Anda di halaman 1dari 3

ABSTRACT

Scabies merupakan penyakit kulit yang cukup sering ditemukan, bersifat sangat mudah menular, dan di
sebabkan oleh parasit Sarcoptes scabei. Identifikasi dan tata laksana awal yang tepat terhadap pasien y
ang terinfeksi penyakit ini sangatlah penting, hal ini dikarenakan penegakan diagnosis yang tidak tepat
dapat menyebabkan wabah, angka morbiditas yang tinggi, dan secara signifikan mampu meningkatkan
beban ekonomi sosial. Standar penegakan diagnosis yang digunakan terdiri dari identifikasi parasit scab
ies pada pasien dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopis dari preparat kerokan kulit. Namun te
knik ini sering kali memakan waktu yang cukup lama. Akhir-akhir ini telah dikembangkan teknik penega
kan diagnosis non-invasif seperti videodermatoscopu, dermatoscopy, reflectance confocal microscopy,
dan optical coherence tomography.Keuntungan dari berbagai pemeriksaan diatas diantaranya adalah w
aktu pemeriksaan yang lebih cepat, dapat digunakan sebagai screening massal non invasif dan pemant
auan perkembangan post terapi tanpa resiko fisik yang ditimbulkan. Keterlibatan terhadap penegakan d
iagnosis dari dokter umum maupun spesialis pada populasi yang padat dengan resiko infeksi yang ting
gi dipandang sebagai suatu hal yang mendesak dan sangat penting dalam manajemen penanggulanga
n wabah, sebagai contoh pada kasus peningkatan masyarakat migran di Eropa yang berasall dari Afrika
Utara.

INTRODUCTION

Skabies merupakan penyakit kulit yang bersifat sangat mudah menular yang disebabkan oleh parasit Sa
rcoptes scabei var. Hominis, gejala pada penyakit ini ditandai dengan munculnya pruritus generalisata.
Di seluruh dunia sekitar 300 juta kasus muncul setiap tahunnya. Pada negara industri, biasanya penyakit
ini muncul secara sporadis seperti pada wabah yang terjadi di rumah sakit, sekolah, asrama, panti asuha
n, penjara, dan panti jompo. Di negara-negara yang berada di area tropis maupun subtropis seperti Afr
ica, Amerika Tengah dan Selatan, Australia bagian utara dan tengah, serta Asia tenggara, scabies meru
pakan penyakit endemik. Pada daerah perkotaan padat penduduk dan pemukiman kumuh, prevalensi t
imbulnya penyakit ini dapat meningkat hingga 10% pada keseluruhan populasi dan 60% pada anak-ana
k. Di negara berkembang, skabies sering kali dikaitkan dengan angka morbiditas yang tinggi terkait den
gan infeksi sekunder yang ditimbulkan, abses, limfadenopati, dan post-streptococcal glomerulonephriti
s. Penularan penyakit ini dapat melalui kontak pribadi secara langsung, kontak seksual, atau secara tida
k langsung juga dapat menular melalui penggunaan pakaian atau alas tidur secara berganti-gantian. Pa
rasit betina dewasa (panjang: 0,3-0,5 mm) dapat menggali terowongan pada kulit (panjang: 1-10 mm) p
ada bagian superfisial dari epidermis, dan menghasilkan telur 2-3 butir perhari. Pada pasien yang terinf
eksi skabies, di tubuhnya dapat ditemukan 10-15 parasit betina dewasa. Sarcoptes scabei dapat bertaha
n hidup diluar inangnya selama 24-36 jam.

Terowongan yang dibentuk biasanya berlokasi pada sela-sela jari, bagian lipatan lengan, ketiak, umbilic
us, lingkar pinggang, puting susu, dan bokong. Papul-papul eritematous yang muncul merupakan hasil
dari reaksi hipersensitifitas tipe IV terhadap keberadaan parasit, telur, maupun kotoran yang dihasilkan y
ang biasanya juga muncul disertai gejala infeksi sekunder. Diagnosis banding penyakit ini diantaranya d
apat berupa prurigo, dermatitis atopik, dermatitis kontak, urtikaria papuler, follikulitis, dermatitis herpeti
formis, serta gigitan serangga seperti nyamuk, kumbang, atau jenis parasit lain. Hingga saat ini tidak ad
a algoritma standar penegakan diagnostik untuk skabies, namun riwayat gatal yang bersifat menyebar,
adanya lesi di setidaknya dua daerah kulit yang khas, dan adanya anggota keluarga yang mengalami pr
uritus merupakan tanda kecurigaan terhadap infeksi skabies. Pemeriksaan untuk penegakan diagnosis y
ang digunakan berupa identifikasi parasit, telur, maupun kotoran dengan menggunakan pemeriksaan m
ikroskopis dari kerokan kulit. Pemeriksaan ini dapat diulang pada bagian tubuh yang lain mengingat tin
gkat sensitivitas yang rendah dalam penegakan diagnosis. Metode kerokan kulit mungkin dapat menye
babkan pasien tidak nyaman, terutama pada pasien usia muda. Karena alasan tersebut, pemeriksaan ini
tidak dapat digunakan pada pasien yang tidak kooperatif. Selain itu, metode ini memakan waktu yang c
ukup lama dan proses yang dikerjakan tidak selalu mudah. Prosedur diagnostik lain dapat berupa peme
riksaan Burrow Ink Test, Adhesive Tape Test, test PCR untuk mendeteksi DNA Sarcoptes scabei pada ke
rokan kulit. Identifikasi keberadaan antibodi Sarcoptes scabei (diproduksi sebelum munculnya gejala kli
nis) dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menunjukkan hasil yang sanga
t baik meskipun ketersediaan alat diagnostik yang belum selalu ada. Beberapa tahun ini telah dikemban
g metode diagnostik non invasif seperti videodermatoscopy, dermatoscopy, in vivo reflectance confoca
l microscopy, dan optical coherence tomography yang menunjukkan peningkatan efektifitas dalam pen
egakan diagnosis skabies. Ulasan ini akan menganalisis keuntungan dalam penegakan diagnosis dan pe
mantauan perkembangan pasca terapi pada pasien skabies yang diharapkan dapat memberikan manfa
at yang besar pada program kesehatan publik. Metode non invasif ini diharapkan juga dapat digunakan
untuk skrining massal dalam situasi darurat seperti pada kasus baru-baru ini yaitu meningkatnya jumlah
migran yang masuk ke Eropa dari Afrika Utara.

SEARCH STRATEGY AND SELECTION CRITERIA

Referensi yang digunakan pada review ini didapatkan melalui kumpulan artikel dari PubMed yang dipu
blikasikan dari bulan Januari 1995 hingga Januari 2016, dengan menggunakan istilah “scabies”, “diagnos
is”, “dermatoscopy”, “dermoscopy”, “epiluminescence microscopy”, “ videodermatoscopy”, “videomicros
copy”, “confocal microscopy”, dan “optical coherence tomography”. Artikel-artikel yang digunakan telah
dipublikasikan di Inggris, Italia, Perancis, dan Jerman.

Anda mungkin juga menyukai