OLEH :
1. Didin purna wijaya
2. Moh.rofin suseno
3. Indah mustika rini
4. Siti Fatimah
5. Syarifah hafizah ulfa
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat hidayah dan
petunjuknya sehingga kami dapat kami menyelesaikan makalah yang berjudul ”
Asuhan Keperawatan Padasistem integument dengan kasus stevens jhanson”.
Dalam penyelesaian ini yang tidak lepas dari kesalahan. Namun dengan
adanya bimbingan, pengarahan dari berbagai pihak, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan, maka pada kesempatan ini kami tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada:
1. KH. Mutawakil Alallah, SH.MM selaku ketua yayasan dan penanggung
jawab Akademi Keperawatan Hafsahaty Zainul Hasan Genggong.
2. Roisah,SKM, M. Kes, selaku Direktur Akademi Keperawatan Hafsawaty
Zainul Hasan Genggong
3. Ns. Erna handayani S. Kep, selaku dosen pengajar sistem integumen yang
telah memberikan bimbingan serta pengarahan kepada tim penulis.
Dalam penyusunan makalah ini belum sempurna dan terdapat kekurangan.
Untuk itu penulis berharap saran dan kritik, penulis dapat mengucapkan terima
kasih.
Kelompok 8
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sindrom stiven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput
lender di orifisium, dan mata dengan keaadan umum bervariasi dari ringan sampai
berat. Kelainan pada kulit berupa eritema,vesikel/bula, dapat disertai purpura.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori dari Stevens jhonson?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Steven jhonsons?
BAB II
KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lender di orifisium, dan mata dengan keaadan umum bervariasi dari
ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema,vesikel/bula, dapat
disertai purpura
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang
terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982:
480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput
lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
B. ETIOLOGI
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat
dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik
a. penisilin, analgetik, arti piuretik
b. Penisilline dan semisentetiknya
c. Sthreptomicine
d. Sulfonamida
e. Tetrasiklin
f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol)
g. Kloepromazin
h. Karbamazepin
i. Kirin Antipirin
j. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
C. MANIFESTASI KLINIS
Sindrom ini umumnya terdapat pada anak dan dewasa jarang dijumpai
pada usia 3 tahun ke bawah. Keadaannya umumnya bervariasi dari baik
sampai buruk di mana kesadarannya spoor sampai koma.berawal sebagai
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam
tinggi,malaise,nyeri kepala,batuk,pilek,dan nyeri tenggorok.
Triass SSJ adalah:
a. Kelainan kulit berupa eritema,vesikel,dan bula yang kemudian memecah
sehimgga terjadi erosi yang luas.
b. Kelainan selaput lendir orifisium,yang tersering ialah paada mukusa
mulut (100%).
c. Kelainan mata(80%),yang terering konjungtivitis kataralis.dapat terjadi
konjungtivitis purulen ,perdarahan,ulkus kornea dan iritis.
D. PATOFISIOLOGI
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
menbentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktifasi system komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi netrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan jaringan organ pada sasaran. Reaksi tpe IV terjadi akibat
limfosit T yang bersentisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin di lepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Reaksi alergi Terbentuknya Aktivasi system
Sensivitas
Akumulasi
limfosit T
neutrofil
peningkatan Kerusakan jaringan pada
respon radang organ sasaran
Kerusaitas
Trias gangguan pada kulit, mukosa, dan mata
integritas jaringan
G3 Kondisi
Kerusakan Port dee gastrointestinal kerusakan
saraf perifer entre demam,malaise jaringan kulit
Ketidak Gangguan
nyeri Resiko tinggi
seimbangan nutrisi gambaran
infeksi
kurang deficit diri
perawatan diri kecemasan
E. KOMPLIKASI
1. Bronkopneumonia (16%)
2. sepsis
3. kehilangan cairan/darah
4. gangguan keseimbangan elektrolit
5. syok
6. kebutaan gangguan lakrimasi
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu
dokter dalam menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah
putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar
sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial
berat.
Pemeriksaan elektrolit
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai
terjadi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan
2. Imaging Studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
3. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung
ditegakkannya diagnosa.
G. PENATALAKSANAAN
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa
hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan
elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila
terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam
bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok
dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan
alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin
dengan dosis 2 x 80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena
pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya
glukosa 5 % dan larutan Darrow.
4. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine
perak.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b/dlesi dan reaksi inflamasi local.
b. Ketidakseimbangan nutrisi,kurang dari kebutuhan b/dintake tidak
adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
c. Risiko tinggi infeksi b/d penurunan imunitas,adanya port de entrée pada
lesi.
d. Nyeri b/d kerusakan jaringan lunak,erosi jaringan lunak.
e. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik secara umum.
f. Gangguan gambaran diri(citra diri)b/d perubahan struktur
kulit,perubahan peran keluarga.
g. kecenasan b/d kondisi penyakit ,penurunan penyembuhan.
3. Rencana Keperawatan
Tujuan intervensi keperawatan adalah peningkatan jarring integriatas
kulit,terpenuhinya intake nutrisi harian,penurunan risiko infeksi
menurunkan stimulus nyeri,mekanisme koping yang efektif,dan penurunan
kecemasan.untuk risiko infeksi dapat disesuaikan dengan masalah yang
sama pada pasien NET. Pada gangguan gambaran diri (citra diri),intervensi
dapat disesuaikan pada masalah yang sama pada pasien psoarisis.
Sementara itu,intervensi deficit perawatan diri dan kecemasan dapat di
sesuaikan pada masalah yang sama pada pasien pemfigus vulgaris.
Kesimpulan
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter,
dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter
tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.