Anda di halaman 1dari 4

Pengelolaan Sampah Berkelanjutan, Dapat Digapai atau Hanya Impian?

Studi kasus: Kota Bandung

Oleh: Aulia Ufatunnisa

Permasalahan sampah tentunya merupakan hal yang tidak asing lagi bagi
Kota Bandung. Sampah hampir ditemui di berbagai tempat sehingga
keberadaannya menjadi pemandangan yang wajar bagi kota ini. Tidak
terkendalinya sampah pun menimbulkan masalah baru seperti timbulnya bau tak
sedap, pencemaran, dan terganggunya aliran pada gorong-gorong yang akhirnya
memicu banjir. Beragam program pengelolaan sampah dan peraturan pun sudah
dibuat oleh pemerintah, seperti dibangunnya fasilitas biodigester, sekolah
adiwiyata, dan adanya Peraturan Daerah Kota Bandung No 09 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Sampah, namun permasalahan sampah di Kota Bandung
tetap tak kunjung terselesaikan. Menurut Ario pada Tahun 2007, diketahui bahwa
pelayanan pengelolaan sampah saat ini baru mencapai ±70% dari timbulan
sampah, sementara sisa sampah yang belum terkelola ditangani dengan dibuang
ke sungai, dibakar, dan dijadikan kompos. Masalah lainnya adalah kini TPA
(Tempat Pemrosesan Akhir) Sarimukti yang melayani pemrosesan akhir bagi
Kota Bandung berada dalam kondisi melebihi ambang batas dan hanya dapat
menampung sampah hingga tiga bulan ke depan, hal ini disampaikan oleh
Riswanto selaku Koordinator Operasional Badan Pengelolaan Sampah Regional
TPA Sarimukti. Lalu akan dibawa kemana sampah Kota Bandung nanti? Dibakar?
Di buang ke sungai, atau tindakan lainnya yang membuat permasalahan
lingkungan menjadi semakin parah? Demi mencegah hal tersebut maka
dibutuhkan solusi yang tepat melalui konsep pengelolaan sampah yang
berkelanjutan sehingga tujuan dari Sustainable Development Goals point keenam,
yaitu ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan
dapat diwujudkan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh penulis, terdapat beberapa hal yang
menjadi penyebab pengelolaan sampah di Kota Bandung belum mencapai
kesuksesan. Alasan yang pertama adalah akibat rendahnya kesadaran masyarakat
untuk mengelola sampah, sehingga saat ini masih sering ditemukan warga Kota
Bandung yang membuang sampah sembarangan. Alasan kedua adalah akibat
minimnya pengetahuan akan resiko pencemaran sampah, sehingga masih banyak
masyarakat yang melakukan pengelolaan sampah dengan cara yang kurang tepat
seperti dibakar atau dibuang ke sungai. Alasan yang terakhir adalah akibat
kurangnya ketegasan dalam menegakkan peraturan yang telah ada, hal ini pun
didasari oleh karakter masyarakat Kota Bandung yang memiliki sifat toleransi
tinggi sehingga kesalahan penanganan sampah yang terjadi cenderung dibiarkan.
Bila hal tersebut tak kunjung terselesaikan, maka untuk mewujudkan pengelolaan
sampah yang baik di Kota Bandung akan sulit dilakukan.
Penulis telah melakukan beberapa kegiatan berupa sosialisasi, kampanye
lingkungan, dan pelatihan untuk mengetahui metode yang tepat dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pengelolaan sampah. Namun upaya
tersebut seringkali hanya menimbulkan kesadaran sesaat dan belum mampu
menghasilkan aksi dari masyarakat. Berdasarkan hal tersebut penulis menyadari
bahwa program yang dilakukan secara insidental belum berhasil membentuk
kesadaran masyarakat secara jangka panjang. Kesadaran perlu dibentuk sejak dini
secara terus-menerus melalui kebiasaan, seperti di Negara Jepang yang sudah
terkenal akan kesuksesan dalam pengelolaan sampahnya. Berdasarkan tulisan
Herdiawan pada Tahun 2016, dijelaskan bahwa sejak kelas tiga di Sekolah Dasar
anak-anak di Jepang telah dilatih cara membuang sampah sesuai dengan jenisnya.
Hal tersebut menyebabkan kultur pengelolaan sampah yang baik tertanam pada
alam bawah sadar dan akhirnya terbangun menjadi kebiasaan. Selain dengan
kesadaran, rasa kepedulian juga dapat timbul dengan dibangunnya rasa malu
akibat tekanan sosial yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
penghargaan bagi keluarga yang telah melakukan pengelolaan sampah dengan
baik. Hal tersebut menyebabkan keluarga yang belum memiliki penghargaan akan
merasa malu dan mendapat tekanan sosial, sehingga keinginan untuk melakukan
pengelolaan sampah akan semakin meningkat.
Rasa kepedulian terhadap lingkungan memang sangat dibutuhkan dalam
menciptakan pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Namun hal itu saja belum
cukup, dibutuhkan pula fasilitas dan peraturan yang diterapkan secara langsung
untuk dapat memunculkan gerakan yang melibatkan partisipasi seluruh pihak.
Penulis telah melakukan observasi di beberapa wilayah yang sukses dengan
program pengelolaan sampahnya, salah satunya di RW 17 Kampung Jatibaru. Di
tempat tersebut telah diberlakukan peraturan, yaitu tidak akan diprosesnya
keperluan administratif oleh RW bila warga belum melakukan pengelolaan
sampah. Desakan tersebut akhirnya berdampak pada semakin aktifnya warga
dalam mengelola sampahnya dan membuat kampung tersebut menjadi Kampung
Swakelola Sampah. Kampung tersebut pun telah menerima kunjungan dari
masyarakat luar provinsi bahkan luar negeri seperti Jepang, Korea dan beberapa
negara ASEAN lainnya. Berdasarkan observasi tersebut penulis menyadari bahwa
salah satu faktor yang membuat pengelolaan sampah dapat berjalan dengan sukses
adalah ketegasan penegakkan peraturan oleh pemimpin. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan pengelolaan sampah yang berkelanjutan, sangat dibutuhkan
pemimpin-pemimpin tegas yang dapat menerapkan peraturan secara langsung dan
memfasilitasi pengelolaan sampah bagi wilayahnya.
Seiring berjalannya waktu, potensi dapat ditimbunnya sampah di TPA terus
kian merendah. Untuk menghindari hal tersebut, sangat dibutuhkan upaya untuk
mengurangi timbulan sampah yang dihasilkan masyarakat agar kebutuhan lahan
untuk melakukan penimbunan sampah menjadi semakin rendah. Program skala
besar yang dapat dilakukan untuk melakukan upaya tersebut adalah dengan
diberlakukannya tarif berbasis volume sampah. Artinya, bila volume sampah yang
dihasilkan oleh tiap rumah semakin tinggi maka iuran yang harus dikeluarkan
akan semakin tinggi pula, sehingga keinginan masyarakat untuk mereduksi
sampahnya akan semakin meningkat. Dengan dilakukannya hal tersebut, maka
usia layan dari TPA akan menjadi semakin panjang dan sampah dapat ditangani
dengan baik tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa partisipasi dari seluruh pihak
merupakan kunci utama untuk menciptakan pengelolaan sampah berkelanjutan.
Hal tersebut dibentuk dari rasa kepedulian yang dibangun melalui pendidikan dan
kebiasaan sejak dini, serta oleh rasa malu akibat adanya tekanan sosial. Adanya
rasa kepeduian tentunya perlu diimbangi pula dengan penegakan peraturan oleh
pemimpin untuk menghadirkan gerakan masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Sementara untuk mewujudkan kelancaran sistem pengelolaan sampah, perlu
dilakukan dengan menyeimbangkan kemampuan lahan TPA yang kini sudah
semakin terbatas. Hal ini dapat dilakukan dengan ditingkatkannya upaya reduksi
sampah melalui tarif berbasis volume sampah. Dengan terintegrasinya seluruh
upaya tersebut, maka pengelolaan sampah berkelanjutan di Kota Bandung
tentunya bukan sesuatu hal yang mustahil untuk digapai, sehingga ketersediaan
serta pengelolaan sanitasi yang berkelanjutan pun dapat diwujudkan.

Referensi:
 Basuki Wibowo, Ario. 2007. Kajian Awal Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah di Kota Bandung. Tugas Akhir. Tidak Diterbitkan.
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung:
Bandung.
 Herdiawan, Junanto. 2016. Rahasia Sukses Pengolahan Sampah di Jepang.
http://www.olahsampah.com/index.php/manajemen-sampah/39-rahasia-
sukses-pengolahan-sampah-di-jepang. Diakses pukul 19.15 tanggal 16
Maret 2018.
 Riswanto. 2018. Berstatus Overload, TPA Sarimukti Hanya Bertahan 3
Bulan Ke Depan. Wawancara oleh Bandung TV. Ditayangkan 23 Maret
2018.

Anda mungkin juga menyukai