Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang sangat penting dan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari

seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, serta

perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease penyakit

jiwa di tanah air masih cukup besar. Seseorang yang terganggu dari segi mental dan

tidak bisa menggunakan pikirannya secara normal maka bisa dikatakan mengalami

gangguan jiwa. Efendi dan Makhfudli (2009) mengatakan gangguan jiwa berat

merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran berupa disorganisasi

(kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain oleh gejala gangguan

pemahaman (delusi waham), gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi, serta

dijumpai daya nilai realitas yang terganggu yang ditunjukkan dengan perilaku-

perilaku aneh (bizzare).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa

prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi

dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta

orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7

per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata

14,3% di antaranya atau sekira 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka

1
2

pemasungan di pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika

dibandingkan dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7% (Kemenkes, 2014).

Prevalensi gangguan mental emosional meningkat sejalan dengan

pertambahan usia. Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur

75 tahun ke atas (33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental

emosional adalah kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok

yang memiliki pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah,

yaitu 21,6%), kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di perdesaan

(12,3%), serta pada kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita

terendah (12,1%). Survei Kesehatan Depkes RI menyatakan bahwa gangguan

mental pada usia 55-64 tahun mencapai 7,9%, sedangkan yang berusia di atas

65 tahun 12,3%. Angka tersebut diperkirakan akan semakin meningkat pada

tahun-tahun mendatang (Kemenkes, 2014).

Penderita gangguan jiwa di propinsi Jawa timur mengalami kenaikan drastis

pada tahun 2016. Ironisnya, sebagaian besar penderita adalah mereka yang berusia

produktif. Berdasarkan data dari Dinsos Jatim, penderita gangguan jiwa di Jatim pada

tahun 2016 mencapai 2.369 orang. Jumlah itu naik sebesar 750 orang dibandingkan

tahun 2015 lalu yang hanya 1.619 orang penderita. Dari jumlah tersebut, 719

penderita masih dipasung oleh keluarga mereka. Sedangkan, sebanyak 543 penderita

sudah dibebaskan dan kini menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) (Rahardi,

2017).
3

Kian meningkatnya jumlah pasien yang mengalami gangguan jiwa di Jawa

Timur, direspon Pemerintah provinsi Jatim dengan mengeluarkan kebijakan

menanggung semua biaya pasien gangguan jiwa. Mulai dari biaya transportasi

mengantarkan ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa) hingga perawatan dan pengobatan (Afri,

2011). Namun Pemerintah dalam menanggulangi gangguan jiwa masih banyak

mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Permasalahan tesebut menurut Agusno

(2011) yang mengidentifikasi akar permasalahan pada kesehatan mental berasal dari

tiga inti pokok. Pertama adalah pemahaman masyarakat yang kurang mengenai

gangguan jiwa, kedua adalah stigma mengenai gangguan jiwa yang berkembang di

masyarakat dan terakhir tidak meratanya pelayanan kesehatan mental.

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi pasien gangguan mental adalah

masalah stigma dari masyarakat. Stigma berarti suatu tanda atau identifikasi dari

tanda yang terdiri dari rasa malu, noda atau kecemaran. Stigma erat kaitannya dengan

ketidak-mengertian atau salah pengertian tentang gangguan mental termasuk

pengobatannya dan profesi psikiater dan tenaga medis yang terlibat di dalamnya

(Carol, Tummala dan Roberts, 2008). Masyarakat cenderung untuk mempersepsikan

dan memandang gangguan mental sebagai rasa takut; takut akan penyakitnya, takut

dari ketidaktahuan, dan takut akan kekerasannya. Beberapa kultur masyarakat masih

mempercayai bahwa gangguan mental merupakan pekerjaan makhluk halus, darah

yang kotor, racun, dan integritas moral yang rendah (Andriyanti, 2004).

Kuatnya stigma negatif masyarakat pada penderita gangguan kesehatan

mental menjadikan penderita tidak mendapatkan perawatan yang sesuai. Menurut


4

Sunaryo (2004) stigma kepada penderita gangguan kesehatan jiwa dipengaruhi

beberapa faktor seperti faktor pendidikan, tingkat pengetahuan, jenis kelamin, status

ekonomi masyarakat di lingkungan. Menurut Sarifudin,dkk (2016) yang menjelaskan

bahwa jenis kelamin memiliki kontribusi pengaruh 59,4% terhadap stigma

masyarakat kepada pasien gangguan jiwa, tingkat pendidikan berkontribusi sebesar

49,3%, sedangkan pekerjaan berkontribusi 47,8% terhadap stigma masyarakat kepada

pasien gangguan jiwa. Penelitian yang dilakukan Kusumawati (2012) memberikan

kesimpulan hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,000 yang memberikan kesimpulan

ada perbedaan proporsi kejadian sikap negatif terhadap pasien gangguan jiwa antara

masyarakat yang mempunyai nilai pendidikan negatif dengan masyarakat yang

mempunyai nilai pendidikannya positif. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan

jiwa, maupun gangguan kesehatan jiwa menjadikan masyarakat memilih untuk diam,

dan melakukan hal yang sangat sederhana sebagai bentuk pengobatan.

(Handayani,dkk, 2015). Penelitian lain yang memiliki hasil yang sama juga dilakukan

oleh Prakoso,dkk (2016) yang menyimpulkan ada hubungan tingkat pendidikan

dengan stigma masyarakat tentang gangguan jiwa nilai ρ-value sebesar 0,000. Ada

hubungan sumber informasi dengan stigma masyarakat tentang gangguan jiwa nilai

ρ-value sebesar 0,031.

Solusi yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi dan pengetahuan

mengenai kesehatan mental, gangguan kesehatan mental, berikut dengan

penanganannya bukan hanya kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

menderita gangguan kesehatan mental, melainkan kepada masyarakat pada


5

umumnya. Dengan memberikan pengetahuan mengenai kesehatan mental atau

kejiwaan (termasuk psikososial) kepada masyarakat maka secara bertahap stigma

‘orang aneh yang harus dikucilkan’ akan sedikit demi sedikit berkurang, dan bagi

keluarga yang anggotanya memiliki gangguan kesehatan mental atau kejiwaan akan

langsung memberikan pengobatan di tempat yang sesuai. Langkah tersebut dapat

menjadi solusi atau jawaban bagi masyarakat yang mempertanyakan dan meragukan

akan kesembuhan bagi para penderita gangguan kesehatan mental atau kejiwaan.

Menurut data di wilayah kerja puskesmas Bacem Kecamatan Ponggok

Kabupaten Blitar terdapat 71 orang dengan gangguan jiwa yang tersebar di lima desa,

dengan perincian desa Sidorejo 19 orang, desa Candirejo 7 orang, desa Bacem 12

orang, desa Ringin anyar 8 orang serta desa Gembongan 25 orang. Pasien gangguan

jiwa dengan perlakuan pasung sebanyak 2 orang satu di Gembongan dan satu di Desa

Bacem. Berdasarkan data kunjungan pada poli kesehatan mental setiap minggunya

mencapai 25 sampai 30 orang pasien (Puskesmas Bacem,2017).

Hasil survey pendahuluan yang dilakukan kepada masyarakat desa

Gembongan RT 3 RW11 terdapat pasien gangguan jiwa yang dipasung, hal tersebut

dilakukan karena pasien ditakutkan kambuh, mengamuk, dan merusak rumah warga.

Peneliti melakukan observasi terhadap warga di lingkungan pasien tersebut didapati

bahwa masyarakat sekitar menjadi acuh terhadap keberadaan pasien, tujuh dari

sepuluh orang di lingkungan RT masih menjauhi pasien gangguan jiwa ataupun

keluarganya, mereka menyatakan tidak peduli dengan kondisi pasien dan tidak ingin

terlibat dalam masalah dengan keluarga yang memiliki gangguan jiwa. Mereka masih
6

takut jika pasien mengamuk, dan mengancam keselamatan diri keluarga mereka.

Masyarakat yang masih takut terhadap klien gangguan jiwa maka akan memperburuk

gangguan jiwanya, sehingga proses pemulihan dan rehabilitasi akan terganggu serta

akan mempercepat klien untuk kambuh lagi.

Maka berdasarkan paparan teori dan temuan data di lapangan yang

menunjukkan stigma masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. Peneliti tertarik

untuk menganalisis lebih mendalam dan komprehensif untuk mengetahui faktor apa

saja yang mempengaruhi stigma masyarakat tentang pasien gangguan jiwa di wilayah

kerja puskesmas Bacem Desa Gembongan RT 3 RW 11 Kecamatan Ponggok

Kabupaten Kediri.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah faktor-faktor yang

berhubungan dengan stigma masyarakat tentang pasien gangguan jiwa di wilayah

kerja puskesmas Bacem Kec. Ponggok Kabupaten Blitar?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stigma masyarakat

tentang pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas Bacem Kec. Ponggok

Kabupaten Blitar.
7

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan stigma masyarakat

tentang pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas Bacem Kec.

Ponggok Kabupaten Blitar.

2. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan stigma masyarakat

tentang pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas Bacem Kec.

Ponggok Kabupaten Blitar.

3. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan stigma masyarakat

tentang pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas Bacem Kec.

Ponggok Kabupaten Blitar.

4. Untuk mengetahui hubungan status ekonomi dengan stigma masyarakat

tentang pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas Bacem Kec.

Ponggok Kabupaten Blitar.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran atas

penanganan pasien gangguan jiwa, terutama mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi stigma masyarakat mengenai pasien gangguan jiwa.

2. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan dalam

pengambilan kebijakan institusi yang terkait dalam memberikan

pengetahuan dan membuka akses informasi yang lengkap sehingga

masyarakat mengetahui dengan jelas mengenai pasien gangguan jiwa dan

cara penanganannya.

Anda mungkin juga menyukai