Anda di halaman 1dari 24

KEPERAWATAN KOMUNITAS

“TREND DAN ISSU PERKEMBANGAN EPIDEMIOLOGI SECARA


INTERNASIONAL, NASIONAL, DAN LOKAL”
Dosen: Ns. Faisal Kholid Fahdi M.Kep

DISUSUN OLEH
Nur Al Fatah
I1031151040

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
A. Konsep Epidemiologi
Dalam epidemiologi (cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan kajian
insidensi , penyebaran, pertentu pola penyakit dan pencegahan dalam populasi),
suatu epidemi adalah penyakit yang muncul sebagai kasus baru dalam suatu
populasi manusia (misal setiap orang di wilayah geografis tertentu, universitas, unit
populasi sejenis lainnya, atau setiap orang dalam kelompok usia atau jenis kelamin
tertentu, seperti anak-anak atau perempuan di suatu wilayah) selama periode
tertentu, pada tingkat yang jauh di luar dugaan, berdasarkan pada pengalaman saat
ini. Penentu Epidemi sifatnya subjektif, tergatung pada bagian yang mana yang di
anggap “sesuai dugaan”. Pandemi atau epidemi global atau wabah global
merupakan terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam daerah
geografis yang luar. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), suatu pandemi di
katakan terjadi bila ketiga syarat berikut telah terpenuhi yaitu (Wahyuni, 2017):
1. Timbulnya penyakit bersangkutan suatu hal baru pada populasi bersangkutan.
2. Agen penyebab penyakit mengikfeksi manusia dan meneyebabkan sakit serius.
3. Agen penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pasa manusia suatu
penyakit atau keadaan tidak dapat di katakan sebagai pandemi hanya karena
menewaskan banyak orang.

B. Epidemiologi Secara Internasional


1. HIV/AIDS
Epidemic HIV/AIDS saat ini tidak hanya merupakan isu di bidang
kesehatan saja. Penyebaran dan dampaknya yang dirasakan oleh setiap
tingkatan masyarakat menyebabkan pentingnya masalah sebagai konsekuensi
bagi human security. Luasya skala epidemi menyebabkan Dewan Keamanan
PBB (The United Nations Security Council) untuk melakukan usaha yang
bersejarah dengan mengadopsi resolusi 1308 yang tidak hanya menyatakan isu
kesehatan untuk pertamakalinya, namun juga secara spesifik mengkaitkan
penyebaran HIV/AIDS dengan pemeliharaan kedamaian dan keamanan
global.Di Indonesia sendiri, masalah HIV/AIDS ternyata semakin hari semakin
menunjukkan ancaman yang serius bagi segala sektor kehidupan. Angka-angka
bertambahnya kasus penyakit dan munculnya penyakit di daerah yang tadinya

1
tidak ada kasus merupakan bukti nyata. Jika pada awalnya masalah ini
dipandang hanya di dalam koridor kesehatan (baca: kedokteran) saja namun
ternyata pandangan ini justru tidak dapat menghasilkan penanggulangan secara
optimal (Soedirham, 2013).
Human Security, Apakah Human Security itu? Berbagai macam definisi
tentang human security mulai dari organisasi tingkat dunia seperti PBB, UNDP,
dari pemerintah seperti Canada dan Jepang, sampai ke academic papers yang
tentu saja tidak mengherankan mengingat pula bahwa hal ini merupakan konsep
yang relatif baru. Dari berbagai definisi tersebut mungkin ada beberapa yang
dapat dipakai sebagai standar untuk menentukan langkah lebih lanjut. Definisi
menurut PBB (United Nations) adalah bahwa: “Human security in its broadest
sense, embraces far more than the absence of violent conflict. It encompasses
human rights, good governance, access to education and health care and
ensuring that each individual has opportunities and choices to fulfill his or her
potential. Every step in this direction is also a step towards reducing poverty,
achieving economic growth and preventing conflict. Freedom from want,
freedom from fear, and the freedom of future generation to inherit a healthy
natural environment –these are the interrelated building blocks of human – and
therefore national–security.”(Annan, 2000 dalam Oedojo Soedirham, 2013)
Sementara itu Sadako Ogata sebagai mantan pejabat di UNHCR (United
Nations High Commissioner on Refugees) mengatakan bahwa ada beberapa
elemen kunci yang menyusun human security. Elemen pertama adalah
kenungkinan bagi semua warga negara untuk hidup damai dan aman di dalam
wilayah mereka sendiri. Hal ini menyatakan secara tak langsung kapasitas
negara dan warganya dalam upaya mencegah dan menyelesaikan konflik
melalui jalan damai dan sarana yang tanpa kekerasan dan, sesudah konflik
selesai, kemampuan untuk secara efektif melakukan usaha-usaha rekonsiliasi.
Elemen kedua adalah bahwa orang seharusnya menikmati semua hak dan
kewajibannya tanpa diskriminasi. Hak-hak tersebut meliputi hak azasi manusia,
politik, sosial, ekonomi, dan budaya – yang menjadi milik negara secara tak
langsung. Elemen ketiga adalah inklusi sosial–atau mempunyai akses yang
sama terhadap pembuatan proses kebijakan politik, sosial, dan ekonomi, dan
juga mendapatkan keuntungan yang sama dari aspek-aspek tersebut. Elemen

2
keempat adalah penegakan hokum dan independensi system peradilan. Masing-
masing individu di masyarakat seharusnya mempunyai hak-hak dan kewajiban
yang sama dan menjadi subyek pada aturan-aturan yang sama (Ogata, 1998
dalam Oedojo Soedirham, 2013).
a. Praktek Human Security
Praktek Human Security Sementara debat tentang kelayakan
penerapan agenda human security berasal dari ambiguitas konsep itu
sendiri, pertanyaan lebih lanjut dan lebih dalam tentang pendekatan ini
berkisar tentang bagaimana konsep ini telah di dan dapat dioperasionalkan.
Pertanyaan mendasar bagi yang mengkritik dan mendukung adalah
dapatkah adaptasi pendekatan "human security" lebih baik melengkapi
kemanusiaan untuk secara efektif berjuang dengan ancaman global yang
dihadapi bersama. Lebih lanjut, seberapa mudah atau layak dikerjakan
upaya-upaya tersebut? Alokasi sumber daya yang tersedia itu sendiri dapat
menghalangi berbicara semua ancaman terhadap human security seperti
yang diuraikan dalam Human Development Report dan Millenium
Development Goals (Sachs, 2005). Aplikasi human security dapat
diwujudkan dalam berbagai isu misalnya intervensi kemanusiaan
(humanitarian intervention), pengawasan persenjataan (arms control),
terorisme (terrorism), penyakit khususnya penyakit infeksi (Soedirham,
2013).
Human Security telah lama mengusulkan bahwa “jangkauan”
keamanan global (global security) seharusnya diperluas dengan mencakup
ancaman dari penyakit infeksi. Tujuan utama human securityadalah
perlindungan individu, dan penyakit infeksi (seperti HIV/AIDS, SARS, dan
H5N1) adalah diantara ancaman yang paling serius yang sedang dihadapi
individu di seluruh dunia. Karena sifat lintas nasional penyakit infeksi,
pendekatan yang sepihak, kebijakan terhadap ancaman akan membuktikan
tidak efektif pada jangka waktu yang lama. Oleh karenanya, dengan
mengadopsi model Human Security yang berfokus pada individu dengan
penekanan pada pencegahan, pemberdayaan perorangan, dan strategi
pengobatan yang diberikan oleh sejumlah pelaku global mungkin

3
merupakan pendekatan awal untuk berurusan dengan meningkatnya
keragaman penyakit menular (Soedirham, 2013).
Human security mendukung perluasan tanggung jawab untuk
menjamin health security. Hal tersebut bergeser dari tingkat nasional ke
individu, masyarakat dan organisasi sipil, dan ke atas pada lembaga dan
jejaring internasional. Jadi, memodernkan undang-undang dan peraturan
kesehatan internasional, memupuk kemitraan antara sektor publik dan
swasta dan juga meningkatkan komunikasi dan kerjasama diantara negara
menjadi lebih penting. Misalnya HIV/AIDS di sub-Sahara Afrika,
pendidikan penduduk yang relatif rendah dan penetrasi pengetahuan tentang
HIV/AIDS yang tidak cukup menyebabkan penduduk tidak menyadari
dampak serius penyakit ini. Teknologi yang rendah, pengelolaan sumber
daya yang tidak efektif dam implementasi kebijakan yang berkaitan oleh
pemimpin selanjutnya menghalangi kontrol penyebarannya. Para
pendukung Human Security menyarankan bahwa dengan memfokuskan
pada beban kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dan individu
respon kebijakan kita akan dapat mengungkap akar masalah (Soedirham,
2013).

2. Virus Ebola
Penyakit Ebola virus (EVD) pertama kali muncul pada tahun 1976
sebagai penyakit endemis di wilayah dua wabah simultan, satu di tempat Nzara,
Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo. Yang terakhir ini terjadi di sebuah
desa di dekat sungai Ebola. Penularan penyakit ini sangat cepat, terjadi melalui
kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh penderita ebola yang telah
meninggal karena virus ini, tetap menular selama beberapa hari (Wahyuni,
2017).
Menurut badan kesehatan dunia (WHO) korban meninggal akibat
wabah ebola di Afrika Barat pada Desember 2014 tercatat 7.518 korban tewas
dari 19..340 kasus kemudian meningkat hingga 7.693 jiwa dari 19.695 kasus. di
Sierra Leone jumlah korban terinfeksi ebola terbanyak. 14.124 korban
terinfeksi, terdapat 39.56 korban tewas. Di Guinea, tercatat 38.11 terinfeksi
dengan angka kematian mencapai 25.43. Sedangkan di Liberia pada tanggal

4
tercatat ada 10.675 terinfeksi. Namun, jumlah kematian akibat ebola di Liberia
tercatat dengan korban tewas mencapai 48.09 jiwa (Wahyuni, 2017).
Di Liberia tercatat memiliki angka tingkat kematian yang tinggi
daripada negara Guinea dan Sierra Leone. Wabah ebola di Liberia dimulai
ketika kementerian kesehatan Liberia mengambil tujuh sampel klinis semua
pasien dewasa dari kabupaten Foya, Lofa yang diuji dengan menggunakan virus
primer ebola zaire oleh laboratorium mobile dari institut pastuer di Conakry.
Dua dari sampel mereka telah diuji positif terkena virus ebola. Foya merupakan
kabupaten di Liberia yang telah terkena virus ebola. Penyebaran ebola yang
sangat pesat maka dengan adanya virus ini maka dari itu berbagai upaya
pemerintah Liberia untuk menanggulangi penyebaran virus ebola
seperti,pemerintah Liberia menutup perbatasannya dengan Sierra Leone
sebagai upaya mencegah penyebaran ebola. Kemudian pemerintah melakukan
karangtina di sebuah pemukiman kumuh di ibu kota Monrovia guna mencegah
penyebaran virus (Wahyuni, 2017).
Akan tetapi upaya pemerintah Liberia masih dinilai tidak maksimal
dikarenakan kurang layaknya upaya yang dilakukan pemerintah kepada warga
negaranya dengan memblokir pemukiman kumuh dengan pagar besi berduri
yang mengelilingi permukiman tersebut, hal ini berdampak pada masyarakat
yang kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari seperti bekerja dan membeli
bahan pangan.Pemerintah dan rakyat Liberia memerlukan langkah luar biasa
untuk keberlangsungan negara dan demi keselamatan wargannya (Wahyuni,
2017).
Kekuatan wabah Ebola secara umum dapat mengganggu kondisi
kesehatan, pertanian, stabilitas negara dan berbagai aspek lainnya. Tidak heran
hingga menjadi fokus perhatian banyak negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) melalui salah satu organisasi dibawahnya yaitu World Health
Organization (WHO) berusaha menanganinya. WHO adalah sebuah organisasi
internasionalyang bernaung dibawah bendera United Nations (UN) atau
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yangmemiliki peranan menangani masalah
kesehatan di dunia. Misi utama dari WHO adalah mencapai taraf kesehatan
yang tertinggi bagi semua masyarakat didunia. WHOlmenyatakan wabah Ebola
di negara Liberia dengan kondisi terparah. Dalam hal ini mendorong negara

5
Liberia melalui menteri kesehatan dan kepala negara meminta bantuan kepada
World Health Organization (WHO) (Wahyuni, 2017).

Hasil penelitian deskriptif mengenai virus Ebola yang dilakukan oleh


Wahyuni (2017) adalah sebagai berikut:

Ebola Virus Disease (EVD) atau Penyakit virus Ebola adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus Ebola. Nama lain yang sebelumnya digunakan adalah
Ebola Haermorrhagic Fever atau Demam Berdarah Ebola. Virus Ebola terdiri
dari 5 species yaitu Bundibugyo ebolavirus, Zaire ebolavirus, Sudan ebolavirus,
Tai Forest ebolavirus, Reston ebolavirus. Dari beberapa species Virus diatas,
tiga spesies virus tersebut yang pertama kali adalah yang menyebabkan wabah
di Afrika saat ini.Virus ebola menyebar melalui kontak langsung dengan darah
atau cairan tubuh orang yabng sakit karena ebola. Virus dalam darah dan cairan
tubuh masuk ke tubuh orang lain melalui kulit yang terluka atau bagian yang
tidak terlindung seperti mata, hidung dan mulut. Selin itu virus ebola juga
menyebar melalui jarum suntik yang tidak steril. Sementara itu, di beberapa
negara Afrika Barat, ebola dapat menyebar melalui kontak langsung atau
mengkonsumsi daging hewan yang terjangkit virus ini.
Distribusi geografis ZEBOV, SEBOV, Ivory coast ebolavirus,
Bundibugyo ebolavirus, ditemukan dibeberapa negara Afrika Selatan dan
Gurun Sahara dan umumnya bersifat endemis. Pola wabah menunjukkan bahwa
setiap virus Ebola mungkin memiliki rentang geografis yang berbeda. Sebagai
contoh, virus Ebola Pantai Gading telah dilaporkan hanya terjadi di Afrika
Barat, sementara SEBOV cenderung terjadi di Afrika Timur (Sudan dan
Uganda) dan ZEBOV ditemukan di Afrika wilayah Barat-Tengah (Gabon,
Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo atau dulunya Zaire) dan
Bundibugyo ebolavirus dilaporkan mewabah di Uganda. Penyakit ini kemudian
menyebar di masyarakat melalui penularan dari manusia ke manusia, dengan
infeksi yang merupakan akibat dari kontak langsung (melalui kulit yang rusak
atau selaput lendir) dengan darah, sekresi, organ atau cairan tubuh lainnya dari
orang yang terinfeksi, dan kontak langsung dengan lingkungan yang tercemar
cairan tersebut.

6
Orang terinfeksi selama darah dan sekresinya mengandung virus
tersebut. Upacara pemakaman di mana orang yang berkabung melakukan
kontak langsung jasad orang yang meninggal juga dapat berperan dalam
penularan Ebola. Petugas perawatan kesehatan di negara yang terjangkit
seringkali terinfeksi melalui kontak langsung dengan pasien yang menderita
EVD apabila tindakan kontrol infeksi tidak dipraktikkan secara ketat. Sampel
dari pasien secara biologis berbahaya dan pengujian harus dilaksanakan di
bawah kondisi pengamanan biologis yang tepat.

Virus Ebola pertama kali dikenal pada tahun 1976, yang terjadi di Sudan
bagian selatan dan Laut zaire bagian barat. Wabah virus Ebola ini terjadi di
Sudan antara bulan Juni dan November tahun 1976 dengan memiliki jumlah
284 kasus, dan tingkat kematian sebesar 53% (151 kasus). wabah ini berasal
dari Nzara dan Maridi, yaitu 2 kota yang terletak di perbatasan Sudan sampai
Zaire. Wabah di kota Nzara berpusat pada sebuah pabrik kain katun yang
mempunyai sarang kelelawar di langit-langit bangunan tersebut, dan para
pekerja pabrik yang sakit menularkan penyakit itu pada keluarganya.
Sedangkan di sebelah timur Nzara yaitu kota Maridi, penyebaran infeksi virus
ini bersumber dari rumah sakit. Penularan terjadi dari pasien ke keluarga yang
menjenguk, kemudian menyebar ke semua pasien karena fasilitas kesehatan
yang buruk dan terbatas. Serta para perawat yang menggunakan jarum suntik
bekas pakai yang tidak steril.
Virus Ebola pertama kali dikenal pada tahun 1976, yang terjadi di Sudan
bagian selatan dan Laut zaire bagian barat. Wabah virus Ebola ini terjadi di
Sudan antara bulan Juni dan November tahun 1976 dengan memiliki jumlah
284 kasus, dan tingkat kematian sebesar 53% (151 kasus). wabah ini berasal
dari Nzara dan Maridi, yaitu 2 kota yang terletak di perbatasan Sudan sampai
Zaire. Wabah di kota Nzara berpusat pada sebuah pabrik kain katun yang
mempunyai sarang kelelawar di langit-langit bangunan tersebut, dan para
pekerja pabrik yang sakit menularkan penyakit itu pada keluarganya.
Sedangkan di sebelah timur Nzara yaitu kota Maridi, penyebaran infeksi virus
ini bersumber dari rumah sakit. Penularan terjadi dari pasien ke keluarga yang
menjenguk, kemudian menyebar ke semua pasien karena fasilitas kesehatan

7
yang buruk dan terbatas. Serta para perawat yang menggunakan jarum suntik
bekas pakai yang tidak steri.
Nama Ebola sebenarnya berasal dari nama sungai di barat laut wilayah
Kongo yang mengalir di sekitar kota Yambuku hingga ke wilayah sudan
khususnya N’zara, salah satu kota yang terinfeksi virus ini. Penyebaran virus di
Yambuku dan N’zara dimungkinkan melalui pihak ketiga yaitu hewan karena
kedua desa tidak dihubungkan dengan jalan umum dan tidak ada seorang pun
dari kedua desa melintasi batas negara secara mudah. Pada tahun 2000, Ebola
menyerang dan 425 orang terinfeksi virus Ebola serta lebih dari separuhnya
meninggal dunia. Wabah Ebola tahun tersebut dilaporkan pertama kali pada
awal Oktober dimana penyakit demam disertai dengan pendarahan menyebar di
Gulu, Uganda Utara. Peristiwa ini dikonfrimasi oleh National Instituate of
Virology (NIV) di Afrika Selatan.
Virus Ebola kemudian muncul kembali pada tahun 2013 diawali dengan
penyakit yang mulai menyebar di sebuah desa kecil di Guineapada 26 Desember
2013 tetapi tidak teridentifikasi sampai tanggal 21 Maret 2014. Pemerintah
kesehatan Guinea menidentifikasi kasus di Afrika Barat dengan meneliti
penyakit yang diderita anak berusia 18 bulan di Meliandou, Guinea.
Penyakit anak tersebut ditandai dengan demam tinggi, tinja berwarna hitam dan
disetai muntah-muntah. Meliandaou merupakan desa terpencil dan jarang
penduduk karena hanya dihuni 31 keluarga dan terletak dikawasan hutan.
Sebelum sakit, anak tersebut diketahui bermain di halaman belakang rumah
dengan goa yang dipenuhi dengan kelelawar.
Pada 30 Maret 2014 kasus Ebola terjadi di Liberia. Kasus awal dianggap
sebagai penyakit malaria, penyakit yang sangat umum di Liberia dan dengan
demikian menyebabkan dokter terinfeksi virus Ebola. Pada tanggal 17 Juni
kematian pertama yang terinfeksi virus Ebola terjadi di Monrovia terdapat 16
kasus yang terjadi diantaranya adalah perawat dan beberapa anggota keluarga
yang terinfeksi virus Ebola. Dengan adanya virus Ebola tersebut pada tanggal
28 Juli sebagian besar penyeberangan perbatasan ditutup dengan pos
pemeriksaan medis dipasang dipelabuhan dan karantina yang terdapat
dibeberapa daerah Monrovia selain itu, beberapa sekolah ditutup untuk
mencegah terjadinya penyebaran wabah Ebola. Pada tanggal 4 Agustus

8
pemerintah Liberia memerintahkan semua mayat orang-orang yang terinfeksi
virus untuk dikremasi. Hal ini mengakibatkan Ebola terus menularkan beberapa
warga di Monrovia sehingga tercatat 156 kematian akibat penyakit tersebut.
Pada tanggal 18 Agustus sekelompok penduduk dari West Point daerah
miskin di Monrovia melakukan aksi protes terhadap kehadirannya klinik Ebola.
Aksi protes tersebut berubah menjadi kekerasan, melepaskan pasien yang
terinfeksi, mengancam para perawat/pengasuh dan menjarah klinik persediaan.
Hal ini menyebabkan terjadinya infeksi massal Ebola di West Point. Dengan
adanya kejadian tersebut membuat pemerintah Liberia mengarantina
keseluruhan West Point dan menetapkan jam malam wilayah ibukota Monrivia
keputusan itu diambil demi menghentikan penyebaran virus Ebola tersebut. Jam
malam sendiri, akan mulai diberlakukan mulai pukul 21:00 malam hingga 06:00
pagi. Selama pemberlakuan jam malam, seluruh pergerakan masuk ataupun
keluar dari wilayah West point yang ditentukan itu akan dilarang. Langkah itu
sekaligus diambil menyusul serangan yang terjadi di mana ada sekitar 17 pasien
Ebola yang hilang dari wilayah tersebut hal ini Liberia memiliki 6.525 kasus
dan 2.447 kematian

Adapun isu utama yang melandasi dalam operasional Ebola Respon


Roadmap ini adalah (Wahyuni, 2017):

1. Pelaksanaan strategi pada sumber daya manusia (SDM): Melakukan


mobilisasi dan mempertahankan jumlah SDA yang cukup untuk ikut handil
dalam penanganan respon ebola, membutuhkan pendekatan yang
komprehensif untuk remunerasi, pelatihan, peralatan, keamanan, dan akses
ke pelayanan kesehatan. Aktivitas dalam respon penanganan ebola sampai
saat ini telah menyorot beberapa pertimbangan spesifik yang harus dibenahi
untuk menjalankan Roadmap Ebola secara optimal, yaitu:Pertimbangan
staff nasional, pertimbangan staff internasional, layanan kesehatan untuk
tenaga medis, dan peran komunitas.

2. Keamanan: Ketika diperlukan, khususnya pada wilayah dengan tranmisi


tinggi dan upaya pengendalian luar biasa jangka pendek, otoritas
lokal/nasional harus merencanakan dan mengirim tim keamanan yang
dibutuhkan untuk memastikan keamanan fisik dari fasilitas ebola. Otoritas

9
lokal/nasional harus memberikan perhatian khusus untuk memastikan
keamanan staf yang bekerja di pusat perawatan ebola, pusat karantina ebola,
laboraturium dan, jika dibutuhkan, untuk tim yang bekerja pada tingkat
komunitas untuk melakukan pengawasan, penelusuran kontak dan
penguburan yang aman.
3. Akses cepat ke laboraturium diagnose ebola yang disetujui oleh WHO.
Terbatasnya fasilitas secara global untuk mendapatkan hasil diagnosa yang
akurat, WHO akan bekerja sama dengan jaringan global dari kumpulan
pusat perawatan dan rekannya untuk memastikan:
a. Seluruh negara dengan penyebaran luas dan transmisi tinggi memiliki
kapasitas diagnosis yang mencakupi di dalam negeri untuk melayani
seluruh pusat perawatan ebola dan pusat karantina/rujukan ebola.
b. Seluruh negara yang baru terinfeksi EVD atau telah memiliki tranmisi
lokal telah setidaknya memiliki diagnosis dalam negeri, atau memiliki
akses cepat ke fasilitas diagnosis yang diakui WHO.
c. Seluruh negara yang memiliki resikoEVD harus memiliki fasilitas
diagnosis yang diakui WHO yang siap menerima dan memproses
sampel yang mendesak sari kasus ebola.
4. Peralatan perlindungan dari (PPE), Material IPC dan logistik penting
lainnya. Kenaikan penyebaran virus eboal yang diikuti dengan upaya
kesiapan yang meningkat secara global dan upaya aktivitas respon yang
meningkat pada negara yang terjangkit, khususnya melalui mobilisasi
komunitas dan partisipasi dalam aktivitas respons yang esensial (seperti
layanan komunitas, pengawasan, penguburan aman), akan menyebabkan
kenaikan permintaan pasokan PPE, bahan IPC dan pasokan penting lainnya
seperti disinfektan, tenda dan kantong mayat. Untuk menjamin PPE, IPC
dan pasokan penting lain tercukupi dibutuhkan koordinasi internasional
dalam penyediaan. WHO akan menambah kerjasama dalam pengawasan
pengadaan PPE, bahan IPC untuk pemerintah dan rekannya, khususnya
pada daerah yang terjangkit. Kolaborasi dengan WFP akan diperkuat untuk
memfasilitasi perpindahan dan pengiriman dari bahan-bahan yang
diperlukan.

10
5. Infrastruktur dan Transportasi: Inplementasi respons yang ditambah dan
koordinasi membutuhkan kerjasama dari otoritas nasional, subnasional dan
lokal, fasilitas strategis dan mumpui untuk meletakkan elemenrepons, dari
tim manajeman krisis sampai pusat perawatan ebola dan pusat
karantina/rujukan ebola. Komunitas internasional dan rekanan harus siap
untuk membantu dengan perubahan tuga yang cepat dan mendaya gunakan
fasilits tersebut saat dibutuhkan. Tambahan kapasitas transportasi harus
diperhitungkan dengan baik dan dianggarkan dalam rencana operasi
nasional untuk membenahi seluruh elemen dari paket intervensi ebola dari
pengiriman paket dan spesimen dengan aman, sampai pekerjaan tim
pengubut dan penelusuran kontak.

a. Upaya WHO Menangani Ebola Di Liberia Melalui Ebola Respon


Roadmap
WHO tidak hanya mengendalikan virus ini, tapi memberikan bantuan
bantuan dan menjadi pusat koordinasi dalam tanggap virus Ebola. Sehingga
dalam hal ini, WHO juga melakukan kerjasama menjalin kemitraan dengan
beberapa organisasi-organisasi pihak-pihak yang berkaitan lainnya. Dalam
memberikan bantuan berupa dukungan normatif, secara teknis,material, logistik
maupun operasional guna menghadapi dan menangani masalah wabah virus
Ebola ini. WHO telah bermitra dengan organisasi-organisasi terkemuka di
dunia dalam menaggapi wabah ini. WHO juga telah memanfaatkan jaringan
kemitraan atau kerjasama dengan: the Global Operations Alert and Response
Network (GOARN), the Emerging and Dangerous Pathogens Laboratory
Network (EDPLN), dan the WHO Emergency Communications Network
(ECN) untuk menyediakan para ahli dan tenaga media dalam menanggapi
wabah virus Ebola. Selain itu WHO mengeluarkan roadmap ini untuk skala-up
untuk wabah Ebola.
Tujuannya adalah untuk menghentikan penularan Ebola di negara-
nagara yang terkena dampak dalam 6-9 bulan dan mencegah penyebaran
internasional. Roadmap ini akan membantu pemerintah dan mitra dalam revisi
dan resourcing rencana operasional spesipik negara untuk respon Ebola, dan

11
koordinasi dukungan internasional untuk implementasi tujuannya berikut
adalah bentuk dari program roadmap Ebola di Liberia.
1) WHO telah mengerahkan 2.013 ahli teknis, termasuk 562 orang melalui
GOARN (Global Outbreak Alert and Response Network) pada respon
wabah Ebola di Afrika Barat. Dimana 777 ahli teknis telah dikirim ke
Guinea, 460 ke Liberia, dan 668 ke Sierra Leone. Di antaranya terdapat 600
ahli epidemiologi dari Rusia, serta bantuan dari MSF (Medicins Sans
Frontiers/ Dokter Lintas Batas) yang terdiri dari 76 koordinator lapangan,
73 manajer data, 242 teknisi laboraturium, 26 Dokter, 110 logistik, 128
spesialis IPC, 44 petugas komunikasi, 53 mobilisasi sosial/komunitas para
ahli dan 15 ahli antropologi. Sedangkan Perancis melalui EPRUS mengirim
20 staf ahli untuk menangani Virus Ebola
2) Pemberian bantuan logistik dan penyediaan fasilitas WHO telah
menempatkan lebih dari 100 staf logistik internasional maupun nasional
untuk penanggulangan wabah virus Ebola di Afrika Barat. Staf-staf WHO
menangani koordinasi nasional dan lapangan di tiga negara tersebut, ahli
teknis dalam logistik Vaksinasi, manajemen rantai virus, rantai pasokan dan
kapasitas transportasi, armada dan manajemen pengemudi, sanitasi air dan
kebersihan, dukungan pencegahan dan pengendalian infeksi, manajemen
pemakaman yang aman: pasien dan transportasi sampel forensik:
manajemen fasilitas medis dan pemeliharaan, dan telekomunikasi serta
keamanan.
a. Dalam bidang logistik WHO juga memberikan kontribusi seperti
menyediakan lebihdari 1000 tempat tidur untuk pasien Ebola, 1.42 juta
PPE, transportasi medisbeserta pendistribusian pusat pencucuian
tangan, sabun dan klorin kepada 60 ruang publik masyarakat di Liberia
dan penyebaran 160 materi pendidikan dan komunikasi di 80 komunitas
dan 60 lembaga di Liberia, ketersediaan air bersih, telekomunikasi, dan
keamanan.
b. Bantuan senilai 1,35 juta dolar kepada Americarres, untuk menyediakan
pasokan dan layanan tambahan kepada klinik-klinik yang minim
fasilitas guna meningkatkan kualitas kesehatan dan akan menjamin
perlindungan kepada para tenaga medis dilapangan melalui penyediaan

12
obat-obatan, peralatan medis, dan peralatan perlindungan pribadi,
menyediakan transportasi pasokan medis dan membantu
perkoordinasikan sistemdistribusi penyediaan dan pasokan guna
menjamin pendistribusian pasokan medis untuk membatsi penyebaran
Ebola. Pasokan akan didistribusikan kepada empat organisasi mitra
yang bekerja pada 47 pusat perawatan kesehatan masyarakat di Liberia
dan Slerra Leone. Pasokan tersebut pada akan mendukung kinerja 800
tenaga medis di 500 desa di kedua negara dan memungkinkan mereka
melakukan pekerjaan mereka dengan aman tanpa takut terjangkit ebola.
3) Pelatihan yang diberikan pada petugas agar dapat mengatasi penyakit
menular Dalam hal pelatihan WHO bekerjasama dengan departemen
kesehatan Liberia, WHO telah melatih sekitar 100 peserte di zona panas
(fase 3) dan memperluas kapasitas pelatihan hot-zona. WHO akan
memberikan pelatikan diklinik untuk 40 personil nasional dan internasional
per minggu selama 2 sesi pelatihan. Hampir 1000 personil unit pengelolahan
Ebola telah dilatih dalam manajemen kasus dingin karena upaya kolektif
WHO, Depkes dan Departemen pertahanan AS. WHO telah telah
memberikan lebih dari 250 alat bantuan visual, panduan fasilitator, dan
materi pelatihan lainnya oleh WHO IPC dan instruktur manajeman klinis
respon virus Ebola untuk pelatihan masyarakat. Dalam hal ini juga WHO
telah memberikan peltihan pra penyebaran selama lebih dari 1.500 staf,
yang terdiri dari konsultan, dokter, komunikator, dan ahli teknis.

4) Mobilisasi sosial dan partisipasi masyarakat Liberia: Liberia adalah negara


yang memiliki budaya, agama, dan kepercayaan tradisional yang sangat
kenal akan hal yang spiritual. Hal ini yang menyebabkan penolakan
beberapa keluarga untuk mengobati keluargannya yang sakit untuk berobat
di rumah sakit atau klinik yang di sediakan oleh WHO. Hal inilah yang
menyebabkan wabah Ebola terus meningkat di Liberia. Dalam keterlibatan
ini WHO memberikan pengarahan untuk bekerjasama dengan masyarakat
Liberia untuk melawan Ebola. Menginformasikan tentang Ebola adalah
sebuah penyakit yang berbahaya, bukan kutukan atau bukan juga plot

13
pemerintah dan membritahukan mereka apa yang harus dilakukan untuk
melindungi diri adalah kunci untuk mencegah infeksi baru (WHO, 2017).

3. Superbug
Waspadai bakteri yang resistan terhadap obat. Di berbagai belahan dunia,
tercatat pasien yang memeriksakan infeksi bakteri kebal terhadap 26 jenis
antibiotik yang tersedia. Ancaman jenis bakteri yang kebal terhadap segala jenis
obat yang tersedia di muka bumi ini telah diwaspadai selama bertahun-tahun
dan akhirnya menjadi kenyataan. Superbug atau Carbapenem-resistant
Enterobacteriaceae telah membunuh lebih dari 700.000 orang setiap tahunnya.
Dalam U.N General Assembly di bulan September 2016, pemimpin-pemimipin
dunia sepakat akan beberapa langkah untuk menghentikan penyebarannya
(WHO, 2017).

4. Virus Zika
Sudah satu tahun sejak WHO mengumumkan keadaan darurat karena virus
Zika, dan baru saja organisasi yang sama mengagetkan dunia kesehatan dengan
mengumumkan usainya keadaan darurat. Bukan karena Zika sudah tidak
berbahaya, namun karena virus ini tidak akan menghilang dalam waktu dekat.
Zika akan menjadi seperti malaria dan yellow-fever, jenis virus yang
membutuhkan usaha yang besar dan harus terus menerus diperangi. Apalagi
belum ditemukan vaksin untuk virus ini (WHO, 2017).

14
C. Epidemilogi Secara Nasional
1. Diare
Diare masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian karena angka morbiditas dan mortilitasnya masih tinggi.
Data dari Riskesdas 2007 menyebutkan bahwa penyakit diare dari tahun ke
tahun masih menjadi penyebab utama kematian bayi dan balita di Indonesia
(Christy, 2014). Di dunia sekitar lima juta anak meninggal dunia karena diare
akut, dimana sebagian besar terjadi di Negara berkembang termasuk Indonesia
(Widoyono, 2011). Beberapa survei menunjukkan bahwa diare masih menjadi
penyebab kematian balita (Kemenkes, 2011).
Menurut SKRT 2001 menyebutkan angka mortilitas balita mencapai 13%;
Studi Mortalitas Dunia 2005 menyebutkan angka mortilitas anak karena diare
sebanyak 17%; WHO (Asia) sebesar 15%; dan Riskesdas 2007 menyebutkan
angka mortilitas karena diare balita (1–4 tahun) sebesar 25,2% (Kemenkes,
2011). Kementerian Kesehatan R.I tahun 2011 menyatakan bahwa penyebab
kematian bayi (umur 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%)
dan pneumonia (23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (umur
12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%).
Sehingga perlu adanya suatu upaya untuk menurunkan angka mortilitas balita
yang masih tinggi. Upaya tersebut sejalan dengan salah satu target MDG’s
(Goal ke-4) yaitu menurunkan angka kematian bayi dan balita hingga 2/3
bagian dalam kurun waktu 1990–2015. Prevalensi diare klinis berdasarkan data
Riskesdas 2007 adalah 9% (Anggraeni dan Farida, 2011). Adapun rentang
prevalensi tersebut yaitu 4,2–18,9% (Anggraeni dan Farida, 2011).
Hasil Survei Morbiditas yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan
pada tahun 2010 menunjukkan bahwa proporsi terbesar penderita diare pada
balita adalah kelompok umur 6–11 bulan yaitu sebesar 21,65%, kelompok umur
12–17 bulan sebesar 14,43%, kelompok umur 24–29 bulan sebesar 12,37%, dan
proporsi terkecil pada kelompok umur 54–59 bulan yaitu 2,06% (Christy,
2014). Sementara hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
menunjukkan bahwa proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah
kelompok umur 12–23 bulan yaitu sebesar 713 balita (BPS, 2012). Jumlah
perkiraan kasus diare di Puskesmas Kalijudan berdasarkan profi l kesehatan

15
Surabaya tahun 2012 yakni sebanyak 2997 kasus. Sementara jumlah kasus diare
yang ditangani sebanyak 292,93% atau 5752 kasus. Dilihat dari besaran
masalah yang ada, jumlah kasus diare yang terjadi di Puskesmas Kalijudan
bukan merupakan jumlah yang sedikit dibandingkan dengan puskesmas lainnya
seperti Puskesmas Sidotopo Wetan sebanyak 2542 kasus dan Puskesmas
Peneleh 1979 kasus (Dinkes, 2012).
Penyebab utama kematian diare adalah dehidrasi akibat kehilangan cairan
dan elektrolit melalui feses. Sementara penyebab lainnya adalah disentri,
kurang gizi, dan infeksi. Pada balita yang mengalami diare berkepanjangan
akan menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi akibat diare tergantung pada persentase
cairan tubuh yang hilang. Dehidrasi diare yang terjadi dikategorikan menjadi
diare tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan/sedang, dan berat (Widoyono, 2011).

2. TBC
Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 272 per
100.000 penduduk dan angka insiden sebesar 153 per 100.000 penduduk
dengan jumlah kematian akibat tuberkulosis sebesar 25 per 100.000 penduduk
(WHO, 2014). Jumlah kasus tuberkulosis baru BTA positif pada tahun 2011–
2014 di Provinsi Jawa Timur cenderung mengalami penurunan. Pada tahun
2014 jumlah kasus tuberkulosis baru BTA positif di Provinsi Jawa Timur
sebanyak 21.036 orang menurun dari jumlah kasus baru BTA positif tahun
2013. Jumlah kasus tuberkulosis baru BTA positif di Provinsi Jawa Timur
sebagian besar terjadi pada penduduk usia produktif antara usia 15 tahun hingga
65 tahun dan sebagian lagi menyerang anak-anak usia kurang dari 15 tahun
(Anasyia & Wahyuni, 2015).
Tuberkulosis anak adalah penyakit tuberculosis yang terjadi pada anak usia
0–14 tahun. Tuberkulosis anak dapat mencerminkan efektivitas dari program
pengendalian tuberkulosis termasuk deteksi kasus tuberkulosis dewasa,
pelacakan kontak, dan vaksinasi BCG (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis pada
anak sampai saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sekitar
500.000 anak di dunia menderita tuberkulosis setiap tahun. WHO
mengestimasikan kasus tuberkulosis anak di tahun 2012 kurang lebih 530.000
kasus atau sekitar 6% dari total kejadian tuberkulosis dan sebanyak 74.000 anak

16
meninggal karena tuberkulosis setiap tahunnya (WHO, 2013 dalam Anasyia &
Wahyuni, 2015).

3. HIV/AIDS
Indonesia mengalami masalah kesehatan yang kompleks, penyakit yang diderita
oleh masyarakat sebagian besar penyakit infeksi menular, namun pada waktu
yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular. Sedangkan
Indonesia juga menghadapi penyakit yang muncul seperti demam berdarah
dengue (DBD), HIV-AIDS, chikungunya, Severe Acute Respiratory Syndrom
(SARS). Mengenai penyakit HIV-AIDS yaitu (HIV) Human Immunodeficiency
Virus yaitu virus yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh yang akan
berlanjut ke fase AIDS. Penyakit ini telah menjadi pandemik yang
mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena penyakit ini memiliki fase
asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya,
sedangkan jumlah kasus HIV- AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat
(Nandasari & Hendrati, 2015).
Prevalensi jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan tahun 2011 yang
terlaporkan sebanyak 77.779 kasus dengan kasus HIV tertinggi yakni di
Provinsi DKI Jakarta 19.899 kasus, Jawa Timur 9.950 kasus, Papua 7.085
kasus, dan Jawa Barat 5.741 kasus. Berdasarkan laporan kasus AIDS sampai
dengan Desember 2011, jumlah kumulatif kasus AIDS sampai dengan tahun
2011 sebanyak 29.879 kasus dengan kasus AIDS tertinggi yakni Provinsi DKI
Jakarta 5.117 kasus, Jawa Timur 4.598 kasus, Papua 4.449 kasus, dan Jawa
Barat 3.939 kasus. Untuk mengendalikan laju penularan kasus HIV dan AIDS,
telah dilakukan berbagai upaya pencegahan. Salah satu upaya tersebut yakni
penggunaan kondom pada hubungan seksual yang berisiko tinggi menularkan
HIV dan AIDS. Dalam rangka upaya pengobatan terhadap penduduk yang
terinfeksi HIV tingkat lanjut, telah diberikan pengobatan antiretroviral (ARV)
(Nandasari & Hendrati, 2015).

17
4. Upaya Pemerintah Dalam Peningkatan Kesehatan Melalui GERMAS
(Gerakan Masyarakat Hidup Sehat)
Saat ini, Indonesia tengah menghadapi tantangan besar yakni masalah
kesehatan triple burden, karena masih adanya penyakit infeksi, meningkatnya
penyakit tidak menular (PTM) dan penyakit-penyakit yang seharusnya sudah
teratasi muncul kembali. Pada era 1990, penyakit menular seperti ISPA,
Tuberkulosis dan Diare merupakan penyakit terbanyak dalam pelayanan
kesehatan. Namun, perubahan gaya hidup masyarakat menjadi salah satu
penyebab terjadinya pergeseran pola penyakit (transisi epidemiologi). Tahun
2015, PTM seperti Stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK), Kanker dan
Diabetes justru menduduki peringkat tertinggi (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017)
Sebuah pembelajaran berharga di era jaminan kesehatan nasional (JKN),
anggaran banyak terserap untuk membiayai penyakit katastropik, yaitu: PJK,
Gagal Ginjal Kronik, Kanker, dan Stroke. Selain itu, pelayanan kesehatan
peserta JKN juga didominasi pada pembiayaan kesehatan di tingkat lanjutan
dibandingkan di tingkat dasar. Fakta ini perlu ditindaklanjuti karena berpotensi
menjadi beban yang luar biasa terhadap keuangan negara. Meningkatnya PTM
dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia, bahkan kualitas
generasi bangsa. Hal ini berdampak pula pada besarnya beban pemerintah
karena penanganan PTM membutuhkan biaya yang besar. Pada akhirnya,
kesehatan akan sangat mempengaruhi pembangunan sosial dan ekonomi
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Penduduk usia produktif dengan jumlah besar yang seharusnya memberikan
kontribusi pada pembangunan, justru akan terancam apabila kesehatannya
terganggu oleh PTM dan perilaku yang tidak sehat, tutur Menteri Kesehatan RI,
Nila Farid Moeloek, dalam sambutannya dalam rangka Hari Kesehatan nasional
(HKN) ke-52 tahun 2016 di Jakarta (14/11). Oleh karena itu, Kementerian
Kesehatan RI secara khusus mengingatkan masyarakat untuk menjaga
kesehatan melalui gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS) guna
mewujudkan Indonesia sehat. Mengenai Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(GERMAS) Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan suatu
tindakan sistematis dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh

18
seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan kemampuan
berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup. Pelaksanaan GERMAS
harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah bagian terkecil dari
masyarakat yang membentuk kepribadian (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2017).
GERMAS dapat dilakukan dengan cara: Melakukan aktifitas fisik,
Mengonsumsi sayur dan buah, Tidak merokok, Tidak mengonsumsi alkohol,
Memeriksa kesehatan secara rutin, Membersihkan lingkungan, dan
Menggunakan jamban. Pada tahap awal, GERMAS secara nasional dimulai
dengan berfokus pada tiga kegiatan, yaitu: 1) Melakukan aktivitas fisik 30 menit
per hari, 2) Mengonsumsi buah dan sayur; dan 3) Memeriksakan kesehatan
secara rutin. Tiga kegiatan tersebut dapat dimulai dari diri sendiri dan keluarga,
dilakukan saat ini juga, dan tidak membutuhkan biaya yang besar, tutur Menkes.
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
GERMAS merupakan gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden RI
yang mengedepankan upaya promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan
upaya kuratif-rehabilitatif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa dalam
memasyarakatkan paradigma sehat. Untuk menyukseskan GERMAS, tidak bisa
hanya mengandalkan peran sektor kesehatan saja. Peran Kementerian dan
Lembaga di sektor lainnya juga turut menentukan, dan ditunjang peran serta
seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari individu, keluarga, dan masyarakat
dalam mempraktekkan pola hidup sehat, akademisi, dunia usaha, organisasi
kemasyarakatan, dan organisasi profesi dalam menggerakkan anggotanya untuk
berperilaku sehat; serta Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam
menyiapkan sarana dan prasarana pendukung, memantau dan mengevaluasi
pelaksanaannya (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

Salah satu dukungan nyata lintas sektor untuk suksesnya GERMAS,


diantaranya Program Infrastruktur Berbasis Masyarakat (IBM) Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berfokus pada pembangunan
akses air minum, sanitasi, dan pemukiman layak huni, yang merupakan
infrastruktur dasar yang mendukung Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
dan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam hal keamanan pangan. Dalam

19
kehidupan sehari-hari, praktik hidup sehat merupakan salah satu wujud
Revolusi Mental. GERMAS mengajak masyarakat untuk membudayakan hidup
sehat, agar mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan atau perilaku tidak sehat.
Untuk itu, Pemerintah RI diwakili Menteri Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan RI, Puan Maharani, mencanangkan GERMAS pada
15 November 2016 di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Tidak hanya di
Bantul, GERMAS juga dicanangkan di sembilan wilayah lainnya, yaitu:
Kabupaten Bogor (Jawa Barat), Kabupaten Pandeglang (Banten), Kota Batam
(Kepulauan Riau), Kota Jambi (Jambi), Surabaya (Jawa Timur), Madiun (Jawa
Timur), Pare-pare (Sulawesi Selatan), Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah),
Kabupaten Padang Pariaman (Sumatera Barat). Pencanangan GERMAS
menandai puncak peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-52 yang jatuh
pada 12 November 2016. Tahun ini, HKN ke-52 mengusung tema Indonesia
Cinta Sehat dengan sub tema Masyarakat Hidup Sehat, Indonesia Kuat. Tema
ini harus dimaknai secara luas, seiring dengan Program Indonesia Sehat dengan
pendekatan keluarga melalui gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS).
Secara khusus, GERMAS diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan peran
serta masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan produktivitas masyarakat,
dan mengurangi beban biaya kesehatan (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2017).

20
Gambar 1: Program Indonesia Sehat
Sumber: (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).

D. Epidemilogi Secara Lokal


1. HIV/AIDS
Pada tahun 2015, di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan rekapitulasi
profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2015, kasus HIV sebesar 531 kasus,
sedang AIDS ada sebesar 99 kasus, dengan jumlah kematian akibat AIDS
sebanyak 30 orang.

2. DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus
akut yang disebabkan oleh virus dengue terutama menyerang anakanak dengan
ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan manivestasi perdarahan dan
bertendensi menimbulkan shock dan kematian. Penyakit DBD ini ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan mungkin juga Aedes Albopictus.
Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali
di ketinggian lebih 1.000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi penyakit
ini diperkirakan lebih kurang 7 hari. Penyakit DBD dapat menyerang semua

21
golongan umur. Sampai saat ini penyakit DBD lebih banyak menyerang anak-
anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan
proporsi penderita Demam Berdarah Dengue pada orang dewasa (Faziah,
2004).

Gambar 3: Jumlah Kasus DBD Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2015


Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2015

Gambar 3 memperlihatkan bahwa kasus DBD pada tahun 2015


terbanyak ada di Kabupaten Ketapang yaitu sebanyak 406 (42,69%) kasus
46 dari 951 total kasus di Kalimantan Barat, kemudian disusul oleh
Kabupaten Sintang sebanyak 113(11,9%) kasus, Kabupaten Kubu Raya 103
kasus (10,83%) Kota Pontianak sebanyak 49 Kasus (5,15%) dan Kabupaten
Kapuas Hulu sebanyak 48 kasus (5,05%). Sedang untuk Kabupaten/Kota
lainnya masih berada di bawah 5% dari total kasus yang ada. Di Provinsi
Kalimantan Barat dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi kasus DBD
yang cukup fluktuatif, berturut-turut mulai tahun 2011 terjadi 784 kasus
(CFR : 1,3%), tahun 2012 ada 1.614 kasus (CFR : 1,4%), tahun 2013 ada
838 kasus (CFR : 1,7%), tahun 2014 ada 5.049 kasus (CFR : 1,3%), dan
tahun 2015 ada 951 kasus (CFR : 1,6%).

22
DAFTAR PUSTAKA
A. N., & Wahyuni, C. U. (2015). Pengaruh Status Gizi Dan Riwayat Kontak
Terhadap Kejadian Tuberkulosis Anak Di Kabupaten Jember. Jurnal
Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 2 , 158-169.
Christy, M. Y. (2014). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dehidrasi
Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalijudan. Jurnal Berkala
Epidemiologi, Vol. 2, No. 3 , 297–308.
Indonesia, K. K. (2017, November 15). Germas Wujudkan Indonesia Sehat. Pp. 1-
9.
Nandasari, F., & Hendrati, L. Y. (2015). Identifikasi Perilaku Seksual Dan Kejadian
Hiv (Human Immunodeficiency Virus) Pada Sopir Angkutan Umum Di
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 , 377-386.
Soedirham, O. (2013). Hiv/Aids Sebagai Isu Human Security. Jurnal Promosi
Kesehromosi Kesehatan Vol 1 No. 1, 25-35.
Wahyuni, E. (2017). Upaya Who Dalam Menangani Virus Ebola Di Liberia Pada
Tahun 2014-2015. Ejournal Ilmu Hubungan Internasional Vol 5 (3) Issn
2477 – 2623, 995-1010.
Who. (2017, Juli Rabu). Retrieved From Http:Gakken-Idn/Articles/Masalah-
Kesehatan-Global-Di-Tahun-2017.
Zumaroh. (2015). Evaluasi Pelaksanaan Surveilans Kasus Demam Berdarah
Dengue Di Puskesmas Putat Jaya Berdasarkan Atribut Surveilans. Jurnal
Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 , 82-94.
Profil Kesehatan Kabupaten Kota Tahun 2011-2014 Dan Laporan Seksi Bimdal
Pemberantasan Penyakit Tahun 2015. Diakses Pada Tanggal 7 November
2017
Laporan Seksi Pemberantasan Penyakit Tahun 2015. Diakses Pada Tanggal 8
November 2017
Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2015. Diakses Pada Tanggal 8 November
2017
Seksi Bimdal Pemberantasan Penyakit Tahun 2015. Diakses Pada Tanggal 8
November 2017

Anda mungkin juga menyukai