Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Kritis dan
Gawat Darurat pada Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
RENISA APRIANI
220110140083
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
SUMEDANG
2018
Kasus
Tn. K, berusia 45 tahun dirawat di ruang ICU dengan diagnosis sepsis. Hasil
pengkajian pasien dirawat hari ke-2 terpasang ventilator dengan mode SIMV
PS. RR : 18 x/menit, HR 100 x/menit, TD : 95/60 mmHg. Support vascon
4mg , dobutamin 6 mcg. Pasien terpasang NGT, BB 50 kg, mendapat nutrisi
enteral 250 ml x 6 pemberian. Terpasang infus RL, kateter urin, dan
balance cairan -850 ml (24 jam), edema di extremitas ++. Pasien mendapat
omeprazole 2 x 4 mg IV, Ceftazidine 3 x 1 gr IV, levolfoxacin 1 x 750 mg
IV, Heparin 2 x 500 iu, paracetamol 4 x 1 gram, furosemid 3 x 4 amp.
Hasil Laboraturium:
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan
Hematologi
Hemoglobin 9,2 g/dl 13 – 16 g/dl L
Hematokrit 29 % 35 – 47% L
Leukosit 30.600/mm3 4400 – 11.300/mm3 H
Eritrosit 3,4 jt/uL 3,6 – 5,8 juta/uL L
Trombosit 189.000/mm3 150.000 – 450.000/mm3 L
MCV 88,3 fl 80 – 100 fL
MCH 28,1 pg 26 – 34 pg
MCHC 31,8 % 32 – 36% L
Kimia Klinik
Kreatinin 1,8 mg/dl 0,5 – 0,9 mg/dl
Ureum 150 mg/dl 15 – 50 mg/dl H
Natrium 139 mEq/L 135 – 145 mEq/l L
Kalium 5,8 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/l L
Chlorida 100 mEq/L
Kalsium 4,51 mEq/L
GDS 154 mEq/L
Albumin 2,1
Protein total 4,2
Serum laktat 4 mmol/dl
Analisis Gas Darah Nilai
Hasil Satuan Interpretasi
(Arteri) Normal
pH 7,47 mmHg 7,35 – 7,45 Meningkat
pCO2 28 mmHg 32 – 42 Menurun
pO2 176 mmHg 80 – 108 Meningkat
Saturasi O2 90% % 95 – 98 Menurun
HCO3 20,4 Mmol/L 22 – 26 Menurun
BE -2,2 Mmol/L (-2) – (+3) Normal
AaDO2 181 mmHg
Pada sepsis berat dan syok septik resusitasi merupakan persoalan yang paling
penting sehingga dikenal istilah “six hour goal treatment” pedoman yang banyak
dipakai dalam resusitasi adalah “early goal-directed therapy (EGDT)” yang
mempunyai target optimal central venous pressor (CVP), mean arterial pressor (MAP)
dan central venus oxygen saturation (ScvO2). Dengan melakukan EGDT cepat dan
tepat waktu dapat mengurangi angka kematian absolut ± 16%, mengurangi mortalitas
di rumah sakit dan mempunyai manfaat yang bermakna pada hasil akhir perawatan
pasien dengan sepsis berat dan septik syok.
Pada syok septik, cairan yang diberikan umumnya dianggap cukup bila dicapai
tekanan darah sistolik 90 mmHg. dengan disertai tanda klinik perbaikan perfusi end
organ. Pada pasien tua atau dengan penyakit jantung iskemia atau penyakit
serebrovaskuler mungkin perlu tekanan darah >100 mmHg.
Pada 20-30% pasien dengan syok septik memberi respon baik terhadap
pemberian cairan saja, dan pada mereka dapat ditunda pemasangan CVP. Meskipun
telah dipasang CVP, terapi cairan dikurangi untuk maintenace rate, tanpa tergantung
pada pembacaan hasil CVP, bila keadaan klinik baik.
Bila clinical end point tidak tercapai, maka cairan resusitasi berikutnya diberikan
sampai sekitar CVP 12-15 mmHg atau 15-18 mmHg. Bila ada kemungkinan terjadi
edema paru, maka dalam keadaan demikian dianjurkan pemasangan pulmonary artery
catheter (PAC) bila mungkin.
a. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan
kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah
dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut:
Kebutuhan nutrisi klien dengan AKI (Sutarjo, 2008)
b. Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah
digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya
bersifat kontoversial. Obatobatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan
dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi
luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain
itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih
baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut,
banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi
non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan
cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan
tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan
kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada
penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah: (Mohani,
2008)
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak
dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau
dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam
15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250
mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada
8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak
bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert, 2010).
Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke
intravaskuler sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya
pada tahap oligouria. Namun kegunaan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat
menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik,
menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4
jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin,
pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis pasien (Sja’bani, 2008).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis
digunakan dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin
DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan
efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya,
pada dosis tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua
alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian
dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan
dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari
keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta
abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam
dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada
literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah
tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti
iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangrene digiti,
dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba
dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis,
dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas.
Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok,
sepsis (sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal
(Robert Sinto, 2010).
5. Masalah keperawatan