebih urgent daripada memelihara perdamaian. Tanpa
perdamaian kemerdekaan kita tak banyak faedahnya. Pemulihan dan
pembangunan negri-negri kita akan sedikit sekali artinya. Revolusi-revolusi
kita akan tak mendapat kesempatan melanjutkan perjalanannya. Apa yang
dapat kita perbuat? Bangsa-bangsa Asia dan Afrika hanya mempunyai
kekuasaan materil yang kecil belaka. Bahkan kekuatan perekonomianya
sangat rapuh dan lemah. Kita tak dapat berkecipung dalam politik adu
tenaga. Diplomasi bagi kita bukan diplomasi yang memegang pentung yang
besar. Pada diplomat kita rata-rata semuanya tidak dapat sokongan dari
deretan pembom jet yang kompak. Apa yang dapat kita perbuat? Kita dapat
berbuat banyak! Kita dapat menyuntikan suara budi kita ke dalam urusan-
urusan duniawi. Kita dapat memobilisasi semua akan spiritual, moral, dan
politisi dari Asia Afrika untuk kepentingan perdamaian
(www.indonesianvoices.com).”

7
Mengacu pada konsep sentripetal (pemusatan) Jawa, yang terlihat dari nama-nama penguasa
Yogyakarta – Hamengku Buwana (Pemangku Jagad Raya) dan Paku Alam – serta penguasa
Surakarta Paku Buwana (Paku Jagad Raya) dan Mangkunagara (Pemangku Negara). Lihat Franz
Magnis Suseno, op.cit, hal 107.
58 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

Pemikiran Soekarno di atas dapat ditafsirkan sebagai upaya


pengonsentrasian Kekuasaan. Alih-alih menekankan pada kebijakan perimbangan
kekuatan di era Perang Dingin, Soekarno lebih memilih untuk menyatukan
kekuatan dari negara-negara paska-kolonial dan memprakarsai gerakan non-blok.
Aktif (dari politik luar negeri Bebas-Aktif), dipahami Soekarno sebagai alat bagi
Indonesia untuk mengambil peran sebagai pemimpin “kekuatan progresif dunia di
dalam sebuah front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian melawan
imperialisme-kolonialisme (Weinstein, 2007: 166).”

Memasuki tahun ’60-an keharmonisan Negara Republik Indonesia terusik


oleh kebijakan Belanda yang tidak mau melepaskan Papua Barat serta resolusi
PBB yang memasukkan Sarawak dan Sabah ke dalam wilayah Federasi Malaysia.
Sebagai orang Jawa, Soekarno tentunya paham betul bahwa cara terbaik untuk
mengonsentrasikan Kekuasaan adalah dengan cara halus. Namun, jika cara
tersebut tidak membuahkan hasil, maka bisa dipergunakan kombinasi antara halus
dan kasar. Itulah yang dilakukan Soekarno menyikapi tindakan provokatif
Belanda, setelah selama kurang lebih sepuluh tahun upaya melalui jalur diplomasi
mengalami kebuntuan. Sehingga pada tahun 1961 Soekarno mengeluarkan
Trikora atau Tiga Komando Rakyat: menghancurkan Belanda yang ingin
membentuk negara boneka Papua Barat; mengibarkan bendera merah putih di
Papua Barat; dan mobilisasi semua pasukan tempur Indonesia.

State(s) State(s)
A B

Jawa

Gambar 3. Politik Penyerapan: Bukan balancing juga bukan banwagoning


Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 59

Senada dengan isu Papua Barat, Soekarno mengeluarkan Dwikora (Dua


Komando Rakyat) untuk Malaysia pada tahun 1964 atau lebih dikenal dengan
kampanye “Ganyang Malaysia.” Namun sayangnya peristiwa yang tersebut justru
menunjukkan kelemahannya sebagai pemimpin. Dalam kasus dengan Malaysia,
Soekarno dianggap sudah tidak mampu lagi mengendalikan dirinya, karena masih
terbawa suasana keberhasilan merebut Papua Barat. Dalam konteks ini Soekarno
telah berlaku pamrih, karena ia mulai menuruti ego pribadinya. Perilaku pamrih
ini berbahaya, bukan karena ia mengacaukan keselarasan sosial, tetapi karena
pamrih dapat memecah Kekuasaan. Siapa yang menyerah pada pamrih-nya,
menurut Franz Magnis (Suseno, 1999: 106), tidak lagi sanggung menampung
Kekuasaan kosmis, melainkan menyerahkan diri pada nafsu-nafsu dan
kepentingan-kepentingannya. Meski sewaktu melakukan politik “Konfrontasi”
kekuatan militer Indonesia bisa dikatakan yang terbaik di antara negara
berkembang, namun pada tataran praktis Indonesia tidak berhasil memperoleh
kepentingan nasionalnya (Sebastian dan Lanti dalam Acharya dan Buzan, 2010:
159-160).

Soeharto naik tampuk kekuasaan ketika keadaan dalam negeri sedang


kacau balau, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun keamanan. Oleh sebab
itu tugas utama Soeharto adalah kembali mengonsentrasikan Kekuasaan yang
sempat terpecah-pecah pada masa kepemimpinan sebelumnya. Segera ia tampil
sebagai “ksatria” Jawa yang menyelamatkan negara dari ancaman perpecahan
(Ibid: 149).8 Kisah-kisah penyelamatan negara dalam tradisi Jawa, meski
beraroma pemberontakan, sangat mungkin memengaruhi Soeharto sebagai
pemimpin militer saat itu. Soeharto, yang nasionalis dan pragmatis, tidak ingin
PKI atau komunisme secara umum menguasai Indonesia dan mengancam
bangunan filosofis nasional: Pancasila. Menurutnya, hanya Pancasila sajalah yang
mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang beragam, baik suku, agama, ras
maupun aliran kepercayaannya (Abdulgani-Knapp, 2007: 70). Untuk mengatasi

8
Konsep ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti ideologi, politik,
ekonomi, masyarakat, budaya, dan militer. Lihat Leonard C. Sebastian dan Irman G. Lanti, ibid,
hal. 149.
60 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

kekacauan tersebut, Soeharto berpegang pada slogan “stabilisasi, rehabilitasi dan


stabilitas dinamis (Ibid: 16).

Setelah selesai dengan urusan stabilitas dalam negeri, Soeharto, seperti


halnya Soekarno, juga merasa memiliki tugas sebagai pemimpin dunia.
Dilatarbelakangi oleh Perang Vietnam, konflik antara Malaysia dan Filipina
perihal Sabah, politik konfrontasi Indonesia zaman Soekarno, serta pemisahan
Singapura dari Malaysia, organisasi regional Asia Tenggara dibentuk pada tanggal
8 Agustus 1967. Sebastian dan Lanti memandang terbentuknya ASEAN ini tidak
lain adalah perluasan dari doktrin Ketahanan Nasional menjadi Ketahanan
Regional (Sebastian dan Lanti dalam Acharya dan Buzan, 2010: 162). Senada
dengan pendapat tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menilai bahwa salah satu
urgensi kepentingan nasional Indonesia pada masa Orde Baru adalah peningkatan
keamanan dan kestabilan dalam negeri yang harus ditingkatkan ke wilayah
sekeliling negara untuk dapat menjamin pembangunan nasional (Kusumaatmadja,
1983: 7).

Dalam konteks konflik yang terjadi di kawasan Asia Tenggara terdapat


satu tujuan agar kekuatan besar tidak terlibat dalam kemelut tersebut dan
kemudian mengancam stabilitas kawasan (Ibid: 16). Untuk mencapai tujuan
tersebut, tidak ada jalan lain bagi Indonesia selain berperan aktif menciptakan dan
menjaga perdamaian kawasan. Peran aktif Indonesia terlihat pertama kali ketika
menangani konflik Vietnam-Kamboja. Beberapa kali Presiden Soeharto
mengirimkan utusan, tidak hanya ke Vietnam tetapi juga ke Uni Soviet, untuk
menyelesaikan permasalahan ini. Karena rumitnya permasalahan, titik terang baru
muncul di akhir tahun 1991 setelah diadakannya konferensi internasional di Paris
atas inisiasi Indonesia (Ricklefs, 2001: 383-384).

Tujuan Indonesia agar negara-negara tidak terjebak ke dalam salah satu


kekuatan dan sebaliknya tidak ada kekuatan besar mencampuri urusan dalam
negeri/regional terus berlangsung sampai saat ini. Garis besar pemikiran tersebut
selaras dengan pemikiran Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa: “A
dynamic equilibrium...is marked by an absence of preponderant power not
through the rigidity, rivalry, and tensions common to the pursuit of a balance of
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 61

power model. Instead, through the promotion of a sense of common responsibility


in the endeavour to maintain the region’s peace and stability.” (www.csis.org)

Keseimbangan Dinamis menekankan kepada tidak adanya satu kekuatan


dominan di kawasan, menghilangkan inklusivitas dan meningkatkan peranan
negara-negara di dalam isu-isu multisektoral, tidak hanya politik, tetapi juga
lingkungan, ekonomi dan sosio-kultural. Doktrin Natalegawa ini esensinya ingin
mengikat kekuatan-kekuatan besar global untuk bersama-sama memberikan
kontribusi bagi stabilitas dan pembangunan di kawasan. Dengan pendekatan
dialog untuk setiap permasalahan yang muncul, diharapkan akan mengikis
perasaan saling curiga dan diplomasi rahasia di antara negara-negara di kawasan.
Doktrin ini merupakan tandingan atas konsep perimbangan kekuatan Barat yang
selama ini mendominasi politik internasional.

Dari uraian singkat di atas terlihat jelas bahwa terdapat beberapa kesamaan
ide antara dynamic equilibrium dan konsep kekuasaan Jawa. Pertama, mencegah
terciptanya rivalitas antar negara. Kedua, penggunaan cara yang halus (dialog)
untuk menyelesaikan konflik. Ketiga, mencegah munculnya dominasi dengan
“menyerap” negara-negara besar ke dalam kerangka kerjasama regional. Pola
yang sama berlangsung semenjak kepemimpinan Soekarno – dengan menggagas
Konferensi Asia-Afrika dan kemudian menjadi cikal bakal gerakan non-blok
ataupun Soeharto – dengan menggagas terbentuknya organisasi regional ASEAN.

Penutup

Banyak sarjana Hubungan Internasional yang akhir-akhir ini


mempertanyakan relevansi politik luar negeri bebas-aktif di saat Perang Dingin
telah berakhir. Pandangan ini sangat bersifat neo-realistik, yang memandang
perilaku negara hanya dipengaruhi oleh struktur internasional, bagaikan bola biliar
yang hanya bergerak jika ada benturan dari bola lainnya. Tentunya jika
menggunakan pendekatan neo-realis maka relevansi polugri bebas-aktif patut
dipertanyakan dengan berakhirnya Perang Dingin. Akan tetapi jika pendekatan
Jawa yang digunakan, tentunya pertanyaan mengenai relevansi polugri tidak
62 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

(akan) pernah muncul dalam benak pemimpin Jawa. Politik luar negeri yang
bebas dan aktif bukan merupakan respon dari sistem internasional yang bipolar
sewaktu Perang Dingin, akan tetapi lebih merupakan refleksi dari alam bawah
sadar para pemimpin Jawa, yang menekankan pada penyerapan Kekuasaan.,
keseimbangan, dan kepemimpinan dunia. Praktis, model kepemimpinan Jawa
sangatlah dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya sebagai kesatria Jawa, yang
tidak mengenal perimbangan kekuasaan, karena menganggap dirinya sebagai
pemusat Kekuasaan. Sehingga ada atau tidaknya bipolaritas, politik luar negeri
Indonesia “bebas dan aktif” akan relatif tetap terjaga.

Tulisan ini tentu hanyalah awal dari usaha penggalian Teori Hubungan
Internasional Non-Barat. Mengingat luas dan beragamnya kebudayaan Nusantara
maka tulisan ini tentunya tidak terlepas dari proses penyederhanaan dan
generalisasi. Namun, hal ini menjadi pertanda bagus yang diharapkan akan
memunculkan perspektif-perspektif baru dari kebudayaan Nusantara lainnya.
Sehingga perspektif-perspektif Hubungan Internasional ataupun Politik
Internasional akan semakin kaya dan beragam.

REFERENSI

Buku
Acharya, Amitav., dan Barry Buzan. 2010. “Why Is There No Non-Western
International Relations Theory?” dalam Acharya, Amitav., dan Barry
Buzan (Ed). 2010. Non-Western International Relations Theory:
Perspectives on and Beyond Asia. London, New York: Routledge.

Ali, Fachry. 1986. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern.
Jakarta: Gramedia.

Anderson, Benedict. 2006. Language and Power: Exploring Political Cultures in


Indonesia. Singapore: Equinox Publishing.

Abdulgani, Retnowati. 2007. Soeharto The Life and Legacy of Indonesia’s Second
President. Singapore: Marshall Cavendish.

Hatta, Mohammad. 2011. Mendajung Antara Dua Karang Jakarta: Kementrian


Penerangan Republik Indonesia.
Yusli Effendi, dan Dion Maulana Prasetya, Kritik Jawa atas... | 63

Hobden, Stephen. 1998. International Relations and Historical Sociology:


Breaking Down Boundaries. London: Routledge.

Hobson, John M. 2000. The State and International Relations. Cambridge:


Cambridge University Press.

Hobson, John M. 2002. “What's at Stake in 'Bringing Historical Sociology Back


Into International Relations'?· Transcending 'Chronofetishism' and
'Tempocentrism' in International Relations,” dalam Hobden, Stephen.,
dan John M. Hobson (Ed). 2002. Historical Sociology of International
Relations. Cambridge: Cambridge University Press.

Kennedy, Paul. 1998. The Rise and Fall of The Great Powers. London: Unwin
Hyman Limited.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Politik Luar Negeri Indonesia dan


Pelaksanaannya Dewasa Ini. Bandung: Penerbit Alumni.

Losco, Joseph., dan Leonard William. 2005. Political Theory. (terj. Haris
Munandar). Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antarbangsa. Jakarta: Buku Obor.

Nye, Joseph S. 2003. Understanding International Conflict. Longman.

Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia Since c. 1200, 3rd ed.
London: Palgrave.

Sebastian, Leonard C., dan Irma G. Lanti. 2010. “Perceiving Indonesian Approach
to International Relations Theory”, dalam Acharya, Amitav., dan
Barry Buzan (Ed). 2010. Non-Western International Relations
Theory: Perspectives on and Beyond Asia. London, New York:
Routledge.

Smith, Steve. 2011. “Alternative Approaches to International Theory,” dalam


Baylis, et.al., 2011. The Globalization of World Politics 5th ed. Oxford:
Oxford University Press.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang
Kebijaksaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Waltz, Kenneth N. 1979. Theory of International Politics. Addison-Wesley


Publishing.

Weinstein, Franklin B. 2007. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of


Dependence from Soekarno to Soeharto. Singapore: Equinox
Publishing.
64 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

Jurnal
Schweller, Randall. 1994. “Bandwagoning for Profit: Bringing the Revisionist
States Back In”, International Security, Vol. 19, No. 1. Summer.

Walt, Stephen M. 1985. “Alliance Formation and The Balance of World Power”,
International Security, Vol. 9, No. 4. Spring.

Internet
Natalegawa, Marty. 2013. “An Indonesian Perspective on The Indo-Pacific”,
diakses melalui
http://csis.org/files/attachments/130516_MartyNatalegawa_Speech.pdf.

http://www.indonesianvoices.com/index.php/sejarah-kemerdekaan/1203-pidata-ir-
soekarno- pada-saat-konverensi-asia-afrika-di-bandung

Anda mungkin juga menyukai