Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

“SEORANG PEREMPUAN 17 TAHUN DENGAN CEDERA


KEPALA SEDANG”

Disusun untuk memenuhi tugas stase komprehensif


RS PKU MUHAMMADIYAH MAYONG

Disusun Oleh :
Amalia Octavianny (H2A012061)

Dosen Pembimbing :
dr. Septina Esti Ayu

STASE KOMPREHENSIF RSU PKU MUHAMMADIYAH MAYONG


FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
PERIODE 8 JANUARI – 3 MARET 2018

1
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................................
DAFTAR MASALAH ..........................................................................................
IDENTITAS PASIEN ...........................................................................................
ANAMNESIS .......................................................................................................
- Riwayat Penyakit Sekarang.......................................................................
- Riwayat Penyakit Dahulu..........................................................................
- Riwayat Penyakit Keluarga .......................................................................
- Riwayat Kebiasaan ....................................................................................
- Riwayat Sosial Ekonomi ...........................................................................
ANAMNESIS SISTEM ........................................................................................
PEMERIKSAAN FISIK .......................................................................................
- Keadaan Umum .........................................................................................
- Kesadaran ..................................................................................................
- Status Gizi .................................................................................................
- Vital Sign ..................................................................................................
- Status Internus ...........................................................................................
PEMERIKSAAN PENUNJANG ..........................................................................
- Laboratorium .............................................................................................
- EKG ..........................................................................................................
- USG ...........................................................................................................
- CT-Scan.....................................................................................................
DAFTAR ABNORMALITAS ..............................................................................
ANALISIS MASALAH ........................................................................................
RENCANA PEMECAHAN MASALAH .............................................................
ALUR PIKIR ........................................................................................................
PROGRESS NOTE ...............................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................

2
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

3
CATATAN MEDIS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. H.Y
Umur : 17 tahun
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat : Bandung 1/2 Mayong, Jepara
Tanggal pemeriksaan : 22 Januari 2018
II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal
22 Januari 2018, pukul 06.30 WIB di IGD RSU PKU Muhammadiyah
Mayong.
1. Keluhan Utama : Post kll tidak sadar
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSU PKU Muhammadiyah
Mayong diantar oleh penabrak dengan kondisi tidak sadarkan diri sejak
kecelakaan. Saat kecelakaan, pasien tidak sedang sakit. Pasien
mengalami luka lecet pada dagu dan punggung bawah. Tidak ada cairan
atau darah keluar dari telinga ataupun hidung pasien. Tidak ada muntah
setelah kecelakaan. Tidak ada kelemahan anggota gerak. Di rumah sakit
tersebut pasien mendapat pertolongan pertama, dibersihkan lukanya,
dilakukan pemeriksaan darah serta pemeriksaan foto rontgen kepala. Saat
dipindahkan ke HCU, pasien telah sadar namun gelisah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit jantung : disangkal

4
5. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Pribadi
Pasien bekerja di pabrik dan tinggal bersama kedua orang tuanya.
Kesan Ekonomi: cukup
III. DATA DASAR
Primary survey
 A : tidak ada sumbatan
 B : RR : 30 x /menit
 C : TD : 110/80 mmHg, N: 106 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup,
akral hangat, capp refill < 2
 D : GCS 3 (E1M1V1), pupil midriasis
 E : Suhu : 36,3 0C, terdapat hematom pada kepala bagian belakang
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 22 Januari 2018, pukul 08:00 WIB
di IGD RSU PKU Muhammadiyah Mayong
1. Keadaan umum
Keadaan umum : pasien tampak gelisah
Kesadaran : somnolen, GCS = E4M3V2 =9
2. Status Gizi
Berat Badan : 50 Kg
Tinggi Badan : 155 cm
IMT : 20,8 kg/m2
Kesan : normoweight
3. Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 106 kali/menit, isi dan tegangan cukup, irama
reguler
RR : 30 kali/menit, irama reguler
Suhu : 36,3 0C

5
Status Internus
Kepala : kesan mesosefal, rambut hitam, distribusi merata,
hematom pada kepala belakang (+), vulnus ekskoriasi
dagu
Mata : hematom palpebra (-/-), edem palpebra (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), injeksi konjungitva (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil bulat, central, reguler dan midriasis 4 mm/ 4 mm,
reflek pupil direk (-/-), reflek pupil indirek (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-) rhinorea(-), septum
deviasi (-)
Telinga : serumen (-/-), nyeri tekan (-/-) othorea(-), nyeri tekan
tragus (-)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi
berdarah (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Gigi : caries (-), missing(-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran
kelenjar tyroid(-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : statis : Normochest, simetris, kelainan kulit (-/-), sudut
arcus costa dalam batas normal, ICS dalam batas
normal
dinamis : pengembangan pernafasan paru normal
Palpasi : simentris, nyeri tekan (-/-), ICS dalam batas normal, taktil
fremitus dalam batas normal
Perkusi : sonor selurh lapang paruh
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

6
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V, 1 cm medial dari linea
Midklavikularis, thrill (-), pulsus epigastrium (-), pulsus
parasternal (-), sternal lift (-)
Perkusi : batas jantung atas : ICS II linea sternlis sinistra
Batas jantung kanan : ICS III linea sternalis dextra
batas kiri bawah : ICS VI, 1-2 cml linea midklavikula
sinistra
Batas kanan bawah : ICS V linea parasternal dextra
Konfigurasi jantung (dalam batas normal)
Auskultasi : regular, Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV

Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di sekitar,
Auskultasi : Bising usus (normal)
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, pekak sisi (+) normal,
pekak alih (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Tidak teraba pembesaran organ

Ekstremitas
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Akral pucat -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik/< 2 < 2 detik/< 2
detik detik

Status neurologikus
Kesan Umum
Kesadaran : Somnolen (Kualitatif)
Kuantitatif : GCS : E4M2V3

7
Pembicaraan :
Disartri : (-) Afasia Motorik : (-)
Monoton : (-) Afasia Sensorik : (-)
Kepala Muka :
Bentuk : Normal Mask (topeng) : (-)
Asimetri : Tidak ada Myopathik : (-)

Pemeriksaan Khusus
1. Rangsangan Selaput Otak (menings)
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski (1) tanda leher : (-)
Brudzinki (2) tungkai kontralateral : (-)
Brudzinski (3) tanda pipi : (-)
Brudzinski (4) tanda symphisis pubis : (-)

Penurunan kesadaran (+)


Papil oedem = tidak dilakukan pemeriksaan
Pupil anisokor (-)
2. Rangsangan radikuler (tidak dilakukan)
3. Saraf Otak (Pemeriksaan Nervus Cranialis)
NI kanan kiri
Anosmia Tidak Dilakukan
Hiposmia Tidak Dilakukan
Parosmia Tidak Dilakukan
Halusinasi Tidak Dilakukan
N II
Visus tidak dilakukan tidak dilakukan
Lapangan pandang tidak dilakukan tidak dilakukan
Melihat warna tidak dilakukan tidak dilakukan
Funduskopi tidak dilakukan tidak dilakukan

8
N III, IV, VI
Kedudukan Bola Mata ortoforia ortoforia
Pergerakan bola mata
Ke nasal (+) (+)
Ke Temporal atas (+) (+)
Ke bawah (+) (+)
Ke atas (+) (+)
Ke temporal bawah (+) (+)
Eksoftalmus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ptosis (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Lebar 4 mm 4 mm
Perbedaan Lebar Tidak ada Tidak ada
Reflek Akomodasi (-) (-)
NV
Cabang Motorik
Otot Masseter Baik Baik
Otot Temporal Baik Baik
Otot Pterygoideus int/ext Baik Baik
Cabang Sensorik (I) + +
(II) + +
(III) + +
Reflek Kornea Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VII
Waktu Diam kanan kiri
Mengerutkan dahi Sulit dinilai
Tinggi Alis Sulit dinilai
Sudut Mata Sulit dinilai
Lipatan Nasolabial Sulit dinilai

9
Waktu Gerak
Mengerut dahi Sulit dinilai
Menutup Mata Sulit dinilai
Bersiul Sulit dinilai
Memperlihatkan Gigi Sulit dinilai
Pengecapan 2/3 dpn lidah Tidak dilakukan Tida dilakukan
Sekresi air mata Tidak dilakukan Tida dilakukan
N VIII
Vestibular Kanan Kiri
Nistagmus (-) (-)

Cochlear
Weber Tidak dilakukan Tida dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tida dilakukan
Schwabach Tidak dilakukan Tida dilakukan
Tuli Konduktif Tidak dilakukan Tida dilakukan
Tuli Perseptif Tidak dilakukan Tida dilakukan

N 1X dan X
Bagian Motorik
Suara biasa/parau/tak bersuara : Biasa
Menelan : Sulit dinilai
Kedudukan Arcus Pharynx : Sulit dinilai
Kedudukan Uvula : Sulit dinilai
Pergerakan arcus pharynx/uvula : Sulit dinilai
Bagian Sensorik
Reflek Muntah (pharynx) : Sulit dinilai
Reflek Palatum Molle : Sulit dinilai

10
N XI
kanan kiri
Mengangkat bahu Baik Baik
Memalingkan kepala Baik Baik

N XII
kanan kiri
Kedudukan Lidah
Waktu istirahat Sulit dinilai
Atrofi Sulit dinilai
Fasikulasi/tremor Sulit dinilai
Kekuatan lidah menekan pipi Sulit dinilai

Extremitas
Superior Inferior
Inspeksi
Atrofi otot : (-) (-)
Pseudohypertrofi : (-) (-)
Palpasi
Nyeri : (-) (-)
Kontraktur : (-) (-)
Konsistensi : (-) (-)

Motorik
Kekuatan Otot : 555 555
555 555
Tonus otot Kanan Kiri
tonus otot lengan (N) (N)
hypotoni (-) (-)
Spastik (-) (-)
rigid (-) (-)

11
Refleks fisiologis
BPR Normal Normal
TPR Normal Normal
Refleks Patologis
Hoffman (-) (-)
Tromner (-) (-)
Refleks patologis
Babinsky (-) (-)
Chaddok (-) (-)
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Gonda (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel-Bechterew (-) (-)

Sensibilitas
Eksteroseptik Kanan Kiri
Rasa Nyeri Superficial tidak dilakukan tidakdilakukan
Rasa Suhu (Panas/dingin) tidak dilakukan tidakdilakukan
Rasa Raba ringan tidak dilakukan tidakdilakukan
Propioseptik
Rasa Getar tidak dilakukan tidakdilakukan
Rasa Tekan tidak dilakukan tidakdilakukan
Rasa Nyeri Tekan tidak dilakukan tidakdilakukan
Rasa Gerak dan Posisi tidak dilakukan tidakdilakukan
Rasa Kombinasi
Stereognosia Tidak dilakukan Tidadilakukan
Barognesia Tidak dilakukan Tidadilakukan
Graphestesia Tidak dilakukan Tidadilakukan
Topognesia Tidak dilakukan Tidadilakukan

12
Fungsi cerebellar dan koordinasi
Tes Romberg : tidak dilakukan
Jari-jari : tidak dilakukan
Jari-hidung : tidak dilakukan
Tumit-lutut : tidak dilakukan
Tandem walking : tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : tidak dilakukan
Rebound phenomenon : tidak dilakukan

Fungsi otonom
Miksi : terpasang kateter
Defekasi : inkontinensia alvi (-)
Sekresi keringat : baik

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 12,90 12 – 16 g/dl
Lekosit (SDP) 15.400 ↑ 4500-11000 / ul
Hitung jenis:
Eosinofil 1-3 %
Basofil 0-1 %
Batang 2-6 %
Segmen 46 50-70 %
Limfosit 47 20-40 %
Monosit 7 2-10 %
Trombosit 322.000 150.000 – 400.000 / mmM
Eritrosit 4.38 4.0-5.1 jt / ul
Hematokrit 37.2 37 – 43 % vol %
MCV 85.0 82-95 fl

13
MCH 29.4 27-31 pg
MCHC 34.6 32-37 g/dl
Glukosa Darah Sewaktu 175 ↑ 70-150 mg/dl

2. CT-Scan Kepala Tanpa Kontras


Kesan :
- Intracerebral haemorrage pada perisisterna basalis kanan
- Brain swelling
- Tidak tampak tanda peningkatan tekanan intracranial
- Tidak tampak fracture pada os cranium

VI. RESUME
Pasien Nn. NI, perempuan 17 tahun, datang dengan kondisi tidak
sadarkan diri sejak kecelakaan. Pasien mengalami memar di belakang kepala,
luka lecet pada dagu dan punggung bawah. Tidak ada cairan atau darah keluar
dari telinga ataupun hidung pasien. Di rumah sakit tersebut pasien mendapat
pertolongan pertama, dibersihkan lukanya, dilakukan pemeriksaan darah serta
pemeriksaan foto rontgen kepala. Saat dipindahkan ke HCU, pasien telah
sadar namun gelisah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan; tampak gelisah, somnolen, GCS 9,
TD=130/80 mmHg, Nadi= 106 kali/menit, isi dan tegangan cukup, irama
reguler, RR=30 kali/menit, irama reguler, Suhu= 36,3 0C.
Terdapat vulnus ekskoriasi pada dagu dan punggung bawah. Terdapat
hematom pada kepala bagian belakang. Hasil lab didapatkan kesan
leukositosis (15.400 ul). Hasil CT-Scan kepala tanpa kontras, kesan
intracerebral haemorrage pada perisisterna basalis kanan dan brain swelling.

14
VII. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
1. Penurunan 2. Tampak gelisah 9. Leukositosis
kesadaran 3. Somnolen 10. CT-Scan kepala, kesan
4. GCS masuk 3 intracerebral
E1M1V1 haemorrage pada
5. GCS setelah di perisisterna basalis
observasi 9 E4M3V2 kanan dan brain
6. Pupil midriasis swelling
7. Hematom pada kepala
belakang
8. Vulnus ekskoriasi
pada dagu dan
punggung bawah

VIII. DIAGNOSIS
Cedera Kepala Sedang

IX. PENATALAKSANAAN
1. Dx: pemeriksaan darah rutin, CT-Scan kepala
2. Tx : Non-medikamentosa
 Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
 Posisi tidur, bagian kepala ditinggikan sekitar 300
 Perawatan luka
 Pemasangan kateter

Medikamentosa
 IVFD RL 20 tetes/menit
 Inj. Ceftriakson 2 gr/ 24 jam
 Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg/ 12 jam

15
 Citikolin 2 x 500 mg
3. Mx: monitoring keadaan umum, tanda vital, GCS dan skala nyeri
4. Ex :
 Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai
penyakit dan keadaan pasien
 Memberikan informasi tentang penatalaksanaannya.
 Menjelaskan prognosis pasien

PROGNOSA
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

16
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Cedera kepala adalah cedera yang mengenai kepala dan otak, baik yang
terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Tulang tengkorak yang tebal
dan keras membantu melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami,
otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa terluka meskipun
tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang
berlawanan. Cedera percepatan-perlambatan kadang disebut coup contrecoup
(bahasa Perancis untuk hit-counterhit). Cedera kepala yang berat dapat
merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf, pembuluh darah dan
jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur
saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh
pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat
bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan
jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung
mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang
yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak
melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula
spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan
fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya
ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan
orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan
darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak
(hematoma subdural).

17
B. Definisi
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan
jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

C. Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tampak perlindungan tersebut, otak yang lembut akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Dan begitu rusak,
neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat diatas tengkorak terletak galea
aponeurotika yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara kulit dan
galea terdapat lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang mengandung
pembulu-pembuluh darah besar yang bila robek, sukar mengadakan
vasokontriksi sehingga dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna.
Tepat dibawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena
emisaria dan diploika, pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit sampai
ke dalam tengkorak.

18
Gambar 1: Tabula dan pembuluh darah di kepala.

Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan
oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding
bagian dalam disebut tabula interna yang mengandung alur-alur yang berisi
arteria meningea anterior, media, dan posterior. Apabila arteria tersebut
terkoyak maka akan tertimbun dalam ruang epidural.
Meningens terdiri dari tiga lapis dari luar ke dalam yaitu dura mater,
arakhnoid, dan pia mater. Dura adalah membran yang liat, semitranlusen, tidak
elastis dan melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak.

19
Gambar 2 : Lapisan meningens dan tempat perdarahan.

Fungsinya (1) melindungi otak, (2) menutupi sinus-sinus vena, (3)


membentuk periosteum tabula interna. Bagian tengah dan poterior disuplai
oleh a. Meningea media yang bercabang dari a. Vertebralis dan a. Carotis
interna. Arakhnoid adalah membran fibrosa halus dan elastis, membran ini
tidak melakat dengan dura mater, ruangan antara kedua membran disebut
ruang subdural. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai
sedikit jaringan penyokong sehingga mudah sekali terkena cedera dan robek
pada trauma kepala. Diantara arakhnoid dan pia mater terdapat ruang
subarakhnoid yang melebar dan mendalam pada daerah tertentu dan
memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Pia mater adalah membran
halus yang memiliki sangat banyak pembuluh darah halus dan merupakan
satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan
membungkus semua girus.

20
D. Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi
primer. Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan,
tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh
darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur
linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar
tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan
terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai
lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan
otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam
tengkorak, hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum.
Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan
otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat
kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup.
Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada
kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena
adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam
kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara
mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di batang otak. Saraf
otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan
intrakranial.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal.

21
Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak
banyak yang mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari
saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena
letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera
timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan
refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada
saraf V biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali
gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada
pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah
beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih
kembali, karena penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis
fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak
didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan
pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu
penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan,
mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai
dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari trauma
pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi
karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri.
Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.

22
Gambar 3: Patofisiologi cedera kepala.

23
E. Klasifikasi Cedera Kepala

Berdasarkan Berdasarkan
mekanisme beratnya

Cedera kepala Cedera kepala cedera kepala cedera kepala cedera kepala
tertutup terbuka ringan sedang berat

Berdasarkan
morfologi

Fraktura
Kulit Lesi Intrakranial
tengkorak

Vulnus Kalvaria Basilar Fokal Diffuse

Linear atau Kontusio


Laserasi Konkusi ringan
stelata serebri

Hematom Depressed atau Hematom


Konkusi klasik
subkutan, nondepressed epidural

Hematom Hematom Cedera aksonal


subgaleal subdural difusa

Perdarahan
subarakhnoid

Perdarahan
intraserebral

Gambar 4: Klasifikasi cedera kepala.

24
1. Berdasarkan Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan
penetrans atau terbuka. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna
untuk membedakan titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar
dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan
kesalah satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera
kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan,
jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan
dengan luka tembak dan luka tusuk.
a. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang
tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan
kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba
eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru
dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari
telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis
tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena
terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu
mendiagnosa adalah :
1) Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid )
2) Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
3) Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma
langsung )
4) Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
5) Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis
dan perdarahan.

25
Gambar 5: Tanda Cedera Kepala.

b. Trauma kepala tertutup


Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio
serebri. Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat
sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri terdapat
kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti
kerusakan otak disertai robekan duramater. Trauma kepala dapat
menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi
dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara
tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang
mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh
otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan
bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-
sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi
benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak
sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi
bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan)
jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan

26
di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-
sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di
tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre
coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari
sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah
yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan
yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi
tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya
countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam
tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam
tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini
adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
2. Berdasarkan lokasi trauma
a. Komusio serebri ( Gegar otak )
Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan
(kurang dari 10 menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-
noda didepan mata dan linglung. Konkusio adalah hilangnya
kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera
pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.
Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak
menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa
terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada
goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio
bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk
yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan
total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan
pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi,
emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini
bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami

27
kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini
disebut sindroma pasca konkusio. Sindroma pasca konkusio masih
merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa sindroma ini
biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli
belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau
faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa
membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu
dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala
yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang
beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala,
kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera
mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terdapat
kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan.
Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai
pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin
parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika
cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari
pertama.
b. Kontusio serebri (Memar otak )
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat
pecahnya pembuluh darah kapiler. Pada jaringan otak akan terdapat
kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre
coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek
pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan
temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan terjadi
edema otak.Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat
kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler
mengalami kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya.
Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak
karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut

28
ekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat
terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat.
Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh
darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi
iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini
selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi
aliran darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-
sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak
membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan
otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi
otak. Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam
berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio
yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio
serebri dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI
menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan
kebingungan atau bahkan koma.
c. Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak
dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena
cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di
dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa
terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi
dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada
usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala
setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan

29
otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya
menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan
menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi.
Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran
sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.
Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia
lanjut.
d. Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak
diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena
patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri
memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala
berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru
muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang,
tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat
penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat. Pada
pemeriksaan dengan CT-Scan akan tampak gambaran massa
hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign), atau ada
pula yang menyebutnya sebagai gambaran football shaped yang
secara tipikal terletak di bagian temporal tengkorak. Hematoma
epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
e. Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling
otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala
berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala
yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas secara

30
perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya
rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah dan didapatkan gambaran hiperdens
berbentuk konkaf atau menyerupai bulan sabit, atau sering disebut
crescentic sign. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan
kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut
dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
3. Berdasarkan Beratnya
a. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan
kesadaran hanya terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja.
Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal,
dapat terjadi amnesia retrograde.
b. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga
beberapa jam. Sering tanda neurologis abnormal, biasanya disertai
edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness dan confusion
yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif
maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan
bahkan permanen.

31
c. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut
koma. Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien
tidak mampu mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena
gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini status
vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien
digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1) Pupil tak ekual
2) Pemeriksaan motor tak ekual.
3) Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya
jaringan otak yang terbuka.
4) Perburukan neurologik.
5) Fraktura tengkorak depressed.

4. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom
subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat,
nyeri setempat, nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana
mestinya. Perdarahan subgaleal dapat besar sekali hingga
menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk kepala menjadi
besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang menekan
dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang
cair.
b. Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang
tengkorak. Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier
atau stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktur
tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis fraktur dapat
menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai
arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam

32
rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak
bisa merobek meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar
diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga
yang menandakan adanya fraktur basis cranii. Depresi pada kepala
atau muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila. Bakteri
kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut,
dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian
besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
c. Cedera aksonal difusa
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi
yang terjadi pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak
memiliki beberapa lapisan yang membentuknya. Pada saat terjadinya
trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut bergeser. Pergerakkan tiap
lapisan ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan
adanya penarikan neuron akibat perbedaan waktu pergeseran yang
bias menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan terjepit.
Akibatnya cairan dan ionic akan masuk ke axon dan menyebakan
pembengkakkan, yang nantinya akan menyebakkan kerusakkan
neuron. Akson terputus dan akson bagian distal akan terpisah. Pada
stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung distal

F. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala yang kesadarannya
cukup baik mencakup pemeriksaaan neurologis yang lengkap, sedangkan
pada penderita yang kesadarannya menurun dapat digunakan pedoman yaitu :
1. Tingkat kesadaran dengan mengitung nilai GCS
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata

33
G. Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( schullder )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap
cedera kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada
tulang tengkorak.
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik
ringan sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang
mengalami penurunan kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Selain untuk melihat adanya fraktur tulang
tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya perdarahan otak, efek
desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau terhadap
perkembangan perdarahan pada otak.

H. Penanganan Cedera Kepala


1. Cedera kepala ringan
Bila dijumpai penderita sadar dan berorientasi dengan GCS 13 –
15. Terdiri atas :
a. Simple head injury
1) Tidak ada penurunan kesadaran
2) Adanya trauma kepala ( pusing )
b. Commotio cerebri ( gegar otak )
1) Adanya penurunan kesadaran ( pingsan > 10 menit )
2) Amnesia retrograde
3) Pusing, sakit kepala, muntah
4) Tidak ada defisit neurologis
Manajemen:
a. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
1) Lendir, darah,muntahan, benda asing : lakukan penyedotan
dengan suction, pasang NGT

34
2) Posisi kepala dalam posisi netral, tidak miring ke kanan atau ke
kiri.
3) Lakukan intubasi endotrakeal terutama pada pasien GCS ≤ 7
tetapi sebelumnya harus diyakini tidak ada fractur cervical.
4) Foto rontgen cervical lateral dapat menjadi pilihan sebelum
melakukan tindakan intubasi. Apabila didapatkan fractur
cervical, maka tindakan yang dilakukan adalah tracheostomi.
b. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera
pasang oksigen.
c. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok
segera pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup
banyak bisa ditambah dengan tranfusi darah ( whole blood ). Pasang
kateter untuk memonitoring balans cairan.
Setelah kondisi pasien stabil, periksa tingkat kesadaran pasien,
perhatikan kemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau
tembus. Jika ada luka robek, bersihkan lalu di jahit. Foto rontgen
tengkorak dilakukan pada posisi AP dan Lateral. CT-scan kepala,
pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada
pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan. Observasi.
Kriteria rawat :
a. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
b. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. CT scan abnormal ( adanya fraktur, perdarahan )
f. Otorrhea, rhinorrhea
g. Semua cedera tembus
h. Indikasi sosial ( tidak ada pendamping di rumah )

35
Penderita yang tidak memiliki gejala seperti di atas diperbolehkan
pulang setelah dilakukan pemantauan di rumah sakit dengan catatan
harus kembali ke rumah sakit bila timbul gejala-gejala ( observasi 1 x 24
jam ) seperti :
a. Mengantuk dan sukar dibangunkan
b. Mual dan muntah hebat
c. Kejang
d. Nyeri kepala bertambah hebat
e. Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
f. Gelisah
2. Cedera kepala sedang
Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap dapat
mengikuti perintah sederhana ( GCS 9 – 12 ). Walau dapat mengikuti
perintah, namun dapat memburuk dengan cepat. Karenanya harus
ditindak hampir seperti halnya pasien cedera kepala berat tapi aspek
kedaruratannya tidak begitu akut. Penanganannya sama seperti pada
cedera kepala ringan ditambah dengan pemeriksaan darah. Bila kondisi
membaik,pasien boleh pulang dan control di poli. Pemeriksaan CT scan
perlu diulang apabila kesadaran pasien tidak membaik. Pada keadaan ini
pasien harus dirawat untuk di observasi.
3. Cedera kepala berat
Penderita kelompok ini tidak dapat mengikuti segala perintah
sederhana karena adanya gangguan kesadaran ( GCS 3 – 8).
Cedera kepala berat dapat dibagi menjadi :
a. Contusio cerebri
1) Pingsan > 10 menit
2) Kegelisahan motorik
3) Sakit kepala, muntah
4) Kejang
5) Pada kasus berat dapat dijumpai pernapasan cheyne stokes
6) Amnesia anterogard

36
b. Laceratio cerebri
Biasanya didapat pada fraktur terbuka maupun tertutup. Penangan
kasus ini mencakup :
1) Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti
pada cedera kepala ringan.
2) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera
atau gangguan di bagian tubuh lainnya.
3) Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex
cahaya pupil, respon motorik, respon verbal, respon okulo
sefalik ( Doll’s eye ).
4) Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
5) Rawat selama 7 – 10 hari.
6) Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
7) Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
8) Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.

I. Indikasi Operasi
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan
panduan sebagai berikut :
1. Volume massa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial
2. Volume massa hematom lebih dari 20 ml di daerah infratentorial
3. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
4. Tanda fokal neurologis semakin berat
5. Terdapat gejala TIK yang meningkat lebih dari 25 mmHg ( sakit kepala
hebat, muntah proyektil)
6. Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat pendorongan garis tengah sampai
lebih dari 3 mm atau penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan
ulang

37
J. Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung
kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak
dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak mengalami
kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami
kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk
menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan
berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan
pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami
kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil
alih fungsi bahasa. Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung
menyebabkan kelainan yang menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan
serta pergerakan lengan dan tungkai) dikendalikan oleh area khusus pada
salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya menyebabkan kelainan
yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan
menjalani terapi rehabilitasi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami
amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu
pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian


Rakyat. Jakarta : 2009

2. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit
BU, Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi :
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005

3. David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com.


Accessed on : 22 Juny 2013

4. Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:


http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on :
22 Juni 2013

5. Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at:


http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm. Accessed on : 22 Juni 2013

6. Asuhan Keperawatan Cedera Kepala (Trauma Capitis).


Available at : http://asepscience.wordpress.com/2009/06/14/asuhan-
keperawatan-cedera-kepala-trauma-capitis/. Accessed on : 22 Juni 2013
7. Hati-hati Jika Cedera Kepala. Available at :
http://www.tanyadokteranda.com/featured/2010/11/hati-hati-jika-cedera-
kepala. Accessed on : 22 Juni 2013

39

Anda mungkin juga menyukai