Anda di halaman 1dari 102

SKRIPSI

PENGUJIAN HEPATOTOKSISITAS SUBKRONIS


EKSTRAK DAUN JELATANG (Urtica dioica L.)
PADA TIKUS Sprague Dawley

Oleh :
ZATIL AFRAH
F24063240

2010
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Zatil Afrah. F24063240. PENGUJIAN HEPATOTOKSISITAS SUBKRONIS
EKSTRAK DAUN JELATANG (Urtica dioica L.) PADA TIKUS Sprague
Dawley. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi dan Prof.
Dr. Ir. Fransisca R. Zakaria, MSc. 2010.

RINGKASAN

Jelatang (Urtica dioica L.) merupakan herbal yang dapat ditemukan di Asia
(termasuk Indonesia), Eropa, Afrika Utara, dan Amerika Utara. Di negara-negara
beriklim sedang, daun jelatang populer sebagai sayuran dan obat. Jelatang
digunakan dalam pengobatan penyakit kelamin dan saluran kencing yang ringan
(nocturia, dysuria, penghambatan saluran ginjal, iritasi kantung kemih, dan
infeksi), gangguan ginjal, alergi, diabetes, anemia, penyakit saluran pencernaan
yang ringan (diare, disentri, dan keasaman lambung yang meningkat), eczema,
hemorrhoid, inflamasi hati, rematik, dan kanker prostat. Di samping beragamnya
khasiat daun jelatang, juga ditemukan indikasi gangguan fisiologis akibat
pemberian herbal tersebut. Suatu penelitian menunjukkan bagian tanaman stinging
nettle yang berada di atas tanah berpotensi menyebabkan gatal,diare,danedema
lidah.
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hepatotoksisitas subkronis pada
tikus Sprague Dawley setelah pemberian ekstrak daun jelatang (Urtica dioica L.)
secara oral. Uji toksisitas subkronis selama 90 hari dimaksudkan untuk
mengungkap potensi kerusakan hati akibat pemberian ekstrak daun jelatang
dengan dosis tertentu.
Pada penelitian ini, ekstrak air dari daun jelatang dengan dosis 0,1 g/kg
berat badan (BB) dan dosis 1 g/kg BB diberikan melalui penyondean pada tikus
Sprague Dawley selama 90 hari. Selama masa tersebut, dilakukan pemeriksaan
fisik untuk melihat perubahan tingkah laku dan parameter pemeriksaan fisik
lainnya akibat pemberian ekstrak daun jelatang. Kemudian dilakukan pembedahan
untuk memperoleh sampel darah dan organ hati. Organ hati diamati secara
makroskopik dan ditimbang untuk mendapatkan berat relatif hati. Selanjutnya
dilakukan analisis sifat kimia serum yang menjadi parameter kerusakan hati.

ii
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, ditemukan dua kasus mortalitas
(kematian satu dari 10 tikus pada kelompok dosis 0,1 g/kg BB dan satu dari
kelompok dosis 1 g/kg BB) serta beberapa kasus morbiditas (sakit/menderita).
Temuan tersebut menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jelatang pada
kedua dosis memicu reaksi gatal, pendarahan internal, dan atau arrhythmia
(penyimpangan irama jantung) yang berakhir dengan mortalitas.
Hingga akhir masa penelitian (90 hari) belum ditemukan manifestasi
toksisitas terhadap berat badan tikus yang diberikan ekstrak daun jelatang. Berat
relatif hati antarperlakuan tidak berbeda nyata (p<0,05) namun sebagian besar hati
dari kelompok yang mendapatkan ekstrak daun jelatang memiliki lebih banyak
droplet-droplet lemak yang menunjukkan terjadinya hati berlemak (steatosis).
Salah satu dari sepuluh tikus pada kelompok dosis 0,1 g/kg BB memiliki tiga
gumpalan pada hatinya sedangkan salah satu dari sepuluh tikus pada kelompok
dosis 1 g/kg BB memiliki satu gumpalan. Gumpalan ini diperkirakan berupa
lipoprotein dan atau hepatic neoplasia.
Hasil analisis kimia darah (bilirubin total, bilirubin langsung, ALP, ALT,
AST, albumin, glukosa, dan trigliserida) menunjukkan bahwa pada kelompok
tikus Sprague Dawley yang diberikan ekstrak daun jelatang (dosis 0,1 g/kg BB
dan 1 g/kg BB) selama 90 hari ditemukan indikasi terjadinya salah satu kelainan
hati, yaitu steatosis. Gejala dan bukti terjadinya kerusakan hati lainnya tidak
ditemukan.

iii
PENGUJIAN HEPATOTOKSISITAS SUBKRONIS
EKSTRAK DAUN JELATANG (Urtica dioica L.)
PADA TIKUS Sprague Dawley

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
ZATIL AFRAH
F24063240

2010
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

iv
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGUJIAN HEPATOTOKSISITAS SUBKRONIS


EKSTRAK DAUN JELATANG (Urtica dioica L.)
PADA TIKUS Sprague Dawley

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
ZATIL AFRAH
F24063240

Menyetujui,
Bogor, 2010

Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi Prof. Dr. Ir. Fransisca R. Zakaria, MSc
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

v
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan


karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Pengujian Hepatotoksisitas Subkronis Ekstrak Daun Jelatang (Urtica dioica
L.) pada Tikus Sprague Dawley”.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga tercinta, Ayah Athaillah, Mama Zaidar, kak Zura Amali, Ahmad
Zikri, Aufaz Zihni, dan Zakiah Azzah, atas doa dan kasih sayangnya
2. Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, Msi selaku dosen pembimbing pertama atas
segala bimbingan dan nasihat yang diberikan kepada penulis selama menjadi
mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
3. Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat Zakaria, MSc selaku dosen pembimbing
kedua atas bimbingan dan saran selama penelitian
4. Antung Sima Firlieyanti, S.TP, M.Sc, selaku dosen penguji atas kesediaannya
menguji pada ujian skripsi
5. Pemerintah daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memberikan
Beasiswa Utusan Daerah kepada penulis
6. Seluruh teman-teman seperjuangan di angkatan 43, terutama Saida, Sarah,
Widya, Risma, Ipit, Neng, Wina, Vani, Olif, Dyah, Eri, Wahyu, Ana, Feriana,
Widi, Septi, Anto, Zega, dan WJ
7. Seluruh teman-teman dan kakak-kakak bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransisca
Rungkat Zakaria, MSc yang tergabung dalam tim toksisitas, Mas Anas, Mas
Gito, Anissa, Keni, Dinda, dan Rijali, atas arahan dan kerjasamanya
8. Seluruh keluarga besar Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR), terutama
Kandi, Lia, Alvi, Meri, Wati, Dwi, Ryan, Aris, dan Putra
9. Teman-teman di Citra Islami 2, Gita, Lingga, dan Kiki, atas bantuan dan
keceriannya
10. Teman-teman dan kakak-kakak di Pondok Indah, terutama Dian, Wati, Ayu,
Ade, dan mbak Kiki
11. Seluruh keluarga besar Forum for Scientific Studies (FORCES)

vi
12. Seluruh keluarga besar Majalah EMULSI
13. Para laboran dan staf, terutama Bu Sri, Pak Adi, Pak Taufik, dan Pak Wahid
14. Seluruh staf UPT
15. Pengajar kursus bahasa Korea, son seng nim Ki Men Hi, atas didikan dan
pertemanannya

Bogor, Juli 2010

Zatil Afrah

vii
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 5 Mei 1988 sebagai anak
kedua dari pasangan Athaillah dan Zaidar Ismail. Penulis menempuh pendidikan
dasarnya di MIN Sukadamai, Banda Aceh dan MIN Jambo Tape, Banda Aceh
hingga lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama
di MTsN I Banda Aceh hingga tahun 2003 dan kemudian melanjutkan pendidikan
menengah atas di SMAN 2 Modal Bangsa, Aceh Besar hingga tahun 2006.
Selanjutnya penulis menempuh pendidikan tinggi di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Beasiswa Utusan Daerah pada tahun 2006.
Selama menjalani studi di IPB, penulis terlibat dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan, di antaranya Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR), Forum
for Scientific Studies (FORCES), dan Majalah Emulsi. Penulis, bersama tim,
juga menjadi presentator pada Aceh Development International Conference
(ADIC) 2010 di Universitas Putra Malaysia, Serdang, Malaysia pada tanggal 28-
30 Maret 2010. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul
“Pengujian Hepatotoksisitas Subkronis Ekstrak Daun Jelatang (Urtica dioica L.)
pada Tikus Sprague Dawley” di bawah bimbingan Dr. Ir. Endang Prangdimurti,
MSi dan Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat Zakaria, MSc.

viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………….1
A. LATAR BELAKANG ……………………………………………… 1
B. TUJUAN …………………………………………………………..... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………...4
A. MANFAAT TANAMAN ………………………………………….. .4
B. TOKSISITAS TANAMAN …………………………………………6
C. JELATANG (Urtica dioica L.) …………………………………….. 8
D. HATI ………………………………………………………………. .11
E. HEPATOTOKSISITAS …………………………………………… 12
F. UJI TOKSISITAS SUBKRONIS …………………………………. 17
G. TIKUS Sprague Dawley …………………………………………… 17
III. BAHAN DAN METODE ……………………………………………….21
A. BAHAN DAN ALAT …………………..………………………… 21
B. METODE PENELITIAN ………………………………………….. 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………34
A. HASIL PEMERIKSAAN FISIK …………………………………... 34
B. KONDISI DAN BERAT RELATIF HATI …………………………40
C. HASIL ANALISIS KIMIA DARAH ……………………………….44
V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………....57
A. KESIMPULAN ……………………………………………………..57
B. SARAN ……………………………………………………………..57
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 58
LAMPIRAN ………………………………………………………………….61

ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Fitokimia yang terdapat dalam beberapa tanaman ………………….. 5
Tabel 2. Etnofarmakologi dari beberapa herbal …………………………….... 7
Tabel 3. Contoh-contoh agen hepatotoksik dan kerusakan hati yang terkait ... 14
Tabel 4. Nilai fisiologis tikus ………………………………………………… 18
Tabel 5. Komposisi ransum standar AIN 1976 ………………………………. 21
Tabel 6. Komposisi campuran vitamin ……………………………………….. 22
Tabel 7. Komposisi campuran mineral ……………………………………….. 22
Tabel 8. Pemeriksaan fisik pada uji ketoksikan terhadap roden ……………… 24
Tabel 9. Komponen yang diperlukan untuk pembuatan larutan kalibrasi ALT. 28
Tabel 10. Konsentrasi larutan kalibrasi piruvat - ALT………… ……………... 28
Tabel 11. Komponen yang diperlukan untuk pembuatan larutan kalibrasi AST. 30
Tabel 12. Konsentrasi larutan kalibrasi piruvat –AST ……………………….. 30
Tabel 13. Perbandingan beberapa mineral yang terkandung dalam beberapa 37
jenis sayuran………………………………………………………..
Tabel 14. Jumlah asupan per hari beberapa mineral yang diduga 37
menimbulkan efek toksik pada kelompok tikus yang diberi ekstrak
daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB .....................
Tabel 15. Rata-rata dan standar deviasi berat badan, kenaikan berat badan, 39
dan konsumsi pakan pada setiap kelompok tikus ............................
Tabel 16. Perbandingan berat relatif hati antara kelompok kontrol, kelompok 43
yang disonde ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1
g/kg BB ...........................................................................................
Tabel 17. Kadar bilirubin total, bilirubin langsung, ALP, ALT, dan AST dari 46
ketiga kelompok tikus ....................................................................
Tabel 18. Kadar albumin, trigliserida, dan glukosa kelompok kontrol, 53
kelompok yang diberi ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan
dosis 1 g/kg BB ...............................................................................

x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Jelatang (Urtica dioica L.) …………………………………….. 9
Gambar 2. Siklus trigliserida dalam patogenesis hati berlemak ………….. 14
Gambar 3. Pertumbuhan tikus kontrol dan tikus yang diberi ekstrak daun 39
jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB ………………
Gambar 4. Rata-rata konsumsi pakan per hari tikus kontrol dan tikus yang 40
diberi ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg
BB ..............................................................................................
Gambar 5. Contoh hati kelompok kontrol (normal) ..................................... 42
Gambar 6. Salah satu hati dari kelompok dosis 0,1 g/kg BB yang 42
menunjukkan abnormalitas (tikus dengan kode R9) ..................
Gambar 7. Salah satu hati dari kelompok dosis 1 g/kg BB yang 42
menunjukkan abnormalitas (tikus dengan kode T5) ...................
Gambar 8. Gambaran mikroskopik fraksi air dari massa solid yang 42
terdapat dalam gumpalan yang ditemukan pada salah satu hati
dari kelompok dosis 0,1 g/kg BB yang menunjukkan
abnormalitas ...............................................................................
Gambar 9. Kadar bilirubin total dari tikus kontrol serta tikus yang 46
mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1
g/kg BB .....................................................................................
Gambar 10. Kadar bilirubin langsung/konjugasi tikus kontrol serta tikus 47
yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan
dosis 1 g/kg BB ........................................................................
Gambar 11. Kadar alkaline phosphatase (ALP) tikus kontrol dan tikus yang 48
mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1
g/kg BB ......................................................................................
Gambar 12. Kadar alanin aminotransferase (ALT) tikus kontrol dan tikus 50
yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan
dosis 1 g/kg BB .........................................................................
Gambar 13. Kadar aspartat aminotransferase (AST) tikus kontrol dan tikus 51
yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan
dosis 1 g/kg BB .........................................................................
Gambar 14. Kadar albumin tikus kontrol dan tikus yang mendapat ekstrak 52
daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB ..............
Gambar 15. Kadar trigliserida tikus kontrol dan tikus yang mendapat 54
ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB ..
Gambar 16. Kadar glukosa tikus kontrol dan tikus yang mendapat ekstrak 56
daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB ...............

xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Contoh perhitungan volume sonde per tikus ……………… 62
Lampiran 2. Perhitungan konversi dosis manusia ke tikus……………… 62
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan fisik …………………………………… 63
Lampiran 4. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap berat badan tikus pada awal perlakuan………….. 64
Lampiran 5. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap berat badan tikus pada akhir perlakuan………….. 64
Lampiran 6. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kenaikan/selisih berat badan tikus ……………… 65
Lampiran 7. Hasil uji homogenitas keragaman dan uji Kruskal Wallis-H
terhadap berat relatif hati ………………………………… 65
Lampiran 8. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar bilirubin total ……………………………. 66
Lampiran 9. Hasil uji lanjut Tukey terhadap kadar bilirubin total ……. 66
Lampiran 10. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar bilirubin langsung ………………………. 67
Lampiran 11. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar bilirubin langsung ….. 67
Lampiran 12. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar alkalin phosphatase (ALP) ……………… 68
Lampiran 13. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar alkalin phosphatase ALP) 68
Lampiran 14. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar alanin aminotransferase (ALT) …………. 69
Lampiran 15. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar alanin aminotransferase
(ALT) …………………………………………………… 69
Lampiran 16. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar aspartat aminotransferase (AST) ……..… 70
Lampiran 17. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar aspartat aminotransferase
(AST) ……………………………………………………. 70

xii
Lampiran 18. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar albumin …………………………………. 71
Lampiran 19. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar albumin ……………. 71
Lampiran 20. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar trigliserida ……………………………… 72
Lampiran 21. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar trigliserida …………. 72
Lampiran 22. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam
terhadap kadar glukosa ……………………………………. 73
Lampiran 23. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar glukosa ……………….. 73
Lampiran 24. Hasil penimbangan berat badan pada setiap kelompok tikus 74
Lampiran 25. Konsumsi pakan per hari ……………………………….. 79
Lampiran 26. Berat dan berat relatif hati ……………………………… 87
Lampiran 27. Kadar bilirubin, ALP, albumin, trigliserida, ALT, dan AST 88

xiii
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejak zaman dahulu masyarakat dari berbagai belahan dunia telah
menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai makanan dan obat. Kini saat
penemuan obat-obatan modern kian bertambah, banyak juga anggota masyarakat
yang beralih pada pengobatan atau pengonsumsian herbal untuk meningkatkan
status kesehatannya. Herbal diyakini lebih aman dan alami. Sementara obat-
obatan dan pangan modern dapat menimbulkan risiko kesehatan tertentu. Jika
tanaman atau bagian tanaman dibudidayakan secara organik dan diolah minimal,
maka pernyataan bahwa herbal lebih alami dibandingkan obat modern tentu tidak
perlu diperdebatkan lagi. Namun, masalah keamanannya bagi tubuh konsumen
perlu dikaji terlebih dahulu.
Minat farmakologis klinis terhadap khasiat dan keamanan herbal
berkembang selama tahun-tahun terakhir ini karena herbal umumnya digunakan
oleh masyarakat untuk pengobatan atau konsumsi tanpa pengawasan dokter.
Beberapa publikasi terbaru menyebutkan adanya konsekuensi serius dari efek
samping beberapa produk herbal. Beberapa efek samping yang letal dan
berbahaya dilaporkan sebagai dampak penggunaan produk herbal tertentu. Efek
samping ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk efek toksik
langung dari herbal, efek dari kontaminan yang terkandung dalam produk herbal,
dan interaksi antara herbal dengan obat. Dewasa ini, untuk menentukan efek
toksik langsung dari suatu herbal dapat dilakukan dengan meninjau senyawa-
senyawa yang terkandung di dalamnya (Fragoso et al., 2008). Meskipun begitu,
pengujian produk secara keseluruhan lebih diunggulkan karena melibatkan efek
interaksi antarsenyawa-senyawa penyusunnya.
Jelatang atau yang lebih dikenal dengan sebutan stinging nettle (Urtica
dioica L.) merupakan herbal yang dapat ditemukan di Eropa, Asia, Afrika Utara,
dan Amerika Utara. Di Indonesia tanaman ini juga tumbuh namun umumnya
hanya dianggap sebagai gulma. Di negara-negara beriklim sedang, jelatang
populer sebagai sayuran dan obat. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai
sayur adalah pucuk daunnya sementara daun, akar, dan biji jelatang berfungsi
sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Penyakit-
penyakit yang dimaksud antara lain penyakit kelamin dan saluran kencing yang
ringan (nocturia, dysuria, penghambatan saluran ginjal, iritasi kantung kemih, dan
infeksi), gangguan ginjal, alergi, diabetes, pendarahan internal (mencakup
pendarahan uterine, epistaxis, dan melena), anemia, penyakit saluran pencernaan
yang ringan (diare, disentri, dan keasaman lambung yang meningkat), sakit
muskoluskeletal, osteoarthritis, dan alopecia (Fragoso et al., 2008). Menurut
beberapa peneliti, penggunaan Urtica dioica L. (daun dan biji) dengan atau tanpa
tanaman lainnya dapat menyembuhkan eczema, hemorrhoid, inflamasi hati,
rematik, dan kanker prostat (Aksu dan Kaya, 2004). Meskipun begitu, hanya
sedikit di antara-antara khasiat tersebut yang telah didukung dengan fakta ilmiah.
Di samping beragamnya khasiat daun jelatang (Urtica dioica L.), juga
ditemukan bukti yang mengindikasikan beberapa gangguan fisiologis akibat
pemberian daun jelatang. Daun jelatang segar dapat menyebabkan ruam, gatal,
rasa menyengat, dan edema lidah. Sedangkan jus jelatang dikhawatirkan dapat
memicu diare (Fragoso et al., 2008). Sayangnya, hanya ada sedikit data ilmiah
mengenai keamanan penggunaan daun jelatang sebagai produk herbal. Oleh
karena itu perlu dilakukan suatu studi untuk mempelajari toksisitas produk herbal
ini.
Toksisitas yang akan dipelajari difokuskan pada hati karena dua alasan
utama. Pertama, hati merupakan organ pertama yang terpapar bahan kimia yang
masuk ke tubuh setelah bahan kimia tersebut melalui saluran pencernaan. Kedua,
di hati banyak terdapat enzim-enzim untuk metabolisme xenobiotik. Meskipun
sebagian besar proses biotransformasi tersebut merupakan reaksi detoksifikasi,
banyak reaksi oksidatif yang menghasilkan metabolit reaktif sehingga berpotensi
memicu kerusakan hati (Hodgson dan Levi, 2004). Parameter yang digunakan
untuk menilai toksisitas subkronis organ hati adalah pengamatan klinis tikus
selama 90 hari pemberian ekstrak; berat relatif hati; serta beberapa sifat kimia
darah yang berkaitan dengan hati.

2
B. TUJUAN
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hepatotoksisitas subkronis
pada tikus Sprague Dawley setelah pemberian ekstrak daun jelatang (Urtica
dioica L.) secara oral. Uji toksisitas subkronis selama 90 hari dimaksudkan untuk
mengungkap potensi kerusakan hati akibat pemberian ekstrak daun jelatang
dengan dosis tertentu.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. EFEK POSITIF FITOKIMIA


Sejak berabad-abad lamanya tanaman telah dimanfaatkan manusia sebagai
makanan, minuman, bahan pewarna dan obat. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan sekitar 80% penduduk dunia mengandalkan obat tradisional, yang
menggunakan ekstrak tanaman atau komponen bioaktifnya, sebagai penanganan
awal terhadap berbagai penyakit (Bruneton, 1995).
Tanaman tidak hanya diunggulkan karena kandungan nutrisinya, tapi juga
senyawa fitokimia yang terkandung. Fitokimia dalam bahan pangan dapat
memberikan perlindungan terhadap beberapa ancaman bagi kesehatan, seperti
pembentukan radikal bebas, gangguan degeneratif, dan penyakit-penyakit yang
terkait dengan gaya hidup. Tanaman-tanaman yang kaya akan fitokimia
memainkan peranan penting dalam terapi untuk mengobati berbagai jenis
penyakit. Saat ini trend konsumen semakin meluas karena kesadaran yang
meningkat dan pengaruh hasil riset yang mengindikasikan manfaat kesehatan
terkait dengan konsumsi tanaman dan atau komponen fungsionalnya (Butt et al.,
2008).
Komponen fitokimia meliputi berbagai kelompok senyawa, seperti fenol,
alkaloid, turunan isoprene: terpen, dan steroid. Beberapa fitokimia yang diketahui
mempunyai fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glukosinolat,
polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat.
Fungsi fisiologis yang dimiliki antara lain sebagai antikanker, antimikroba,
antioksidan, antitrombotik, antiinflamasi, immunostimulan, pengatur tekanan
darah, pengatur kadar gula darah dan penurun kadar kolesterol (Watzl, 1996).
Contoh senyawa fitokimia yang terkandung dalam beberapa tanaman herbal
dimuat pada Tabel 1.
Tabel 1. Fitokimia yang terdapat dalam beberapa tanaman herbal
Jenis herbal Bagian Senyawa aktif
tanaman
Nopal Daun Serat dan pektin (Rayburn et al., 1998)
(Opuntia ficus
indica)
Peppermint Daun dan Daun dan minyak peppermint mengandung
(M. piperita) minyak asetaldehida, amyl alcohol, methyl ester,
limone, pinene, phellandrene, cardinene,
pugelone dan dimethyl sulfide. Komponen
minornya terdiri dari alpha-pinene, sabinene,
terpinolene, ocimene, gamma-terpinene,
fenchene, alpha- dan beta-thujone, citronellol,
dan senyawa lainnya (Nair 2001; Inoe et al.,
2002)
Dandelion (T. Daun, bunga Quercetin, luteolin, luteolin-7-O-glucoside, p-
officinale) dan akar hydroxyphenylacetic acid, germacranolide
acids, clhorogenic acid, chicoric acid.
Monocaffeyltartaric acid, scopoletin,
aesculetin, aesculin, cichoriin, amidiol,
faradiol, caffeic acid, taraxacoside,
taraxasterol, inulin, dan kandungan kalium
yang tinggi (Williams et al., 1996; Hu dan
Kitts, 2003, 2004; Seo et al., 2005; Trojanova et
al., 2004)
Mullein (V. Daun, bunga Mullein mengandung harpagoside, harpagide,
densiflorum) dan akar aucubin, hesperidin, verbascoside, saponin, dan
minyak atsiri (Turker dan Camper, 2002)
Chamomile Bunga Quercetin, apigenin, coumarin, minyak esensial
(M. recutita) matricin, chamazulene, alpha bisaboloid dan
bisaboloid oxides (Szoke et al., 2004)
Jelatang Ground parts Polisakarida, vitamin C, karoten, beta sitosterol,
(Urtica dioica dan akar flavonoid quercetin, rutin dan kaempferol
L.) (Newall et al., 1996; Schottner et al., 1997;
Konrad et al., 2000)
Passion flower Ground parts Flavonoid apigenin, luteolin, quercetin,
(P. incarnata) kaempferol dan vitexin. Alkaloid harman (atau
harmala) yang diidentifikasi pada passion
flower termasuk harmine, harmaline, harmalol,
harman dan harmin (Heinrich, 2003)
Aloe (A. vera) Gel dan Emodin anthrone, dithranol, chrysarobin,
lateks carboxypeptidase, magnesium lactate, C-
glucosyl chromone, salicylate dan allantoin;
lateks aloe termasuk keluarga anthraquinone
dan mengandung suatu nucleus antrasena
trisiklik (Ni et al., 2004)
Sumber: Fragoso et al., 2008

5
B. TOKSISITAS TANAMAN
Toksisitas merupakan efek merugikan yang bisa dihasilkan oleh suatu
bahan kimia. Toksisitas berhubungan erat dengan dosis. Dosis merupakan jumlah
suatu bahan kimia yang memperoleh akses terhadap tubuh. Seorang dokter
sekaligus ahli kimia pada abad ke-16, Philipus Aureolus Theophrastus Bombastus
von Hohenheim-Paracelsus, menyebutkan bahwa “Semua zat adalah racun; tidak
ada yang bukan racun. Dosis yang tepatlah yang membedakan antara racun dan
obat” (Peterson dan Talcott, 2006).
Paparan toksin dalam tubuh dewasa ini berasal dari pangan, bahan
tambahan pangan, pelarut, pestisida, herbisida dan bentuk polusi lingkungan
lainnya yang bisa menyebabkan gangguan signifikan pada sistem tubuh. Toksin
atau racun adalah suatu zat atau senyawa yang dapat masuk ke dalam tubuh
dengan berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologis sehingga
dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Beberapa
tanaman pangan diketahui mengandung racun (Peterson dan Talcott, 2006).
Beberapa kelompok racun yang ditemukan pada tanaman yang biasa kita
konsumsi, sebagiannya larut lemak dan dapat bersifat bioakumulatif. Ini berarti
bila tanaman tersebut dikonsumsi, maka racun tersebut akan tersimpan pada
jaringan tubuh, misalnya solanin pada kentang. Kadar racun pada tanaman bisa
sangat bervariasi. Hal itu dipengaruhi antara lain oleh keadaan lingkungan tempat
tanaman itu tumbuh (kekeringan, suhu, kadar mineral, dan lain-lain) serta
penyakit. Varietas yang berbeda dari spesies tanaman yang sama juga
mempengaruhi kadar racun dan nutrisi yang dikandungnya. Etnofarmakologi
beberapa herbal, yang mencakup khasiat dan efek samping serta interaksi antara
herbal dan obat, disebutkan dalam Tabel 2.
Tanaman pangan yang sekaligus berfungsi sebagai obat tradisional banyak
juga dikonsumsi oleh wanita hamil, namun sayangnya informasi mengenai
keamanannya selama mengandung dan menyusui jarang ditemukan. Beberapa
herbal diduga dapat mengakibatkan keguguran, seperti jelatang, passionflower,
dan aloe. Berdasarkan laporan kasus dan studio epidemiologi diperkirakan
tanaman yang kaya akan alkaloid pirrolizidin tidak jenuh berhubungan dengan
efek embriotoksik dan fetotoksik (Fragoso et al., 2008).

6
Tabel 2. Etnofarmakologi dari beberapa jenis herbal
Produk Percobaan Efek samping Interaksi dengan
herbal klinis obat
Peppermint Colonic spasm Rasa seperti terbakar, Sitokrom P450
(M. piperita) yang terkait mual, muntah, reaksi (Maniacal dan
dengan enema alergi, toksisitas pada Wanwimolruk, 2001)
barium; hati dan perubahan
dyspepsia; kadar testosterone,
irritable bowel LH dan FSH
syndrome (Maniacal dan
(Melzer et al., Wanwimolruk, 2001;
2004) Akdogan et al., 2004;
Unger dan Frank,
2004)
Chaparral Tidak ada Toksisitas pada hati Tidak ada laporan
(L. laporan (Kauma et al., 2004)
divaricata)
Dandelion Infeksi saluran Reaksi alergi, Ciprofloxacine
(T. officinale) kencing palpitasi, syncope Sitokrom P450, UDP-
Efek anti- dan erythema glucoronosyltransfera
inflamasi (Cho et multiforme (Agarwal se (Zhu et al., 1999;
al., 2002; et al., 2006; Gagnier Maniacal dan
Shapiro dan et al., 2006) Wanwimolruk, 2001)
Gong, 2002; Hu
dan Kitts, 2003)
Mullein (V. Otitis media (De Tidak ada laporan Tidak ada laporan
densiflorum) Smet, 2002)
Jelatang (U. Osteoarthritis Uterine-stimulant Tidak ada laporan
dioica L.) BPH effects, bisa memicu
Allergic rhinitis keguguran (Heinrich,
(hayfever) 2003; Gagnier et al.,
(Mittman, 1990; 2006); menghasilkan
Lopatkin et al., efek toksik pada
2005) sistem pencernaan,
sistem saraf pusat
atau tepi (trembling,
ataksia, kelemahan,
atau depresi), sistem
kardiovaskular,
sistem pernapasan
(dyspnea atau
cyanosis) (Peterson
dan Talcott, 2006)
Sumber: Fragoso et al., 2008

7
C. JELATANG (Urtica dioica L.)
Jelatang (Urtica dioica L.) memiliki beberapa nama lain, di antaranya
stinging nettle, ortiga, bichu, common nettle, nettle, ortie, small nettle, urtica dan
urticae herba et folium. Beragamnya sebutan untuk Urtica dioica L. karena
tanaman tersebut tersebar di Eropa, Asia, Afrika Utara dan Amerika Utara
sehingga daerah dengan perbedaan bahasa menggunakan istilah yang berbeda
untuk menyebut tanaman yang termasuk genus Urtica tersebut. Yang paling
populer di antara nama-nama tersebut adalah stinging nettle dan nettle. Di
Indonesia tanaman ini juga tumbuh namun penggunaannya, baik sebagai pangan
maupun obat masih kurang populer.
Klasifikasi Urtica dioica L. adalah sebagai berikut
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Hamamelididae
Ordo : Urticales
Famili : Urticaceae
Genus : Urtica L.
Spesies : Urtica dioica L.
(European Medicines Agency, 2007)

Jelatang merupakan tanaman perennial (tahunan) yang berkembangbiak


dengan rhizoma sehingga membentuk rumpun. Tinggi batangnya sekitar 1-2 m.
Daun, batang dan bunga jelatang ditutupi oleh bulu-bulu yang berbau menyengat.
Batangnya bisa bercabang atau tidak, tumbuh tegak atau menjalar di tanah.
Lembar daun berbentuk elips dengan dimensi 6-20 x 2-13 cm. Tepian daun
bergerigi dan ujungnya lancip (Gambar 1).
Selain dengan cara vegetatif (menggunakan rhizoma), jelatang (Urtica
dioica L.) juga dapat berkembangbiak dengan cara generatif, yaitu dengan
produksi biji. Jelatang memproduksi banyak biji dalam setiap proses

8
reproduksinya. Jelatang yang ditanam di area yang teduh menghasilkan sekitar
500 hingga 5000 biji sementara tanaman yang tumbuh di area yang disinari
cahaya matahari dengan baik menghasilkan 10.000 hingga 20.000 biji. Biji-biji
tersebut tidak bersifat dorman dan bisa bergerminasi 5-10 hari setelah mencapai
kematangan.

Gambar 1. Jelatang (Urtica dioica L.)


Sumber : American Herbal Pharmacopoeia, 2009

Pucuk stinging nettle digunakan sebagai sayuran di banyak daerah.


Sebagian orang membuang air rebusan pertamanya untuk menghilangkan bau
yang menyengat, sementara yang lainnya tidak. Selain sebagai sayuran, herbal ini
digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai jenis penyakit.
Penyakit-penyakit yang dimaksud antara lain penyakit kelamin dan saluran
kencing yang ringan (nocturia, dysuria, penghambatan saluran ginjal, iritasi
kantung kemih, dan infeksi), gangguan ginjal, alergi, diabetes, pendarahan
internal (mencakup pendarahan uterine, epistaxis, dan melena), anemia, penyakit
saluran pencernaan yang ringan (diare, disentri, dan keasaman lambung yang
meningkat), sakit muskoluskeletal, osteoarthritis, dan alopecia (Fragoso et al.,
2008).
Menurut beberapa peneliti, penggunaan biji dan daun Urtica dioica L.
dengan atau tanpa tanaman lainnya dapat menyembuhkan beberapa penyakit
seperti diabetes, eczema, hemorrhoid, inflamasi hati, anemia, rematik, dan kanker
prostat (Aksu dan Kaya, 2004). Akar jelatang juga diketahui dapat mengobati
penyakit BPH (benign prostat hyperplasia) karena memiliki efek anti-proliferatif
pada sel-sel epithelial dan stromal dari prostat (Durak et al., 2004).

9
Jelatang mengandung senyawa-senyawa berikut: polisakarida, vitamin C,
karoten serta flavonoid quercetin, rutin, kaempferol dan beta-sitosterol (Fragoso et
al., 2008). Daun jelatang mengandung 14,4 mg/100 g α-tokoferol; 0,23 mg/100 g
riboflavin; 13 mg/100 g besi; 0,95 mg/100 g seng; 873 mg/100 g kalsium; 75
mg/100 g fosfor; dan 532 mg/100 g kalium (Aksu dan Kaya, 2004).
Beberapa ahli medis menggunakan ekstrak daun jelatang yang
dikombinasikan dengan obat anti-radang nonsteroidal atau analgesik lainnya.
Suatu penelitian pendahuluan menunjukkan penambahan daun jelatang dapat
mengurangi rasa sakit pada pasien yang menderita osteoarthritis pada jempolnya
(Fragoso et al., 2008). Karena efek hipotensifnya, ekstrak jelatang sering
dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk hipertensi. Suatu penelitian pada
tikus menunjukkan bahwa jelatang memiliki efek antihiperglikemik, bradikardial,
hipotensif, diuretik, dan antiagregant (El Haouari et al., 2007).
Ada beberapa data yang menunjukkan jelatang mampu menurunkan kadar
gula darah. Suatu hasil studi yang dipaparkan dalam El Haouari et al. (2007)
mendemonstrasikan bahwa ketika diberikan ekstrak air dari jelatang (AEN =
aqueous extract of nettle) sebesar 250 mg/kg berat badan 30 menit sebelum
konsumsi glukosa, terjadi efek penurunan kadar gula darah (33±3,4% lebih kecil
dari kontrol pada pengukuran 1 jam setelah konsumsi glukosa).
Ekstrak air dari jelatang (AEN =aqueous extract of nettle) juga kerap
diasosiasikan dengan munculnya efek stimulan rahim dan potensi keguguran.
Akar jelatang bisa menyebabkan keluhan saluran pencernaan, berkeringat dan
reaksi alergi pada kulit. Gangguan pencernaan yang dimaksud dapat berupa mual,
muntah dan diare. Jus jelatang terkadang bisa menyebabkan diare. Daun jelatang
segar dapat mengakibatkan ruam, gatal-gatal, rasa menyengat dan edema lidah
(Fragoso et al., 2008). Di samping itu, jelatang juga diketahui dapat menghasilkan
efek toksik pada sistem saraf pusat dan tepi, sistem kardiovaskular, dan sistem
pernapasan (dyspnea atau cyanosis) (Peterson dan Talcott, 2006). Tanda-tanda
klinis dan prognosisnya dapat berupa salivasi, muntah-muntah, arrhythmias,
trembling, ataksia, kelemahan, depresi, dyspnea, cyanosis, dan kolaps. Menurut
Peterson dan Talcott (2006) komponen toksin pada tanaman jelatang adalah asetil
kolin dan histamin (yang terkonsentrasi pada rambut tanaman tersebut).

10
D. HATI
Struktur dasar dari hati terdiri dari sejumlah barisan sel-sel hepatik (sel
hepatosit atau parenkim) yang diperforasi oleh kapiler darah terspesialisasi yang
disebut sinusoid. Dinding sinusoid tersusun atas sel-sel fagositik yang dinamai sel
Kupffer. Sel Kupffer berperan menelan dan menghancurkan benda-benda seperti
partikel padat, bakteri, sel darah merah yang telah mati, dan sebagainya (Hodgson
dan Levi, 2004).
Menurut Hodgson dan Levi (2004), hati, yang merupakan organ terbesar
dalam tubuh, memiliki tiga fungsi utama, yaitu penyimpanan, metabolisme, dan
biosintesis. Glukosa dikonversi menjadi glikogen dan disimpan. Ketika
dibutuhkan untuk energi, glikogen dikonversi kembali menjadi glukosa. Lemak,
vitamin larut lemak, dan zat gizi lainnya juga disimpan di hati. Asam lemak
dimetabolisme dan dikonversi menjadi lipid, yang kemudian dikonjugasikan
dengan protein yang disintesis di hati, dan selanjutnya dibebaskan ke aliran darah
sebagai lipoprotein. Hati juga mensintesis sejumlah protein fungsional seperti
enzim dan faktor koagulasi darah. Di samping itu, hati merupakan tempat utama
metabolisme xenobiotik karena mengandung banyak enzim yang diperlukan untuk
proses tersebut.
Hati seringkali menjadi target penyakit-penyakit yang dipicu oleh bahan
kimia. Ada dua faktor penting yang menjadi alasannya, yaitu
1. Pertama, sebagian besar xenobiotik memasuki tubuh melalui saluran
pencernaan dan setelah absorpsi diangkut oleh vena portal hepatik (hepatic
portal vein) menuju hati sehingga hati menjadi organ pertama yang meyerap
bahan kimia yang diserap usus. Proses detoksifikasi melibatkan hubungan
antara dua organ penting, yaitu hati dan usus. Komponen pangan yang telah
diserap usus kemudian diangkut ke hati untuk mengalami proses lebih lanjut.
Untuk melakukan fungsi detoksifikasi, hati harus berada dalam kondisi baik.
Berfungsinya hati dengan baik menjadi penentu utama tingkat kesehatan
individu (Hodgson dan Levi, 2004)
2. Kedua, di hati banyak terdapat enzim-enzim untuk metabolisme xenobiotik.
Meskipun sebagian besar proses biotransformasi dimaksudkan sebagai reaksi

11
detoksikasi, juga dihasilkan sejumlah metabolit reaktif yang dapat merusak hati
(Hodgson dan Levi, 2004).
Menurut Lehninger (1991), hati merupakan tempat terjadinya biosintesis
sebagian protein plasma darah. Selain sintesis protein plasma, hati juga
mensintesis berbagai macam enzim diantaranya enzim aminotransferase yaitu
aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT). Hati
mempunyai kemampuan regenerasi yang mengagumkan. Kehilangan jaringan hati
akibat kerja zat-zat toksik atau pembedahan memicu suatu mekanisme dimana sel-
sel hati mulai membelah dan hal ini akan terus berlangsung hingga perbaikan
massa jaringan seperti semula tercapai.

E. HEPATOTOKSISITAS
Pembagian jenis kerusakan hati tergantung pada jenis agen toksik, tingkat
keseriusan intoksikasi, dan lamanya pajanan (akut atau kronis). Hepatotoksisitas,
dibagi menjadi 2:
a) Hepatotoksisitas intrinsik (tipe A, dapat diprediksi)
Hepatotoksisitas intrinsik merupakan hepatotoksisitas yang dapat
diprediksi, tergantung dosis dan melibatkan mayoritas individu yang
menggunakan obat dalam jumlah tertentu. Rentang waktu antara mulainya dan
timbulnya kerusakan hati sangat bervariasi (dari beberapa jam sampai beberapa
minggu). Salah satu contohnya adalah parasetamol (Asetaminofen)
menyebabkan nekrosis hati yang dapat diprediksi pada pemberian over dosis
(Sutari, 2008).
b) Hepatotoksisitas idiosinkratik (tipe B, tidak dapat diprediksi)
Hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan hepatotoksisitas yang tidak
dapat diprediksi. Hepatotoksisitas ini terkait dengan hipersensitivitas atau
kelainan metabolisme. Respon dari hepatotoksisitas ini tidak dapat diprediksi
dan tidak tergantung pada dosis pemberian. Masa inkubasi toksin ini bervariasi,
tetapi biasanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Contohnya sepeti
sulfonamid, isoniazid, halotan dan klorpromazin (Sutari, 2008).

12
Berikut ini beberapa jenis kerusakan hati menurut Hodgson dan Levi
(2004):
1. Hati berlemak (fatty liver/steatosis)
Hati berlemak menggambarkan akumulasi lipid yang abnormal dalam
hepatosit. Pada waktu yang sama terjadi penurunan lipid dan lipoprotein
plasma. Meskipun banyak toksikan yang dapat menyebabkan akumulasi lipid
dalam hati, mekanismenya mungkin berbeda. Daftar toksikan yang dapat
memicu hati berlemak tertera pada Tabel 3.
Pada dasarnya akumulasi lipid berhubungan dengan gangguan baik pada
proses sintesis maupun sekresi lipoprotein. Kelebihan lipid dapat terjadi karena
suplai asam lemak bebas yang berlebih dari jaringan adiposa, atau yang lebih
umum karena hambatan pelepasan trigliserida dari hati ke dalam plasma.
Trigliserida disekresikan dari hati sebagai lipoprotein (very low density
lipoprotein = VLDL). Deskripsi mekanisme umum timbulnya hati berlemak
terdapat pada Gambar 2. Ada sejumlah titik pada proses ini yang dapat memicu
akumulasi lipid dalam hati, yaitu
a) Gangguan selama pembentukan sejumlah protein
b) Konjugasi trigliserida dengan lipoprotein yang terganggu
c) Gangguan selama transfer VLDL menembus membran sel
d) Penurunan sintesis fosfolipid
e) Oksidasi lipid oleh mitokondria yang terhambat
f) Ketidakcukupan energi (adenosine triphosphate = ATP) untuk sintesis lipid
dan protein
Akumulasi lipid dalam hati berkaitan dengan perubahan biokimia darah.
Oleh karena itu, analisis biokimia darah menjadi alat diagnostik yang
bermanfaat.

13
HATI DARAH JARINGAN
ADIPOSA
Terikat dengan
Lipid albumin
Trigliserida Asam lemak Depot lemak
dari
makanan CO2
Asam amino
Trigliserida
Karbohidrat
Globulin

Daur ulang
Lipoprotein
apoprotein

Gambar 2. Siklus trigliserida dalam patogenesis hati berlemak. Simbol “=”


menandakan hambatan metabolik
Sumber: Hodgson dan Levi, 2004

Tabel 3. Contoh-contoh agen hepatotoksik dan kerusakan hati yang terkait


Jenis
kerusakan Contoh-contoh agen hepatotoksik
hati
Nekrosis dan Karbon Dimetilnitrosamin Fosforus
hati tetraklorida Sikloheksamida Berilium
berlemak Kloroform Tetrasiklin Allil alkohol
Trikloroetilen Asetaminofen Galaktosamin
Tetrakloroetilen Mitomisin Azaserin
Bromobenzana Puromisin Aflatoksin
Etionin Asam tannat Pirrolizidin
Thioasetamida alkaloid
Kolestasis Klorpromazin Imipramin Karbarson
(yang dipicu Promazin Diazepam Klorthiazid
oleh obat) Thioridazin Methandrolon Methimazol
Mepazin Mestranol Sulfanilamid
Amitriptlin Estradiol Phenindion
Karsinogen Aflatoksin B1 Dimetil Vinil klorida
(pada hewan Pirrolizidin benzantrasen Asetilamino-
percobaan) alkaloid Dialkil nitrosamin fluoren
Sikasin Bifenil Urethan
Safrol terpoliklorinasi
Sumber: Hodgson dan Levi (2004)

14
2. Nekrosis (necrosis)
Nekrosis sel merupakan proses degeneratif yang mengarah pada
kematian sel. Nekrosis, biasanya merupakan kerusakan akut, mungkin saja
terlokalisasi dan hanya mempengaruhi beberapa hepatosit (nekrosis fokal) atau
melibatkan seluruh lobus (nekrosis masif). Kematian sel terjadi dengan
pecahnya membran plasma, dan kondisi ini didahului oleh sejumlah perubahan
morfologis seperti edema sitoplasmik, pembesaran retikulum endoplasma,
disagregasi polisom, akumulasi trigliserida, serta pembengkakan mitokondria
dengan rusaknya krista, organel dan nukleus. Perubahan biokimia yang dapat
memicu kondisi ini antara lain pengikatan metabolit reaktif pada protein dan
lemak tidak jenuh (yang memicu peroksidasi lipid dan penghancuran membran
subsekuen), gangguan homeostasis Ca2+ selular, gangguan pada jalur biokimia,
pergeseran keseimbangan Na+ dan K+, serta penghambatan sintesis protein.
Perubahan kimia darah mirip dengan yang terlihat pada kasus hati berlemak,
kecuali secara kuantitatif lebih besar. Karena kemampuan regenerasi hati,
nekrosis tidak begitu kritikal. Meskipun begitu, nekrosis pada area yang besar
bisa menyebabkan kerusakan dan gagal hati yang serius. Contoh-contoh
toksikan yang dapat memicu timbulnya nekrosis hati dimuat pada Tabel 3.

3. Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel terkontrol yang bertindak sebagai
regulasi bagi proses biologis dan bisa dianggap sebagai tindakan kounter
terhadap pembelahan sel akibat mitosis. Mekanisme selektif ini aktif terutama
selama perkembangan dan pematangan. Walaupun apoptosis merupakan proses
fisiologis normal, kondisi ini juga bisa dipicu oleh sejumlah faktor eksogen
seperti senyawa xenobiotik, stres oksidatif, anoksia, dan radiasi (suatu stimulus
yang memicu apoptosis disebut apogen). Jika apoptosis suatu sel dihambat,
maka dapat terjadi akumulasi sel tersebut. Sebagai contoh, ekspansi klonal dari
sel-sel malignan dan pertumbuhan tumor subsekuen terjadi akibat
penghambatan apoptosis.

15
4. Kolestasis (cholestasis)
Kolestasis merupakan pengambatan atau penghentian aliran cairan
empedu, dan penyebabnya bisa intrahepatik atau ekstrahepatik. Inflamasi atau
adanya pemampatan pada saluran empedu menyebabkan retensi garam empedu
dan akumulasi bilirubin, yang akhirnya dapat memicu jaundice. Mekanisme
lainnya yang menyebabkan kolestasis mencakup perubahan permeabilitas
membran, baik hepatosit maupun kanalikuli biliari (biliary canaliculi).
Kolestasis umumnya dipicu oleh obat. Perubahan kimia darah merupakan alat
diagnostik yang tepat untuk kolestasis. Agen-agen penyebab kolestasis
disebutkan dalam Tabel 3.

5. Sirosis (cirrhosis)
Menurut Hodgson dan Levi (2004), sirosis merupakan penyakit progresif
yang dikarakterisasi oleh deposisi kolagen di seluruh hati. Pada sebagian besar
kasus, sirosis terjadi karena kerusakan kronis. Akumulasi material fibrous
menyebabkan penghambatan yang serius terhadap aliran darah, proses
detoksifikasi, dan proses metabolik hati lainnya. Situasi ini dapat mengarah
pada kerusakan lanjut yang akhirnya berakhir pada gagal hati.
Deskripsi patologis dari sirosis menurut Sutari (2008) antara lain;
1) Nekrosis hati utama yang benar-benar ada atau disimpulkan yang cukup
untuk merusak seluruh lobulus pada sekurang-kurangnya dua pertiga hati.
2) Pembentukan jaringan parut besar permanen dengan pembentukan tali-tali
fibrosa penuh yang melingkari jaringan hati.
3) Pembentukan hati baru melalui proses regenerasi

6. Karsinogenesis
Jenis tumor hati yang paling umum adalah karsinoma hepatoselular;
jenis-jenis lainnya mencakup kholangiokarsinoma, angiosarkoma, karsinoma
glandular, dan karsinoma sel hati yang tidak terdeferensiasi. Senyawa-senyawa
yang dapat memicu karsinogenesis dimuat pada Tabel 3.

16
F. UJI TOKSISITAS SUBKRONIS
Uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu uji toksikologi
umum dan toksikologi spesifik. Uji toksikologi umum meliputi uji toksisitas akut,
toksisitas subkronis, serta toksisitas kronis. Penggolongan uji toksikologi umum
ini berdasarkan lama masa pajanan toksikan terhadap hewan uji. Sementara uji
toksikologi spesifik meliputi uji potensi, teratogenik, reproduksi, mutagenik, dan
uji perilaku (Lu, 1995).
Toksisitas akut dilakukan dengan memberikan substansi uji sebanyak satu
kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam. Toksisitas subkronis atau
jangka pendek dilakukan dengan memberikan bahan yang diuji berulang-ulang,
biasanya 7 hari seminggu atau 5 kali seminggu selama jangka waktu lebih kurang
10% masa hidup hewan (untuk tikus 3 bulan). Meskipun begitu, ada peneliti yang
memilih waktu yang lebih singkat, yaitu 28 hari. Sedangkan pada uji toksisitas
kronis atau jangka panjang, pemberian bahan uji dilakukan selama masa hidup
hewan atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidup hewan yang
bersangkutan, yakni 24 bulan untuk tikus, 18 bulan untuk mencit, dan 7-10 tahun
untuk anjing (Lu, 1995).
Uji toksisitas subkronis umumnya ditujukan untuk mengungkap spektrum
efek toksik suatu substansi dengan jenis organ yang terkena, maupun kekerabatan
antara dosis dan spektrum efek toksik (Donatus, 1998).

G. TIKUS Sprague Dawley


Penelitian toksikologi suatu sampel memerlukan serangkaian percobaan in
vivo melibatkan hewan uji dengan harapan mendapatkan estimasi keamanan atau
tingkat toksisitas suatu sampel pada manusia. Tikus putih telah lama digunakan
untuk penelitian karena hewan ini telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna,
mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian (Malole et al.,
1989).
Taksonomi tikus putih menurut Robinson (1979) adalah
Kingdom : Animalia
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia

17
Subordo : Myomorpha
Superfamili : Muroidea
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus sp.

Secara garis besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik
antara tikus dan manusia memiliki banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan
manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi plasenta tikus; tingkat
pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada
senyawa neurotoksik dan teratogen. Tikus dapat membuat vitamin C sendiri
sedangkan sumber vitamin C manusia hanya melalui makanan. Berbeda dengan
manusia, tikus tidak mempunyai kantung empedu. Nilai fisiologis tikus
disebutkan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Nilai fisiologis tikus


Kriteria Nilai
Berat badan dewasa jantan 450-520 g
Berat badan dewasa betina 250-300 g
Berat lahir 5-6 g
Suhu tubuh 35,9-37,5°C
Harapan hidup 2,5-3,5 tahun
Konsumsi makanan 10 g/100 g/hari
Konsumsi air minum 10-12 ml/100 g/hari
Detak jantung 250-450/menit
Volume darah 54-70 ml/kg
Tekanan darah 84-134/60 mmHg
Protein serum 5,6-7,6 g/dl
Albumin 3,8-4,8 g/dl
Globulin 1,8-3,0 g/dl
Glukosa serum 50-135 mg/dl
Nitrogen urea darah 15-21 mg/dl
Kreatinin 0,2-0,8 mg/dl
Total bilirubin 0,20-0,55 mg/dl
Lemak serum 70-415 mg/dl
Fosfolipid 36-130 mg/dl
Trigliserida 26-145 mg/dl
Kolesterol 40-130 mg/dl
Sumber: Malole et al., 1989

18
Terdapat lima galur tikus putih, yaitu galur Sprague Dawley, Wistar,
Sherman, Osborne-Mendel dan Long-Evans. Untuk studi kesehatan dan penyakit
pada manusia, tikus Sprague Dawley merupakan model yang sangat bagus untuk
toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku. Galur Sprague Dawley
yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai ciri berwarna putih albino,
berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya (Malole et al., 1989).
Berikut ini beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague
Dawley
1. Rumus gigi tikus Sprague Dawley adalah 2 (I 1/1, M 3/3) = 16. Gigi seri
tumbuh terus menerus. Tikus akan menggigit atau menjepit dengan gigi
serinya yang tajam jika salah penanganan.
2. Esofagus masuk ke lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan
jaringan pada lambung. Karena struktur anatomis tersebut, tikus tidak mampu
muntah.
3. Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung empedu.
4. Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas
empat lobus.
5. Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae
tersebar, dari garis tengah ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher.
6. Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan vagina atau vulva.
7. Kelenjar membran niktitasi (kelenjar Harderian) merupakan kelenjar lakrimal
terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik.
Hasil sekresi dari kelenjar ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun
banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada tikus kelenjar ini
memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata
mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata
mengering, pigmen tersebut memberikan warna seperti darah kering. Pigmen
tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar ultraviolet dan
mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali.
8. Respon tikus terhadap penurunan suhu ruang/kandang berupa termogenesis
tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat, terjadi vaskularisasi
pada ekornya yang panjang, yang juga berperan sebagai organ

19
termoregulator. Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan
lemak yang coklat, konsentrasi yang paling tinggi ditemukan pada jaringan
subkutan di antara skapula.

20
III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT


1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Alat untuk pemeliharaan tikus, yaitu kandang plastik; botol minum; wadah
pakan; dan timbangan;
b. Alat untuk pembuatan ekstrak daun jelatang, yaitu blender kering; blender
basah; kain kasa; botol; gelas piala; dan tabung reaksi;
c. Alat untuk pemberian ekstrak daun jelatang pada tikus, yaitu alat sonde
(syringe yang dilengkapi dengan jarum berujung bundar);
d. Alat untuk anastesi tikus serta pengambilan darah dan organ, yaitu syringe,
tabung sentrifuse, gunting, pinset, dan timbangan elektronik;
e. Alat untuk pemisahan serum dari darah analisis kimia serum, yaitu
sentrifuse, tabung sentrifuse, tabung eppendorf, tabung reaksi; penangas
air, pipet mikro, pipet mohr, gelas piala, batang pengaduk, kuvet 1 cm, dan
spektrofotomoter.

2. Bahan
Bahan yang digunakan juga dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu
a. Bahan untuk pemeliharaan tikus, yaitu air minum dalam kemasan dan
ransum yang mengikuti standar American Institute of Nutrition (AIN)
1976. Komposisi ransum standar AIN 1976 tertera pada Tabel 5
sedangkan komposisi campuran vitaminnya pada Tabel 6 dan komposisi
campuran mineralnya pada Tabel 7.

Tabel 5. Komposisi ransum standar AIN 1976


Bahan Penyusun Jumlah (%)
Protein (kasein) 20
Lemak (minyak jagung) 5
Selulosa (Carboxymethylcellulose = CMC) 5
Campuran vitamin 1
Campuran mineral 3,5
Karbohidrat (maizena) 55,5
Air 10
Tabel 6. Komposisi campuran vitamin
Vitamin Jumlah Unit
Vitamin A 1000 IU
Vitamin B1 1,4 mg
Vitamin B2 1,6 mg
Vitamin B6 2 mg
Vitamin B12 3 mg
Vitamin C 60 mg
Vitamin D3 100 IU
Vitamin E 5 mg
Nikotinamida 9 mg
Kalsium pantetonat 5 mg
Sumber: Puspawati (2009)

Tabel 7. Komposisi campuran mineral


Jumlah (g/kg
Nama senyawa
campuran)
NaCl (39,3% Na, 60,7% Cl) 139,300
KI (40,7% K, 59,3% I) 0,790
KH2PO4 (22,8% P, 28,7% K ) 389,000
MgSO4. 7H2O 57,300
CaCO3 (40% Ca) 381,400
FeSO4. 7H2O (20,1% Fe) 27,000
MnSO4. 7H2O 4,010
ZnSO4. 7H2O 0,548
CuSO4. 5H2O 0,477
CoCl2. 6H2O 0,023
Sumber: Puspawati (2009)

b. Bahan untuk pembuatan ekstrak daun jelatang, yaitu akuades dan daun
jelatang kering yang disuplai oleh Fytagoras BV Plant Science, Belanda;
c. Bahan untuk euthanasia tikus, yaitu eter;
d. Bahan untuk analisis kimia, yaitu serum/darah tikus dan bahan-bahan lain
yang diperlukan untuk tiap jenis pengujian. Bahan-bahan lain yang
dimaksud mencakup kit uji bilirubin (total dan langsung), albumin,
alkaline phosphatase (ALP), alanine amonitransferase (ALT), aspartat
aminotransferase (AST), dan trigliserida. Semua kit tersebut diproduksi
oleh Advance Medical Supply (AMS) U.K Ltd., Sussex, Inggris.

22
B. METODE PENELITIAN
1. Pembuatan ekstrak daun jelatang
Daun jelatang kering dihaluskan dengan blender kering untuk
memperoleh bubuk daun jelatang. Untuk pembuatan ekstrak dengan dosis 0,1
g/kg BB, tiap 1 g bubuk daun ditambahkan 50 ml akuades kemudian
diblender. Sementara untuk dosis 1 g/kg BB, tiap 1 g bubuk daun
ditambahkan 5 ml akuades dan diblender. Selanjutnya, campuran tersebut
disaring dengan kain kasa untuk mendapatkan ekstrak daun jelatang.

2. Pemeliharaan tikus
Tiap kelompok perlakuan terdiri dari 10 ekor tikus Sprague Dawley
yang berumur ±2 bulan. Kelompok 1, yang terdiri dari 8 ekor jantan dan 2
ekor betina, merupakan kontrol negatif; kelompok kedua, yang terdiri dari
enam ekor jantan dan 4 ekor betina, diberikan ekstrak daun jelatang sebanyak
0,1 g/kg bb; sedangkan kelompok 3, yang terdiri dari 7 ekor jantan dan 3 ekor
betina, diberikan ekstrak daun jelatang sebanyak 1 g/kg bb. Pemberian
ekstrak daun jelatang diberikan melalui penyondean. Tikus kelompok kontrol
juga disonde, namun dengan air minum dalam kemasan (AMDK) sehingga
juga mengalami stress yang serupa dengan tikus yang disonde ekstrak daun
jelatang. Ransum yang digunakan sesuai dengan standar AIN 1976 dan
diberikan secara ad libitum. Air juga diberikan dengan cara yang sama.
Tikus diadaptasi selama 3 hari. Setelah masa adaptasi selesai, tiap
harinya tikus dicekok sesuai perlakuan dan dosis masing-masing. Perlakuan
tersebut berlangsung hingga 90 hari Pengamatan kondisi tikus mencakup
observasi tanda-tanda klinis dan observasi tingkah laku. Berikut ini
dicantumkan pemeriksaan fisik dalam uji ketoksikan, terutama untuk melihat
potensi ketoksikan akut, pada roden (Tabel 8).

23
Tabel 8. Pemeriksaan fisik pada uji ketoksikan terhadap roden
Sistem organ Pengamatan dan Tanda-tanda umum ketoksikan
Pemeriksaan
Perubahan sikap terhadap
Perilaku pengamat, vokalisasi luar biasa,
Sistem saraf gelisah
pusat dan Kedutan, tremor, ataksia,
Gerakan
somatomotor konvulsi, paralisis
Kereaktifan terhadap Keberangasan, kepasifan
ransangan
Sistem saraf Sekresi Salivasi, lakrimasi
otonom
Pernafasan Sifat dan laju napas Dyspnea
Pencernaan Feses Warna, bentuk, konsistensi
Mata Bola mata Warna dan kejernihan
Mulut dan Pendarahan dan Pendarahan dan pembengkakan
hidung pembengkakan
Sumber: Donatus (1998)

3. Pengambilan darah dan organ


Tikus dimasukkan dalam wadah kaca bertutup yang sebelumnya telah
diisi dengan kapas dan eter. Saat tikus terlihat tidak mampu lagi bergerak dan
matanya mulai tertutup, tikus diangkat dan diletakkan di alas bedah. Kulit
perut digunting (mengikuti pola seperti huruf V) hingga mendekati rongga
dada. Usus dan hati dipindahkan posisinya (tanpa pengangkatan) agar lebih
mudah menemukan pembuluh vena cava posterior. Setelah ditemukan,
syringe langsung ditusukkan ke pembuluh darah tersebut hingga diperoleh 5-
10 ml darah. Hati dan ginjal, serta organ lainnya yang dianggap abnormal
diambil untuk ditimbang.
Darah dialirkan ke dalam tabung sentrifuge melalui dinding tabung,
didiamkan selama ±30 menit, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit dan diambil supernatannya (serum).

4. Analisis kimia darah


Analisis kimia darah yang dilakukan mencakup uji bilirubin (total dan
langsung), albumin, alkalin phosphatase (ALP), alanin amonitransferase
(ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan trigliserida. Semua analisis
tersebut dilakukan dengan menggunakan standar, reagen, dan atau buffer

24
yang tersedia dalam kit yang diproduksi oleh Advance Medical Supply
(AMS) U.K Ltd.

a) Uji Albumin
Prinsip reaksi
Albumin berikatan dengan indikator hijau bromcresol dalam
medium asam membentuk kompleks brom cresol green (BCG). Jumlah
komplek BCG hijau yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi
albumin dalam sampel. Rujukan tabel

Konsentrasi reagen
Bromcresol hijau 0,24 mmol/l
Konsentrat BCG
Buffer suksinat 75 mmol/l
Standar 45 g/l (4,5 g/dl)

Prosedur kerja
Untuk pembuatan blanko, 10 µl akuabides dan 3 ml reagen dipipet
ke dalam tabung reaksi. Sedangkan untuk standar/sampel 10 µl
standar/sampel dan 3 ml reagen dipipet ke dalam tabung reaksi. Tabung
dikocok dan dibiarkan 5 menit pada suhu 20-25°C. Absorbansi diukur
pada panjang gelombang 630 nm.

Perhitungan
 

Konsentrasi albumin      

b) Uji Alkaline phosphatase (ALP)


Prinsip reaksi
Alkaline phosphatase (ALP) bereaksi dengan p-nitrofenil fosfat
membentuk p-nitrofenol. Laju pembentukan p-nitrofenol berbanding lurus
dengan kadar ALP.

25
Konsentrasi reagen
Buffer Buffer AMP (pH 10,7) 1 mol/l
Substrat p-nitrofenil fosfat > 10 mmol/l
Magnesium asetat 2,2 mmol/l
Mg2+
Sodium azida

Prosedur kerja
Pada tahap persiapan reagen, 1 vial substrat direkonstitusi dengan
penambahan 20 ml buffer. Kemudian ditambahkan 200 µl Mg++ ke dalam
botol yang berisi 20 ml substrat yang telah direkonstitusi.
Sebanyak 20 µl sampel dan 1000 µl reagen kerja dipipet ke dalam
tabung reaksi. Tabung dikocok kemudian diukur absorbansinya.
Absorbansi awal pada 405 nm segera dibaca, kemudian pembacaan
diulangi lagi setelah tepat 1, 2, dan 3 menit. Selanjutnya dihitung
perubahan absorbansi rata-rata per menit.

Perhitungan
Konsentrasi ALP (U/I)  ∆   !2742%

c) Uji Alanine Aminotransferase (ALT)


Prinsip reaksi
ALT
α-oksoglutarat + L-alanin L-glutamat + piruvat

Konsentrasi reagen
Buffer fosfat 100 mmol/l
Buffer L-alanin 200 mmol/l
α-oksoglutarat 2,0 mmol/l
Reagen warna 2,4 dinitrofenil hidrazin 2,0 mmol/l
Standar piruvat Piruvat 2,0 mmol/l
NaOH 4,0 mol/l

Prosedur kerja
Tahap persiapan reagen dilakukan dengan pengenceran 100 ml
NaOH dengan air destilat hingga volume campuran menjadi 1000 ml.

26
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan blanko reagen dan
blanko sampel. Untuk pengukuran dengan blanko reagen perlu
dipersiapkan blanko reagen dan sampel. Pada tabung blanko ditambahkan
larutan buffer 500 µl dan air destilat 100 µl; untuk tabung uji ditambahkan
sampel 100 µl dan larutan buffer 500 µl. Tabung tersebut dikocok dan
diinkubasikan pada suhu 37°C dalam penangas air selama 30 menit.
Kemudian ditambahkan 500 µl larutan reagen warna ke dalam masing-
masing tabung. Tabung dikocok lagi kemudian didiamkan pada suhu ruang
(20-25°C) selama 20 menit. Selanjutnya 5 ml NaOH (yang telah
diencerkan) dipipet ke masing-masing tabung, dikocok lagi, kemudian
dibiarkan selama 5 menit. Absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm
dibaca dengan menggunakan blanko reagen.
Sedangkan untuk pengukuran menggunakan blanko sampel, ke
dalam tabung reaksi untuk blanko sampel ditambahkan larutan buffer
sebanyak 100 µl dan ke dalam tabung sampel ditambahkan 100 µl sampel
dan 500 µl larutan buffer. Semua tabung diinkubasikan dalam penangas air
bersuhu 37°C selama 30 menit. Kemudian ditambahkan larutan warna
sebanyak 500 µl ke dalam masing-masing tabung. Ke dalam tabung blanko
sampel, ditambahkan 100 µl sampel. Semua tabung dikocok kemudian
didiamkan pada suhu ruang selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 5
ml NaOH (yang telah diencerkan) ke dalam masing-masing tabung,
dikocok, didiamkan 5 menit, kemudian dibaca absorbansinya pada panjang
gelombang 546 nm.
Kurva kalibrasi diperoleh dengan prosedur berikut. Ke dalam tabung
reaksi dipipet bahan seperti yang tertera pada Tabel 8.

27
Tabel 9. Komponen yang diperlukan untuk pembuatan larutan kalibrasi
ALT
Standar Air destilat
Tabung Buffer (ml)
piruvat (ml) (ml)
1 0,0 0,2 1,0
2 0,05 0,2 0,95
3 0,1 0,2 0,9
4 0,15 0,2 0,85
5 0,2 0,2 0,8
6 0,25 0,2 0,75
7 0,3 0,2 0,7
8 0,35 0,2 0,65
9 0,4 0,2 0,6
10 0,45 0,2 0,55

Setiap tabung dikocok kemudian ditambahkan 1 ml reagen warna.


Tabung dikocok kembali dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-
25°C, kemudian ditambahkan 10 ml NaOH. Selanjutnya dilakukan
pembacaan absorbansi pada panjang gelombang 546 nm setelah 5 menit
dengan tabung 1 sebagai blanko. Konsentrasi dari larutan kalibrasi piruvat
tertera pada Tabel 9 berikut.

Tabel 10. Konsentrasi larutan kalibrasi piruvat


Nomor tabung Aktivitas (U/L)
2 6
3 11
4 16
5 20
6 25
7 31
8 37
9 44
10 52

d) Uji Aspartat aminotransferase (AST)


Prinsip reaksi
AST
α-oksoglutarat + L-aspartat L-glutamat + oksaloasetat

28
Konsentrasi reagen
Buffer fosfat 100 mmol/l
Buffer L-aspartat 200 mmol/l
α-oksoglutarat 2,0 mmol/l
Reagen warna 2,4 dinitrofenil hidrazin 2,0 mmol/l
Standar piruvat Piruvat 2,0 mmol/l
NaOH 4,0 mol/l

Prosedur kerja
Tahap persiapan reagen dilakukan dengan pengenceran 100 ml
NaOH dengan air destilat hingga volume campuran menjadi 1000 ml.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan blanko reagen dan
blanko sampel. Untuk pengukuran dengan blanko reagen perlu
dipersiapkan blanko reagen dan sampel. Pada tabung blanko ditambahkan
larutan buffer 500 µl dan air destilat 100 µl; untuk tabung uji ditambahkan
sampel 100 µl dan larutan buffer 500 µl. Tabung tersebut dikocok dan
diinkubasikan pada suhu 37°C dalam penangas air selama 30 menit.
Kemudian ditambahkan 500 µl reagen warna ke dalam masing-masing
tabung. Tabung dikocok lagi kemudian didiamkan pada suhu ruang (20-
25°C) selama 20 menit. Selanjutnya 5 ml NaOH (yang telah diencerkan)
dipipet ke masing-masing tabung, dikocok lagi, kemudian dibiarkan
selama 5 menit. Absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm dibaca
dengan menggunakan blanko reagen.
Sedangkan untuk pengukuran menggunakan blanko sampel, ke
dalam tabung reaksi untuk blanko sampel ditambahkan larutan buffer
sebanyak 100 µl dan ke dalam tabung sampel ditambahkan 100 µl sampel
dan 500 µl larutan buffer. Semua tabung diinkubasikan dalam penangas air
bersuhu 37°C selama 30 menit. Kemudian ditambahkan larutan warna
sebanyak 500 µl ke dalam masing-masing tabung. Ke dalam tabung blanko
sampel, ditambahkan 100 µl sampel. Semua tabung dikocok kemudian
didiamkan pada suhu ruang selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 5
ml NaOH (yang telah diencerkan) ke dalam masing-masing tabung,
dikocok, didiamkan 5 menit, kemudian dibaca absorbansinya pada panjang
gelombang 546 nm.

29
Kurva kalibrasi diperoleh dengan prosedur berikut. Ke dalam tabung
reaksi dipipet bahan seperti yang tertera pada Tabel 10.

Tabel 11. Komponen yang diperlukan untuk pembuatan larutan kalibrasi


AST
Standar Air destilat
Tabung Buffer (ml)
piruvat (ml) (ml)
1 0,0 0,2 1,0
2 0,05 0,2 0,95
3 0,1 0,2 0,9
4 0,15 0,2 0,85
5 0,2 0,2 0,8
6 0,25 0,2 0,75
7 0,3 0,2 0,7
8 0,35 0,2 0,65
9 0,4 0,2 0,6
10 0,45 0,2 0,55

Setiap tabung dikocok kemudian ditambahkan 1 ml reagen warna.


Tabung dikocok kembali dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-
25°C, kemudian ditambahkan 10 ml NaOH. Selanjutnya dilakukan
pembacaan absorbansi pada panjang gelombang 546 nm setelah 5 menit
dengan tabung 1 sebagai blanko. Konsentrasi dari larutan kalibrasi piruvat
tertera pada Tabel 11 berikut.

Tabel 12. Konsentrasi larutan kalibrasi piruvat


Nomor tabung Aktivitas (U/L)
2 9
3 18
4 27
5 37
6 46
7 56
8 67
9 77
10 87

e) Uji bilirubin (total dan langsung)


Prinsip reaksi
Kadar bilirubin total ditentukan dengan reaksi antara bilirubin
dengan asam sulfanilat terdiazotisasi. Sedangkan kadar bilirubin langsung

30
ditentukan dengan adanya kafein dan reaksi antara bilirubin langsung
dengan asam sulfanilat terdiazotisasi.

Konsentrasi reagen
Asam sulfanilat 29 mmol/l
HCl 0,17 N
Sodium nitrit 25 mmol/l
Kafein 0,26 mol/l
Sodium benzoat 0,52 mol/l
Tartrat 0,93 mol/l

Prosedur kerja
Preparasi reagen tidak perlu dilakukan karena semua reagen disuplai
dalam kondisi siap digunakan.
Pada uji bilirubin total, ke dalam tabung blanko ditambahkan 200 µl
asam sulfanilat, 1 ml kaffein, dan 200 µl sampel. Sementara untuk tabung
sampel, ditambahkan 200 µl asam sulfanilat, 50 µl nitrit, 1 ml kaffein, dan
200 µl sampel. Semua tabung dikocok dan dibiarkan 5-30 menit pada suhu
ruang kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 578 nm.
Pada pengukuran bilirubin langsung, ke dalam tabung blanko
ditambahkan 200 µl asam sulfanilat, 2 ml 0,9% NaCl, dan 200 µl sampel.
Sementara untuk tabung sampel ditambahkan 200 µl asam sulfanilat, 50 µl
nitrit, 2 ml 0,9% NaCl, dan 200 µl sampel. Semua tabung dikocok dan
dibiarkan selama 5 menit pada suhu kamar kemudian dibaca
absorbansinya pada panjang gelombang 546 nm.

Perhitungan
Konsentrasi bilirubin total = 185 x absorbansi (µmol/l)
= 10,8 x absorbansi (mg/dl)

Konsentrasi bilirubin langsung = 246 x absorbansi (µmol/l)


= 14,4 x absorbansi (mg/dl)

31
f) Uji trigliserida
Prinsip reaksi
Uji trigliserida ini merupakan uji kolorimetrik enzimatik yang
melibatkan reaksi-reaksi berikut:
LPL
Trigliserida + 3H2O gliserol + 3 RCOOH
GK
Gliserol + ATP G-3-P + ADP
Mg2+

GPO
G-3-P + O2 DAP + H2O2
POD
H2O2 + 4-aminoantipirin + p-klorofenol
4-(p-benzoquinon-monoimino)-fenazon + 2H2O + HCl

Konsentrasi reagen
Buffer pipes pH 7,8 50 mmol/l
p-klorofenol 2 mmol/l
Lipoprotein lipase (LPL) 150000 U/l
Gliserolkinase (GK) 800 U/l
Gliserol-3-p-oksidase (GPO) 4000 U/l
Reagen
Peroksidase (POD) 440 U/l
kerja
4-aminoantipirin 0,7 mmol/l
ATP 0,3 mmol/l
Mg2+ 40 mmol/l
Na-cholate 0,20 mmol/l
Potassium heksasianoferrat (II) 1 µmol/l
Standar Trigliserida 2,24 mmol/l

Prosedur kerja
Untuk uji trigliserida, ke dalam tabung blanko ditambahkan 1000 µl
reagen kerja. Ke dalam tabung sampel, ditambahkan 10 µl sampel dan
1000 µl reagen kerja. Sedangkan untuk standar, ditambahkan 10 µl standar
dan 1000 µl reagen kerja. Semua tabung dikocok dan diinkubasikan pada
suhu 37°C selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pembacaan absorbansi
sampel dan standar pada panjang gelombang 546 nm.

Perhitungan
∆& 

Konsentrasi trigliserida = ∆&   

32
5. Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
SPSS 11.5 untuk Windows. Data dianalisis homogenitas keragamannya
(homogeneity of variance). Jika keragaman terbukti homogen, kemudian
dilakukan analisis sidik ragam satu arah (ANOVA) (Gad et al., 1989 diacu
dalam Relle et al., 2005). Jika ANOVA mendeteksi perbedaan yang
signifikan (p<0,05), uji Tukey digunakan untuk membandingkan kelompok
perlakuan terhadap kelompok kontrol (Winer 1971, diacu dalam Relle et al.,
2005). Sementara jika pada uji homogenitas keragamannya terbukti tidak
homogen, dipilih uji ANOVA satu arah nonparametrik Kruskal-Wallis yang
diikuti dengan uji Kolmogorov-Smirnov (Kolmogorov-Smirnov, 1941 diacu
dalam Relle et al., 2005).

33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PEMERIKSAAN FISIK


Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley berumur sekitar delapan minggu. Penggunaan
tikus Sprague Dawley karena tikus ini mudah diperoleh dan telah banyak
digunakan dalam penelitian toksisitas. Tikus dikandangkan dalam kandang
individual yang terbuat dari plastik dengan penambahan alas berupa sekam. Siklus
gelap dan terang terjadi secara alami. Kondisi lingkungan dipertahankan pada
suhu 22±2ºC karena menurut Derelanko et al. (1994), suhu kandang tikus berkisar
antara 64,4-78,8ºF (18-26ºC).
Proses ekstraksi daun jelatang pada penelitian ini menggunakan air sebagai
bahan pelarut. Ekstrak yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar, yang berupa
suspensi, karena masih mengandung sebagian partikel yang tidak larut. Pemilihan
ekstrak kasar sebagai substansi uji pada hewan percobaan karena hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan deskripsi toksisitas yang mendekati toksisitas
daun jelatang secara utuh. Pemberian daun jelatang secara utuh (tanpa melalui
proses ekstraksi) dengan dosis tertentu sulit dilakukan karena tidak mungkin
dilakukan secara penyondean dan juga tidak dapat diberikan bersama pakan
karena jumlah pakan yang dikonsumsi per hari oleh suatu tikus berbeda-beda.
Dosis pemberian ekstrak daun jelatang ada dua, yaitu 0,1 g/kg berat badan (BB)
dan 1 g/kg BB. Keduanya diberikan melalui penyondean (contoh perhitungan
volume sonde per tikus disertakan pada Lampiran 1). Sementara tikus kontrol
semuanya disonde dengan 1 ml air. Pemilihan dosis 1 g/kg BB karena dosis
tersebut merupakan jumlah maksimal yang diizinkan untuk diberikan pada hewan
uji pada pengujian subkronis. Jika suatu substansi uji tidak menimbulkan gejala
toksik pada dosis tersebut maka substansi uji tersebut akan dianggap aman selama
jangka waktu subkronis. Sementara dosis 0,1 g/kg BB dipilih karena merupakan
hasil konversi dari dosis pemberian pada manusia ke tikus (perhitungan konversi
disertakan pada Lampiran 2). Dosis pemberian daun jelatang, dalam bentuk
kapsul, pada manusia adalah 2-3 gram.
Pemberian suatu substansi pada hewan uji berpotensi menimbulkan
perubahan tanda-tanda klinis dan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
substansi uji dengan organ, jaringan, dan sel-sel tertentu. Selama penelitian
subkronis ekstrak daun jelatang terhadap tikus Sprague Dawley ini ditemukan
sejumlah gejala klinis dan tingkah laku yang menunjukkan gejala morbiditas
(sakit/menderita), bahkan terdapat dua kasus mortalitas (kematian). Hasil
pemeriksaan fisik tersebut terangkum dalam Lampiran 3. Pada kedua kasus
mortalitas (satu kasus terjadi pada kelompok yang mendapat dosis ekstrak daun
jelatang 0,1 g/kg BB dan satu lagi dari kelompok dosis 1 g/kg BB), ada dua ciri
yang sama yaitu pertama, gejala-gejala morbiditas baru terlihat dalam waktu
kurang dari 24 jam sebelum tikus mati; dan kedua, saat ditemukan mati, terdapat
banyak darah kering di sekitar hidung dan mata tikus. Kematian tersebut
diperkirakan terjadi karena arrhytmia (penyimpangan irama jantung) dan atau
pendarahan internal (internal hemorrhage).
Peterson dan Talcott (2006) menyebutkan tanaman Urtica spp dapat
memicu gejala-gejala klinis seperti salivasi, muntah, arrhytmias, dyspnea,
kelemahan, dan collapse. Mekanisme terjadinya arrhytmias diduga terkait dengan
sifat diuretik dari daun Urtica dioica L. Diuretik digunakan dalam pengobatan
gagal jantung kongestif (congestive heart failure = CHF), hipertensi, dan edema.
Pengobatan dengan penggunaan awal diuretik diketahui dapat mengurangi laju
kematian keseluruhan pada pasien-pasien hipertensif (Cooper et al., 1999).
Meskipun begitu, pengurangan laju mortalitas yang diamati ini secara konsisten
lebih kecil dibandingkan hasil prediksi dari kajian epidemiologis sehingga
meningkatkan kemungkinan bahwa khasiat penurunan tekanan darah dari diuretik
sebagiannya diimbangi dengan efek negatifnya. Beberapa laporan menunjukkan
diuretik, terutama yang tidak memiliki aktivitas menghemat kehilangan kalium
dari tubuh (non potassium sparing diuretic), meningkatkan risiko kematian
arrhytmic (kematian akibat penyimpangan denyut jantung) pada pasien-pasien
hipertensif, yang diduga terjadi karena diuretik mengubah keseimbangan elektrolit
(Cooper et al., 1999).
Sedangkan pendarahan dari rongga hidung dan mata diduga berasal dari
pendarahan internal (internal hemorrhage) yang diasumsikan berkaitan dengan

35
efek hipotensif daun jelatang. Menurut Fragoso et al. (2008), ekstrak air dari
jelatang memiliki efek hipotensif pada tikus yang diperkirakan terjadi karena
esktrak jelatang dapat mengakibatkan vasodilatasi. Jelatang mengandung
komponen aktif histamin (Peterson dan Talcott, 2006) dan senyawa tersebut dapat
berperan sebagai vasodilator (Boyer, 2002). Meskipun begitu, ekstrak daun
jelatang juga dapat memicu vasokonstriksi pada aorta melalui aktivasi reseptor
alpha 1-adrenergic. Ketika pendarahan internal baru dimulai, tikus bisa saja tidak
menimbulkan gejala morbiditas. Hal ini diperkuat dengan data bahwa saat
terminasi ditemukan satu tikus (dari kelompok dosis 0,1 g/kg BB) yang sedang
mengalami pendarahan internal saat rongga perutnya dibuka namun sebelumnya
tikus tersebut tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, seperti pendarahan luar
(termasuk di rongga hidung, mulut, dan sekitar mata).
Ditemukannya sedikit darah di sekitar mulut dan hidung tikus pada saat
pemeriksaan diasumsikan akibat tikus menggosok-gosokkan hidung ke tutup
kandang yang terbuat dari logam dan atau sekresi porfirin. Tingkah laku tersebut
diperkirakan karena pemberian jelatang dapat memicu gatal, seperti yang
disebutkan oleh Fragoso et al. (2008). Cairan berwarna merah/hitam menyerupai
darah kering di dekat mata juga dapat berupa porfirin. Porfirin adalah hasil sekresi
kelenjar Harderian, suatu kelenjar lakrimal terpigmentasi yang terletak di
belakang bola mata dan melingkari saraf optik. Selama masa stres dan atau sakit
tertentu, air mata akan mengalir di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata
mengering, porfirin memberikan warna seperti darah kering.
Gejala morbiditas dan mortalitas yang telah disebutkan di atas tidak terjadi
pada semua tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang. Mortalitas hanya terjadi
pada satu dari 10 ekor tikus pada kelompok dosis 0,1 g/kg BB dan satu dari
sepuluh ekor tikus pada kelompok dosis 1 g/kg BB. Jumlah kasus
mortalitas/morbiditas per bulan selama masa pengujian tertera pada Lampiran 3.
Mengingat hasil pemeriksaan fisik menunjukkan lebih banyak tikus yang tidak
menunjukkan gejala toksisitas, maka diperkirakan tikus yang mati/sakit selama
pengujian lebih sensitif dibandingkan tikus-tikus lainnya.
Daun jelatang mengandung mineral besi, seng, kalsium, fosfor, dan
kalium. Perbandingan dengan beberapa jenis sayuran yang umum dikonsumsi,

36
yang terangkum dalam Tabel 12 , menunjukkan bahwa kandungan besi, kalsium,
dan kalium pada daun jelatang lebih besar dibandingkan beberapa sayuran
lainnya. Bahkan untuk besi dan kalsium perbedaannya sangat besar sehingga
dikhawatirkan beberapa gejala toksisitas pada tikus Sprague Dawley setelah
pemberian ekstrak daun jelatang disebabkan karena kelebihan asupan mineral-
mineral tersebut. Oleh karena itu dilakukan perhitungan jumlah asupan per hari
dari besi, kalsium, dan kalium yang diterima oleh tikus dalam kelompok yang
mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Perbandingan beberapa mineral yang terkandung dalam beberapa jenis
sayuran
Jenis Jelatang Bayam Kentang Brokoli Kubis
mineral (mg/100 g) (mg/100 g) (mg/100 g) (mg/100 g) (mg/100 g)
Besi 13,00 1,20 0,50 1,50 1,00
sangat sangat sangat
Seng 0,95 0,50
sedikit sedikit sedikit
Kalsium 873,00 125,00 6,00 100,00 75,00
Fosfor 75,00 15,00 78,00 46,00 36,00
Kalium 532,00 400,00 450,00 340,00 300,00

Tabel 14. Jumlah asupan per hari beberapa mineral yang diduga menimbulkan
efek toksik pada kelompok tikus yang diberi ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg
BB dan dosis 1 g/kg BB
Kelompok dosis 1 g/kg BB Kelompok dosis 1 g/kg BB
(mg/20 g pakan/hari) (mg/20 g pakan/hari)
Jenis Pada Pada Total Pada Pada Total
b b
mineral ekstrak pakan ekstrak pakan
daun daun
jelatanga jelatanga
Besi 0,003 3,799 3,812 0,030 3,799 3,829
Kalsium 0,218 106,800 107,673 2,180 106,800 108,980
Kalium 0,133 78,375 78,907 1,330 78,375 79,705
a
Berdasarkan Aksu dan Kaya (2004) dan dengan asumsi berat tikus 250 gram
b
Perhitungan asupan mineral pada pakan telah mempertimbangkan jenis senyawanya
dan persentase massa mineral tersebut terhadap massa senyawanya. Persentase massa
mineral terhadap massa senyawanya tertera pada Tabel 7

Menurut Subcommittee on Laboratory Animal Nutrition (1995), gejala


toksisitas besi antara lain efek yang merusak terhadap pertumbuhan dan
pemeliharaan berat badan. Suatu penelitian menunjukkan tikus muda (4 bulan)
yang mendapat pakan dengan kadar besi tinggi, yaitu 25 g/kg (500 mg/20 g)

37
pakan akan berhenti tumbuh, sedangkan tikus tua (20 bulan) yang mendapat
pakan dengan kadar besi yang sama berkurang berat badannya sekitar 12%. Total
jumlah asupan besi pada kelompok tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang
(3,812 mg/20 g pakan) di bawah angka yang dapat memicu gejala toksisitas yang
disebutkan dalam Subcommittee on Laboratory Animal Nutrition (1995). Di
samping itu, gejala toksisitas besi tidak ditemukan pada kedua kelompok tikus
yang mendapat ekstrak daun jelatang.
Kebutuhan kalsium untuk tikus sangat tergantung pada bentuk
senyawanya dan ketersediaan fosfor. Menurut Subcommittee on Laboratory
Animal Nutrition (1995), rekomendasi untuk konsentrasi minimal kalsium dan
fosfor untuk memaksimalkan kalsifikasi tulang selama pertumbuhan adalah 5 g/kg
pakan (100 mg/20 g pakan) untuk kalsium dan 4 g/kg pakan (80 mg/20 g pakan)
untuk fosfor. Total jumlah asupan kalsium pada kedua kelompok tikus yang
diberikan ekstrak daun jelatang (Tabel 13) tidak begitu berbeda dengan yang
direkomendasikan dalam Subcommittee on Laboratory Animal Nutrition (1995).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan potensi toksisitas
akibat kelebihan asupan kalsium.
Subcommittee on Laboratory Animal Nutrition (1995) mengindikasikan
bahwa tikus membutuhkan 3,6 g kalium/kg pakan (72 mg/20 g pakan) untuk
mendukung pertumbuhan yang cukup dan reproduksi. Gejala-gejala toksisitas
kalium antara lain penurunan laju pertumbuhan dan perubahan elektrokardiograf.
Jumlah total asupan kalium pada kedua kelompok yang mendapat ekstrak daun
jelatang tidak begitu berbeda dengan yang disebutkan dalam Subcommittee on
Laboratory Animal Nutrition (1995). Meskipun ada indikasi terjadi arrhytmia,
yang mungkin disebabkan oleh perubahan elektrokardiograf, namun hal ini tidak
dapat dikaitkan dengan toksisitas akibat kelebihan kalium karena jumlah asupan
kalium relatif normal (masing-masing kelompok 78,907 dan 79,705 mg/20 g
pakan).
Pada awal dan akhir perlakuan, berat badan kelompok tikus yang
mendapat ekstrak daun jelatang, baik dosis 0,1 g/kg BB maupun 1 g/kg BB, tidak
berbeda nyata dengan kontrol (p<0,05). Hasil analisis uji homogenitas keragaman
yang disertai uji sidik ragam terhadap berat badan awal tikus tertera pada

38
Lampiran 4; berat akhir tikus pada Lampiran 5 dan kenaikan berat badan pada
Lampiran 6. Data berat badan awal, berat badan akhir, kenaikan berat badan, serta
rata-rata konsumsi pakan per hari setiap kelompok tikus tertera pada Tabel 14.
Oleh karena itu, diasumsikan selama masa pengujian toksisitas subkronis (90 hari)
belum ada manifestasi toksisitas pada berat badan tikus. Kurva pertumbuhan
kelompok tikus kontrol, kelompok tikus dosis 0,1 g/kg BB dan kelompok tikus
dosis 1 g/kg BB dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan pola konsumsi pakan
dari ketiga kelompok tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 15. Rata-rata dan standar deviasi berat badan, kenaikan berat badan, dan
konsumsi pakan pada setiap kelompok tikus
Berat badan (g) Konsumsi
Perlakuan pakan/hari
Awal Akhir Kenaikan
(g)
Kontrol 194,20±22,78 330,80±43,79 136,60±40,20 18,54±1,77a
a a a

Dosis 0,1 g/kg 183,60±14,28a 287,33±47,02a 104,11±39,40a 16,80±1,84b


BB
Dosis 1 g/kg 188,90±14,19a 293,89±70,20a 104,44±61,16a 17,24±1,94b
BB
Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan
pada p<0,05. Begitu pula sebaliknya (uji lanjut Tukey)

350.00
300.00
250.00
Berat badan (g)

200.00
kontrol
150.00
dosis 0,1 g/kg BB
100.00
dosis 1 g/kg BB
50.00
0.00
0 20 40 60 80 100
Hari ke-

Gambar 3. Pertumbuhan tikus kontrol dan tikus yang diberi ekstrak daun jelatang
dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB

39
25.0

20.0
Jumlah konsumsi (g)

15.0
kontrol
10.0
dosis 0,1 mg/kg BB
dosis 1 mg/kg BB
5.0

0.0
0 20 40 60 80 100
Hari ke-

Gambar 4. Rata-rata konsumsi pakan per hari tikus kontrol dan tikus yang diberi
ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB

B. KONDISI DAN BERAT RELATIF HATI


Pengamatan organ hati dilakukan secara makroskopis. Sebagian besar hati
memiliki droplet-droplet kecil lemak pada permukaannya. Tikus kontrol juga
memiliki droplet-droplet lemak tersebut (Gambar 5) namun jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan yang terdapat pada tikus yang dicekok ekstrak daun jelatang.
Ditemukannya droplet lemak yang berarti gejala penimbunan lemak pada hati
tikus kontrol diperkirakan terjadi karena pengaruh komposisi pakan.
Subcommittee on Laboratory Animal Nutrition (1995) menemukan fakta
bahwa tikus Wistar jantan yang dikandangkan pada ruangan dengan suhu 21ºC
membutuhkan 500 mg choline (dalam bentuk bebas) per kg pakan (4,8 mmol/kg)
untuk mencegah akumulasi lipid di hati. Sedangkan kebutuhan untuk tikus yang
dikandangkan pada suhu 33ºC meningkat menjadi 1000 mg choline dalam bentuk
bebas) per kg pakan (9,6 mmol/kg). Sebaliknya, pemeliharaan tikus pada suhu
2ºC mengurangi kebutuhan choline-nya menjadi 250 mg/kg pakan. Berdasarkan
hasil studi yang dimuat oleh Subcommittee on Laboratory Animal Nutrition
(1995), kebutuhan choline ditetapkan menjadi 750 mg/kg pakan dan angka ini
seharusnya lebih besar jika suhu lingkungan meningkat.
Berdasarkan temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa risiko akumulasi
lipid di hati dapat meningkat jika terjadi defisiensi choline dan peningkatan suhu
kandang. Mengingat campuran vitamin dalam ransum standar tidak mengandung

40
choline (Tabel 6), maka dapat dinyatakan bahwa terjadinya akumulasi lipid pada
tikus kontrol (dengan tingkat keparahan yang lebih kecil dibandingkan tikus yang
mendapat ekstrak daun jelatang) terjadi karena defisiensi choline.
Droplet-droplet lemak pada sebagian besar hati dari kelompok tikus yang
diberi ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB lebih banyak
dibandingkan kontrol. Penemuan droplet-droplet lemak dalam jumlah yang lebih
tersebut mengindikasikan terjadinya gangguan metabolisme lipid di hati. Bahkan
satu tikus dari kelompok dosis 0,1 g/kg BB dan satu tikus dari kelompok dosis 1
g/kg BB menunjukkan abnormalitas yang nyata pada hatinya. Masing-masing
kelompok tersebut terdiri dari 10 ekor tikus. Salah satu tikus dari kelompok dosis
0,1 g/kg BB yang menunjukkan abnormalitas tersebut memiliki satu gumpalan
besar berbentuk lonjong (dengan panjang 4,5 cm) dan dua gumpalan bulat yang
berukuran lebih kecil (Gambar 6). Gumpalan yang besar terhubung dengan hati
melalui semacam saluran pendek sedangkan gumpalan yang berukuran lebih kecil
masih melekat pada permukaan hati. Salah satu tikus dari kelompok dosis 1 g/kg
BB juga menunjukkan abnormalitas serupa, yaitu adanya satu gumpalan yang
muncul pada permukaan hatinya (Gambar 7).
Gumpalan tersebut dibedah dan ditemukan massa semisolid (menyerupai
krim) berwarna krem kehijauan. Massa jenisnya diperkirakan lebih besar dari
massa jenis air karena tenggelam saat dimasukkan ke dalam air. Massa semisolid
tersebut tidak larut dalam heksan dan menunjukkan sedikit kelarutan dalam air.
Hasil pengamatan mikroskopik terhadap fraksi air dari massa semisolid tersebut
(Gambar 8) menunjukkan adanya sejumlah sel yang terkandung di dalamnya.
Mengingat hasil analisis kimia darah menunjukkan penurunan kadar trigliserida
pada kedua kelompok tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang, maka
diperkirakan gumpalan abnormal tersebut berisi lipid yang berada dalam bentuk
lipoprotein sehingga tidak larut dalam heksan. Sedangkan temuan berupa adanya
sel-sel yang terdapat di dalam gumpalan tersebut memerlukan penelitian lebih
lanjut. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah hepatic neoplasia. Neoplasia
merupakan pembentukan jaringan baru. Hepatic neoplasia terbagi dua, yaitu
hepatocellular neoplasia (neoplasia sel hati) dan bile duct neoplasms (neoplasma
saluran empedu) (Haschek dan Rousseaux, 1998). Meskipun begitu, perkiraan

41
bahwa gumpalan tersebut berupa lipid lebih kuat karena didukung dengan hasil
analisis kimia darah, terutama hasil analisis kadar trigliserida serum.

Gambar 5. Contoh hati kelompok kontrol (normal)

gumpalan kecil
gumpalan
besar

Gambar 6. Salah satu hati dari kelompok dosis 0,1 g/kg BB yang menunjukkan
abnormalitas (tikus dengan kode R10)

gumpalan

Gambar 7. Salah satu hati dari kelompok dosis 1 g/kg BB yang menunjukkan
abnormalitas (tikus dengan kode T8)

Gambar 8. Gambaran mikroskopik fraksi air dari massa solid yang terdapat
dalam gumpalan yang ditemukan pada salah satu hati dari kelompok dosis 0,1
g/kg BB yang menunjukkan abnormalitas

42
Munculnya gumpalan pada satu dari sepuluh tikus pada kelompok yang
mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan satu dari sepuluh tikus
pada kelompok dosis 1 g/kg BB semakin menguatkan indikasi bahwa
hepatotoksisitas akibat pemberian ekstrak daun jelatang pada kedua dosis tersebut
sangat terkait dengan sensitivitas individu sehingga dapat digolongkan sebagai
hepatotoksisitas idiosinkratik. Hepatotoksisitas idiosinkratik merupakan
hepatotoksisitas yang tidak dapat diprediksi. Hepatotoksisitas ini terkait dengan
hipersensitivitas atau kelainan metabolisme. Respon dari hepatotoksitas ini tidak
dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis pemberian. (Sutari, 2008).
Berat relatif hati adalah rasio berat hati terhadap berat badan. Berat relatif
hati merupakan salah satu parameter yang dinilai dalam penentuan toksisitas suatu
substansi uji, seperti pada penelitian yang dilakukan Relle et al. (2005). Beberapa
jenis kerusakan hati dapat berpengaruh terhadap berat relatif hati, seperti inflamasi
yang dapat menyebabkan meningkatnya berat relatif hati. Berdasarkan uji
Kruskal-Wallis (Lampiran 7), diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan
antara berat relatif hati masing-masing kelompok yang mendapat ekstrak daun
jelatang dengan kontrol. Meskipun berdasarkan hasil pengamatan makroskopis
dan analisis kimia darah ditemukan indikasi terjadinya steatosis (penimbunan
lemak di hati), tingkat keparahannya diperkirakan masih di bawah tingkat
keparahan yang dapat menimbulkan kenaikan berat relatif hati secara signifikan.

Tabel 16. Perbandingan berat relatif hati antara kelompok kontrol, kelompok
yang disonde ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Kelompok Berat relatif Kondisi hati
hati ± SD
Kontrol 0,0277±0,0034 Di permukaannya terdapat droplet-droplet lemak
Dosis 0,1 0,0335±0,0218 Di permukaannya terdapat lebih banyak droplet-
g/kg BB droplet lemak dibandingkan dengan kontrol; salah
satu hati memiliki satu gumpalan besar dan dua
gumpalan lebih kecil yang berisi massa semisolid
berwarna krem kehijauan
Dosis 1 0,0263±0,0035 Di permukaannya terdapat lebih banyak droplet-
g/kg BB droplet lemak dibandingkan dengan kontrol; salah
satu hati memiliki satu gumpalan

43
C. HASIL ANALISIS KIMIA DARAH
1. Bilirubin (total dan langsung)

Bilirubin dalam tubuh berasal dari pemecahan hemoglobin. Rata-rata


usia sel darah manusia adalah ±120 hari. Sel-sel darah merah yang tua akan
dikeluarkan dari sistem sirkulasi dan didegradasi di limpa. Heme yang
terbentuk pada proses ini didegradasi melalui pembukaan cincin. Enzim
oksigenase heme mengkatalisis pembelahan ini sehingga membebaskan satu
karbon atom, dalam bentuk CO, dan kemudian terbentuk bilirubin, suatu
turunan tetrapirol linear. Untuk mempermudah metabolisme lebih lanjut dan
ekskresi melalui urin, bilirubin diubah menjadi lebih larut dalam air melalui
proses pengikatan molekul karbohidrat pada rantai samping propionat (Boyer,
2002). Proses perubahan bilirubin menjadi bilirubin konjugasi, yang juga
dikenal dengan istilah bilirubin langsung, merupakan salah satu dari fungsi
hepatosit (sel parenkim hati).
Salah satu indikator utama kerusakan fungsi hati yang terkait dengan
metabolisme bilirubin adalah hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia pada
manusia adalah keadaan di mana konsentrasi bilirubin darah melebihi 1
mg/dl. Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan
menyebabkan gejala ikterik atau jaundice. Ikterik atau jaundice merupakan
keadaan di mana jaringan terutama kulit dan sklera mata menjadi kuning
akibat deposisi bilirubin yang berdifusi dari darah karena konsentrasinya
dalam darah sangat tinggi (Smith dan Jones, 1980). Diperkirakan batas
penentuan hiperbilirubinemia pada tikus serupa dengan manusia mengingat
kadar bilirubin tikus 0,20-0,55 mg/dl (Malole et al., 1989). Sedangkan
peningkatan kadar bilirubin konjugasi (hiperbilirubinemia konjugasi) adalah
indikator yang spesifik untuk penyakit hati dan saluran empedu (Dufour et
al., 2000).
Berdasarkan perbandingan dengan kontrol dan referensi (hasil analisis
bilirubin, ALP, ALT, dan AST tercantum dalam Tabel 17), kadar bilirubin
total kelompok dosis 0,1 g/kg BB tidak berbeda nyata dengan kontrol

44
sedangkan untuk kelompok dosis 1 g/kg BB kadarnya lebih rendah. Meskipun
demikian, kadar bilirubin total kelompok dosis 1 g/kg BB masih dalam
kisaran kadar bilirubin normal untuk tikus, yaitu 0,20-0,55 mg/dl (Malole et
al., 1989). Untuk kadar bilirubin langsung juga terjadi hal yang serupa. Kadar
bilirubin langsung kelompok dosis 1 g/kg BB berbeda nyata dibandingkan
kontrol (lebih rendah), sedangkan untuk kelompok dosis 0,1 g/kg BB tidak
berbeda nyata (p<0,05) Hasil analisis sidik ragam untuk bilirubin total
terdapat pada Lampiran 8 dan uji lanjutnya pada Lampiran 9 sedangkan hasil
analisis sidik ragam untuk kadar bilirubin langsung disertakan pada Lampiran
10 dan uji lanjutnya pada Lampiran 11. Histogram yang memuat kadar
bilirubin total dari tiap tikus dalam kelompok kontrol, kelompok dosis 0,1
g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB dapat dilihat pada Gambar 9. Sedangkan
histogram untuk kadar bilirubin langsung/konjugasi dapat dilihat pada
Gambar 10.
Berdasarkan data di atas, kedua kelompok yang mendapat ekstrak daun
jelatang tidak mengalami hiperbilirubinemia dan hiperbilirubinemia
konjugasi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun
jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB tidak memicu terjadinya
kerusakan hati yang terkait dengan metabolisme bilirubin pada tikus.
Kerusakan hati yang terkait dengan metabolisme produk hasil pemecahan
eritrosit tersebut antara lain adalah kolestasis. Kolestasis merupakan
pengambatan atau penghentian aliran cairan empedu, dan penyebabnya bisa
intrahepatik atau ekstrahepatik (Hodgson dan Levi, 2004)

45
Tabel 17. Kadar bilirubin total, bilirubin langsung, ALP, ALT, dan AST
dari ketiga kelompok tikus

Kelompok Bilirubin Bilirubin ALP2 ALT2 AST2


total1 langsung1
Kontrol 0,5092 ± 0,0814 ± 17,5945± 78,2286 ± 58,0646 ±
0,1775a 0,0204a 4,4634a 18,857a 6,3345a
Dosis 0,1 0,4410 ± 0,0882 ± 3,3513 ± 70, 6887 48,1033 ±
g/kg BB 0,1765a 0,0414a 1,6477b ±19,8007b 6,8624b
Dosis 1 0,2153 ± 0,0336 ± 16,9598± 53,5464 58,8429
g/kg BB 0,1043b 0,0426b 5,6824a ±11,1746c ±12,3293a
Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan pada p<0,05. Begitu pula sebaliknya (uji lanjut Tukey)
1
(mg/dl)
2
(IU/l)
Nilai standar deviasi yang tinggi (melebihi nilai rata-rata) pada kadar bilirubin langsung
kelompok dosis 1 g/kg BB disebabkan karena adanya satu ulangan dengan nilai yang jauh
lebih besar dibandingkan ulangan lainnya.

1.0000
Ulangan 1
0.9000
Kadar bilirubin total (mg/dl)

0.8000 Ulangan 2

0.7000 Ulangan 3
0.6000 Ulangan 4
0.5000 Ulangan 5
0.4000 Ulangan 6
0.3000
Ulangan 7
0.2000
Ulangan 8
0.1000
Ulangan 9
0.0000
Kontrol Dosis 0,1 g/kg BB Dosis 1 g/kg BB Ulangan 10

Gambar 9. Kadar bilirubin total dari tikus kontrol serta tikus yang mendapat
ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

46
0.16
Ulangan 1

Kadar bilirubin konjugasi (mg/dl)


0.14
Ulangan 2
0.12 Ulangan 3
0.1 Ulangan 4
0.08 Ulangan 5
0.06 Ulangan 6
0.04 Ulangan 7

0.02 Ulangan 8

0 Ulangan 9

Kontrol Dosis 0,1 g/kg BB Dosis 1 g/kg BB Ulangan 10

Gambar 10. Kadar bilirubin langsung/konjugasi tikus kontrol serta tikus


yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

2. Alkaline phosphatase (ALP)

Dufour et al. (2000) menyatakan bahwa alkaline phosphatase (ALP),


enzim yang terlibat dalam transpor metabolit melewati membran sel,
ditemukan (dalam urutan yang makin rendah) di plasenta, mukosa ileal,
ginjal, tulang, dan hati. Alkaline phosphatase merupakan kelompok enzim
yang bekerja menghidrolisis ester asam fosfat pada suasana basa. Kadar ALP
tertinggi di dalam tubuh terdapat pada sel-sel yang mengalami pembelahan
yang cepat. Sel-sel ini terdapat pada jaringan epitel saluran empedu dan hati,
jaringan tulang, sel-sel epitel usus, jaringan sel tubulus proksimal ginjal, serta
plasenta. Pada keadaan normal, ALP yang berada di dalam hati akan
diekskresikan ke dalam empedu. Jika terjadi kerusakan atau obstruksi pada
hati dan saluran empedu, seperti kolestasis, maka kadar ALP darah akan
meningkat. Peningkatan ini terjadi karena refluks cairan empedu ke dalam
aliran darah.
Menurut Dufour et al. (2000) peningkatan kadar alkalin phosphatase
(ALP) di dalam tubuh mempunyai dua makna, yaitu peningkatan yang terjadi
pada keadaan normal dan peningkatan yang menunjukkan ketidaknormalan

47
tubuh. Peningkatan yang dinilai normal contohnya pada wanita hamil dan
anak-anak. Sementara peningkatan yang tidak normal yaitu pada kelainan
hepatobiliar (obstruksi biliaris), alkoholik, sirosis hati, dan metatase tulang.
Kadar ALP meningkat hingga dua puluh kali normal pada kasus sirosis hati,
sedangkan pada obstruksi biliaris peningkatannya sekitar sepuluh kali lipat
normal. Beberapa gangguan fisiologis diketahui dapat menyebabkan
penurunan aktivitas ALP. Gangguan fisiologis yang dimaksud antara lain
hipotiroid, kretinisme, dan kwashiorkor.
Kadar alkaline phosphatase (ALP) serum kelompok dosis 0,1 g/kg BB
lebih rendah dari kontrol (p<0,05) sedangkan kadar ALP kelompok S (dosis 1
g/kg BB) tidak berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05). Hasil uji sidik ragam
tertera pada Lampiran 12 sedangkan hasil uji Tukey dapat dilihat di Lampiran
13. Histogram yang menampilkan data kadar ALP dari masing-masing tikus
dalam kelompok kontrol sertta kelompok dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg
BB dapat diliht pada Gambar 11. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan
dosis 1 g/kg BB tidak memicu kerusakan hati yang diindikasikan dengan
peningkatan kadar ALP darah, di antaranya hepatobiliar (obstruksi biliaris)
dan sirosis hati. Namun karena kadar ALP kelompok dosis 0,1 g/kg BB lebih
kecil dibandingkan kontrol, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengingat
kadar ALP yang lebih rendah dari kontrol antara lain dapat terjadi karena
dibandingkan hipotiroid. Meskipun Rahmadi (2008) menyebutkan bahwa
penurunan kadar ALP juga berarti ada potensi terjadinya kretinisme dan
kwashiorkor, hal tersebut tidak terbukti. Berat badan akhir dan kenaikan berat
badan tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB tidak
berbeda nyata dibandingkan kontrol sehingga tidak terbukti kretinisme.
Kwashiorkor juga tidak mungkin terjadi karena kadar protein ransum telah
memenuhi standar AIN 1976 dan tidak ditemukan gejala-gejala kwashiorkor.

48
35
Ulangan 1
30 Ulangan 2
25 Ulangan 3

Kadar ALP (IU/l) 20


Ulangan 4
Ulangan 5
15
Ulangan 6
10 Ulangan 7
5 Ulangan 8

0 Ulangan 9
Kontrol Dosis 0,1 g/kg BB Dosis 1 g/kg BB Ulangan 10

Gambar 11. Kadar alkaline phosphatase (ALP) tikus kontrol dan tikus yang
mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

3. Alanin aminotransferase (ALT)

Peningkatan kadar enzim intraseluler dalam darah disebabkan oleh


kerusakan sel-sel yang mengandung enzim atau adanya perubahan
permeabilitas membran sel sehingga makromolekul-makromolekul dapat
menembus dan terlepas ke dalam cairan ekstrasel. Enzim yang paling sering
dikaitkan dengan kerusakan hepatosit adalah enzim-enzim golongan
aminotransferase, antara lain enzim alanin aminotransferase (ALT), yang
dulu dikenal dengan nama serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) dan
aspartat aminotransferase (AST), yang dulu disebut serum glutamic
oxaloacetic transaminase (SGOT). Akibat kematian sel, komponen sel
mengalami degradasi progresif dan selanjutnya akan menyebabkan keluarnya
enzim ALT dan AST ke ruang ekstrasel sehingga kadar enzim tersebut
meningkat (Widman, 1989). Hasil pemeriksaan ALT adalah indikator yang
lebih sensitif terhadap kerusakan hati dibansing AST (Dufour et al., 2000).
Enzim ALT banyak ditemukan di hati dan ginjal, namun juga
ditemukan dalam jumlah kecil di jantung dan otot rangka. Enzim ini secara
eksklusif bersifat sitoplasmik (berada di dalam sitoplasma). Penyakit hati

49
merupakan alasan utama peningkatan aktivitas ALT (Dufour et al., 2000).
Mengingat kadar ALT tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang lebih kecil
dari kontrol (hasil analisis sidik ragam dapat dilihat di Lampiran 14,
sedangkan hasil uji lanjut pada Lampiran 15), maka diasumsikan tidak terjadi
kerusakan hati yang dicirikan dengan kematian sel-sel hati (hepatosit).
Kerusakan hati yang dimaksud antara lain nekrosis, apoptosis, dan sirosis.
Histogram yang memuat data kadar ALT masing-masing tikus kontrol, tikus
yang memperoleh ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg
BB dapat dilihat pada Gambar 12.
120.0000
Ulangan 1
100.0000 Ulangan 2
Kadar ALT (IU/l)

80.0000 Ulangan 3
Ulangan 4
60.0000
Ulangan 5
40.0000 Ulangan 6

20.0000 Ulangan 7
Ulangan 8
0.0000
Ulangan 9
Kontrol Dosis 0,1 g/kg Dosis 1 g/kg BB
BB Ulangan 10

Gambar 12. Kadar alanin aminotransferase (ALT) tikus kontrol dan tikus
yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

4. Aspartat aminotransferase (AST)

Enzim AST banyak ditemukan di jantung, hati, otot rangka, dan ginjal.
Enzim ini berada di dalam mitokondria dan sitoplasma. Penyakit hati
merupakan alasan umum peningkatan aktivitas AST (Dufour et al.,2009).
Pengukuran kadar AST dalam serum kurang spesifik dibandingkan ALT
karena AST juga banyak ditemukan di organ lain selain hati, yaitu jantung,
otot rangka, dan ginjal.
Mengingat kadar AST kelompok dosis 0,1 g/kg BB lebih rendah dari
kontrol sedangkan nilai untuk kelompok dosis 1 g/kg BB tidak berbeda nyata

50
dengan kontrol (p<0,05), maka diasumsikan tidak terjadi kerusakan hati yang
berkaitan dengan kematian sel, seperti nekrosis, apoptosis, dan sirosis. Data
kadat AST disertakan pada Tabel 13, hasil analisis sidik ragamnya pada
Lampiran 16, sedangkan hasil analisis uji lanjut pada Lampiran 17.
Histogram yang memuat data kadar AST masing-masing tikus kontrol, tikus
yang memperoleh ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg
BB dapat dilihat pada Gambar 13.
80.0000
Ulangan 1
70.0000
Ulangan 2
60.0000
Kadar AST (IU/l)

Ulangan 3
50.0000
Ulangan 4
40.0000
Ulangan 5
30.0000
Ulangan 6
20.0000
Ulangan 7
10.0000
Ulangan 8
0.0000
Ulangan 9
Kontrol Dosis 0,1 g/kg Dosis 1 g/kg BB
BB Ulangan 10

Gambar 13. Kadar aspartat aminotransferase (AST) tikus kontrol dan tikus
yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

5. Albumin

Albumin merupakan protein plasma dengan jumlah paling besar dan


diproduksi oleh hepatosit (sel parenkim hati). Hati menghasilkan ±12 g
albumin per hari yang merupakan ±25% dari total protein yang disintesis hati.
Albumin mempertahankan tekanan osmotik koloid dalam pembuluh darah
dan mempunyai sejumlah fungsi penting lainnya (Bangun, 2008). Albumin
melarutkan dan menghantar banyak molekul-molekul kecil dalam darah
(seperti bilirubin, kalsium, progesteron, dan obat-obatan) serta menentukan
tekanan onkotik plasma agar cairan tersebut tidak dapat secara bebas melintas
antara ruang intra dan ekstravaskular. Penurunan konsentrasi albumin serum
dapat terjadi melalui dua cara, yaitu albumin hilang dari tubuh dalam jumlah

51
besar (pendarahan renal, gastrointestinal, eksudasi kulit yang berat) atau
terjadi penurunan produksi albumin (hepatic insufficiency, malnutrisi).
Penyebab lain rendahnya albumin termasuk hypoadrenocorticism dan
hyperglobulinemia (akibat multiple myeloma). Pada kebanyakan kasus,
hipoalbuminemia (kadar albumin serum yang rendah) yang bermakna
disebabkan oleh tiga alasan utama, yaitu hepatic insufficiency, renal loss
(protein-losing nephropathy), dan gastrointestinal loss (protein-losing
enteropathy) (Bangun, 2008).
Berdasarkan hasil analisis kadar albumin serum, tidak ditemukan
adanya hipoalbuminemia pada kelompok yang diberi ekstrak daun jelatang
dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB sehingga disimpulkan bahwa
pemberian ekstrak daun jelatang pada kedua dosis tersebut tidak memicu
kerusakan hati yang menyebabkan penurunan kadar albumin serum. Kadar
albumin tikus menurut Malole et al. (1989) adalah 3,8-4,8 g/dl. Hasil analisis
kadar albumin, beserta trigliserida, dan glukosa tertera pada Tabel 14. Hasil
analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 18 sementara hasil uji
lanjutnya pada Lampiran 19. Histogram yang menampilkan data kadar
albumin tiap tikus kontrol, tikus yang memperoleh ekstrak daun jelatang dosis
0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB dapat dilihat pada Gambar 14.
4.5000
Ulangan 1
4.0000
Ulangan 2
3.5000
Kadar albumin (g/dl)

Ulangan 3
3.0000
Ulangan 4
2.5000
Ulangan 5
2.0000
Ulangan 6
1.5000
Ulangan 7
1.0000
Ulangan 8
0.5000
Ulangan 9
0.0000
Kontrol Dosis 0,1 g/kg BB Dosis 1 g/kg BB Ulangan 10

Gambar 14. Kadar albumin tikus kontrol dan tikus yang mendapat ekstrak
daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

52
Tabel 18. Kadar albumin, trigliserida, dan glukosa kelompok kontrol,
kelompok yang diberi ekstrak daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis
1 g/kg BB
Kelompok Albumin1 Trigliserida2 Glukosa2
Kontrol 3,1711 ± 206,4655 203,5885
0,2809a ±55,5712a ±68,2804a
Dosis 0,1 3,5373 ± 88,0224 ± 197,3992
g/kg BB 0,3925b 21,2576b ±44,0145a
Dosis 1 3,1129 ± 207,7586 ± 133,1016
a a
g/kg BB 0,3071 58,7805 ±40,4817b
Notasi huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak
signifikan pada p<0,05. Begitu pula sebaliknya (uji lanjut Tukey)
1
(g/dl)
2
(mg/dl)

6. Trigliserida
Penurunan trigliserida serum, yang berada dalam bentuk lipoprotein,
dapat mengindikasikan terjadinya hati berlemak (steatosis). Hati berlemak
merupakan akumulasi lipid yang abnormal dalam hepatosit. Pada dasarnya,
akumulasi lipid berhubungan dengan gangguan, baik pada proses sintesis
maupun sekresi lipoprotein. Kelebihan lipid dapat terjadi karena suplai asam
lemak bebas yang berlebih dari jaringan adiposa, atau yang lebih umum
karena hambatan pelepasan trigliserida dari hati ke dalam plasma (Hodgson
dan Levi, 2004).
Rata-rata kadar trigliserida serum kelompok dosis 0,1 g/kg BB dan
lebih rendah dibandingkan kontrol (p<0,05). Sedangkan kadar trigliserida
kelompok dosis 1 g/kg BB tidak berbeda nyata terhadap kontrol (p<0,05).
Data tersebut dicantumkan pada Tabel 18 dan Gambar 15. Hasil analisis sidik
ragam untuk pengukuran trigliserida dimuat pada Lampiran 20 sementara
hasil uji lanjutnya pada Lampiran 21.
Penurunan kadar trigliserida serum pada kelompok dosis 0,1 g/kg BB
mengindikasikan terjadinya salah satu kelainan hati, yaitu hati berlemak
(steatosis). Menurut Kaneko (1980), hati berlemak dapat terjadi karena
hambatan pada proses sintesis apoprotein dari lipoprotein menghasilkan
akumulasi lipid, yang berupa gliserida, di hati. Beberapa senyawa diketahui
dapat menghambat sintesis protein, terutama apolipoprotein. Akibatnya,
terjadi penurunan kadar trigliserida serum dan penurunan konsentrasi

53
lipoprotein, terutama very low density lipoprotein (VLDL). Hal ini terlihat
pada kelompok tikus yang disonde dengan ekstrak daun jelatang dosis 0,1
g/kg BB.
350.0000
Ulangan 1
300.0000
Kadar trigliserida (mg/dl)

Ulangan 2
250.0000 Ulangan 3
200.0000 Ulangan 4

150.0000 Ulangan 5
Ulangan 6
100.0000
Ulangan 7
50.0000
Ulangan 8
0.0000
Ulangan 9
Kontrol Dosis 0,1 g/kg Dosis 1 g/kg BB
BB Ulangan 10

Gambar 15. Kadar trigliserida tikus kontrol dan tikus yang mendapat ekstrak
daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

Gangguan lainnya yang juga mengarah pada hati berlemak disertai


dengan hipertrigliseridemia (peningkatan kadar trigliserida serum). Pada
kondisi ini, pembentukan dan pelepasan trigliserida trigliserida oleh hati
meningkat. Penyebab utama hati berlemak yang disertai hipertrigliseridemia
pada beberapa studi tampaknya adalah mobilisasi asam lemak bebas dari
jaringan adiposa (Kaneko, 1980). Hal ini diduga merupakan kondisi yang
terjadi pada tikus yang mendapat esktrak daun jelatang dengan dosis 1 g/kg
BB. Hipertrigliseridemia tidak terjadi pada kelompok tikus dosis 0,1 g/kg BB
karena mobilisasi asam lemak dari jaringan adiposa diperkirakan belum
menimbulkan efek yang signifikan.
Dugaan terjadinya hati berlemak pada tikus yang mendapat ekstrak
daun jelatang diperkuat dengan hasil pengamatan makroskopik, yaitu droplet-
droplet lemak pada hati tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang lebih
banyak dibandingkan pada tikus kontrol. Hati berlemak umumnya tidak
menunjukkan gejala-gejala sakit namun dianggap sebagai kondisi premorbid

54
yang meningkatkan kerentanan hati terhadap kerusakan lebih lanjut (Lopez-
Parra, 2010).

7. Glukosa
Ada beberapa data yang menunjukkan jelatang mampu menurunkan
kadar gula darah. Bnouham et al. (2003) diacu dalam El Haouari et al. (2007)
mendemonstrasikan bahwa ketika diberikan ekstrak air dari jelatang
(AEN=aqueous extract of nettle) sebesar 250 mg/kg berat badan 30 menit
sebelum konsumsi glukosa, terjadi efek penurunan kadar gula darah
(33±3,4% lebih kecil dari kontrol pada pengukuran 1 jam setelah konsumsi
glukosa).
Pemberian ekstrak daun jelatang dosis 0,1g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
selama 90 hari pada tikus Sprague Dawley menunjukkan terjadinya
penurunan kadar glukosa darah pada kelompok tikus yang mendapat ekstrak
daun jelatang dosis 1 g/kg BB. Meskipun kadar glukosa darah kelompok
dosis 0,1 g/kg BB juga menunjukkan kecenderungan lebih rendah
dibandingkan kontrol, namun perbedaan tersebut tidak berbeda nyata
(p<0,05). Data tersebut dicantumkan pada Tabel 18 dan Gambar 16. Hasil
analisis sidik ragam untuk pengukuran trigliserida dimuat pada Lampiran 22
sementara hasil uji lanjutnya pada Lampiran 23.
Pada hati terjadi proses glukoneogenesis, yang antara lain
memanfaatkan lipid sebagai sumber energi. Mengingat kadar glukosa darah
kelompok tikus yang mendapat ekstrak daun jelatang dosis 1 g/kg BB lebih
rendah dibandingkan kontrol, maka diasumsikan ekstrak air dari daun
jelatang terbukti bersifat hipoglikemik (menurunkan kadar glukosa darah)
seperti hasil penelitian Bnouham et al. (2003) yang diacu dalam El Haouari et
al. (2007). Mekanisme penurunan kadar glukosa darah setelah pemberian
ekstrak daun jelatang belum diketahui pasti, namun diduga terkait dengan
keberadaan polisakarida dan komponen flavonoid. Tanaman-tanaman yang
bersifat hipoglikemik diketahui mengandung polisakarida dan berbagai hasil
percobaan mengindikasikan bahwa polisakarida dapat meningkatkan kadar
insulin serum, menurunkan kadar glukosa darah, dan memperbaiki toleransi

55
terhadap glukosa. Sedangkan flavonoid juga dikenal memiliki potensi
aktivitas hipoglikemik (Sah et al., 2010). Di samping karena adanya
polisakarida dan flavonoid, penurunan kadar glukosa darah pada tikus yang
mendapat ekstrak daun jelatang dosis 1 g/kg BB juga mungkin berkaitan
dengan hati berlemak. Hati berlemak dapat terjadi karena hambatan pada
proses oksidasi lipid di dalam mitokondria. Hambatan tersebut memicu
oksidasi glukosa yang berlebih sehingga menyebabkan penurunan kadar
glukosa darah.
Kelompok dosis 0,1 g/kg BB tidak menunjukkan perbedaan nyata pada
kadar glukosa darahnya dibandingkan tikus kontrol (p<0,05). Hal ini
diperkirakan terjadi karena konsentrasi komponen yang bertanggung jawab
terhadap efek penurunan kadar glukosa darah pada dosis 0,1 g/kg BB tidak
cukup untuk menimbulkan efek yang signifikan.
350.0000
Ulangan 1
300.0000 Ulangan 2
Kadar glukosa (mg/dl)

250.0000 Ulangan 3
200.0000 Ulangan 4

150.0000 Ulangan 5
Ulangan 6
100.0000
Ulangan 7
50.0000
Ulangan 8
0.0000
Ulangan 9
Kontrol Dosis 0,1 g/kg Dosis 1 g/kg BB
BB Ulangan 10

Gambar 16. Kadar glukosa tikus kontrol dan tikus yang mendapat ekstrak
daun jelatang dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB
Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8 merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok
dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6 merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk
kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7 merupakan tikus jantan dan sisanya betina

56
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Daun jelatang diketahui memiliki banyak khasiat bagi kesehatan. Namun
herbal ini juga dikaitkan dengan beberapa efek merugikan sehingga dikhawatirkan
berpotensi toksik bagi tubuh. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak daun jelatang (dosis 0,1 g/kg BB dan dosis 1 g/kg BB) memicu
reaksi gatal, pendarahan internal, serta arrhytmia. Arrhytmia dan pendarahan
internal diduga menjadi penyebab terjadinya kasus mortalitas (masing-masing
satu dari sepuluh tikus pada kelompok yang mendapat ekstrak daun jelatang).
Hingga akhir masa penelitian (90 hari) belum ditemukan manifestasi
toksisitas terhadap berat badan tikus yang diberikan ekstrak daun jelatang. Berat
relatif hati antarperlakuan tidak berbeda nyata (p<0,05) namun sebagian besar hati
dari kelompok yang mendapatkan ekstrak daun jelatang memiliki lebih banyak
droplet-droplet lemak yang menunjukkan terjadinya hati berlemak (steatosis).
Hasil analisis kimia darah (bilirubin total, bilirubin langsung, ALP, ALT,
AST, albumin, glukosa, dan trigliserida) menunjukkan bahwa pada kelompok
tikus Sprague Dawley yang diberikan ekstrak daun jelatang (dosis 0,1 g/kg BB
dan 1 g/kg BB) selama 90 hari ditemukan indikasi terjadinya salah satu kelainan
hati, yaitu steatosis. Gejala dan bukti terjadinya kerusakan hati lainnya tidak
ditemukan.

B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, perlu dilakukan kajian
mengenai komponen aktif khusus yang bertanggung jawab terhadap toksisitas
ekstrak daun jelatang mengingat jelatang mengandung beberapa senyawa aktif.
Uji toksikositas subkronis dengan dosis yang lebih rendah juga perlu dilakukan
untuk mengetahui dosis yang tidak berefek buruk sehingga aman untuk
diaplikasikan sebagai produk kesehatan bagi manusia. Di samping itu juga perlu
dilakukan uji toksisitas dengan fokus yang lebih mendalam terhadap organ lain
selain hati.
DAFTAR PUSTAKA

Aksu, M.I dan Kaya, M. 2004. Effect of usage Urtica dioica L. on microbiological
properties of sucuk, a Turkish dry-fermented sausage. Food Control. 15:
591-595.
American Herbal Pharmacopoeia. 2009. Stinging nettle herb. Scotts Valley.
Bangun, R. 2008. Hubungan kadar albumin serum dan outcome fungsional
penderita stroke iskemik dengan dan tanpa diabetes. Tesis. Fakultas
Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Bruneton, J. 1995. Pharmacognosy, Phytochemistry, Medicinal Plants. Lavoisier
Pulishers. Paris.
Butt, M.S., Nazir, A., Sultan, M.T., dan Schroën, K. 2008. Morus alba L. nature’s
functional tonic. Trends in Food Science and Technology (19): 505-512.
Cooper, H.A. Dries, D.L., Davis, C.E. Shen, Y.L. dan Domanski, M.J. 1999.
Diuretics and risk of arrhythmic death in patients with left ventricular
dysfunction. Circulation (100): 1311-1315.
Derelanko, M.J. dan Hollinger, M.A. 1994. CRC Handbook of Toxicology. Crc
Press. Boca Raton.
Donatus, I.A. 1998. Petunjuk Praktikum Toksikologi. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Dufour, D.R., Lott, J.A., Nolte, F.S., Gretch, D.R., Koff, R.S., dan Seeff, L.B.
2000. Diagnosis and monitoring of hepatic injury. I. Performance
characteristics of laboratory tests. Clinical Chemistry 46 (12): 2027-2049.
Durak, I., Biri, H., Devrim, E., Sözen, S., Avci, A. 2004. Aqueous extract of
Urtica dioica makes significant inhibition on adenosine deaminase activity
in prostate tissue from patients with prostate cancer. Cancer Biology and
Theraphy 3 (9): 855-857.
El Haouari, M., Jardin, I., Mekhfi, H., Rosado, J.A., Salido, G.M. 2007. Urtica
dioica extract reduces platelet hyperaggregability in type 2 diabetes
mellitus by inhibition of oxidant production, Ca2+ mobilization and protein
tyrosine phosphorylation. J. Appl. Biomed (5): 105-113.
European Medicines Agency. 2007. Evaluation of medicines for human use:
community herbal monograph on Urtica dioica L. and Urtica urens L.
herba. Draft. London.
Fragoso, L.R., Esparza, J.R., Burchiel, S.W., Ruiz, D.H., Torres, E. 2008. Risk
and benefits of commonly used herbal medicines in Mexico. Toxicology
and Applied Pharmacology (227): 128-135.
Haschek, W.M dan Rousseaux, C.G. 1998. Fundamentals of Toxicologic
Pathology. Academic Press. San Diego.
Hodgson, E dan Levi, P.E. 2004. Hepatotoxicity. Di dalam: Hodgson, E., editor.
A Textbook of Modern Toxicology. Ed 3. A John Wiley & Sons, Inc.
Amerika Serikat.
Junqueira LC & J Carneiro. 1997. Histologi Dasar. Alih Bahasa Jan Tambayong.
Jakarta : EGC.

Kaneko, J.J. 1980. Clinical Biochemistry of Domestic Animals. Third edition.


Academic Press. New York.
Lehninger AL. 1991. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Diterjemahkan oleh Maggy
Thenawidjaja. Jakarta : Erlangga.

Lopez-Parra, M., Titos, E., Horrillo, R., Ferre, N., Gonzalez-Periz, A., Martinez-
Clemente, M., Planaguma, A., Masferrer, J., Arroyo, V., dan Claria, J.
2010. Regulatory Effects of Arachidonate 5-Lipoxygenase on Hepatic
MTP activity and VLDL-TG and ApoB Secretion in Obese Mice. Journal
of Lipid Research ASBMB.
Lu, F. 1995. Toksikologi Dasar. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Malole, M.B.M., Pramono, C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan
di Laboratorium. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.
Peterson, M.E. dan Talcott, P.A. 2006. Small Animal Toxicology. Ed 2. Elsevier
Saunders. Amerika Serikat.
Puspawati, K.D. 2009. Kajian aktivitas proliferasi limfosit dan kapasitas
antioksidan sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) dan Jewawut
(Pennisetum sp) pada Tikus Sprague Dawley. Tesis. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Relle, S.S., Schauss, A.G., Finanscek, I., Glavits, R., Varga, T dan Szücs, Zs.
2005. Acute and subchronic toxicity studies of cryogenically-frozen,
cryomilled, Pelodiscus sinensis (Japanese soft-shelled turtle-suppon)
powder administered to the rat. Food and Chemical Toxicology (43): 575-
580.
Robinson, D.R. 1979. Eicosonoids, Inflammation, and Antiinflammatory Drugs.
Clin Exp Rheumatol 7: 155-61.
Sah, S.P., Sah, M.L., Juyal, V., dan Pandey, S. 2010. Hypoglycemic activity of
aqueous extract of Urtica parviflora roxb. in normoglycemic rats.
International Journal of Phytomedicine (2): 47-51.
Subcomitte on Laboratory Animal Nutrition. 1995. Nutrient Requirements of
Laboratory Animals. Fourth Revised Edition. National Academic Press.
Washington, D.C.

59
Sutari, I. 2008. Efek hepatoprotektif ekstrak etanol 70% daun dewandaru (Eugenia
uniflora L.) terhadap mencit jantan galur swiss terinduksi parasetamol.
Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.
Watzl, B. 1996. Health-promoting effects of phytochemicals. Proceedings of
IUFoST ’96 Regional Symposium on Non-Nutritive Health Factors for
Future Foods. Seoul. Korea. Oktober 10-11.
Widman, F.K. 1989. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

60
LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh perhitungan volume sonde per tikus
Untuk :
berat badan tikus (BB) = 200 g = 0,2 kg
dosis yang diinginkan = 0,1 g/kg BB = 100 mg/kg BB
konsentrasi ekstrak = 20 mg bahan/ml air

  
  
 

   

0,2 100/
 

20/
 
 1 

Lampiran 2. Perhitungan konversi dosis manusia ke tikus


Acuan :
Jumlah konsumsi daun jelatang = 2 g/hari/70 kg BB
Faktor konversi dari manusia (70 kg) ke tikus (20 g) = 0,018

Dosis pada tikus = 2 g x 0,018 = 0,036 g/hari/200 g BB


= 0,18 g/hari/kg BB
≈ 0,1 g/hari/kg BB

62
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan fisik

Sistem Jumlah kasus Keterangan


organ Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3
K R T K R T K R T
1
Sistem saraf - 1 21 - 12
22 13 1
Tikus terlihat gelisah dan sangat peka
pusat dan terhadap rangsangan/pengamat
2
somatomotor Mengalami kedutan di perut
3
Keseimbangan saat berjalan terganggu
Pencernaan - - - - - - - - -
Mata - 14 14 - 24 14 - 24 14 4
Ada gumpalan putih di salah satu atau kedua
dan dan mata tikus (R6, T8, dan R4) yang terus bertahan
25 35 hingga waktu terminasi
5
Ada sedikit porfirin di sekitar mata
Mulut - - - - 26 - - - - 6
Ada sedikit darah di sekitar mulut
Hidung - - - 37 47 47 - - - 7
Ada sedikit darah di hidung
Mortalitas - - - - - 18 - 19 - 8
T7 ditemukan mati pada hari ke-44, ada
banyak darah kering di sekitar mulut dan
hidung
9
R6 ditemukan mati pada hari ke-71.
Sebelumnya salah satu matanya mengeluarkan
banyak darah, jalannya miring, salah satu kaki
belakangnya tidak berfungsi baik
Lain-lain - - - - - - - 110 - 10
Ada tonjolan di tengah leher; karena tertekan
tonjolan tersebut mengeluarkan cairan yang
diduga nanah. Beberapa hari kemudian muncul
tonjolan baru di sekitar pundak kiri yang
kemudian mengecil dan menghilang.
Selanjutnya muncul tonjolan baru di leher kiri
K: kontrol; R: dosis 0,1 g/kg BB; T: dosis 1 g/kg BB

63
Lampiran 4. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
berat badan tikus pada awal perlakuan
Test of Homogeneity of Variances

berat badan tikus (g)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1,649 2 27 ,211

ANOVA

berat badan tikus (g)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 561,800 2 280,900 ,912 ,414
Within Groups 8318,900 27 308,107
Total 8880,700 29

Lampiran 5. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
berat badan tikus pada akhir perlakuan
Test of Homogeneity of Variances

berat badan tikus (g)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1,216 2 25 ,313

ANOVA

berat badan tikus (g)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 10576,475 2 5288,238 1,778 ,190
Within Groups 74376,489 25 2975,060
Total 84952,964 27

64
Lampiran 6. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kenaikan/selisih berat badan tikus
Test of Homogeneity of Variances

selisih berat badan (g)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
,927 2 25 ,409

ANOVA

selisih berat badan (g)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 6716,596 2 3358,298 1,476 ,248
Within Groups 56883,511 25 2275,340
Total 63600,107 27

Lampiran 7. Hasil uji homogenitas keragaman dan uji Kruskal Wallis-H


terhadap berat relatif hati
Test of Homogeneity of Variances

relatif hati
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3,539 2 25 ,044

Test Statisticsa,b

berat
relatif hati
Chi-Square ,495
df 1
Asymp. Sig. ,482
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: kelompok tikus

Keterangan: data berat relatif hati dijadikan data ordinal dengan penggenapan kemudian perkalian
dengan 100

65
Lampiran 8. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar bilirubin total
Test of Homogeneity of Variances

Kadar bilirubin total (mg/dl)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1,587 2 24 ,225

ANOVA

Kadar bilirubin total (mg/dl)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,407 2 ,204 8,026 ,002
Within Groups ,609 24 ,025
Total 1,016 26

Lampiran 9. Hasil uji lanjut Tukey terhadap kadar bilirubin total


Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar bilirubin total (mg/dl)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R ,068220 ,0731845 ,626 -,114543 ,250983
keompok T ,293895* ,0755535 ,002 ,105216 ,482574
kelompok R kelompok K -,068220 ,0731845 ,626 -,250983 ,114543
keompok T ,225675* ,0773966 ,020 ,032394 ,418956
keompok T kelompok K -,293895* ,0755535 ,002 -,482574 -,105216
kelompok R -,225675* ,0773966 ,020 -,418956 -,032394
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Kadar bilirubin total (mg/dl)


a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
keompok T 8 ,215325
kelompok R 9 ,441000
kelompok K 10 ,509220
Sig. 1,000 ,643
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis
dan serum dari satu tikus kelompok T tidak cukup untuk analisis ini

66
Lampiran 10. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar bilirubin langsung
Test of Homogeneity of Variances

Kadar bilirubin langsung (mg/dl)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2,952 2 24 ,071

ANOVA

Kadar bilirubin langsung (mg/dl)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,016 2 ,008 6,224 ,007
Within Groups ,030 24 ,001
Total ,046 26

Lampiran 11. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar bilirubin langsung
Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar bilirubin langsung (mg/dl)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R -,006840 ,0168413 ,913 -,048898 ,035218
keompok T ,047760* ,0163132 ,019 ,007021 ,088499
kelompok R kelompok K ,006840 ,0168413 ,913 -,035218 ,048898
keompok T ,054600* ,0172521 ,011 ,011516 ,097684
keompok T kelompok K -,047760* ,0163132 ,019 -,088499 -,007021
kelompok R -,054600* ,0172521 ,011 -,097684 -,011516
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Kadar bilirubin langsung (mg/dl)


a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
keompok T 9 ,033600
kelompok K 10 ,081360
kelompok R 8 ,088200
Sig. 1,000 ,913
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis
dan serum dari satu tikus kelompok R tidak cukup untuk analisis ini

67
Lampiran 12. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar alkalin phosphatase (ALP)
Test of Homogeneity of Variances

Kadar alkaline phosphatase (U/l)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2,749 2 25 ,083

ANOVA

Kadar alkaline phosphatase (U/l)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1189,098 2 594,549 32,359 ,000
Within Groups 459,340 25 18,374
Total 1648,438 27

Lampiran 13. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar alkalin phosphatase (ALP)
Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar alkaline phosphatase (U/l)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R 14,243167* 1,9694854 ,000 9,337513 19,148820
keompok T ,634722 1,9694854 ,944 -4,270931 5,540376
kelompok R kelompok K -14,243167* 1,9694854 ,000 -19,148820 -9,337513
keompok T -13,608444* 2,0206493 ,000 -18,641539 -8,575350
keompok T kelompok K -,634722 1,9694854 ,944 -5,540376 4,270931
kelompok R 13,608444* 2,0206493 ,000 8,575350 18,641539
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Kadar alkaline phosphatase (U/l)


a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
kelompok R 9 3,351333
keompok T 9 16,959778
kelompok K 10 17,594500
Sig. 1,000 ,945
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,310.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis
ini

68
Lampiran 14. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar alanin aminotransferase (ALT)
Test of Homogeneity of Variances

Kadar ALT (U/l)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1,341 2 24 ,281

ANOVA

Kadar ALT (U/l)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2778,197 2 1389,099 4,623 ,020
Within Groups 7210,929 24 300,455
Total 9989,126 26

Lampiran 15. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar alanin aminotransferase (ALT)
Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar ALT (IU/l)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R 7,539933 7,9642620 ,617 -12,349116 27,428982
keompok T 24,682225* 8,2220715 ,016 4,149352 45,215098
kelompok R kelompok K -7,539933 7,9642620 ,617 -27,428982 12,349116
keompok T 17,142292 8,4226393 ,125 -3,891457 38,176040
keompok T kelompok K -24,682225* 8,2220715 ,016 -45,215098 -4,149352
kelompok R -17,142292 8,4226393 ,125 -38,176040 3,891457
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Kadar ALT (IU/l)


a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
keompok T 8 53,546375
kelompok R 9 70,688667 70,688667
kelompok K 10 78,228600
Sig. ,113 ,634
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis
dan serum dari satu tikus kelompok T tidak cukup untuk analisis ini

69
Lampiran 16. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar aspartat aminotransferase (AST)
Test of Homogeneity of Variances

Kadar ast (U/l)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1,325 2 24 ,285

ANOVA

Kadar ast (U/l)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 640,119 2 320,059 4,263 ,026
Within Groups 1801,949 24 75,081
Total 2442,067 26

Lampiran 17. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar aspartat aminotransferase
(AST)
Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar AST (IU/l)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R 9,961217* 3,9812652 ,050 ,018854 19,903579
keompok T -,778387 4,1101420 ,980 -11,042592 9,485817
kelompok R kelompok K -9,961217* 3,9812652 ,050 -19,903579 -,018854
keompok T -10,739604* 4,2104041 ,045 -21,254192 -,225016
keompok T kelompok K ,778387 4,1101420 ,980 -9,485817 11,042592
kelompok R 10,739604* 4,2104041 ,045 ,225016 21,254192
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Kadar AST (IU/l)


a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
kelompok R 9 48,103333
kelompok K 10 58,064550 58,064550
keompok T 8 58,842938
Sig. ,058 ,980
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,926.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis
dan serum dari satu tikus kelompok T tidak cukup untuk analisis ini

70
Lampiran 18. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar albumin
Test of Homogeneity of Variances

Kadar albumin (mg/dl)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
,142 2 25 ,868

ANOVA

Kadar albumin (mg/dl)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,963 2 ,482 4,464 ,022
Within Groups 2,697 25 ,108
Total 3,660 27

Lampiran 19. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar albumin


Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar albumin (g/dl)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R -,366262 ,1509061 ,057 -,742144 ,009619
keompok T ,058127 ,1509061 ,922 -,317755 ,434008
kelompok R kelompok K ,366262 ,1509061 ,057 -,009619 ,742144
keompok T ,424389* ,1548264 ,029 ,038743 ,810035
keompok T kelompok K -,058127 ,1509061 ,922 -,434008 ,317755
kelompok R -,424389* ,1548264 ,029 -,810035 -,038743
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Kadar albumin (g/dl)


a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
keompok T 9 3,112933
kelompok K 10 3,171060 3,171060
kelompok R 9 3,537322
Sig. ,923 ,060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,310.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis

71
Lampiran 20. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar trigliserida
Test of Homogeneity of Variances

Kadar trigliserida (mg/dl)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3,259 2 23 ,057

ANOVA

Kadar trigliserida (mg/dl)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 83518,128 2 41759,064 18,165 ,000
Within Groups 52873,454 23 2298,846
Total 136391,6 25

Lampiran 21. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar trigliserida


Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar trigliserida (mg/dl)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R 118,443171* 23,29770 ,000 60,097881 176,788461
keompok T -1,293085 23,29770 ,998 -59,638374 57,052205
kelompok R kelompok K -118,44317* 23,29770 ,000 -176,788461 -60,097881
keompok T -119,73626* 22,60209 ,000 -176,339501 -63,133010
keompok T kelompok K 1,293085 23,29770 ,998 -57,052205 59,638374
kelompok R 119,736256* 22,60209 ,000 63,133010 176,339501
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Kadar trigliserida (mg/dl)


a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
kelompok R 9 88,022367
kelompok K 8 206,4655
keompok T 9 207,7586
Sig. 1,000 ,998
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,640.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

72
K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis
dan serum dari dua tikus kelompok K tidak cukup untuk analisis ini

Lampiran 22. Hasil uji homogenitas keragaman beserta uji sidik ragam terhadap
kadar glukosa
Test of Homogeneity of Variances

Kadar glukosa (mg/dl)


Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2,594 2 25 ,095

ANOVA

Kadar glukosa (mg/dl)


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 28052,616 2 14026,308 4,969 ,015
Within Groups 70568,370 25 2822,735
Total 98620,985 27

Lampiran 23. Hasil uji lanjut Tukey untuk kadar glukosa


Multiple Comparisons

Dependent Variable: Kadar glukosa (mg/dl)


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok tikus (J) Kelompok tikus (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kelompok K kelompok R 6,189343 24,41128 ,965 -54,615013 66,993699
keompok T 70,486943* 24,41128 ,021 9,682587 131,291299
kelompok R kelompok K -6,189343 24,41128 ,965 -66,993699 54,615013
keompok T 64,297600* 25,04545 ,042 1,913647 126,681553
keompok T kelompok K -70,486943* 24,41128 ,021 -131,291299 -9,682587
kelompok R -64,297600* 25,04545 ,042 -126,681553 -1,913647
*. The mean difference is significant at the .05 level.

73
Kadar glukosa (mg/dl)
a,b
Tukey HSD
Subset for alpha = .05
Kelompok tikus N 1 2
keompok T 9 133,1016
kelompok R 9 197,3992
kelompok K 10 203,5885
Sig. 1,000 ,966
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,310.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.

K = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB. Nilai N untuk tiap kelompok
berbeda karena salah satu tikus (dari kelompok R dan T) mati selama masa pengujian subkronis

Lampiran 24. Hasil penimbangan berat badan pada setiap kelompok tikus

Kode 01- 02- 04- 05- 06- 07- 08- 09- 10- 11-
tikus Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb
K1 168 168 166 170 175 170 172 177 178 178
K2 195 200 209 214 219 221 222 225 227 231
K3 202 206 210 212 218 220 228 229 233 233
K4 207 205 220 211 219 221 222 228 230 235
K5 216 222 224 226 230 230 233 235 237 237
K6 209 220 220 226 225 226 230 232 238 239
K7 221 228 232 236 239 241 240 245 248 248
K8 199 205 208 213 215 216 220 215 231 233
K9 175 172 176 181 192 182 184 187 188 195
K10 150 146 157 155 156 165 165 165 166 168
Rata-
rata 202,1 206,8 211,1 213,5 217,5 218,1 220,9 223,3 227,8 229,3

R1 195 201 202 206 209 210 212 215 220 220
R2 186 185 190 195 198 201 200 202 203 205
R3 187 194 191 185 195 192 200 207 209 212
R4 200 201 202 203 210 208 204 214 214 220
R5 183 190 190 200 209 211 211 215 218 222
R6 187 188 190 190 195 200 196 200 198 200
R7 170 179 180 180 185 187 189 195 190 194
R8 171 172 176 178 182 182 180 187 190 190
R9 201 205 188 185 197 201 200 202 200 208
R10 156 162 167 169 179 177 180 192 182 191
Rata-
rata 189,7 193,2 194,2 196,5 202,7 203,7 203,8 208,8 210,3 213,2

74
T1 185 195 200 205 203 209 212 216 219 224
T2 200 205 216 217 217 219 227 232 235 242
T3 200 200 208 207 212 217 220 222 225 233
T4 215 224 228 235 238 243 243 252 255 262
T5 178 180 188 190 190 193 190 198 198 198
T6 185 189 187 191 192 192 198 200 201 200
T7 184 195 200 201 203 208 208 211 214 220
T8 194 204 209 214 222 221 217 226 230 236
T9 185 190 191 193 196 198 198 208 210 219
T10 163 164 165 166 168 171 169 171 172 175
Rata-
rata 192,4 198,3 203,9 206,6 207,9 211,6 214,0 218,7 221,0 225,6

Kode 12- 13- 14- 16- 20- 22- 25- 27- 02- 04-
tikus Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Mar Mar
K1 185 188 189 190 214 221 222 225 229 233
K2 236 234 235 243 260 263 261 270 281 290
K3 237 242 246 252 265 266 292 291 295 296
K4 237 235 237 241 242 245 252 251 257 258
K5 237 241 243 255 280 282 290 302 305 298
K6 238 257 259 258 262 263 270 277 281 284
K7 254 255 256 262 270 273 275 275 279 226
K8 236 237 238 245 257 258 270 270 275 274
K9 195 200 202 203 212 215 215 219 226 228
K10 174 177 179 170 182 185 191 193 222 247
Rata-
rata 232,5 236,1 237,9 243,3 256,3 258,9 266,5 270,1 275,3 269,9

R1 226 228 229 236 247 248 258 265 269 273
R2 207 205 208 213 219 220 226 231 235 236
R3 214 215 217 225 233 235 242 246 254 257
R4 215 220 222 230 233 236 255 256 259 265
R5 224 227 229 235 244 247 255 257 263 268
R6 203 205 206 210 220 222 228 228 235 234
R7 196 196 197 202 207 209 213 215 215 218
R8 193 195 195 197 204 208 210 212 212 213
R9 208 205 207 210 205 207 225 228 230 225
R10 198 200 202 205 209 211 205 210 210 210
Rata-
rata 214,8 216,7 218,5 224,8 232,7 234,7 244,0 247,2 252,5 255,5

75
T1 224 225 227 234 237 239 252 270 278 281
T2 244 243 245 252 261 262 278 283 287 291
T3 235 235 237 245 255 255 271 277 286 290
T4 265 267 269 283 294 296 312 316 325 328
T5 202 205 207 212 215 217 225 225 232 233
T6 200 201 203 202 205 210 209 245 257 255
T7 223 225 226 235 240 210 257 259 265 265
T8 237 239 240 247 250 255 272 206 212 210
T9 225 228 230 253 245 247 250 257 255 258
T10 174 175 177 177 180 185 181 181 180 183
Rata-
rata 227,6 228,7 230,6 237,6 243,9 241,3 257,7 267,9 275,7 277,6

Kode 06- 08- 10- 12- 14- 16- 18- 20- 22- 24-
tikus Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar
K1 235 237 240 241 239 241 246 244 246 257
K2 293 295 298 306 306 315 315 315 318 324
K3 302 305 291 298 302 282 304 305 308 305
K4 258 260 262 266 269 255 271 272 275 275
K5 304 310 310 318 323 318 324 315 317 334
K6 281 286 290 293 307 298 300 290 305 303
K7 230 245 248 254 264 246 267 265 271 253
K8 280 280 275 283 288 290 292 295 298 298
K9 227 228 233 231 225 231 234 233 235 240
K10 245 247 240 248 253 252 251 247 249 254
Rata-
rata 272,9 277,3 276,8 282,4 287,3 280,6 289,9 287,6 292,3 293,6

R1 278 280 275 265 268 275 280 278 280 295
R2 242 245 246 240 240 245 250 247 248 260
R3 259 260 258 260 264 255 273 266 269 276
R4 264 267 268 253 241 248 251 252 257 270
R5 269 270 277 273 276 280 277 278 280 280
R6 231 234 236 223 214 223 228 206 209 212
R7 219 202 205 200 200 185 195 201 205 206
R8 215 217 207 196 195 199 200 205 207 211
R9 226 228 229 233 237 238 241 233 236 241
R10 207 210 205 192 191 196 191 206 209 222
Rata-
rata 257,2 259,3 260,0 252,3 250,5 254,3 259,8 254,5 257,2 265,5

76
T1 284 286 293 293 275 292 301 300 302 310
T2 290 293 296 291 282 282 274 280 283 297
T3 298 300 291 293 265 264 262 267 268 277
T4 327 329 336 343 344 355 351 356 357 359
T5 237 239 238 230 239 241 242 245 246 252
T6 259 260 267 266 243 245 242 248 250 267
T7 267 269 273 252 Mati
T8 215 217 215 214 215 215 218 215 217 220
T9 260 263 252 242 240 223 225 233 235 243
T10 184 186 181 180 180 180 181 181 185 182
Rata-
rata 280,3 282,3 284,9 281,1 274,7 279,8 278,7 282,7 284,3 293,7

Kode 26- 28- 30- 01- 03- 05- 07- 09- 11- 13-
tikus Mar Mar Mar Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr
K1 285 285 286 299 300 308 310 312 315 315
K2 330 333 336 342 345 341 348 352 356 359
K3 319 321 323 312 315 316 327 325 327 332
K4 279 281 282 288 289 288 290 292 295 296
K5 343 348 349 348 349 358 359 360 361 366
K6 306 312 315 315 317 316 323 315 317 327
K7 256 266 267 268 269 268 280 278 280 280
K8 299 300 302 301 305 304 303 318 320 320
K9 235 240 243 239 240 242 242 247 249 268
K10 256 260 262 259 260 266 268 269 270 268
Rata-
rata 302,1 305,8 307,5 309,1 311,1 312,4 317,5 319,0 321,4 324,4

R1 297 305 306 319 326 323 323 322 325 333
R2 267 255 257 280 287 278 295 288 289 272
R3 281 284 284 292 295 293 305 305 307 310
R4 271 275 277 283 280 280 295 301 305 305
R5 280 285 286 289 293 302 297 305 307 309
R6 225 232 235 240 246 237 240 250 252 233
R7 210 210 211 211 210 210 207 211 215 211
R8 215 219 220 220 223 228 233 227 228 230
R9 241 247 248 245 250 250 251 250 252 247
R10 222 226 228 223 236 238 245 244 246 237
Rata-
rata 270,2 272,7 274,2 283,8 287,8 285,5 292,5 295,2 297,5 293,7

77
T1 315 318 320 321 329 310 323 326 326 326
T2 302 304 306 316 322 322 324 327 329 330
T3 286 300 304 315 319 319 328 335 336 344
T4 364 370 372 370 376 365 382 379 380 358
T5 258 255 257 268 266 248 270 270 271 276
T6 273 276 277 279 283 281 285 289 290 293
T7 Mati
T8 225 228 229 229 240 238 238 240 245 255
T9 250 250 252 254 257 258 265 266 267 265
T10 189 188 189 190 200 199 191 190 190 200
Rata-
rata 299,7 303,8 306,0 311,5 315,8 307,5 318,7 321,0 322,0 321,2

Kode 15- 17- 19- 21- 23- 25- 27- 29- 01-
tikus Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Mei
K1 319 321 322 330 335 335 340 342 351
K2 364 367 368 374 380 386 385 387 386
K3 334 342 345 345 353 357 355 355 360
K4 299 301 303 305 306 311 315 313 314
K5 370 372 375 377 388 388 387 392 394
K6 330 330 333 335 335 336 337 340 337
K7 278 279 280 285 296 295 296 293 295
K8 319 324 325 310 320 326 330 325 330
K9 266 272 273 304 318 264 266 263 264
K10 270 268 269 270 275 275 274 274 277
Rata-
rata 326,6 329,5 331,4 332,6 339,1 341,8 343,1 343,4 345,9

R1 333 332 335 335 340 340 340 333 340


R2 290 293 295 296 302 306 305 310 307
R3 304 308 309 310 300 311 316 316 317
R4 307 310 311 312 320 323 324 332 336
R5 311 310 311 315 325 324 325 325 328
R6 mati
R7 217 218 220 220 220 222 205 223 222
R8 233 234 236 235 240 240 238 240 240
R9 245 243 245 245 250 245 248 255 251
R10 230 235 237 242 243 243 245 235 245
Rata-
rata 309,0 310,6 312,2 313,6 317,4 320,8 322,0 323,2 325,6

78
T1 330 321 325 332 330 329 338 322 340
T2 327 330 333 339 322 342 325 334 340
T3 345 349 350 359 337 356 322 355 350
T4 363 368 369 380 385 386 369 368 383
T5 276 278 280 282 286 283 280 282 287
T6 293 293 295 296 299 297 296 300 302
T7 mati
T8 258 273 273 295 181 190 180 185 185
T9 268 266 268 270 268 270 267 269 272
T10 200 194 195 195 198 194 193 192 186
Rata-
rata 322,3 323,2 325,3 331,3 326,5 332,2 321,7 326,8 333,7
k = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8
merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6
merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7
merupakan tikus jantan dan sisanya betina

Lampiran 25. Konsumsi pakan per hari

Kode 01- 02- 03- 04- 05- 06- 07- 08- 09- 10- 11-
tikus Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb
K1 11,7 11,4 12,0 13,5 11,2 10,9 13,5 15,4 16,9 18,7 19,4
K2 12,5 14,2 13,1 15,8 11,8 12,4 13,0 13,7 20,0 19,7 19,1
K3 16,2 17,2 17,3 17,5 16,9 17,5 16,5 15,0 15,5 16,7 16,2
K4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K5 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 15,1 20,0 20,0 20,0 16,0 18,0
K6 11,0 4,5 9,0 12,7 10,2 10,3 20,0 12,7 20,0 10,5 20,0
K7 20,0 19,2 20,0 20,0 20,0 20,0 16,6 20,0 20,0 20,0 20,0
K8 20,0 20,0 20,0 11,1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,1 20,0 20,0 19,2 11,4
K10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 19,1 20,0 20,0
Rata-
rata 15,1 15,7 15,6 16,7 15,0 15,2 15,8 16,0 18,1 18,8 18,7

R1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 9,4 17,5 17,2
R2 11,0 18,1 15,9 10,8 12,9 20,0 15,4 13,7 14,2 13,9 13,6
R3 19,1 14,1 16,4 17,2 15,0 15,0 15,7 17,0 15,1 16,7 17,0
R4 13,7 18,5 16,2 16,3 13,3 15,0 13,5 13,8 16,0 17,8 18,3
R5 16,3 14,4 15,4 16,5 15,5 14,6 15,4 12,3 12,0 12,3 13,6
R6 17,4 20,0 17,5 20,0 20,0 16,0 16,8 17,9 16,9 18,6 20,0
R7 17,4 19,7 15,9 16,9 20,0 20,0 20,0 20,0 19,0 20,0 20,0
R8 16,5 18,4 11,2 20,0 20,0 20,0 20,0 19,7 20,0 20,0 20,0
R9 13,2 13,5 13,2 20,0 10,7 15,1 15,3 14,6 17,3 18,2 20,0
R10 18,0 18,0 19,5 20,0 18,0 18,2 20,0 20,0 19,4 19,3 20,0
Rata- 16,3 17,5 16,1 17,8 16,5 17,4 17,2 16,9 15,9 17,4 18,0

79
rata

T1 11,7 11,6 12,9 11,2 13,4 13,5 14,4 20,0 18,7 19,7 20,0
T2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 13,7 20,0 20,0 20,0
T3 20,0 15,9 20,0 20,0 13,3 18,4 19,0 17,2 20,0 19,8 20,0
T4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T5 19,1 17,9 15,9 16,4 16,6 20,0 20,0 20,0 20,0 17,9 18,5
T6 16,9 20,0 20,0 16,3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T7 15,0 15,8 16,4 12,2 15,7 12,9 15,4 17,4 15,1 16,5 17,2
T8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T9 13,3 17,8 14,6 20,0 11,0 14,2 13,3 13,8 13,4 16,6 19,1
T10 17,9 18,8 10,2 12,6 13,5 12,4 12,6 11,8 18,2 16,7 13,8
Rata-
rata 17,4 17,8 17,0 16,9 16,3 17,1 17,5 17,4 18,5 18,7 18,9

Kode 12- 13- 14- 15- 19- 21- 23- 24- 25- 26- 12-
tikus Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb
K1 19,2 19,6 19,5 20,0 9,6 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 19,2
K2 16,2 16,7 20,0 20,0 15,0 20,0 13,2 20,0 17,1 20,0 16,2
K3 14,3 14,4 20,0 20,0 16,6 20,0 15,5 19,7 14,0 20,0 14,3
K4 20,0 20,0 20,0 19,3 20,0 20,0 18,0 16,6 20,0 17,9 20,0
K5 20,0 20,0 20,0 18,7 20,0 20,0 20,0 20,0 18,9 20,0 20,0
K6 20,0 20,0 20,0 14,6 20,0 13,9 20,0 12,6 13,9 12,8 20,0
K7 14,1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 14,1
K8 20,0 20,0 19,7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 17,4 17,7 19,9 19,8 15,3 20,0 16,7 19,1 17,8 19,5 17,4

R1 16,2 17,4 17,4 20,0 18,1 19,1 16,0 20,0 16,4 17,2 16,2
R2 17,2 18,9 19,1 20,0 10,4 18,6 12,6 20,0 18,5 19,5 17,2
R3 16,9 16,8 17,4 20,0 17,5 16,7 15,8 20,0 20,0 20,0 16,9
R4 15,9 18,2 17,7 20,0 14,7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 15,9
R5 11,7 14,4 15,8 14,4 12,1 14,8 17,3 20,0 18,0 20,0 11,7
R6 20,0 20,0 20,0 20,0 19,4 20,0 20,0 20,0 20,0 19,8 20,0
R7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 16,9 20,0 20,0 20,0 18,4 20,0
R8 17,9 18,7 19,3 20,0 18,5 18,8 18,2 20,0 20,0 16,7 17,9
R9 16,9 17,4 17,1 20,0 20,0 20,0 19,5 20,0 20,0 19,2 16,9
R10 18,0 19,5 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 18,0
Rata-
rata 17,1 18,1 18,4 19,4 17,1 18,5 17,9 20,0 19,3 19,1 17,1

80
T1 20,0 20,0 20,0 19,9 20,0 20,0 18,1 16,9 20,0 20,0 20,0
T2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T3 20,0 20,0 20,0 20,0 18,1 20,0 19,3 18,6 20,0 13,8 20,0
T4 20,0 20,0 18,0 17,1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T5 17,5 18,6 18,7 18,6 20,0 20,0 19,0 14,8 17,6 12,7 17,5
T6 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,7 13,4 20,0 16,5 20,0
T7 13,7 16,9 17,3 16,9 14,7 20,0 16,7 17,3 18,2 17,8 13,7
T8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T9 16,3 19,4 20,0 20,0 14,9 20,0 19,1 20,0 19,8 20,0 16,3
T10 15,2 16,8 16,7 16,0 14,0 20,0 16,1 9,3 16,1 13,2 15,2
Rata-
rata 18,3 19,2 19,1 18,9 18,2 20,0 18,6 17,0 19,2 17,4 18,3

Kode 27- 28- 01- 02- 03- 04- 05- 06- 07- 08- 09-
tikus Feb Feb Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar
K1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K2 17,6 20,0 18,5 20,0 20,0 20,0 16,3 15,9 16,1 15,4 12,0
K3 20,0 15,6 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 19,4 17,5 17,4 18,2
K4 20,0 20,0 20,0 18,0 15,7 16,2 13,7 14,0 13,8 18,3 19,1
K5 20,0 20,0 20,0 19,4 18,5 18,9 20,0 20,0 20,0 20,0 13,0
K6 12,9 9,9 16,0 20,0 20,0 18,0 20,0 19,2 16,8 13,5 15,2
K7 20,0 20,0 20,0 20,0 5,7 17,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 16,2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K10 20,0 14,9 16,3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 18,5 18,7 18,3
Rata-
rata 19,4 18,9 19,6 19,5 18,9 19,1 17,5 17,3 16,9 17,8 17,3

R1 14,2 14,7 18,4 12,7 16,2 17,8 13,9 12,8 10,6 20,0 2,3
R2 15,2 12,6 17,6 12,2 12,4 14,3 11,1 15,0 11,9 6,4 10,4
R3 18,2 19,1 20,0 20,0 19,1 14,2 15,7 13,7 15,0 16,3 15,3
R4 20,0 20,0 20,0 19,2 20,0 20,0 18,4 17,5 16,1 7,2 7,0
R5 16,7 14,5 14,6 14,8 12,3 12,9 14,2 13,3 13,3 13,7 10,2
R6 19,0 20,0 20,0 17,7 19,2 19,0 17,5 14,3 9,5 12,7 16,3
R7 19,0 17,5 19,1 16,7 20,0 20,0 16,8 19,3 16,0 17,2 10,5
R8 16,9 15,2 16,3 20,0 13,2 12,0 20,0 13,6 10,7 14,1 12,5
R9 15,4 16,7 17,7 16,7 16,2 16,8 14,2 14,0 12,5 13,2 9,5
R10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 17,4 17,0 18,4 17,0 16,9 16,7 16,2 15,4 13,6 14,1 11,4

81
T1 20,0 20,0 16,4 16,9 19,8 19,1 11,9 11,3 13,9 9,8 13,7
T2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 16,2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T3 20,0 15,7 17,9 14,0 20,0 11,8 16,0 15,1 15,6 17,0 14,2
T4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T5 20,0 20,0 13,4 10,5 11,6 13,7 17,0 16,7 13,2 14,8 12,1
T6 20,0 13,2 19,6 18,9 16,9 17,9 20,0 20,0 20,0 18,6 19,3
T7 20,0 15,0 17,5 17,9 15,9 18,8 16,3 15,1 17,0 19,1 18,1
T8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T9 20,0 19,5 20,0 18,2 19,7 20,0 18,7 19,1 15,7 20,0 18,0
T10 20,0 19,2 17,0 17,1 20,0 15,7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 20,0 18,3 18,2 17,3 18,4 17,3 18,0 17,7 17,5 17,9 17,5

Kode 10- 11- 12- 13- 14- 15- 16- 17- 18- 19- 20-
tikus Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar
K1 20,0 19,0 18,7 12,4 14,7 20,0 20,0 19,7 20,0 20,0 12,6
K2 20,0 16,3 12,4 12,0 17,2 17,4 20,0 17,1 20,0 20,0 20,0
K3 13,8 20,0 16,4 14,8 19,0 17,3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K4 12,8 12,7 16,5 5,0 15,1 17,9 18,8 20,0 20,0 20,0 20,0
K5 9,0 11,0 13,7 14,7 12,7 10,8 10,4 10,0 15,0 14,7 17,0
K6 14,9 18,3 15,9 16,0 14,9 15,4 16,4 15,2 12,7 20,0 15,5
K7 20,0 20,0 16,7 13,0 16,3 19,6 15,7 19,0 18,5 16,0 16,7
K8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 15,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 20,0 20,0 20,0 17,2 19,4 16,2 13,1 17,9 18,0 16,4 20,0
K10 20,0 14,8 14,8 17,8 20,0 20,0 17,0 17,6 14,4 16,2 20,0
Rata-
rata 16,7 17,0 16,0 11,0 16,5 18,2 19,7 19,2 20,0 20,0 18,2

R1 6,0 10,5 17,9 20,0 11,9 11,4 15,2 9,9 10,6 15,1 16,2
R2 1,9 3,3 6,2 9,9 16,1 14,8 13,4 15,0 15,5 17,5 14,0
R3 16,1 1,4 9,0 12,6 17,1 13,6 16,5 17,8 15,3 20,0 20,0
R4 6,2 9,2 13,3 14,6 15,4 16,8 15,8 20,0 16,2 20,0 19,0
R5 11,0 5,6 14,4 13,8 20,0 14,0 15,8 11,3 16,0 18,0 19,2
R6 13,9 13,4 13,1 14,8 20,0 20,0 18,7 20,0 18,9 20,0 20,0
R7 7,8 4,4 3,6 11,9 12,0 14,6 13,3 18,0 20,0 16,6 20,0
R8 13,8 13,4 14,7 11,7 14,9 17,2 13,8 20,0 19,4 15,8 20,0
R9 7,5 20,0 13,7 13,8 13,3 16,9 13,2 15,9 13,8 13,4 16,7
R10 20,0 16,3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 10,4 9,7 12,6 14,3 16,1 15,9 15,6 16,8 16,6 17,6 18,5

82
T1 5,9 11,8 8,9 9,7 14,1 14,9 8,8 17,7 11,3 15,8 11,1
T2 6,9 12,5 12,2 4,9 1,9 5,1 10,2 10,5 9,4 20,0 12,8
T3 10,6 14,3 9,5 15,1 15,6 20,0 20,0 14,6 20,0 20,0 7,5
T4 20,0 20,0 16,5 10,6 10,0 20,0 20,0 5,9 20,0 20,0 20,0
T5 8,3 4,8 4,9 4,7 8,4 1,5 2,0 20,0 6,7 14,0 10,8
T6 16,0 14,8 10,7 20,0 6,3 10,0 13,5 14,3 11,5 20,0 18,8
T7 20,0 20,0 6,2
T8 20,0 20,0 20,0 8,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,6
T9 15,5 16,1 20,0 17,0 15,3 18,4 11,6 19,6 17,4 20,0 15,4
T10 20,0 20,0 14,7 3,4 1,9 10,1 11,1 10,9 13,1 20,0 20,0
Rata-
rata 14,3 15,4 12,4 10,4 10,4 13,3 13,0 14,8 14,4 18,9 14,9

Kode 21- 22- 23- 24- 25- 26- 27- 28- 29- 30- 31-
tikus Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar Mar
K1 20,0 20,0 20,0 20,0 15,3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K2 20,0 20,0 20,0 16,9 17,5 12,1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K4 20,0 20,0 20,0 16,9 17,7 12,4 18,7 14,0 20,0 20,0 20,0
K5 17,1 20,0 17,4 20,0 15,2 15,2 20,0 20,0 20,0 12,2 12,1
K6 16,2 20,0 13,1 15,4 17,0 15,2 16,6 13,4 20,0 17,5 18,2
K7 20,0 20,0 20,0 20,0 19,2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K10 20,0 20,0 20,0 20,0 16,0 20,0 16,8 20,0 20,0 16,8 20,0
Rata-
rata 20,0 20,0 20,0 18,4 17,6 16,1 19,7 18,5 20,0 20,0 20,0

R1 13,3 18,8 15,5 16,0 17,5 20,0 16,8 10,6 20,0 14,5 20,0
R2 14,8 12,8 14,5 12,4 15,3 14,0 17,4 16,2 20,0 19,9 16,8
R3 17,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,6 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
R4 20,0 20,0 18,2 18,0 20,0 20,0 20,0 15,5 20,0 20,0 17,9
R5 16,0 17,9 15,5 15,3 17,8 11,9 16,2 16,0 20,0 18,0 16,1
R6 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 18,3 18,9 20,0 19,1 15,9
R7 19,6 20,0 15,8 17,0 16,7 14,2 13,5 20,0 20,0 20,0 15,9
R8 16,0 16,3 15,9 12,6 18,2 12,5 19,0 19,4 20,0 14,9 20,0
R9 20,0 20,0 20,0 20,0 18,0 13,9 17,6 13,8 20,0 11,3 15,3
R10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 17,7 18,6 17,5 17,1 18,4 16,4 17,9 17,0 20,0 17,8 17,8

83
T1 19,2 18,9 12,6 15,1 16,4 20,0 20,0 20,0 18,4 11,1 20,0
T2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,5 12,8 20,0
T3 20,0 20,0 16,9 16,4 18,2 20,0 19,7 20,0 19,3 7,5 20,0
T4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T5 11,3 11,3 20,0 12,8 14,9 12,8 12,2 20,0 20,0 10,8 20,0
T6 20,0 20,0 20,0 20,0 19,1 18,6 20,0 20,0 18,9 18,8 20,0
T7
T8 12,7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,6 20,0
T9 14,9 17,3 14,7 15,7 14,3 16,8 18,8 20,0 15,7 15,4 20,0
T10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 17,6 18,6 18,2 17,8 18,1 18,7 19,0 20,0 18,9 14,9 20,0

Kode 01- 02- 03- 04- 05- 06- 07- 08- 09- 10- 11-
tikus Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr
K1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,6 20,0 14,0 20,0 20,0 20,0
K2 20,0 20,0 20,0 20,0 13,3 19,0 20,0 9,7 20,0 20,0 20,0
K3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K4 15,8 17,3 18,3 20,0 17,4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K5 18,4 19,3 16,5 20,0 19,5 16,4 16,9 17,5 14,6 20,0 20,0
K6 15,5 14,2 20,0 20,0 15,7 16,2 17,3 13,9 16,8 11,7 13,8
K7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 16,8
K8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K10 17,6 14,5 20,0 20,0 19,1 14,9 20,0 20,0 16,2 15,9 20,0
Rata-
rata 18,9 19,3 19,6 20,0 17,7 19,2 20,0 15,9 20,0 20,0 20,0

R1 19,3 11,4 19,1 20,0 20,0 20,0 14,2 15,9 11,4 13,6 13,9
R2 18,4 13,5 18,7 20,0 16,8 16,0 11,8 15,2 14,4 15,8 14,8
R3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 17,4 20,0 20,0 16,4 20,0
R4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
R5 16,0 12,9 13,5 16,0 17,3 18,6 11,8 14,2 9,0 9,4 20,0
R6 20,0 19,2 19,5 20,0 20,0 19,1 16,8 18,6 18,3 18,5 17,4
R7 20,0 14,8 11,0 12,9 20,0 20,0 20,0 18,5 17,0 10,9 8,3
R8 20,0 13,1 14,3 16,9 16,4 17,4 15,0 13,0 13,6 12,4 11,5
R9 17,7 12,4 17,7 20,0 20,0 20,0 12,9 10,8 12,5 11,6 11,6
R10 20,0 18,3 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 19,1 15,5 17,4 18,6 19,0 19,1 16,0 16,6 15,6 14,9 15,7

84
T1 16,1 20,0 19,5 20,0 14,9 19,0 16,7 16,4 20,0 20,0 20,0
T2 20,0 14,6 12,3 20,0 14,7 20,0 20,0 20,0 16,7 16,6 20,0
T3 20,0 20,0 20,0 20,0 18,1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T4 20,0 20,0 20,0 20,0 18,7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T5 11,7 15,5 13,4 20,0 17,7 15,4 16,0 11,5 10,2 10,2 12,9
T6 20,0 18,0 16,7 20,0 17,1 20,0 20,0 20,0 15,5 13,4 20,0
T7
T8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 18,5
T9 17,3 14,8 15,5 20,0 11,2 14,4 14,3 15,4 14,6 16,7 13,8
T10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 18,3 18,1 17,5 20,0 16,9 18,8 18,6 18,1 17,4 17,4 18,4

Kode 13- 14- 15- 16- 17- 18- 19- 20- 21- 22- 23-
tikus Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr
K1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K3 18,6 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K5 20,0 17,0 20,0 15,5 20,0 20,0 20,0 20,0 17,9 20,0 20,0
K6 13,5 20,0 12,9 14,6 16,5 20,0 15,0 13,6 15,3 15,0 16,0
K7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K10 17,8 14,0 20,0 18,0 16,4 20,0 16,8 15,6 13,3 7,4 20,0
Rata-
rata 19,7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0

R1 14,7 14,6 17,3 12,3 14,5 13,5 11,8 11,1 10,9 12,9 13,9
R2 15,3 16,8 16,7 17,0 17,1 13,5 15,1 15,0 16,1 13,2 18,1
R3 20,0 20,0 19,7 14,4 16,4 17,0 15,7 16,3 20,0 19,2 16,6
R4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
R5 15,7 14,0 18,0 17,5 16,4 11,4 16,0 14,7 15,9 14,8 16,2
R6 10,4 3,6
R7 12,6 14,5 19,0 16,1 13,8 13,4 15,3 14,2 12,4 14,2 15,5
R8 17,9 14,6 12,6 18,0 18,5 13,7 15,3 12,8 18,0 16,9 18,0
R9 10,7 12,2 9,2 12,9 20,0 13,6 20,0 10,7 13,7 17,2 20,0
R10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 18,3 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 15,7 15,0 16,9 16,5 17,4 15,1 16,4 15,0 16,3 16,5 17,6

85
T1 13,5 16,0 20,0 18,5 16,2 14,1 15,8 17,5 20,0 16,8 20,0
T2 20,0 13,5 15,9 14,2 20,0 16,5 20,0 15,3 19,4 16,2 11,1
T3 20,0 20,0 20,0 17,8 20,0 19,7 20,0 15,7 20,0 12,7 12,0
T4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
T5 11,3 10,9 11,8 11,0 11,8 13,0 10,2 12,3 13,2 11,5 13,9
T6 14,0 10,8 14,2 16,3 18,2 19,4 20,0 20,0 18,0 17,1 8,8
T7
T8 8,8 20,0 16,5 15,9 20,0 18,5 20,0 17,8 20,0 20,0 20,0
T9 14,9 15,4 12,7 16,2 17,4 14,0 16,2 13,2 14,5 16,9 13,5
T10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 15,8 16,3 16,8 16,6 18,2 17,2 18,0 16,9 18,3 16,8 15,5

Kode 24- 25- 26- 27- 28- 29- 30- 01-


tikus Apr Apr Apr Apr Apr Apr Apr Mei
K1 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K2 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K3 20,0 20,0 20,0 17,1 20,0 20,0 20,0 20,0
K4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K5 20,0 20,0 20,0 20,0 18,2 19,2 20,0 20,0
K6 11,4 14,9 15,6 13,8 15,8 20,0 10,8 15,7
K7 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K8 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K9 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
K10 18,9 20,0 20,0 20,0 16,0 16,3 20,0 20,0
Rata-
rata 20,0 20,0 20,0 19,3 20,0 20,0 20,0 20,0

R1 20,0 20,0 13,5 13,2 13,2 9,4 13,1 13,3


R2 20,0 20,0 18,5 12,7 14,9 20,0 20,0 20,0
R3 16,9 20,0 16,8 20,0 20,0 19,1 19,1 17,8
R4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
R5 20,0 20,0 17,2 15,9 16,5 15,4 17,5 16,3
R6
R7 12,3 20,0 14,2 16,3 16,7 20,0 13,2 15,1
R8 14,3 20,0 20,0 15,7 15,5 20,0 19,0 15,9
R9 11,3 14,6 18,5 12,2 15,0 16,2 13,5 17,2
R10 20,0 18,4 20,0 20,0 20,0 20,0 18,3 18,2
Rata-
rata 17,2 19,2 17,6 16,2 16,9 17,8 17,1 17,1

86
T1 7,5 16,1 20,0 20,0 15,8 13,4 20,0 20,0
T2 15,4 20,0 20,0 6,9 15,3 16,2 19,4 15,1
T3 10,9 10,6 20,0 8,0 8,4 9,1 9,6 20,0
T4 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 6,9
T5 12,6 16,6 20,0 20,0 11,2 9,5 12,6 14,9
T6 15,6 20,0 20,0 11,0 13,3 17,3 20,0 19,3
T7
T8 15,3 20,0 20,0 15,8 20,0 19,2 20,0 20,0
T9 11,8 14,1 14,4 12,8 13,0 13,9 15,4 13,8
T10 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0 20,0
Rata-
rata 14,3 17,5 19,4 14,9 15,2 15,4 17,4 16,7
k = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8
merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6
merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7
merupakan tikus jantan dan sisanya betina

Lampiran 26. Berat dan berat relatif hati

Kode tikus Berat hati (g) berat relatif hati


K1 9,0406 0,0258
K2 10,558 0,0274
K3 9,4602 0,0263
K4 8,1037 0,0258
K5 10,5658 0,0268
K6 9,7565 0,0290
K7 8,2832 0,0281
K8 8,3416 0,0253
K9 9,6929 0,0367
K10 7,2145 0,0260
Rata-rata 9,1017 0,0277

R1 9,0453 0,0261
R2 8,9863 0,0281
R3 9,3827 0,0286
R4 9,1753 0,0267
R5 8,4842 0,0250
R6 Mati
R7 5,9442 0,0264
R8 6,1106 0,0253
R9 6,135 0,0241
R10 22,9844 0,0916
Rata-rata 9,5831 0,0335

87
T1 9,1319 0,0269
T2 7,4666 0,0220
T3 11,7193 0,0335
T4 10,1241 0,0264
T5 6,7015 0,0234
T6 7,1822 0,0238
T7 Mati
T8 5,0538 0,0273
T9 6,5428 0,0241
T10 5,9026 0,0317
Rata-rata 7,7583 0,0266

k = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8
merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6
merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7
merupakan tikus jantan dan sisanya betina

ampiran 27. Kadar bilirubin, ALP, albumin, trigliserida, ALT dan AST

88
Bilirubin Bilirubin
Kode ALP Albumin Trigliserida ALT AST
total langsung
tikus (U/l) (mg/dl) (mg/dl) (U/l) (U/l)
(mg/dl) (mg/dl)
K1 0,9180 0,108 16,452 3,0855 225,8621 98,1520 57,8370
K2 0,5724 0,0576 24,221 3,0076 - 76,7520 53,3970
K3 0,5886 0,072 13,253 3,0717 - 103,5020 67,8825
K4 0,5076 0,0576 15,081 2,8886 220,6897 80,8180 62,4990
K5 0,2862 0,0792 15,538 2,8245 270,6897 100,7200 68,4375
K6 0,3402 0,0936 16,452 2,9985 222,4138 64,9820 51,7875
K7 0,4482 0,108 22,85 3,7218 129,3103 85,3120 53,4525
K8 0,4320 0,0576 15,538 3,3281 175,8621 51,0720 53,1195
K9 0,5940 0,0792 12,339 3,4654 133,6207 65,8380 59,5020
K10 0,4050 0,1008 24,221 3,3189 273,2759 55,1380 52,7310
Rerata 0,5092 0,08136 17,5945 3,1711 471,2069 78,2286 58,0646

R1 0,6318 0,0792 2,2850 3,3141 81,7610 67,9780 46,2500


R2 0,6588 0,036 3,1990 3,9667 102,6415 106,4980 55,7300
R3 0,4320 0,0864 2,7420 3,4846 101,6352 93,6580 45,8900
R4 0,2376 0,036 3,6560 3,4870 130,0629 62,6280 37,4900
R5 0,2754 0,072 3,6560 3,4456 54,5912 65,8380 42,8900
R6 MATI
R7 0,5346 - 7,3120 2,7175 73,9623 47,4340 51,0500
R8 0,6318 0,144 2,7420 4,0446 83,7736 82,9580 57,6500
R9 0,3132 0,1152 1,3710 3,7573 81,2579 57,9200 42,0500
R10 0,2538 0,1368 3,1990 3,6185 82,5157 51,2860 53,9300
Rerata 0,4410 0,0882 3,3513 3,5373 88,0224 70,6887 48,1033

T1 0,1782 0 17,366 3,0397 165,5172 54,2820 69,8250


T2 0,1458 0 13,253 2,9207 178,4483 47,4340 59,6130
T3 0,3618 0,072 15,538 3,2686 298,2759 65,4100 74,4870
T4 0,2268 0,072 14,624 2,9435 174,1379 66,1590 65,0520
T5 0,2646 0 15,995 2,8978 143,9655 45,5080 34,5825
T6 0,0324 0,0288 18,737 3,8042 206,0345 66,6940 60,7230
T7 MATI
T8 - 0 31,076 2,8474 198,2759 - -
T9 0,3240 0,0144 14,167 2,9710 191,3793 39,7300 54,7290
T10 0,1890 0,1152 11,882 3,3235 313,7931 43,1540 51,7320
Rerata 0,2153 0,0336 16,9598 3,1129 207,7586 53,5464 58,8429
k = kontrol; R = dosis 0,1 g/kg BB; dan T = dosis 1 g/kg BB Untuk tikus kontrol, ulangan 1-8
merupakan tikus jantan dan sisanya betina; untuk kelompok dosis 0,1 g/kg BB, ulangan 1-6
merupakan jantan dan sisanya betina; sedangkan untuk kelompok dosis 1 g/kg BB, ulangan 1-7
merupakan tikus jantan dan sisanya betina. Beberapa tikus tidak memiliki serum yang cukup
sehingga data beberapa parameter kimia darah tidak lengkap

89

Anda mungkin juga menyukai