Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Peningkatan secara cepat infeksi dan penyakit Tuberkulosis (TB) di

seluruh dunia dalam 3 dekade terakhir mengakibatkan peningkatan TB perinatal.1

Insidensi ibu hamil dengan TB aktif di Inggris sebesar 4,2/100.000.2 Faktor yang

mengakibatkan tingginya angka TB antara lain kondisi sosial ekonomi, konflik

daerah perbatasan dan migrasi, gagalnya program pengendalian TB nasional, dan

Multi Drug Resistant (MDR), serta pandemik infeksi HIV.3

TB perinatal terjadi dari ibu dengan TB yang menular melalui saluran

reproduksi atau plasenta.4 Diagnosis TB selama kehamilan berperan penting bagi

ibu dan janin dalam kandungan karena TB yang tidak diobati dapat

mentransmisikan penyakit ke janin dan memberikan dampak buruk bagi

keduanya. Peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI) akibat TB di 22 negara

mengakibatkan insidensi TB global sebesar 80%.2,5 Sedangkan angka kematian

TB kongenital sebesar 38% jika tidak diobati dan mencapai 22% jika mendapat

pengobatan yang adekuat.6,7,8

Tuberkulosis perinatal sangat jarang ditemukan jika ibu diterapi secara

efektif saat kehamilan. Di seluruh dunia kasus TB kongenital hanya tercatat 329

kasus.9 Menurut World Health Organization (WHO) ibu tidak lagi infeksius

setelah diterapi selama 2-3 minggu. Angka kematian tinggi (2-60%) tergantung

dari gejala yang muncul atau faktor lain seperti prematuritas dan infeksi HIV.

1
Komplikasi dapat berupa TB milier dan meningitis yang mengakibatkan kejang,

tuli dan kematian pada neonatus.1

Pada neonatus, selain tatalaksana TB masih kurang diperhatikan, diagnosis

pun masih sulit ditegakkan, sehingga under/over diagnosis dan under/over

treatment sering terjadi. Berbagai upaya diagnosis telah banyak dilakukan baik

pemeriksan serologi maupun kultur untuk mencari Mycobacterium tuberculosis.

Namun pemeriksaan penunjang tersebut belum mampu menentukan apakah

seorang anak sakit TB atau hanya terinfeksi M. tuberculosis tanpa sakit. Para ahli

sepakat bahwa anamnesis dan pemeriksaan klinis masih merupakan cara diagnosis

TB pada anak.7,10

Neonatus berisiko TB perinatal termasuk mereka yang ibunya telah

terbukti atau diduga menderita TB selama kehamilan. Kegagalan untuk

menyelidiki dengan tepat mungkin mengakibatkan miss diagnosis dan

berkontribusi terhadap kematian, terutama karena tanda-tanda penyakit mungkin

tidak muncul sampai beberapa hari atau minggu kemudian jika infeksi ditularkan

postpartum daripada intrauterin.11 Tidak jarang bayi dibawa sudah dalam keadaan

berat seperti TB milier atau meningitis. Sebenarnya bila TB diketahui lebih awal,

kemungkinan menjadi berat dapat dicegah.10

Dari latar belakang tersebut, pada makalah ini akan dibahas mengenai

diagnosis dan tatalaksana neonatus yang lahir dari ibu dengan TB aktif.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi TB pada neonatus dapat terjadi secara kongenital (prenatal),

selama proses kelahiran (natal), maupun transmisi paska natal oleh ibu pengidap

TB aktif. Oleh karena itu, transmisi pada neonatus ini disebut sebagai TB

perinatal.12

Epidemiologi

Kejadian TB kongenital sangat jarang. Di seluruh dunia sejak tahun 1935

tercatat 329 kasus TB kongenital. Abughali dkk melaporkan dari tahun 1980

sampai 1994 hanya terdapat 58 kasus TB kongenital. Hal yang menyebabkan

rendahnya angka kejadian TB kongenital adalah (1) Pada wanita dengan

tuberkulosis genitalia biasanya mengalami infertilitas. (2) TB pada orang dewasa

umumnya merupakan TB paska primer yang terlokalisasi di paru, TB primer

sistemik jarang terjadi pada orang dewasa. Sedangkan kondisi sistemik dengan

penyebaran hematogen diperlukan untuk terjadinya TB kongenital. (3) Adanya

sawar plasenta yang dapat mencegah masuknya M. tuberculosis ke dalam

sirkulasi janin. (4) Tuberkel yang menempel pada plasenta sangat jarang pecah

sehingga M. tuberculosis tidak dapat mencapai dan menginfeksi janin. (5)

Kemungkinan terdiagnosis sebagai TB kongenital kecil oleh karena umumnya

terdiagnosis sebagai penyakit lain.9

3
Data mengenai TB perinatal di Departemen IKA FKUI RSCM dilaporkan

oleh Rahajoe N. pada tahun 1996 melaporkan, 26 (16,4%) dari 171 kasus TB

dengan biakan positif adalah anak di bawah usia 1 tahun dengan usia termuda

adalah 4 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa sumber penularan yang paling

mungkin adalah ibu.9

Imunologi TB pada Neonatus

Respon imun yang baik bergantung pada limfosit CD4/Th1 dan kadar

Interferon-γ (IFN- γ). Neonatus memiliki sel CD4 lebih sedikit dan fungsi yang

belum sempurna. Defek kemotaksis monosit dan makrofag mengakibatkan

lambatnya fagositosis di tempat infeksi, respon imun antigen spesifik tidak ada

dan IFN-γ yang rendah mengakibatkan aktifasi makrofag yang terbatas.7,13

Periode neonatal adalah saat dimana neonatus sangat rentan karena sistem

imun berfungsi ganda, antara lain untuk perlindungan terhadap infeksi,

menghindari respon membahayakan dari sitokin proinflamasi yang dapat

menimbulkan reaksi alloimun antara ibu dan janin dan transisi lingkungan

intrauterin yang steril ke lingkungan pajanan antigen dari luar. Hal ini

menunjukkan bahwa CD4+, CD25+, dan pengaturan sel-T yang melimpah cukup

ampuh saat bayi lahir dan menghambat imunitas sel Th1.1,13

Dengan tidak adanya respon imun yang didapat dan tidak ada memori

kekebalan, garis pertahanan pertama terletak pada respon imun bawaan dari

neonatus. Aliran sitometri menunjukkan penurunan jumlah molekul MHC kelas II

antara neonatus dan anak, yang berpotensi berkontribusi terhadap gangguan

4
aktivitas antigen-precenting cells (APC) dan mengakibatkan perbedaan kualitatif

monosit. Darah secara fungsional belum matang saat lahir dan memiliki fenotip

yang tidak jauh berbeda dibandingkan anak usia dini. Hal ini menunjukkan bahwa

bias terhadap polarisasi sitokin-sel Th1 membuat bayi lebih rentan terhadap TB,

terutama karena infeksi perinatal mungkin terjadi melalui penyebaran hematogen

bukan melalui infeksi primer di paru.1,7,13

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa APC neonatus tidak

memiliki kemampuan untuk memberikan sinyal polarisasi Th1 ke sel-T. Kapasitas

sintesis interleukin (IL)-12, sebuah sitokin turunan APC, perlahan-lahan menjadi

matang selama masa kanak-kanak dan neonatus, monosit yang diturunkan

memiliki defek tertentu dalam ekspresi IL-12p35. IL-12 penting untuk tahap awal

polarisasi Th1 dan juga untuk menjaga efisiensi transkripsi IFN-γ pada efektor sel

Th1.13

Dalam kasus infeksi primer paru-paru, makrofag alveolus berperan

sebagai garis pertahanan pertama dalam respon imun bawaan untuk TB dan

berperan penting dalam memperkuat respon terhadap infeksi. Studi pada binatang

percobaan dan host manusia secara konsisten menunjukkan penurunan terhadap

fagositosis mikroba dan berkurangnya monosit di tempat infeksi pada bayi

dibandingkan orang dewasa.1

Sel CD4 neonatus muncul secara intrinsik dalam kemampuannya

melepaskan fungsi efektor Th1, sebagian disebabkan hypermethylation dari

promotor proksimal gen IFN-γ, sehingga pola respon IFN-γ sangat terbatas

terhadap berbagai stimulus. Ekspresi CD154 (ligan CD40) juga berkurang secara

5
signifikan dibandingkan dengan sel dewasa. Penurunan pertahanan paru bawaan

pada neonatus dan bayi memungkinkan mikrobakteri membanjiri sistem

kekebalan bawaan sebelum inisiasi respon kekebalan spesifik antigen.1,13

Hipersensitivitas tipe lambat terhadap turunan protein murni mungkin

tidak muncul pada 40% anak HIV-negatif yang mengalami TB ekstrapulmonal,

mengakibatkan kesulitan diagnosis pada anak-anak. Namun, penelitian mengukur

respon terhadap vaksinasi neonatus dengan BCG M. bovis menunjukkan respon

ampuh Th1, mungkin terkait dengan keampuhan aktivasi APC dari vaksin BCG.1

Transmisi Perinatal Mycobacterium tuberculosis

Membedakan antara TB kongenital dan TB neonatus akibat transmisi

postpartum mungkin tidak penting karena klinis, pengobatan, dan prognosis tidak

berbeda, asalkan bayi dan ibu secara cepat terdiagnosis dan diobati.

Infeksi TB pada neonatus dapat diperoleh:1,4,9,14

(a) saat bayi masih di dalam rahim, melalui penyebaran hematogen lewat

vena umbilikalis, aspirasi atau tertelan cairan amnion yang terinfeksi TB,

(b) intrapartum, melalui aspirasi atau tertelan cairan amnion yang

terinfeksi TB atau kontak langsung dengan serviks/endometrium yang terinfeksi

pada saat persalinan, atau

(c) postpartum, melalui inhalasi atau tertelan droplets dari ibu dengan TB

aktif.

Karakteristik molekuler organisme penyebab infeksi pada ibu dan bayi

menunjukkan transmisi ibu-ke-bayi, tetapi tidak membedakan antara TB

6
kongenital dan TB postnatal. Juga tidak mengecualikan penularan dari orang

terdekat, terutama ayah si bayi. Faktor risiko untuk peningkatan terjadinya

transmisi vertikal dari M. tuberculosis ialah TB milier, TB yang tidak diobati, atau

apusan sputum menunjukkan BTA positif pada ibu.3,15

Ibu dianggap merupakan sumber infeksi TB kongenital atau TB didapat

perinatal pada bayi, model feto-maternal merupakan jendela yang rapat terhadap

paparan infeksi dan penyakit. Ini karena plasenta membentuk barier pertahanan

terhadap invasi organisme TB ke janin.4 M. tuberculosis tidak dapat melalui sawar

plasenta yang sehat, sehingga kuman akan menempel pada plasenta dan

membentuk tuberkel. Apabila tuberkel pecah, maka terjadi penyebaran hematogen

dan menyebabkan infeksi pada cairan amnion melalui vena umbilikalis.12

Pada infeksi intra uteri (prenatal/kongenital) terjadi penyebaran M.

tuberculosis secara hematogen oleh ibu TB primer yang sistemik. M. tuberculosis

akan menempel dan membentuk tuberkel pada plasenta karena adanya sawar

plasenta. Bila tuberkel pecah, akan terjadi penyebaran melalui vena umbilikalis

mencapai hati yang mengakibatkan fokus primer di hati serta melibatkan kelenjar

getah bening periportal. M.tuberculosis dalam hati dapat masuk ke dalam

peredaran darah kemudian mencapai paru membentuk fokus primer dalam bentuk

dorman. Tuberkel pada plasenta yang pecah tersebut dapat pula menginfeksi

cairan amnion. Cairan amnion yang terinfeksi M.tuberculosis terhisap oleh janin

selama kehamilan sehingga kuman dapat mencapai paru dan menyebabkan fokus

primer di paru. Namun bila cairan amnion tersebut tertelan, kuman akan mencapai

usus yang menyebabkan fokus primer di usus.2,9

7
Infeksi TB pada neonatus yang terjadi saat persalinan (natal), dapat terjadi

karena tertelan atau terhisapnya cairan amnion yang terinfeksi M. tuberculosis

oleh neonatus saat proses persalinan. Pada penularan ini kuman yang teraspirasi

dapat menyebabkan fokus primer di paru atau di usus. Penularan infeksi TB paska

natal merupakan penularan TB pada neonatus yang paling sering, yaitu melalui

inhalasi udara (droplet infection) oleh ibu atau orang dewasa lain penderita TB

aktif di sekitar neonatus. Kuman TB mencapai alveolus paru terutama pada lobus

tengah dan lobus bawah yang kaya akan oksigen sehingga umumnya fokus primer

akan terdapat di sini, walaupun semua lobus bisa saja menjadi fokus primer.5,9,16

Dari 107 ibu hamil dengan TB di Afrika Selatan, transmisi ibu-anak dari

basil TB dideteksi pada 15% neonatus pada usia 3 minggu pertama. Transmisi ini

diakibatkan oleh TB yang tidak diobati (terlambat didiagnosis). Wanita usia 15-49

tahun memiliki risiko besar mengubah infeksi TB menjadi penyakit. Limfosit

CD4 merupakan sel kunci yang terlibat dalam kontrol infeksi TB. Model binatang

menggambarkan homeostasis imun saat kehamilan, dapat menyebabkan

progresivitas TB karena kontrol TB memerlukan mediasi sel atau reaksi Th1.3

Gejala Klinis dan Diagnosis TB pada Ibu Hamil

Efek TB pada kehamilan tergantung pada keparahan penyakit, usia

kehamilan saat didiagnosis TB dan waktu mendapat terapi OAT, adanya

penyebaran ekstrapulmonal, status gizi ibu, status imun, dan koinfeksi HIV.6

Riwayat kontak erat dengan pasien TB atau riwayat bepergian ke daerah endemis

TB harus ditanyakan.2

8
Gejala ibu hamil dengan TB umumnya sama seperti pasien yang tidak

hamil. Kehamilan dapat menutupi manifestasi klinis TB paru, wanita dapat

asimptomatis dan tampak sehat, memiliki simptom yang terbatas antara lain batuk

kronik selama 3 minggu atau lebih, demam, cepat lelah, keringat malam, atau

simptom berat seperti hemoptisis dan penurunan berat badan. Namun penurunan

berat badan sering dikaburkan oleh penambahan berat badan selama kehamilan.

TB ekstrapulmonal dapat terjadi pada 5-10% kehamilan. Pasien yang memiliki

koinfeksi HIV memiliki insidensi lebih besar TB ekstrapulmonal.2

Limfadenitis sering dijumpai dan tidak memberikan efek merugikan pada

ibu dan bayi. TB intestinal, spinal, endometrium dan meningitis TB dihubungkan

dengan IUGR dan skor Apgar yang rendah.15 TB sulit dideteksi pada ANC (Ante

Natal Care) yang rutin. Pada 26 kasus TB kongenital, 15 (57,7%) kasus TB pada

ibu terdiagnosis setelah bayinya diketahui terinfeksi TB.3,5

Tabel 1. Temuan Klinis Ibu Hamil yang Terinfeksi TB dan HIV di Negara
Berkembang3

Temuan Klinis Terinfeksi TB Terinfeksi TB dan HIV


Angka Kematian Ibu O% di Zambia, <6% di 14% di Zambia, 14,9% di
(AKI) India, 6,6% di Meksiko, Durban, 5,4% di Malawi
3,9% di Durban
Kematian perinatal 0-10,1% 8,5%
Prematuritas 14,3-50% 45,7%
BBLR (<2500 gram) 34,2-53% 60,4%
Berat lahir rata-rata 2.400-2.850 2.300
(gram)
Kecil Masa Kehamilan 20,2-50% 67,9%
(KMK)
Tranmisi Mycobacterium 20% 13,4%
tuberculosis yang
terdeteksi

9
Untuk mengetahui apakah ibu hamil menderita TB dapat dilakukan uji

Tuberkulin, foto toraks dengan pelindung dan pemeriksaan sputum BTA dan

kultur. Foto toraks dilakukan jika 3 kali apusan sputum menunjukkan hasil negatif

namun gejala masih menetap setelah pemberian antibiotik 1-2 minggu. Jika dari

foto toraks dinyatakan sugestif TB (adenopati mediastinum, efusi pleura, infiltrat

parenkim) maka pasien diterapi dengan OAT dan disebut pasien TB-BTA

negatif.6

Jika terdapat kecurigaan pada ibu hamil harus dilakukan uji Tuberkulin.

Ada beberapa pendapat yang memperdebatkan perlunya uji Tuberkulin pada ibu

hamil karena sensitifitasnya pada ibu hamil. Uji Tuberkulin sering anergi akibat

perubahan respon imun terhadap M. tuberculosis pada kehamilan.1 Namun uji

klinis melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna. Uji Tuberkulin

aman dan merupakan metode yang berguna untuk screening TB pada kehamilan

dan harus dilakukan pada ibu hamil yang memiliki tanda dan gejala TB. Jika

indurasi uji Tuberkulin >10 mm, harus dilakukan foto toraks dengan pelindung

(shielding) pada bagian abdomen.2,5

Ibu hamil dengan diabetes atau HIV, pekerja rumah sakit, usia tua, tahanan

penjara dan status sosial-ekonomi rendah harus menjalani uji Tuberkulin. Wanita

yang terinfeksi HIV memilki hasil negatif reaksi Tuberkulin, sehingga jika

ditemukan indurasi >5 mm pada wanita dengan HIV dinyatakan uji Tuberkulin

positif.5

10
Jika ibu merupakan pasien asimptomatis, foto toraks harus ditunda sampai

usia kehamilan mencapai 12 minggu.5 Ibu juga harus memeriksakan sputum BTA

dan kultur kuman.2

Gejala Klinis Neonatus dari Ibu TB Aktif Selama Kehamilan

Gejala TB kongenital dapat dilihat setelah lahir namun biasanya muncul

pada minggu ke-2 dan 3 usia neonatus dan biasanya tidak spesifik.9,16,17

Hepatosplenomegali dan distress pernafasan lebih sering muncul diikuti demam

dan limfadenopati. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengalami infeksi TB dan

HIV cenderung lahir preterm, berat bayi lahir rendah (BBLR), dan restriksi

pertumbuhan dalam rahim (IUGR) serta peningkatan kematian ibu dan

perinatal.1,2,5

Pada TB perinatal akan didapatkan prematuritas, abortus spontan, BBLR,

pneumonia persisten, limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, jaundice,

kejang, lesi kulit, sekret telinga, abses paravertebral, distensi abdomen,

korioretinitis, anemia, trombositopenia, DIC (disseminated intravascular

coagulopathy), distress pernafasan, tidak mau menyusu.3-5,15 Jaundice obstruksi

akibat dari pembesaran kelenjar pada porta hepatis dan lesi kulit papular atau

pustular, beberapa dapat mengakibatkan disfungsi hepar progresif.4

Kondisi-kondisi bayi preterm seperti penyakit paru kronis, Patent Ductus

Arteriosus (PDA), pneumonia, and sepsis sering menyerupai infeksi TB.15,16

Diagnosis TB kongenital harus dicurigai pada neonatus dengan tanda dan gejala

sepsis yang tidak berespon dengan pemberian yang adekuat antibiotik spektrum

11
luas dan kemungkinan diagnosis infeksi kongenital lain telah disingkirkan,

terutama jika ibu menderita TB atau kelompok risiko tinggi.6,9,16

Tuberkulosis yang didapat paska natal memiliki gejala yang sama dengan

TB pada anak, seperti berat badan turun tanpa sebab, gagal tumbuh, demam lama

dan berulang, pembesaran kelenjar getah bening multipel, batuk lama, atau diare

persisten.9

Penelitian 35 kehamilan dengan TB di Meksiko menunjukkan bayi yang

dilahirkan lebih kecil dibandingkan bayi dari ibu hamil sehat (2.800 gram vs

3.100 gram). Ibu hamil dengan TB memiliki risiko relatif melahirkan bayi preterm

sebesar 2,1% dan kematian perinatal sebesar 3,1%. Hasil yang lebih jelek dari

perinatal didapatkan pada TB paru yang mendapatkan pengobatan tidak komplit

atau pengobatan tertunda akibat kehamilan.3

Penelitian di India pada 79 perinatal dari ibu TB selama kehamilan

dibandingkan 316 ibu hamil sehat, terjadi fetal distress (15,2%), prematuritas

(22,8%), Kecil Masa Kehamilan (20,2%), BBLR (34,2%), dan kematian perinatal

(10,1%) pada bayi-bayi yang terlahir dari ibu yang terinfeksi TB. Pada ibu hamil

dengan TB ekstrapulmonal, risiko melahirkan bayi dengan skor Apgar yang

rendah (<6) dan BBLR (<2500 gram) lebih tinggi dibandingkan ibu hamil sehat di

India.3

Supriyatno (2002) dalam penelitian retrospektif mengenai gambaran klinis

pasien TB berat khususnya TB milier pada bayi kurang dari 1 tahun. Pada 19

pasien TB milier dengan perbandingan lelaki dan perempuan adalah 1:1.

Kebanyakan berusia 6 bulan. Keluhan terutama adalah demam, berat badan turun

12
atau tetap, dan anoreksia masing-masing 89,5%; 89,5%; dan 84,2%. Pembesaran

kelenjar, hati, dan limpa, masing-masing didapatkan pada 73,7%; 57,9%; dan

47,7%. Uji Tuberkulin positif didapatkan pada 52,6%, peningkatan laju endap

darah dan anemia didapatkan pada 63,2% dan 57,9% pasien.10

Tabel 2. Tanda dan Gejala yang sering dijumpai pada TB Perinatal11

Tanda atau Gejala Frekuensi (%)


Hepatosplenomegali 76
Distress pernafasan 72
Demam 48
Limfadenopati 38
Distensi abdomen 24
Letargi atau iritabilitas 21
Sekret telinga 17
Lesi papular pada kulit 14
Muntah, apnea, sianosis <10
Jaundice, kejang, petekie <10

Pemeriksaan Penunjang

Karena TB berkembang dengan lambat dan memungkinkan bagi bayi yang

baru terinfeksi tidak menunjukan gejala, baik bayi yang asimptomatis dan yang

simptomatis harus diperiksa adanya transmisi vertikal M. tuberculosis.

Pemeriksaan biakan M. tuberculosis pada anak sulit dilakukan.

Kendalanya adalah sulitnya mendapatkan bahan yang representatif. Pada dewasa

untuk mendapatkan sputum cukup mudah, tetapi pada anak sangat sulit. Usaha

lain melalui cara bilas lambung karena anak sering menelan kembali sputumnya.18

Pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) dan biakan kuman dapat

menunjukkan hasil positif dari bilasan lambung, cairan telinga, serta biopsi hati,

kelenjar getah bening, dan sumsum tulang.3,9,17,19 Bilas lambung pada neonatus

13
memiliki hasil mikrobiologi yang lebih tinggi dibandingkan pada bayi yang lebih

tua (70%).1 Swab telinga tengah, sumsum tulang dan trakea juga menunjukkan

BTA positif.

Uji Tuberkulin pada neonatus sering negatif karena penyakit berat atau

sistem imun neonatus yang masih imatur sehingga penggunaan uji Tuberkulin

pada neonatus tidak dapat diandalkan.20 Uji Tuberkulin negatif di awal dan pada

pengulangan menjadi positif pada usia 4-6 minggu (umumnya usia 3 bulan).19

Gambaran foto toraks neonatus dengan TB sering menunjukkan kelainan;

sebagian besar terdapat bronkopneumonia, konsolidasi dengan kavitas atau

hipodensitas periportal dan hampir 50% menunjukkan gambaran TB milier, serta

efusi pleura, lesi kistik multipel, adenopati mediastinum dan hilus paru.1,7,21

Beberapa neonatus yang memiliki gambaran foto yang normal yang kemudian

menjadi abnormal bersamaan dengan progresivitas penyakit.9

Pada pemeriksaan ultrasonografi abdomen dapat ditemukan pembesaran

dan lesi fokal pada hati dan limpa, ekogenisitas yang heterogen, pembesaran

kelenjar getah bening multipel serta cairan debris peritoneum. Bila didapatkan

hepatomegali selama pemantauan klinis dilakukan pemeriksaan USG abdomen,

dan bila ditemukan kompleks primer maka dilanjutkan dengan biopsi hati.21

Gambaran histopatologi plasenta dapat ditemukan granuloma kaseosa

dengan BTA. Adanya tuberkel pada plasenta belum dapat memastikan bahwa bayi

menderita TB kongenital, karena tuberkel pada plasenta dapat utuh (tidak pecah).9

Bila perlu dilakukan kuretase endometrium untuk mencari endometritis TB.12

14
CT-scan abdomen dapat menunjukkan hepatosplenomegali, lesi fokal

multipel (kalsifikasi) di hepar dan limpa, nekrosis retroperitoneal atau

limfadenopati intra abdomen dan asites. CT-scan berguna untuk menunjukkan lesi

parenkim dan limfadenopati lebih baik dan lebih awal daripada foto toraks x-

ray.21

PCR (Polymerase Chain Reaction) berguna dalam mendiagnosis TB

kongenital.4 Idealnya sampel dari plasenta, endometrium dan vagina ibu diambil,

namun jarang dan sulit dilakukan. Pemeriksaan IFN-γ dapat menjadi alternatif

pilihan diagnostik imunologi, namun beberapa pendapat meragukan validitasnya

pada neonatus dan bayi, karena adanya penekanan produksi IFN-γ pada respon

stimulus antigen pada kelompok usia ini.22

Diagnosis TB Perinatal

Kriteria diagnosis TB kongenital menurut Beitzki (1935):4,9,16,17

1. isolasi M. tuberculosis dari bayi

2. adanya kompleks primer di hepar dengan prosedur bedah yang

menyatakan keterlibatan hepar dan kelenjar getah bening regional.

3. jika tidak ada kompleks primer di hepar: (a) dicari bukti lesi TB

beberapa hari setelah lahir, (b) eksklusi paparan paska natal dengan memisahkan

bayi dengan ibunya sehingga tidak ada riwayat kontak dengan penderita TB aktif

setelah lahir

Kriteria diagnosis TB kongenital menurut Cantwell (1994) terbukti lesi TB

pada bayi ditambah satu dari: 1,2,4,9,12-16

15
1. lesi muncul pada usia 1 minggu

2. kompleks primer di hepar atau granuloma hepatik kaseosa dengan

biopsi hepar perkutan

3. infeksi TB pada saluran reproduksi ibu (biopsi endometrium) atau

plasenta

4. eksklusi kemungkinan transmisi paska natal dengan mencari riwayat

kontak TB

Dokter ahli kebidanan bersama dokter anak harus saling berdikusi sebelum

bayi dilahirkan. Setelah bayi dilahirkan segera lakukan pemeriksaan patologi

anatomi plasenta dan pemeriksaan mikrobiologi dari darah vena umbilikalis untuk

mencari gambaran tuberkel dan atau kuman TB. Setelah ibu diisolasi, evaluasi

klinis dan foto toraks dilakukan pada neonatus. Pemantauan klinis kadang-kadang

perlu dilakukan dalam jangka waktu tertentu.

Penting untuk diketahui infeksi yang didiagnosis pada bayi biasanya BTA-

negatif namun hasil kultur positif. Keterlambatan diagnosis TB kongenital dengan

BTA-negatif dan hasil kutur positif, menunjukkan pertumbuhan lambat M.

tuberculosis, yang dapat memakan waktu hingga 12 minggu.19,23

Pada bayi yang asimptomatis, sampel tambahan dapat diambil dari cairan

serebrospinal, aspirasi abses, biopsi hepar, aspirasi sumsum tulang, biopsi kelenjar

getah bening, aspirasi trakea, swab telinga, dan urin. Pemeriksaan ini dapat

menunjukkan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi (jika BTA positif) atau

memerlukan 8-12 minggu pada kasus dengan BTA negatif namun kultur positif.3

16
Pada bayi yang simptomatis, diagnosis banding dapat dibuat: sifilis

kongenital, infeksi cytomegalovirus kongenital, infeksi virus herpes kongenital,

atau infeksi Mycoplasma pneumonia atipikal.3

Gambar 1. Foto toraks x-ray neonatus dengan TB3

Gambar 2. Granuloma TB pada sampel biopsi paru neonatus dengan hasil kultur
positif TB.3

17
Pengobatan

Tata laksana TB pada neonatus mencakup beberapa aspek yaitu ibu, bayi

yang dilahirkan dan lingkungan keluarga. Ibu yang terdiagnosis TB berdasarkan

pemeriksaan fisik, radiologik dan bakteriologik menjelang atau saat persalinan

harus diisolasi. Bila ibu telah didiagnosis TB aktif pada kehamilan, pengobatan

OAT langsung diberikan tanpa mengesampingkan efek samping OAT pada janin.

Obat yang rekomendasi oleh WHO dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

(PDPI) yaitu kombinasi rifampisin, isoniasid, pirazinamid dan etambutol.

Regimen OAT sama seperti pada kasus TB lainnya kecuali streptomisin tidak

diberikan karena bersifat teratogenik. Pada ibu yang telah cukup mendapat

pengobatan sebelumnya selama kehamilan, pada umumnya selama persalinan

proses TB sudah tenang.9,24,25

Lakukan pemeriksaan bilas lambung sebelum pemberian terapi. Setelah

terapi TB selama 1 bulan (usia 1 bulan) lakukan pemeriksaan uji Tuberkulin.

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih

pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis

darah vena umbilikalis) maka dapat langsung diobati selama 6 bulan tanpa

pemeriksaan uji Tuberkulin.1,9,12

Apabila pada usia 1 bulan uji Tuberkulin positif maka diagnosis TB

ditegakkan dan diberikan terapi TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto

toraks dan bilas lambung. Namun bila hasil uji Tuberkulin negatif, masih

mungkin TB karena faktor imunitas yang imatur pada neonatus. Dalam hal ini

terapi TB diteruskan disertai pemeriksaan Tuberkulin pada usia 3 bulan. Apabila

18
hasil uji Tuberkulin pada usia 3 bulan positif maka diagnosis TB ditegakkan dan

diberikan terapi TB selama 6 bulan. Namun apabila hasilnya negatif maka

diagnosis bukan TB dan terapi TB dihentikan.1,9,12

Selain mendapat terapi TB, pemberian nutrisi harus adekuat. Bayi

dipisahkan selama minimal 2 minggu pemberian terapi TB pada ibu, namun ASI

tetap dapat diberikan. Selain itu pemantauan peningkatan berat badan, tanda vital,

dan keluhan lain harus dilakukan dengan ketat.24

Apabila neonatus lahir dari ibu TB aktif namun pemeriksaan klinis dan

penunjang dalam batas normal, maka neonatus tetap berpotensi untuk terinfeksi

M. tuberculosis. Pemeriksaan menyeluruh untuk infeksi TB harus sesegera

mungkin dikerjakan, dan diberikan OAT profilaksis selama menunggu hasil kultur

kuman. Langkah ini dilakukan pada ibu yang dinilai infeksius (respon jelek

dengan OAT, BTA positif saat melahirkan, dan/atau memulai terapi OAT 3 bulan

sebelum melahirkan). Semua neonatus dari ibu dengan TB aktif selama kehamilan

(tanpa memperdulikan lamanya pengobatan dengan OAT sebelum melahirkan)

harus diberikan profilaksis, karena hasil pengobatan TB setelah terapi bervariasi,

dan BTA negatif bukan berarti ibu tersebut benar-benar bebas TB.3,24,25

Tata laksana awal adalah pemberian profilaksis primer INH dengan dosis

5-10 mg/kgBB/hari selama 1 bulan kemudian dilakukan uji Tuberkulin untuk

mengetahui apakah pasien telah terinfeksi. Apabila setelah 1 bulan uji Tuberkulin

positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan dan diberikan terapi TB selama 6

bulan disertai pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung.1,9

19
Namun bila setelah 1 bulan uji Tuberkulin negatif maka pemberian

profilaksis primer INH diteruskan sampai 3 bulan kemudian dilakukan uji

Tuberkulin untuk mengetahui apakah pasien telah terinfeksi. Bila setelah 3 bulan

uji Tuberkulin tetap negatif dan telah dibuktikan tidak ada sumber penularan lagi

maka profilaksis primer INH dapat dihentikan. Namun bila positif, harus dinilai

klinis dan pemeriksaan penunjang. Bila terdapat kelainan maka didiagnosis TB

dan diberikan terapi TB selama 6 bulan.1,9,12

Apabila pemeriksaan tidak mendukung TB, maka diberikan profilaksis

sekunder selama 6-12 bulan. Pemberian BCG hanya dapat dilakukan apabila bayi

belum terinfeksi M.tuberculosis yaitu pada saat 3 bulan dan uji Tuberkulin

negatif. Tata laksana terhadap lingkungan meliputi lingkungan keluarga. Harus

dicari adanya sumber penularan atau keluarga lain yang tertular melalui

pemeriksaan klinis, laboratorium maupun radiologis.12,15

Pemberian OAT diberikan fase intensif selama 2 bulan diberikan

rifampisin, isoniazid (INH) dan pirazinamid, dilanjutkan dengan fase lanjutan

selama 4 bulan rifampisin dan isoniazid. Untuk meningitis TB fase intensif selama

2 bulan: rifampisin, INH, pirazinamid dan etambutol, dilanjutkan 10 bulan

pemberian rifampisin dan INH.3,23 The American Academy of Pediatrics

merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan pada TB diseminata, dan 12-18

bulan pada meningitis TB. WHO merekomendasikan 6 bulan untuk TB milier.16

Bayi harus diperiksa BTA setiap bulan sampai terapi komplit dan diikuti

perkembangannya yang berlangsung selama 2 tahun.1 Uji Tuberkulin dan foto

toraks x-ray ulangan dilakukan pada usia bayi 6 minggu, 12 minggu dan 6 bulan.

20
Bayi kemudian divaksinasi BCG pada usia 6 bulan jika hasil tes-tes tersebut

negatif. Jika selama masa pengawasan berubah menjadi positif maka bayi

diberikan multiple terapi.2 Sebagai tambahan, bayi yang lahir dari ibu dengan

endometrial TB direkomendasikan untuk langsung mendapatkan OAT.3

Pemberian tambahan piridoksin pada bayi yang mendapat INH atau jika

mendapatkan ASI dari ibu yang mendapatkan INH, karena defisiensi piridoksin

dapat mengakibatkan kejang pada neonatus.2

Profilaksis TB yang direkomendasikan ialah 6 bulan pemberian INH

(10mg/kg/hari), atau 3 bulan pemberian kombinasi rifampisin (10 mg/kg/hari) dan

INH (5-10 mg/kg/hari). Pemberian selama 3 bulan lebih dipilih karena resistensi

INH sangat tinggi. Jika hasil kultur sudah ada dan menunjukkan hasil yang positif,

pemberian OAT diberikan secara komplit tanpa memandang gambaran klinis. Jika

hasil menunjukkan negatif profilaksis dihentikan.3,5,24,25

Namun jika ibu tidak ada pemeriksaan yang menyatakan BTA negatif atau

positif, maka bayi perlu diperiksa apakah TB aktif dengan uji Tuberkulin, foto

dada dan pemeriksaaan dari bahan yang diambil dari bilas lambung atau sputum

BTA. Jika tidak ada bukti TB aktif, bayi harus mendapatkan INH profilaksis

selama 3 bulan sampai setelah sputum ibu dinyatakan BTA negatif dan uji

Tuberkulin diulang pada usia 3 bulan. Jika uji Tuberkulin bayi negatif dan

sputum BTA ibu juga negatif INH dihentikan dan diberikan vaksin BCG.1,6 Jika

uji Tuberkulin bayi positif maka INH profilaksis harus diberikan selama 6 bulan

dan pemeriksaan lanjutan dilakukan untuk menemukan fokus infeksi.5,6

21
Jika diagnosis ibu ternyata TB aktif dan dibuat pada usia kehamilan bulan-

bulan terakhir menjelang persalinan, bayi dan plasenta harus diperiksa dengan

seksama untuk membuktikan adanya infeksi TB perinatal dan bayi diterapi

empiris jika terdapat ketidakpastian diagnosis. Semua bayi kondisi ini harus

dilihat perkembangannya setelah 2 tahun.19,23

Ibu hamil dengan MDR memiliki risiko besar pada komplikasi neonatus.

Pada neonatus dari ibu yang MDR, INH profilaksis tidak diberikan melainkan

dilakukan vaksinasi BCG dan dilakukan observasi selama 2 tahun. Vaksinasi

BCG menunjukkan efek perlindungan. BCG dikontraindikasikan pada bayi

dengan HIV positif.5,9

Bayi yang lahir dari ibu dengan TB dan HIV positif harus diberikan INH

profilaksis selama 6 bulan, setelah itu dilakukan uji Tuberkulin. Jika hasilnya

negatif maka diberikan vaksin BCG.2

Selama bayi diperiksa dan diterapi secara intensif di ruang perawatan bayi,

penanganan untuk TB pada ibunya juga harus dilaksanakan. Risiko tertular TB

masih ada setelah lahir, terutama jika bayi terpapar terus-menerus pada ibu yang

tidak tuntas pengobatan TB atau TB paru berulang. Terapi profilaksis yang

diberikan pada bayi saat 3 bulan pertama kehidupan tidak memberikan

perlindungan jangka panjang dari terkena infeksi pada masa kanak-kanak.3,9

Pada kondisi terpencil vaksin BCG harus diberikan pada bayi dengan

alasan:3

 Kegagalan pemberian vaksin BCG pada neonatus dengan risiko tinggi-

terpapar ibu dengan TB aktif-dapat mengakibatkan bayi memiliki risiko

22
yang besar terkena TB milier dan meningitis. Risiko terbesar penyebaran

bentuk penyakit ini dalam 1 tahun pertama kehidupan, dan vaksin BCG

yang diberikan pada bayi memberikan efek perlindungan terbesar terhadap

TB milier dan meningitis TB.

 Kebijakan yang baku dan seragam tidak membuat bingung dokter/perawat

mengenai siapa yang harus mendapatkan vaksin pada penderita di daerah

terpencil.

 Bukti bahwa profilaksis INH/rifampisin menghambat immunogenisitas

vaksin BCG tidak ada, dan penggunaan uji Tuberkulin sebagai marker

infeksi sangat terbatas dan tidak mengurangi risiko terkena TB.

Tabel 3. Penggunaan OAT pada Kehamilan dan Neonatus1,3-5,24

Obat Kehamilan dengan TB aktif Neonatus


Rifampisin (R) Aman bagi janin, bagi 10-15 mg/kg/hari
ibumengakibatkan:hepatotoksik,
mual, muntah
Isoniazid (INH) Aman bagi janin, dapat 5-10 mg/kg/hari
melewati plasenta, diperlukan
tambahan piridoksin untuk
mencegah neuropati perifer.
Bagi ibu mengakibatkan:
hepatotoksik, hipersensitifitas
kulit
Pirazinamid (Z) Direkomendasikan untuk 15-30 mg/kg/hari
meningitis TB saat hamil,
koinfeksi HIV, resisten dengan
INH. Bagi ibu mengakibatkan
gangguan GIT, hiperurisemia,
hepatotoksik
Etambutol (E) Mengakibatkan cleft palatum, 15-20 mg/kg/hari
Neuritis retrobulbar, defek pada
tulang belakang, menghambat
perkembangan penglihatan.
Streptomisin (S) Teratogenik, paralisis n. VIII 20-30 mg/kg/hari
mengakibatkan ketulian pada
janin, kerusakan ginjal

23
Terapi suportif seperti oksigen bahkan ventilator mungkin diperlukan.

Kortikosteroid dapat diberikan jika bayi dinilai amat parah, meningitis TB atau

obstruksi jalan nafas karena limfadenopati yang membesar.4

Gambar 3. Alur tatalaksana TB Perinatal10

24
Gambar 4. Tatalaksana neonatus dari ibu TB aktif.3

Pemberian ASI

WHO/UNAIDS/UNICEF menganjurkan untuk memberikan ASI dibawah

pengawasan dan konseling yang memadai dari neonatologist, ahli kebidanan, dan

pharmacologist untuk menjamin ibu membuat pilihan yang tepat dalam

memberikan ASI. Keputusan memberikan ASI tidak dipengaruhi TB yang diderita

ibu. The American Academy of Pediatrics menyarankan ibu dengan TB yang telah

mendapat terapi selama dua minggu atau lebih dan dinyatakan tidak infeksius

boleh memberikan ASI.2

Ibu dengan TB aktif harus menggunakan masker untuk mencegah

penularan TB pada bayinya.12 Namun jika terdapat abses TB pada mammae,

pemberian ASI dihentikan. Terdapat risiko penularan TB ke bayi melalui ASI,

namun tidak bermakna. Karena TB ditularkan melalui droplet, risiko penularan

25
paska natal dari ibu yang terinfeksi ke bayinya ada, bahkan jika ia tidak menyusui

bayinya. Bayi dapat diberikan profilaksis dan ASI tetap diberikan.5

Pilihan lain ialah memisahkan ibu dari bayinya jika ibu TB aktif dan

sangat infeksius (terutama pasien MDR) sampai terjadi konversi BTA sputum

atau ibu tidak infeksius lagi, tetapi tetap diberikan ASI yang dipompa.

Pemeriksaan ulangan BTA pada ibu yang memberikan ASI dilakukan 2 minggu

setelah pengobatan.3,6,12

Ibu dengan TB aktif jika menyusui disarankan bayinya mendapat INH 6

bulan atau alternatif INH 3 bulan diikuti uji Tuberkulin. Jika negatif vaksinasi

BCG diberikan dan INH dihentikan. Jika positif terapi dilanjutkan sampai 6 bulan

kemudian baru diberikan vaksin BCG.1

Dosis OAT yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25%

dosis terapeutik bayi.12 Konsentrasi INH pada ASI mencapai puncak 3 jam setelah

pemberian obat dan mencapai konsentrasi 16,6 mg/l pada dosis 300 mg.

Rifampisin mencapai puncak konsentrasi 10-30 mg/l pada dosis 600 mg.

Streptomisin mencapai konsentrasi 1,3 mg/l 30 menit setelah injeksi dosis 1

gram.5

Jika ibu dan bayi sama-sama mendapatkan INH, maka obat akan

mengalami dosis subterapeutik (abnormalitas kadar dalam plasma) dan dalam

kondisi demikian ASI sebaiknya diganti dengan susu formula.5 Namun beberapa

ahli berpendapat residu OAT yang disekresikan ke dalam ASI tidak

mengakibatkan toksisitas pada neonatus yang diberikan OAT dosis standar atau

yang mendapatkan terapi profilaksis. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa

26
residu OAT dalam ASI mengakibatkan resistensi obat terhadap M. tuberculosis

pada neonatus.2,3

Pencegahan

Untuk mengurangi insidensi TB pada negara berkembang dapat dilakukan

screening pada populasi dengan risiko tinggi. Deteksi dini hendaknya dapat

dilakukan sewaktu ibu hamil melakukan ANC sehingga terapi dapat diberikan

lebih dini. Sejak pertama kali TB terdiagnosis pada ibu, terapi OAT harus

diberikan sesegera mungkin untuk mengurangi risiko pada bayi dan ibu. Regimen

OAT yang dapat diberikan selama kehamilan kombinasi rifampisin, isoniazid

(diberikan bersama piridoksin), etambutol, dan pirazinamid. Selain ibu anggota

keluarga serumah yang menderita TB juga harus mendapatkan pengobatan OAT.3

Direkomendasikan ibu hamil dengan uji Tuberkulin yang positif, terapi

INH ditunda sampai setelah melahirkan jika hasil foto toraks dinyatakan normal.

Namun, situasi tertentu disarankan pemberian INH profilaksis selama kehamilan,

antara lain:5

- Jika ditemukan konversi hasil Tuberkulin dalam kurun waktu dua tahun.

Ini didasarkan fakta bahwa kemungkinan seseorang dengan hasil konversi

dari negatif menjadi TB aktif selama dua tahun.

- Kontak erat dengan penderita TB aktif

- Jika wanita tersebut imunokompromais (HIV positif)

Terapi pencegahan dengan INH (5 mg/kg/hari) sangat efektif dan tidak ada

risiko teratogenik pada ibu hamil yang mendapatkan dosis standar (dosis

27
maksimal 300 mg/hari) selama 6-12 bulan. Semua ibu hamil yang mendapatkan

terapi INH profilaksis harus dinilai tes fungsi hati sebelum memulai terapi

profilaksis dan pemeriksaan harus diulang tiap bulan dan waspada jika muncul

gejala hepatitis akibat OAT. Karena pemberian INH akan mengakibatkan

hepatotoksik yang muncul pada masa nifas. Piridoksin harus diberikan untuk

mencegah neuropati.5

Semua ahli setuju keuntungan dari terapi ibu mencegah morbiditas dan

mortalitas ibu dan menghindari transmisi perinatal.1 Hasil yang lebih baik

didapatkan pada wanita yang didiagnosis TB sebelum mulai kehamilan dan

mendapatkan terapi segera.5 Semua wanita yang tidak memiliki kekebalan TB

yang bepergian ke daerah endemis TB harus mendapatkan vaksinasi. Namun,

pemberian vaksin merupakan kontraindikasi bagi ibu hamil.2

Prognosis

Prognosis TB kongenital biasanya lebih buruk dari TB didapat paska natal.

Komplikasi TB pada neonatus adalah koagulasi intravaskular diseminata,

meningitis, gagal napas, perforasi usus dan syok sepsis. Hampir 50% dari kasus

TB kongenital dilaporkan meninggal, meskipun dengan penanganan yang intensif.

Hal ini disebabkan karena keterlambatan diagnosis dan komplikasi. Oleh karena

itu deteksi dini ibu dan neonatus dengan TB serta penanganan yang baik pada

neonatus sangat penting untuk memperkecil angka kematian TB pada neonatus.9

Remisi total diperoleh dengan kombinasi obat INH, rifampisin dan

pirazinamid selama 18 bulan dengan inisial amikasin IV selama 2 bulan.4

28
Pengobatan dengan kombinasi HRZS selama dua bulan dan R dan H tiap 2

minggu selama 4 bulan dilaporkan hanya 1% yang mengalami relaps dan angka

kematian dapat ditekan.5

Keterlambatan diagnosis TB prenatal dan terapi dapat mengakibatkan

morbiditas ibu sebesar 4 kali, dan sembilan kali lebih rentan melahirkan bayi

preterm.2 Status gizi ibu yang buruk, hipoproteinemia, anemia menambah risiko

morbiditas dan mortalitas ibu. TB disertai dengan infeksi HIV akan memperburuk

daya tahan tubuh neonatus. Pengobatan OAT yang tidak tuntas, lesi paru kronik

memperburuk kesehatan bayi.6

29
BAB III

PENUTUP

Tuberkulosis (TB) pada kehamilan selain dapat mengenai ibu juga dapat

menular pada bayi baik intrauterin, saat persalinan, maupun paska natal. Kejadian

TB kongenital selama persalinan sangat jarang. Gejala klinis TB pada neonatus

sulit dibedakan dengan sepsis bakterial umumnya dan hampir semua kasus

meninggal karena keterlambatan diagnosis. Manifestasi klinis TB kongenital

dapat timbul segera setelah lahir maupun dalam beberapa hari. Gejala yang paling

sering ditemukan adalah distres pernapasan, hepatosplenomegali, dan demam.

Tata laksana TB pada neonatus mencakup beberapa aspek yaitu ibu, bayi yang

dilahirkan dan lingkungan keluarga. Untuk diagnosis dan tata laksana diperlukan

pemeriksaan klinis dan penunjang berupa pemeriksaan patologi dari plasenta

darah vena umbilikalis, foto toraks, bilas lambung serta evaluasi uji tuberkulin

secara berkala. Deteksi dini TB pada neonatus dan penanganan yang baik pada

ibu dengan TB aktif akan memperkecil kemungkinan terjadinya TB perinatal.

30

Anda mungkin juga menyukai