Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

HEMATEMESIS MELENA

I GEDE ARI PERMANA PUTRA


013.06.0030

Pembimbing
dr. Made Dwija Suarjana, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK INTERNA/RSU BANGLI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan

penyusunan laporan kasus ini dengan judul Hematemesis Melena. Dimana dalam

penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti

kepaniteraan klinik di bagian SMF Penyakit Dalam.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang

menjadi tutor atau fasilitator yang membimbing kami selama melaksanakan tugas

ini, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini

sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan bagi kami.

Dalam penyusunan laporan kasus ini kami menyadari bahwa masih

banyak kekurangannya sehingga kami menginginkan saran dan kritik yang

membangun dalam menyempurnakan laporan kasus.

Bangli, 12 September 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i

KATA PENGANTAR .....................................................................................ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS ..........................................................................3


2.1 Identitas pasien........................................................................................ 3
2.2 Anamnesis................................................................................................ 3
2.3 Pemeriksaan Fisik..............................................................................4
2.4 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................7
2.5 Diagnosis kerja..................................................................................8
2.6 Penatalaksanaan.................................................................................8
2.7 Follow Up..........................................................................................9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...................................................................16
3.1 Definisi perdarahan saluran cerna bagian atas .................................16
3.2 Epidemiologi......................................................................................16
3.3 Etiologi..............................................................................................17
3.4 Patofisiologi.......................................................................................21
3.5 Manifestasi Klinis..............................................................................23
3.6 Diagnosis...........................................................................................25
3.7 Perbedaan SCBA dengan SCBB........................................................29
3.8 Penatalaksanaan.................................................................................29
3.9 Komplikasi ……………………………............................................34
3.10 Pemeriksaan endoskopi…………………........................................34

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................39

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran

makanan proksimal dari ligamentum Treitz meliputi hematemesis (muntah darah)

dan atau melena (berak darah). Manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian

atas bisa beragam tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah yang

hilang, dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak. Kebanyakan

kasus hematemesis adalah keadaan gawat di rumah sakit yang menimbulkan 8-

14% kematian di rumah sakit. Faktor utama yang berperan dalam tingginya angka

kematian adalah kegagalan untuk menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang

gawat dan kesalahan diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan.

Di Negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per

100.000 penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita. Insidensi ini

meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Di Eropa dan Amerika dalam buku

Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology, sebagian besar penyebab

perdarahan saluran cerna atas adalah tukak peptik. Hal itu sesuai data penelitian

CURE yaitu sekitar 55% pasien perdarahan saluran cerna atas yang disebabkan

oleh tukak peptik.

Di Perancis, sebuah laporan menyimpulkan bahwa jumlah kematian dari

perdarahan saluran cerna atas telah turun dari sekitar 11 % menjadi 7%;

sebaliknya, dari sumber laporan yang sama dari Yunani mendapatkan tidak adanya

penurunan jumlah kematian tersebut. Di Spanyol sendiri mendapatkan bahwa

perdarahan saluran cerna atas 6 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan
perdarahan saluran cerna bawah. Di Amerika Serikat, setiap tahun pasien yang

masuk ke Instalasi Gawat Darurat dengan sebab perdarahan saluran cerna atas.

Angka kematian di berbagai belahan dunia menunjukkan jumlah yang

cukup tinggi, terutama di Indonesia yang wajib menjadi perhatian khusus. Di

Indonesia sebagian besar (70–80%) perdarahan SCBA berasal dari pecahnya

varises esophagus akibat penyakit sirosis hati. Dari 1673 kasus perdarahan saluran

cerna bagian atas di SMF penyakit dalam RSU DR. Sutomo Surabaya,

penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2 % gastritis esophagus, 1 %

tukak peptic, 0,6% kanker lambung, dan 2,6 % karena sebab-sebab lain. Laporan

dari RS pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan ketiga terbanyak

perdarahan SCBA sama dengan RSU dr. Sutomo Surabaya. Sedangkan laporan

RS pemerintah di Ujung Pandang, tukak peptik menempati urutan pertama

penyebab perdarahan SCBA.

Insiden perdarahan saluran cerna atas dua kali lebih sering pada pria

daripada wanita dalam seluruh tingkatan usia; tetapi jumlah angka kematian tetap

sama pada kedua jenis kelamin. Angka kematian meningkat pada usia yang lebih

tua (>60 tahun) pada pria dan wanita.

Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dilakukan pemeriksaan

endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang penyebab yang dapat

menimbulkan perdarahan saluran cerna bahagian atas

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


a. Nama : I N.A.
b. Usia : 59 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Agama : Hindu
e. Alamat : Br. Penarukan, Peninjoan
f. Status : Menikah
g. Pekerjaan : Tidak Bekerja
h. MRS : 24 September 2017, pukul 14.00 WITA
i. No.RM : 262396
2.2 Anamnesa
 Keluhan utama : Muntah darah

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke RSU Bangli dengan keluhan muntah darah. Muntah

darah sejak kemarin malam berwarna hitam pekat sebanyak 1 kali, dengan

volume sekitar 1 gelas atau ± 250 cc. Keluhan pasien dirasakan secara tiba-

tiba saat pasien ingin buang air kecil dan setelah muntah tidak terdapat

kehilangan kesadaran. Pasien sebelumnya mengaku memiliki riwayat nyeri

sendi dan telah mengkonsumsi obat nyeri sendi rutin selama setahun. Selain

itu, pasien mengeluhkan BAB berdarah, berwarna kehitaman, sejak

kemarin sebanyak 2 kali dengan volume sekitar 1 gelas. Pasien juga

mengeluhkan nyeri kepala dan mual. Pasien belum pernah mengalami

keluhan seperti ini sebelumnya.

 Riwayat Penyakit Dahulu:


Asma (-), penyakit jantung (-), Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-), Penyakit

Hati (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga:

Asma (-), penyakit jantung (-), Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-)

 Riwayat Pengobatan: pasien mengkonsumsi obat nyeri sendi selama

setahun.
 Riwayat Gizi: pasien makan 3 kali sehari dengan 1 piring nasi ditambah

dengan lauk dan sayuran.


 Riwayat Sosial:
- Merokok (+), pasien telah merokok sejak usia 17 tahun dan telah

berhenti sejak 1 tahun yang lalu.


- Alkohol (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum : Lemah
b. Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6
c. Tanda vital :
- Tekanan darah : 130/80 mmHg,
- Nadi : 80 x/menit, isi cukup, tegangan kuat, reguler
- Pernafasan : 20 x/menit,
- Suhu : 36,5°C, suhu aksila
- Berat badan : 60 kg
- Tinggi badan : 165 cm
- IMT : 22,03 kg/m2

Status Generalis
 Kepala: Normocephal, alopecia (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/

+), isokor
 Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
 Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-/-), deviasi septum (-/-), nafas

cuping hidung (-)


 Mulut : Bibir pucat (+), sianosis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis

(-), tonsil T1/T1


 Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-), pembesaran kelenjar

tiroid (-), JVP 5+2 cmH2O


 Thoraks
a. Pulmo

Inspeksi : simetris (+), ketertinggalan gerak (-), retraksi (-) tanda

peradangan (-), spider naevi (-), ginekomastia (-).

Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-) rhonki (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba, kuat angkat (+), pelebaran (-)
Perkusi : batas kanan, ICS 5 Linea Sternalis dekstra
batas kiri, ICS 5 Linea Midclavicularis sinistra
batas pinggang, ICS 3 Linea Parasternalis sinistra
batas atas ICS 2 Linea Sternalis sinistra
Auskultasi: S1 S2 tunggal reguler, murmur (-)
 Abdomen
Inspeksi : datar (+), cembung (-), cekung (-), distensi (-), asites (-),

caput medusa (-), tidak tampak adanya massa, tidak

tampak adanya tanda – tanda peradangan.


Auskultasi: bising usus (+), 10x/menit

Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (-),

splenomegali (-), ballotement (-), nyeri ketok ginjal (-)

 Ekstremitas

Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), eritema palmaris (-)

Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+)

2.4 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 24 September 2017 pukul 14.35 wita)
WBC : 8,4 x103/uL
LYM : 1,2 x103/uL
LYM % : 14,5 % 
MID : 0,4 x103/uL
MID % : 5,3 %
GRAN : 6,8 x103/uL
GRA % : 80,2 % 
HGB : 9,0 g/dL 
HCT : 25,9 % 
MCH : 28,4 pg
MCHC : 34,7 g/dL
RBC : 3,16 x106/uL 
MCV : 81,8 fL
RDWa : 71,4 fL
RDW% : 12,9%
PLT : 183 x103/uL
MPV : 7,1 fL 
PDW : 11,1 fL
PCT : 0,13 %
LPCR : 11,7 %

Pemeriksaan GDS, BUN, SC, Bilirubin (tanggal 24 September 2017)


Glucose sewaktu : 111 mg/dL
Bilirubin direct : 0,08 mg/dL
Bilirubin total : 0,46 mg/dL
Urea UV : 103 mg/dL 
Creatinine : 0,98 mg/dL
2.5 Diagnosis kerja

- Hematemesis melena ec. Gastritis erosiva

- Anemia ringan
2.6 Penatalaksanaan

- IVFD RL % 20 tpm
- Pantoprazole drip 8 mg/jam selama 3 hari
- GC tiap 4 jam hingga jernih
- Ceftriaxone 3x1 gr/iv
- Ondancentron 3x4 mg/iv
- Asam traneksamat 3x500 mg/iv
- Lactulosa syr 3x10 cc PO
- Transfusi PRC 1 kolf/hari sampai Hb > 10 gr/dl
- Diet : puasa

2.7 Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit Treatment


25/09/2017 S : Muntah darah (+), BAB hitam (+), IVFD NaCl 0,9% ~20
Mual (+) tpm
Gastric Cooling setiap
O : GCS: E4V5M6 4 jam
TD: 110/70 mmHg Pantoprazole drip 8
mg/jam
Suhu: 36,5˚C (axilla) Ceftriaxone 3x1gr/iv
Nadi: 80x/menit Lactulosa syr 3x10 cc
RR: 20x/menit Ondancentron 3x4
Pemeriksaan fisik: mg/iv
Asam traneksamat
Mata : Anemis (+), ikterus (-) 3x1 gr/iv
Transfusi PRC 1
Leher : KGB tidak ada
kolf/hari
pembesaran, JVP R+2 Diet: puasa
cmH2O
Thorax : Planning: Cek
HbsAg, Tes Fungsi
Bentuk dada normal, suara Hati
nafas vesikuler +/+, Rhonki -/-, Ket: bila NGT jernih
Wheezing -/- diet cair peroral.
Cor :
S1/S2 tunggal regular, Murmur
(-)
Abdomen :
Bising Usus (+), 14x/menit, nyeri
tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : edema (-/-)
A : -Hematemesis melena ec. Gastritis
erosiva,
-Anemia derajat ringan

Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 25 September 2017 pukul 06.00 wita)


WBC : 6,1x103/uL
LYM : 1,6 x103/uL
LYM % : 26,8 %
MID : 0,5 x103/uL
MID % : 6,8 %
GRAN : 4,0 x103/uL
GRA % : 66,4 %
HGB : 8,3 g/dL 
HCT : 24,2% 
MCH : 28 pg
MCHC : 31,1 g/dL
RBC : 2,97 x106/uL 
MCV : 81,5 fL
RDWa : 70,8 fL
RDW% : 12,9%
PLT : 199x103/uL
MPV : 7,6 fL 
PDW : 11,5 fL
PCT : 0,15%
LPCR : 14,0%
Tanggal Perjalanan Penyakit Treatment
26/09/2017 S : Muntah darah (-), BAB hitam (-), IVFD NaCl 0,9% ~20
Mual (+) tpm
Omeprazole 3x40
O : GCS: E4V5M6 mg/iv
TD: 120/70 mmHg Ondancentron 3x4
mg/iv
Suhu: 36,3˚C (axilla) Sukralfat syr. 3x10 cc
Nadi: 86x/menit PO
Transfusi PRC 1
RR: 20x/menit kolf/hari
Diet: diet cair
Pemeriksaan fisik:
Mata : Anemis (+), ikterus (-)
Planning: Cek Darah
Leher: KGB tidak ada pembesaran, Lengkap, BUN SC,
JVP R+2 cmH2O Endoskopi apabila Hb
Thorax : > 10 gr/dL

Bentuk dada normal, suara


nafas vesikuler +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Cor :
S1/S2 tunggal regular, Murmur
(-)
Abdomen :
Bising Usus (+), 10x/menit, nyeri
tekan epigastrium (+)
Ekstremitas : edema (-/-)
A : -Hematemesis melena ec. Gastritis
erosiva,
-Anemia derajat ringan

Tanggal Perjalanan Penyakit Treatment


27/09/2017 S : Muntah darah (-), BAB hitam (-), IVFD NaCl 0,9% ~20
Mual (-) tpm
Omeprazole 3x40
O : GCS: E4V5M6 mg/iv
TD: 110/70 mmHg Ondancentron 3x4
mg/iv
Suhu: 36˚C (axilla) Sukralfat syr. 3x10 cc
Nadi: 86x/menit PO

RR: 18x/menit Planning: Endoskopi


bila Hb > 10 gr/dL
Pemeriksaan fisik:
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Leher: KGB tidak ada pembesaran,
JVP R+2 cmH2O
Thorax :
Bentuk dada normal, suara
nafas vesikuler +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
Cor :
S1/S2 tunggal regular, Murmur
(-)
Abdomen :
Bising Usus (+), 8x/menit, nyeri
tekan epigastrium (-)
Ekstremitas : edema (-/-)
A : -Hematemesis melena ec. Gastritis
erosiva,
-Anemia derajat ringan

Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 27 September 2017 pukul 06.00 wita)


WBC : 6,4x103/uL
LYM : 1,8 x103/uL
LYM % : 28,7 %
MID : 0,6 x103/uL
MID % : 7,8 %
GRAN : 4,0 x103/uL
GRA % : 63,5 %
HGB : 9,6 g/dL 
HCT : 27,5% 
MCH : 28,2 pg
MCHC : 35,6 g/dL
RBC : 3,40 x106/uL 
MCV : 80,7 fL
RDWa : 69,5 fL
RDW% : 13,0%
PLT : 170x103/uL
MPV : 7,3 fL 
PDW : 11,1 fL
PCT : 0,12 %
LPCR : 11,6 %
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yaitu perdarahan yang

berasal dari dalam lumen saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz,

mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus(1). Hal

tersebut mengakibatkan muntah darah (hematemesis) dan berak darah

berwarna hitam seperti aspal (melena)(2).

Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa

dalam bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau

berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk

seperti butiran kopi(3)(4). Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam
seperti aspal (ter) dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran

cerna atas serta dicernanya darah pada usus halus(3)(4).

3.2 Epidemiologi

Di Negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per

100.000 penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita. Insidensi ini

meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang

sebenarnya di populasi tidak diketahui. Dari catatan medik pasien-pasien

yang dirawat di bagian penyakit dalam RS Hasan Sadikin Bandung pada

tahun 1996-1998, pasien yang dirawat karena perdarahan SCBA sebesar

2,5% - 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam.

Berbeda dengan di Negara barat dimana perdarahan karena tukak peptic

menempati urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptur

varises gastroesofagei merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%,

gastritis erosiva hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptic sekitar 10-15%

dank arena sebab lainnya <5%. Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa

perdarahan yang terjadi karena pemakaian jamu rematik menempati urutan

terbanyak sebagai penyebab perdarahan SCBA yang dating ke UGD RS

Hasan Sadikin. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar

25%, kematian pada penderita ruptur varises bias mencapai 60% sedangkan

kematian pada perdarahan non varises sekitar 9-12%. Sebagian besar

penderita perdarahan SCBA meninggal bukan karena perdarahannya itu

sendiri melainkan karena penyakit yang ada secara bersamaan seperti


penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati kronis,

pneumonia dan sepsis.

3.3 Etiologi
Penyebab hematemesis melena dapat berasal dari kelainan varises dan non

varises. Kelainan non varises biasa disebabkan oleh:


1. Gastritis erosif

Perdarahan persisten yang diakibatkan oleh hilangnya epithel mucosa

secara diffus. Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi

mukosa lambung atau obat yang merangsang timbulnya tukak (ulcerogenic

drugs). Misalnya obat-obat golongan salisilat seperti Aspirin, Ibuprofen, obat

bintang tujuh dan lainnya. Obat-obatan lain yang juga dapat menimbulkan

hematemesis yaitu: golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin,

spironolakton dan lain-lain. Golongan obat-obat tersebut menimbulkan

hiperasiditas(2)(6).

Gastritis erosiva hemoragika merupakan urutan kedua penyebab

perdarahan saluran cerna atas. Pada endokopi tampak erosi di angulus, antrum

yang multipel, sebagian tampak bekas perdarahan atau masih terlihat

perdarahan aktif di tempat erosi. Di sekitar erosi umumnya hiperemis, tidak

terlihat varises di esophagus dan fundus lambung. Sifat hematemesis tidak

masif dan timbul setelah berulang kali minum obat-obatan tersebut, disertai

nyeri dan pedih di ulu hati(5).

2. Tukak peptik
Perdarahan merupakan penyulit ulkus peptikum yang paling sering terjadi,

sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus selama perjalanan penyakit.

Walaupun ulkus disetiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat

perdarahan tersering adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena

ditempat ini dapat terjadi erosi arteri pankreatikoduodenalis atau arteria

gastroduodenalis. Perdarahan ini terjadi akibat erosi dari pembuluh darah,

beratnya perdarahan dipengaruhi oleh ukuran dari pembuluh darah yang

terkena.

3. Robekan Mallory Weiss

Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi (vomitus tanpa

darah). Muntah hebat mengakibatkan ruptur mukosa dan submukosa daerah

kardia atau esophagus bawah sehingga muncul perdarahan. Karena laserasi

aktif disertai ulserasi, maka timbul perdarahan. Laserasi muncul akibat terlalu

sering muntah sehingga tekanan intraabdominal naik menyebabkan pecahnya

arteri di submukosa esophagus/ kardia. Sifat perdarahan hematemesis tidak

masif, timbul setelah pasien berulangkali muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri

di epigastrium. Misalnya pada hiperemesis gravidarum(5).

4. Keganasan SCBA

Keganasan dan limfoma dari lambung sering kali menimbulkan

perdarahan pada stadium yang lanjut seperti karsinoma lambung. Prognosis

dipengaruhi oleh stadium.

5. Esofagitis
Esofagitis yang dapat menyebabkan perdarahan ialah esofagitis refluks

kronis. Esofagitis refluks kronis merupakan bentuk esofagitis yang paling

sering ditemukan secara klinis. Gangguan ini disebabkan oleh sfringter

esophagus bagian bawah yang bekerja dengan kurang baik dan refluks asam

lambung atau getah alkali usus ke dalam esophagus yang berlangsung dalam

waktu yang lama. Sekuele yang terjadi akibat refluks adalah peradangan,

perdarahan, dan pembentukan jaringan parut dan striktur.

6. Angiodisplasia

Angiodisplasia ialah kelainan vaskular kecil, seperti yang terdapat pada

traktus intestinalis.

7. Penyakit sistemik

Penyakit sistemik contohnya uremik, sirosis hepatis dan penyakit lainnya.

Kelainan varises biasa disebabkan oleh:

1. Pecah varises esofagus

Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif, kehilangan

darah gastrointestinal kronik jarang ditemukan. Perdarahan varises esofagus

atau lambung biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi

sekunder akibat sirosis hepatis. Meskipun sirosis alkoholik merupakan

penyebab varises esofagus yang paling prevalen di Amerika Serikat, setiap

keadaan yang menimbulkan hipertensi portal dapat mengakibatkan

perdarahan varises. Lebih lanjut, kendati adanya varises berarti adanya

hipertensi portal yang sudah berlangsung lama, penyakit hepatitis akut atau

infiltrasi lemak yang hebat pada hepar kadang-kadang menimbulkan varises


yang akan menghilang begitu abnormalitas hepar disembuhkan. Meskipun

perdarahan SMBA pada pasien sirosis umumnya berasal dari varises sebagai

sumber perdarahan, kurang lebih separuh dari pasien ini dapat mengalami

perdarahan yang berasal dari ulkus peptikum atau gastropati hipertensi portal.

Keadaan yang disebut terakhir ini terjadi akibat penggembungan vena-vena

mukosa lambung. Sebagai konsekuensinya, sangat penting menentukan

penyebab perdarahan agar penanganan yang tepat dapat dikerjakan(2).

Angka kejadian pecahnya varises esophagus yang menyebabkan

perdarahan cukup tinggi yaitu 54,8%. Sifat perdarahan hematemesisnya

mendadak dan masif, tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna

kehitaman dan tidak akan membeku karena sudah tercampur asam lambung.

Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena(5).

2. Pecah varises gaster.

Varises gaster sering terjadi pada bagian kardia dan fundus, terdapat pada

20% pasien dengan hipertensi portal dan sebagian besar penyebabnya non

cirrhotic. Mereka berkembang menempati seluruh atau per bagian (sebelah

kiri) dari hipertensi portal sebagai akibat dari trombosis vena splenika.

Walaupun varises gaster angka kejadiannya lebih kecil daripada varises

esofagus, pecahnya varises gaster lebih sulit ditangani daripada varises

esofagus, perdarahan pada varises gaster lebih berat, transfusi harus

dilakukan dengan cepat agar tidak mempercepat kematian, dan pada varises

gaster merupakan insiden tertinggi terjadinya perdarahan ulang. Adapun

jumlah prevalensi tertinggi gastro renal shunt, perdarahan varises gaster


dapat terjadi pada tekanan sistem portal bila tekanannya < 12 mmHg dan

merupakan insiden tertinggi terjadinya ensefalopati. Faktor-faktor resiko

yang menyebabkan perdarahan gaster termasuk lokasi fundus, ukuran, red

color sign dan beratnya kriteria Child. Varises gaster sebaiknya

diimplikasikan sebagai sumber perdarahan jika darah yang keluar sifatnya

menyembur, dan berupa bekuan, menandakan adanya varises gaster yang

luas, bukan varises esofagus, dan juga bukan dari sumber pardarahan yang

lain.

3.4 Patofisiologi
Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai berikut :
1. Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau adanya

anemia defisiensi Fe+)


2. Perdarahan masif dengan renjatan
Untuk mencari penyebab perdarahan saluran cerna dapat dikembalikan pada

faktor-faktor penyebab perdarahan, yaitu (1):


a. Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptik, pecahnya

varises esophagus
b. Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic Thrombocytopenia

Purpura (ITP)
c.Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy) seperti pada

hemophilia, sirosis hati, dan lain-lain

Pada sirosis kemungkinan terjadi ketiga hal di atas: vasculopathy

(pecahnya varises esophagus); trombopathy (pengurangan trombosit di


tekanan perifer akibat hipersplenisme); coagulopathy (kegagalan sel-sel hati)
(1)
.

Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori(1) :

1. Teori erosi : Pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan kasar

(berserat tinggi dan kasar) atau konsumsi NSAID


2. Teori erupsi: Karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau peningkatan

tekanan intraabdomen yang tiba-tiba karena mengedan, mengangkat

barang berat, dan lain-lain.

3.5 Manifestasi klinis


Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda, tergantung pada(6) :
1. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
2. Kecepatan perdarahan
3. Penyakit penyebab perdarahan
4. Keadaan penderita sebelum perdarahan

Pada hematemesis, warna darah yang dimuntahkan tergantung dari asam

hidroklorida dalam lambung dan campurannya dengan darah. Jika vomitus

terjadi segera setelah perdarahan, muntahan akan tampak berwarna merah

dan baru beberapa waktu kemudian penampakannya menjadi merah gelap,

coklat atau hitam. Bekuan darah yang mengendap pada muntahan akan

tampak seperti ampas kopi yang khas. Hematemesis biasanya menunjukkan

perdarahan di sebelah proksimal ligamentum Treitz karena darah yang

memasuki traktus gastrointestinal di bawah duodenum jarang masuk ke

dalam lambung(2).

Meskipun perdarahan yang cukup untuk menimbulkan hematemesis

biasanya mengakibatkan melena, kurang dari separuh pasien melena

menderita hematemesis. Melena biasanya menggambarkan perdarahan


esophagus, lambung atau duodenum. Namun lesi di jejunum, ileum bahkan

kolon ascendens dapat menyebabkan melena jika waktu perjalanan melalui

traktus gastrointestinal cukup panjang(2). Diperkirakan darah dari duodenum

dan jejunum akan tertahan di saluran cerna selama ± 6–8 jam untuk merubah

warna feses menjadi hitam. Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 48–

72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses warna

hitam tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah sebanyak

±60 mL cukup untuk menimbulkan satu kali buang air besar dengan tinja

warna hitam. Kehilangan darah akut yang lebih besar dari jumlah tersebut

dapat menimbulkan melena lebih dari tujuh hari. Setelah warna tinja kembali

normal, hasil tes untuk adanya perdarahan tersamar dapat tetap positif selama

7–10 hari setelah episode perdarahan tunggal.

Warna hitam melena akibat kontak darah dengan asam HCl sehingga

terbentuk hematin. Tinja akan berbentuk seperti ter (lengket) dan

menimbulkan bau khas. Konsistensi ini berbeda dengan tinja yang berwarna

hitam/ gelap yang muncul setelah orang mengkonsumsi zat besi, bismuth atau

licorice. Perdarahan gastrointestinal sekalipun hanya terdeteksi dengan tes

occult bleeding yang positif, menunjukkan penyakit serius yang harus segera

diobservasi(2).

Kehilangan darah 500 ml jarang memberikan tanda sistemik kecuali

perdarahan pada manula atau pasien anemia dengan jumlah kehilangan darah

yang sedikit sudah menimbulkan perubahan hemodinamika. Perdarahan yang

banyak dan cepat mengakibatkan penurunan venous return ke jantung,

penurunan curah jantung (cardiac output) dan peningkatan tahanan perifer


akibat refleks vasokonstriksi. Hipotensi ortostatik 10 mmHg (Tilt test)

menandakan perdarahan minimal 20% dari volume total darah. Gejala yang

sering menyertai: sinkop, kepala terasa ringan, mual, perspirasi (berkeringat),

dan haus. Jika darah keluar ±40 % terjadi renjatan (syok) disertai takikardi

dan hipotensi. Gejala pucat menonjol dan kulit penderita teraba dingin(2).

Pasien muda dengan riwayat perdarahan saluran cerna atas singkat dan

berulang disertai kolaps hemodinamik dan endoskopi “normal”,

dipertimbangkan lesi Dieulafoy (adanya arteri submukosa dekat cardia yang

menyebabkan perdarahan saluran cerna intermiten yang banyak)(3).

3.6 Diagnosis
1. Anamnesis(9)
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan frekuensi

perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom Mallory-

Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang menyebabkan

nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan dengan makanan)


f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal ginjal

kronik, diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat


h. Riwayat tranfusi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan fokus pada status

hemodinamik, pemeriksaannya meliputi(9) :


a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
e. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume intravaskuler)

mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda(9) :


a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi

nadi > 100 x/menit


b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20

mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran turun
f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal berikut(9):
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera

jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800–1000 ml dalam 24 jam

Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan

evaluasi jumlah perdarahan, dengan kriteria(10) :

Perdarahan Keadaan hemodinamik

(%)
<8 Hemodinamik stabil
8 – 15 Hipotensi ortostatik
15 – 25 Renjatan (syok)
25 – 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)
Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah(10) :
a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites, splenomegali,

eritema palmaris, edema tungkai)


b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik mortalitas

dengan interpretasi:
 Aspirat putih keruh: perdarahan tidak aktif
 Aspirat merah marun: perdarahan masif (mungkin perdarahan arteri)
d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan

saluran cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jeghers)


3. Pemeriksaan Penunjang(8)
a. Tes darah: darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor pembekuan

primer atau sekunder: CTBT, PT/PPT, APTT


c. Elektrolit: Na, K, Cl
d. Faal hati: cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG & foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru kronis
f. Endoskopi: gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai

pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi

prognostik dengan mengidentifikasi stigmata perdarahan(3)


3.7 Perbedaan Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) dengan

bawah (SCBB)(9)

Perbedaan Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB


Manifestasi klinik Hematemesis Hematokezia

umumnya dan/atau melena


Aspirasi nasogastric Berdarah Jernih
Rasio (BUN : Meningkat >35 <35

kreatinin)
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

3.8 Penatalksanaan
1. Tatalaksana Umum

Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-circulation

(ABC). Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan memadai, segera

dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi(10)

Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti(10):


a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal no

18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP


b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat diberikan terapi(10) :

a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%


b. Pemberian vitamin K 3x1 amp
c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
2. Tatalaksana Khusus
3.8.1 Varises gastroesofageal(10)
1) Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif(9)
a) Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat efek

vasokonstriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran

darah dan tekanan vena porta menurun. Pemberian dengan

mengencerkan vasopressin 50 unit dalam 100 ml Dextrose 5%,

diberikan 0,5–1 mg/menit/iv selama 20–60 menit dan dapat

diulang tiap 3–6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan

per infuse 0,1–0,5 U/menit


b) Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih selektif

daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises atau nonvarises.

Dosis pemberian awal dengan bolus 250 mcg/iv, lanjut per infus

250 mcg/jam selama 12–24 jam atau sampai perdarahan berhenti.


2) Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
3) Terapi endoskopi(9)
a) Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1–2

cm. Dilakukan pada varises yang sedang berdarah atau

ditemukan tanda baru saja mengalami perdarahan (bekuan darah

melekat, bilur merah, noda hematokistik). Efek samping


sklerosan dapat dihindari, mengurangi frekuensi ulserasi dan

striktur.
b) Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena

perdarahan masif, terus berlangsung atau teknik tidak

memungkinkan. Yang digunakan campuran yang sama banyak

antara polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alcohol absolute; dibuat

sesaat sebelum skleroterapi. Penyuntikan dari bagian paling

distal mendekati cardia, lanjut ke proksimal bergerak spiral

sejauh 5cm.
4) Terapi radiologi(9) : pemasangan transjugular intrahepatic

portosystemic shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi spleno-

porta.
5) Terapi pembedahan(10)
a) Shunting
b) Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c) Devaskularisasi + splenektomi
3.8.2 Tukak peptic(10)
1. Terapi medikamentosa
 PPI (proton pump inhibitor)(9) : obat anti sekresi asam untuk

mencegah perdarahan ulang. Diawali dosis bolus Omeprazol 80

mg/iv lalu per infuse 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam


Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh

diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa perdarahan.


1. Obat vasoaktif
2. Terapi endoskopi(10)

Gambaran: tampak ulkus pada mukosa lambung


3. Injeksi(9) : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan

dengan adrenalin (1:10000) sebanyak 0,5–1 ml/suntik dengan

batas 10 ml atau alcohol absolute (98%) tidak melebihi 1 ml


4. Termal : koagulasi, heatprobe, laser
5. Mekanik : hemoklip, stapler
6. Terapi bedah
3. Memulangkan pasien(10)

Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 1–4 perawatan.

Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa perawatan. Bila

tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti, hemodinamik stabil serta

risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat dipulangkan . Pasien biasanya

pulang dalam keadaan anemis, karena itu selain obat pencegah perdarahan

ulang perlu ditambahkan preparat Fe.


Algoritma Penatalaksanaan Penderita Perdarahan SCBA

3.9 Komplikasi(8)
1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan

3.10 Pemeriksaan Endoskopi


Endoskopi juga sangat berperan dalam menentukan penyebab

pendarahan saluran cerna yang sulit ditentukan berdasarkan

pemeriksaan radiologis. Beberapa lesi (terlihat putih atau pucat) yang

tak terlihat pada pemeriksaan radiologis dapat diketahui dengan

pemeriksaan endoskopi. Berdasarkan fungsinya endoskopi terbagi dua

yakni endoskopi diagnostik dan endoskopi terapeutik. Endoskopi

diagnostik berperan dalam menentukan penyebab pendarahan dan

lokasi lesi yang terjadi, sedangkan endoskopi terapeutik berperan untuk

menghentikan pendarahan yang terjadi. “Endoskopi pada saluran cerna

dibagi menjadi dua bagian besar, yakni endoskopi saluran cerna atas

(esofagoduodenoskopi ) dan saluran cerna bawah (kolonoskopi).


a. Indikasi
 Untuk menerangkan perubahan-perubahan radiologis yang meragukan

atau tidak jelas, atau untuk menentukan dengan lebih pasti atau tepat

kelainan radiologis yang didapatkan pada esophagus, gaster, atau

duodenum
 Pasien dengan gejala menetap (disfagia, nyeri epigastrium, muntah-

muntah) yang pada pemeriksaan radiologis tidak didapatkan kelainan


 Bila pemeriksaan radiologis menunjukkan atau dicurigai suatu

kelainan, misalnya tukak, keganasan atau obstruksi pada esophagus,

indikasi endoskopi yaitu memastikan lebih lanjut lesi tersebut dan

untuk membuat pemeriksaan fotografi, biopsy, atau sitologi


 Perdarahan akut saluran cerna bagian atas memerlukan pemeriksaan

endoskopi secepatnya dalam waktu 24 jam untuk mendapatkan

diagnosis sumber perdarahan yang paling tepat


 Pemeriksaan endoskopi yang berulang-ulang diperlukan untuk

memantau penyembuhan tukak yang jinak pada pasien-pasien dengan

tukak yang dicurgai kemungkinan adanya keganasan (deteksi dini

karsinoma lambung)
 Pada pasien –pasien pasca gastrektomi dengan gejala atau keluhan-

keluhan saluran cerna bagian atas diperlukan pemeriksaan endoskopi

karena intepretasi radiologis biasanya sulit. Iregularitas dari lambung

dapat dievaluasi langsung melalui endoskopi


 Kasus sindrom dyspepsia dengan usia lebih dari 45 tahun atau di

bawah 45 tahun dengan tanda bahaya (muntah-muntah hebat, denanm

hematemesis, anemia, ikterus, dan penurunan berat badan), pemakaian

obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) dan riwayat kanker pada

keluarga
 Prosedur terapeutik seperti polipektomi, pemasangan selang makanan,

dilatasi pada stenosis esophagus atau akalasia, dll.


b. Kontraindikasi
 Kontraindikasi Absolut
 Pasien tidak kooperatif atau menolak prosedur

pemeriksaan tersebut setelah indikasinya dijelaskan secara

penuh
 Renjatan berat karena perdarahan, dll
 Oklusi koroner akut
 Gagal jantung berat
 Koma
 Emfisema dan penyakit paru obstruktif berat

Pada keadaan-keadaan tersebut, pemeriksaan endoskopi harus

ditunda dulu hingga keadaan penyakitnya membaik.


 Kontraindikasi Relatif
 Luka korodif akut pada esophagus, aneurisma aorta,

aritmia jantung berat


 Kifoskoliosis berat, divertikulum Zenker, osteofit bear

pada tulang servikal, struma besar. Pada keadaan tersebut

pemeriksaan endoskopi harus dilakukan dengan hati-hati


 Pasien gagal jantung
 Penyakit infeksi akut (misal pneumonia, peritonitis,

kolesistitis)
 Pasien anemia berat misalnya karena perdarahan, harus

diberi transfuse darah terlebih dahulu hingga Hb minimal

10g/dl
 Toksemia pada kehamilan terutama bila disertai infeksi

berat atau kejang-kejang


 Pasien pasca bedah abdomen yang baru
 Gangguan kesadaran
 Tumor mediastinum
c. Gambaran Endoskopi

Varises Esofagus

Ca-esofagus

Mallory-Weiss syndrom
Esofagogastritis korosiva

Esofagitis &

tukak esophagus

Gastritis erosiva

hemoragika

Tukak lambung

Ca-lambung

Tukak duodeni

Ca-papila Vateri
DAFTAR PUSTAKA

(1) Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran

Makan Bagian Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.

Jakarta : EGC. 1999 : 53 – 62.

(2) Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam

Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 :

259 – 62.

(3) Davey, P. Hematemesis & Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta

: Erlangga. 2006 : 36 – 7.

(4) Hastings, G.E. Hematemesis & Melena :

wichita.kumc.edu/hastings/hematemesis.pdf . 2005.

(5) Hadi, S. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung

: PT Alumni. 2002 : 281 – 305.

(6) Ponijan, A.P. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas :

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31735/4/Chapter%20II.pdf .

2012.

(7) Purwadianto, A. & Budi S. Hematemesis & Melena : dalam

Kedaruratan Medik. Jakarta : Binarupa Aksara. 2000 : 105 – 10.


(8) PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. 2005: 272 –

3.

(9) Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006 : 289 – 97

(10) Djumhana, A. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas :

pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/pendarahan_akut_salura

n_cerna_bagian_atas.pdf . 2011.

Anda mungkin juga menyukai