Anda di halaman 1dari 15

Perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah Sahutain (menghentikan atau menghindari

perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak
hewan dan sifat setan), Sakhotain (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau
budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa
menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk, dan Sekat (batas, orang hidup harus membatasi
diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan

Grebeg Muludan Sunting

Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12
(persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW) mulai jam 08.00 hingga 10.00 WIB. Dengan dikawal
oleh 10 macam bregada (kompi) prajurit Kraton: Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya,
Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis. Sebuah gunungan yang terbuat dari
beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan
melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang
melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap
bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap
sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan
bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.

Numplak Wajik Sunting

Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Numplak Wajik diadakan di halaman istana
Magangan pada jam 16.00. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai
kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi), dan semacamnya yang menandai awal dari
pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang
dimainkan dalam acara Numplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung
Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.

Sekaten - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

https://id.m.wikipedia.org › wiki › Sekaten

Telur Asin

Selain kinang dan mainan khas sekaten, pedagang telur asin juga ikut meramaikan suasana di Masjid
Agung Surakarta. Telur asin pun memiliki makna tersendiri.

"Telur asin dalam bahasa Jawa itu endhog kamal. Jadi manusia itu yang penting amalnya," ungkap dia.
https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-3740415/ini-fakta-fakta-unik-saat-gamelan-sekaten-
solo-dibunyikan-siang-nanti

PENGESAHAN

Makalah ini telah disetujui dan disyahkan oleh guru pembimbing dan kepala madrasah Aliyah YPKM
“Raden Fatah” Jungpasir Kecamatan Wedung Kabupatem Demak,pada :

Hari :

Tanggal :

Jungpasir, November 2015

Mengetahui,

Kepala madrasah Guru Pembimbing

Drs. Zainal Arifin Sabiq Khoeron S.pd.I


(ii)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

Ø “Hari ini harus lebih baik dari kemarin,dan hari esok harus lebih baik dari hari sekarang,dan begitupun
hari-hari berikutnya”

Ø “Ganntugkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit”

Ø “Buku adalah jendela dunia,jika anda inginkan dunia yang lebih baik maka bacalah buku sebanyak-
banyaknya”

PERSEMBAHAN :

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

Ø Allah yang Maha kuasa.

Ø Bapak Kepala Madrasah aliyah YPKM RADEN FATAH Jungpasir beserta staf-stafnya.

Ø Bapak Sabiq Khoeron yang telah membimbing dan membina saya.

Ø Kedua orang tua saya dan keluarga yam\ng saya sayangi.

Ø Serta teman-temanku yang aku sayangi.

Terlebih Kepada :

Pembaca yang telah menghargai hasil karya saya.

Selamat Membaca..!!!
( iii )

DAFTAR ISI :

Halaman Judul………………………………………………………………………………….…….i

Pengesahan………………………………………………………………………………………..…. ii

Motto Dan Persembahan……………………………………………………..….……….….. iii

Kata Pengantar………………………………………………………………………….……….…. iv

Daftar Isi……………………………………………………………………………………………..….v

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………….……………….............……………….1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….……….……….1

1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………….……1

1.4 Metode Penulisan……………………………………………………………….……………1

1.5. Manfaat…………………………………………………………………………………….……..1

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sekaten………………………………………………………………………….…….2

2.2Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta……………………………….……… 3

2.3 Grebeg Maulid……………………………………………………………………….……….. 5

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN…………………………………………………………………………………….7
3.2 SARAN………………………………………………………………………………………………7

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………. 7

( iv)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Alhamdulillah,segala puji bagi Allah SWT.yang telah melimpahkan taufiq,hidayah dan rahmatnya kepada
kami sehingga kami bisa melesaikan makalah yang sederhana ini.

Sholawa serta salam kami haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.yang kita nantikan
syafa’atnya di hari akhir nanti.

Makalah ini kami susun guna untuk memenuhi dan melengkapi sebagian tugas sebelum menghadapi
semester gasal tahun ajaran 2015/2016. Mungkin tanpa adanya bantuan dari guru pembimbing dan
bapak/ibu guru lainnya kami belum bisa menyelesaikan makalah yang sederhana ini.

Pembuataan makalah ini,tidak akan terwujud tanpa dukungan dan motivasi dari orang-orang yang
penting bagi kami, ucapan terima kasih kami haturkan kepada :

v Bapak Drs.Zainal Arifin, selaku Kepala madrasah Aliyah Raden Fatah

v Bapak Sabiq Khoeron S.pd.I selaku guru pembimbing dalam menyusun makalah ini.

v Kedua orag Tua yang telah membertikan bantuan baik moral maupun material.

v Serta Teman-teman kami yang memberikan motivasi dan dorongan dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini sedarhana dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami meminta
kritik dan sarannya agar kekuarangan yang terdapat dalam makalah ini dapat terlengkapi. Semoga
bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin

Atas perhatiannya,kami sampaikan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.


(v)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aqidah merupakan sumber energi manusia dalam menjalani kehidupan, baik dalam urusan dunia,
maupun urusan akhirat. hidup tanpa aqidah bagaikan berlayar perahu tidak berdayung, otomatis saat itu
juga akan tenggelam ke lautan, maka dari itu, mari kita tingkatkan keiminan serta aqidah kita, agar kita
tetap berdiri kokoh dalam menjalani menegakkan agama islam.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan Tradisi Sekaten

2. Menjelaskan Tradisi Grebeg Maulud

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, meliputi beberapa hal diantaranya :

1. Memahami salah satu tugas mata pelajaran

2. Mengetahui Tradisi Sekaten dan Grebeg Maulud

3.Semoga bermanfaat bagi para pembaca sebagai tambahan pengetahuan

4.Belajar mentafakuri perjuangan ulama terdahulu dalam mengembangkan agama islam yang baik

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini menggunakan metode literature, yaitu suatu tekhnik yang digunakan dengan cara
mengutip data dari internet dan referensinya, berhubungan dengan materi yang dibahas.
1.5. Manfaat

Kita dapat memperoleh banyak wawasan dan pengetahuan tentang tradisi sekaten dan grebeg maulud.
Kita juga dapat menerapkannya dalam kehodupan sehari-hari,karena tradisi sekaten dan grebeg mulud
memiliki makna-makna yang bermanfaat bagi kehidupan kita

(1)

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sekaten

Istilah sekaten berasal dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat, yaitu Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammmad utusan Allah.Penyelenggaraan perayaan
sekaten yang menjadi, mulai diselenggarakan pada masa kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden
Patah dengan bimbingan Wali Sanga. Acara sekaten kemudian diteruskan oleh sultan Demak
selanjutnya yaitu Pati Unus lalu Sultan Trenggono.

Walaupun ada sedikit perbedaan pendapat tentang apa yang menyebabkan sekaten pertama kali
dilakukan. Dapat ditarik kesamaan bahwa sekaten dimulai pada masa kerajaan Demak ketika
pemerintahan Raden Patah, untuk melestarikan tradisi perayaan tahunan yang sudah ada pada
masa Majapahit. Hal tersebut mungkin karena Raden Patah adalah anak raja terakhir Majapahit,
Prabu Brawijaya V, sehingga ingin melestarikan tradisi warisan leluhurnya. Ditambah sulitnya
menghilangkan tradisi yang sudah berakar di masyarakat waktu itu. Tapi tradisi yang berasal dari
masa Hindu-Budha Majapahit itu dianggap tidak sesuai dengan islam, maka atas kesepakatan
dengan wali sanga, tradisi itu disesuaikan dengan ajaran islam, yaitu dilaksanakan pada bulan
maulud tanggal duabelas dengan maksud memperingati hari kelahiran nabi Muhammmad.
Masyarakatpun menyambut dengan gembira, para wali sanga kemudian memanfaatkan sekaten ini
sebagai cara memperkenalkan islam pada masyarakat.

Padaperayaan sekaten, gamelan yang sangat disukai masyarakat dijadikan alat musik, hal ini
menarik masyarakat untuk datang. Gamelan sekaten masih menyisakan pertanyaan manakah
gamelan yang berasal dari warisan Prabu Brawijaya V dan dari Sunan Klijaga, karena kraton
Yogyakarrta dan kraton Solo memiliki sepasang gamelan. GamelanSekaten sebagai pusaka kerajaan
ikut berpindah tangan mengikuti kekuasaan mulai dari Demak, Pajang, Mataram lslam. Kemudian
Mataram lslam dipecah menjadi dua yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta,GamelaNsekaten juga dibagi dua. Namun tidak dapat dipastikan manakah
yangmendapat Gong kiai Sekar Delima warisan Brawijaya V dan Gong Kiai Sekati warisan sunan
Kalijogo.

(2)

Penelitian hanya menyebutkarena gamelan harus sepasang maka masing- masing membuat
gamelan baru sebagai pasangannya. Di Yogyakarta Gamelan sekaten diberi namaKiai Guntur Madu
dan Kiai Nagawilo. Di Surakarta gamelan sekaten diberi nama Gong Guntur Madu dan Kiai Guntur
Sari.

Masjid agung Demak yang dibangun para wali menjadi tempat penyelenggaraan sekaten.
Kedatangan masyarakat yang akan melihat perayaan sekaten kemudian disambut para wali serta
santrinya untuk diperkenalkan agama islam. Sebelum masuk, masyarakat diajari berwudhu,
diteruskan membaca kalimat syahadat, lalu masuk ke masjid mendengarkan ceramah tentang
agama islam.

Wali sanga menggunakan sekaten sebagai sarana memperkenalkan agama islam pada masyarakat
Demak. Perayaan sekaten turut andil dalam penyebaran agama lslam di pulau Jawa. Para wali
memanfaatkan sekaten untuk penyebaran agama islam. Perayaan sekaten turut mempercepat
proses islamisasi di pulau Jawa. Jadi sekaten digunakan untuk menyampaikan ajaran islam melalui
kebudayaan.

2.2Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta

Setelah menjadi sultan di Ngayogyakarto Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono l, untuk


pertama kalinya menyelenggarakan upacara perayaan sekaten.Sultan Hamengkubuwono l, yang
mempunyai perhatian terhadap tata cara dan adat keraton bermaksud meneruskan tradisi yang
sudah ada sejak sebelumnya Sekaten pada masa Pemerintahan Hamengkubuwono l melibatkan seisi
keraton, aparat kerajaan, seluruh lapisan masyarakat, dan mengharuskan pemerintah kolonial
berperan serta. Pada masa tersebut rakyat hidup aman, tentram dan sejahtera. Upacara kerajaan
seperti sekaten juga mencerminkan kemuliaan, kewibawaan keraton, kehidupan, dan tingkat
kebudayaan keraton. Keraton berfungsi sebagai pusat tradisi dan kebudayaan Jawa. Perayaan
sekaten juga terus dilangsungkan oleh sultan sesudahnya sampai

sekarang pada masa Sri Sultan Hamengkubuwonop X. Walaupun

dalam keadaan gawat seperti ketika Belanda membuat kemelut dengan menurunkan tahta Sri
Sultan Hamengkubuwono ll, digantikan Sri Sultan Hamengkubuwono lll, sekaten tetap
dilangsungkan.

Secara garis besar rangkaian upacara sekaten adalah sebagai berikut;

Perayaan sekaten diawali dengan slametan atau wilujengan yang bertujuan untukmencari
ketenraman dan ketenangan. Slametan ini dimulai dengan

pembuatan uborampai sampai perlengkapan gunungan. Ini juga sekaligus menandai pembukaan
pasar malam sekaten. Pada bagian ini masyarakat banyak berkunjung untuk mencari hiburan atau
membelui makanan yang dijual.

Satu minggu sebelum puncak acara sekaten gamelan dikeluarkan dari keraton dibawa ke Masjid
Agung, kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau miyos gongso. Selama
satu minggu gamelan Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Ngawila dibunyikan terus kecuali pada
saat adzan dan hari jumat.

Upacara numlak wajig yang bertempat di magangan kidul. Upacara ini menandai pembuatan
gunungan wadon. Upacara numplak wajik diiringi gejok lesung tujuannya agar pembuatan gunungan
wadon berjalan lancar.

Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sultan, pembesar keraton,
para bupati, abdi dalem dan masyarakat, selain itu juga dihadiri wisatawan yang ingin
menyaksikan.Pada acara ini dibacakan riwayat hidup Nabi Muhammad Miyos Dalem berakhir
dengan Kondor Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton.

Puncak acara dari perayaan Sekaten adalah grebeg maulid, yaitu keluarnya sepasang gunungan
dari Mesjid Agung seusai didoakan oleh ulama Kraton. Masyarakat masih percaya bahwa siapapun yang
mendapatkan gunungan tersebut, akan dikaruniai kebahagiaan dan kemakmuran. Kemudian tumpeng
tersebut diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat. Mereka meyakini bahwa dengan mendapat bagian
dari tumpeng akan mendatangkan berkah bagi mereka, karena itu mereka saling berebut. Selain di
Yogyakarta grebeg maulud ini juga ada di Surakarta, Banten dan Cirebon

Sekaten tidak hanya menjadi milik kerajaan saja, tetapi juga rakyat biasa.

Bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta baik yang di perkotaan maupun pedesaan, dari
berbagai lapisan sosial, memandang sekaten sebagai sesuatu yang penting dan merupakan upacara
khas kejawen dengan hikmah dan berkah, merupakan kebanggaan daerah

serta mengingatkan pada sejarah kerajaan Mataram


lslam yang didirikan Panembahan Senopati.

Bagi keraton, sekaten tetap di teruskan dan memiliki makna tersendiri. Makna religius berkaitan
dengan kewajiban Sultan menyiarkan agama lslam, sesuai dengan gelarnya, yaitu Sayidin
Panatagama yang berarti pemimpin tertinggi agama. Dari sejarahnya berkaitan dengan keabsahan
Sultan dan kerajaannya sebagai pewaris dari Panembahan Senopati dengan kerajaan Mataram
lslamnya dan lebih jauh lagi masih keturunan raja-raja dari masa kerajaan Hindu-Budha (Majapahit).
Makna kultural yaitu berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpinsuku Jawa

Perkembangan Sekaten Masa Kini

Pada mulanya, fungsi sekaten merupakan media penyampaian dakwah agama islam melalui
kebudayaan oleh wali sanga pada masa kerajaan Demak. Sekaten merupakan pengganti dan
penyesuaian tradisi yang sudah ada sebelumnya. Jadi fungsi utama sekaten sebagai syiar agama
islam melalui sarana kebudayaan. Para wali sanga dengan cerdas memanfaatkan kebudayaan
sebagai sarana dakwah.

Namun sekarang dengan perubahan jaman, nilai itu meluntur tapi tidak hilang, juga lebih
menonjolkan fungsi baru yaitu sisi komersil, ekonomi dan hiburan. Salah satu sisi baru dari sekaten
yang menonjol adalah dilihat secara ekonomi. Yaitu penyelenggaraan sekaten dikemas dalam Pasar
Malam Perayaan Sekaten atau biasa disingkat PMPS, yang dimulai sejak pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Pasar malam ini diselenggarakan selama sebulan di alun-alun selatan
dengan berbagai hiburan, stan penjualan, stan promosi, makanan-minuman, pertunjukan seni. Pasar
malam selama sebulan di alun-alun selatan menjadi semacam pesta bagi rakyat. Di pasar malam
sekaten terdapat hiburan rakyat yang sulit ditemui seperti ombak banyu,

tongsetan dan berbagai permainan lainnya. Pada hiburan seperti itu antusiasme masyarakat cukup
tinggi, karena permainan seperti itu sulit ditemui dan kebutuhan akan hiburan.

Perubahan dan perkembangan penyelenggaraan sekaten, juga bergesernya

makna sekaten tidaklah mengapa karena tidak menghilangkan esensi sekaten. Perubahan tersebut
tak terelakkan karena

perubahan cara berpikir masyarakat, perubahan kebutuhan dan berubahnya jaman. Perkembangan
sekaten juga menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Perubahan ini
menguntungkan dan memberi manfaat pada banyak pihak.

Penyelenggaraan sekatenpun menjadi aset pariwisata daerah. Sekatenpun menjadi wisata tidak
hanya bagi warga

Yogyakarta saja tapi juga dari luar Yogyakarta, terbukti ketika perayaan sekaten banyak wisatawan
dari luar daerah yang datang ke Yogyakarta untuk melihat sekaten. Ini menunjukkan bahwa sekaten
merupakan aset wisata yang menarik.
Dari sisi ritual, sekaten tetap terpelihara, dan masih mendapat perhatian terutama oleh generasi
tua. Bagi masyarakat terutama generasi tua yang masih percaya memaknai sekaten sebagai sarana
mencari berkah, sehingga merka berebut

gunungan.

Sekaten merupakan wujud akulturasi kebudayaan yang terus bertahan dan

berkembang melewati berbagai jaman sampai sekarang, maka harus tetap dilestarikan. Sekaten
merupakan

fenomena budaya yang unik, menarik dan langka yang berkaitan dengan berbagai hal. Sekaten
juga mngandung berbagai makna. Makna lama sudah

semakin memudar tapi muncul makna baru dari sekaten. Sekaten juga

mendatangkan manfaat bagi banyak orang.

Penyelenggaraan sekaten penting, kerena memang dibutuhkan dan menguntungkan banyak pihak,
dan berkaitan dengan banyak aspek. Sekaten di

Yogyakarta ini menarik untuk dipelajari

2.3 Grebeg Maulid

Grebeg Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun temurun dan mendapatkan
perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya. Acara Grebeg Maulud yang sudah digelar beberapa
bulan kemarin sedikit berbeda, upacara tradisional Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap
ditambah satu Gunungan yang diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal
(tahun dalam kalender jawa).

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat selama setahun menyelenggarakan upacara tradisional Grebeg Besar
sebanyak tiga kali yaitu Grebeg Syawal diselenggarakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, Grebeg
Besar bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha dan Grebeg Maulud atau bertepatan dengan peringatan
kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Upacara tradisional Grebeg Maulud ini berupa iring-iringan Gunungan Lanang, Wadon, Gepak, Pawuhan
dan Dharat yang dikeluarkan dari dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melewati Siti Hinggil,
Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Iringan
"Gunungan" tersebut dikawal oleh sembilan pasukan prajurit keraton, di antaranya prajurit Wirobrojo,
Ketanggung, Bugis, Daeng, Patangpuluh, Nyutro. Mereka mengenakan seragam dan atribut aneka warna
dan membawa senjata tombak, keris serta senapan kuno.

Ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya serta wisatawan mancanegara sejak pagi sudah mulai memadati
alun-alun utara. Dengan berdesak desakan ribuan pasang mata ini melihat kirab gunungan Grebeg
Maulud yang mulai bergerak dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju Alun-Alun Utara dan
berakhir di Masjid Gedhe.

Selanjutnya sejumlah "gunungan" dibawa ke Masjid Agung/Besar Kauman Yogyakarta, untuk diberkati
dan didoakan oleh penghulu keraton. Kemudian "gunungan" itu menjadi rebutan warga yang sudah sejak
pagi menunggu di halaman masjid tersebut. Sedangkan satu gunungan dibawa menuju Pura Pakualaman
dengan dikawal prajurit tradisional dan kemudian menjadi rebutanratusan warga setempat.
Mereka yang memperoleh bagian dari "gunungan" tersebut masih mempercayai bahwa sedekah Raja
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut akan membawa berkah
bagi kehidupan mereka.

Grebeg maulud dilaksanakan padan tanggal 12 bulan maulud,

tujuannya untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad. Mereka yang

berebut gunungan itu berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda.
Sebagai Srono (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari
pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu,
banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman
Kemandungan, di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Jogjakarta. Bagi para petani, dalam
kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat
tekadnya ini, mereka memberi cambuk (pecut) yang dibawanya pulang.

2.3 Grebeg Maulid

Grebeg Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun temurun dan mendapatkan
perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya. Acara Grebeg Maulud yang sudah digelar beberapa
bulan kemarin sedikit berbeda, upacara tradisional Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap
ditambah satu Gunungan yang diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal
(tahun dalam kalender jawa).

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat selama setahun menyelenggarakan upacara tradisional Grebeg Besar
sebanyak tiga kali yaitu Grebeg Syawal diselenggarakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, Grebeg
Besar bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha dan Grebeg Maulud atau bertepatan dengan peringatan
kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Upacara tradisional Grebeg Maulud ini berupa iring-iringan Gunungan Lanang, Wadon, Gepak, Pawuhan
dan Dharat yang dikeluarkan dari dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melewati Siti Hinggil,
Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Iringan
"Gunungan" tersebut dikawal oleh sembilan pasukan prajurit keraton, di antaranya prajurit Wirobrojo,
Ketanggung, Bugis, Daeng, Patangpuluh, Nyutro. Mereka mengenakan seragam dan atribut aneka warna
dan membawa senjata tombak, keris serta senapan kuno.
Ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya serta wisatawan mancanegara sejak pagi sudah mulai memadati
alun-alun utara. Dengan berdesak desakan ribuan pasang mata ini melihat kirab gunungan Grebeg
Maulud yang mulai bergerak dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju Alun-Alun Utara dan
berakhir di Masjid Gedhe.

Selanjutnya sejumlah "gunungan" dibawa ke Masjid Agung/Besar Kauman Yogyakarta, untuk diberkati
dan didoakan oleh penghulu keraton. Kemudian "gunungan" itu menjadi rebutan warga yang sudah sejak
pagi menunggu di halaman masjid tersebut. Sedangkan satu gunungan dibawa menuju Pura Pakualaman
dengan dikawal prajurit tradisional dan kemudian menjadi rebutanratusan warga setempat.
Mereka yang memperoleh bagian dari "gunungan" tersebut masih mempercayai bahwa sedekah Raja
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut akan membawa berkah
bagi kehidupan mereka.

Grebeg maulud dilaksanakan padan tanggal 12 bulan maulud,

tujuannya untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad. Mereka yang

berebut gunungan itu berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda.
Sebagai Srono (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari
pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu,
banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman
Kemandungan, di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Jogjakarta. Bagi para petani, dalam
kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat
tekadnya ini, mereka memberi cambuk (pecut) yang dibawanya pulang.

2.3 Grebeg Maulid

Grebeg Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun temurun dan mendapatkan
perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya. Acara Grebeg Maulud yang sudah digelar beberapa
bulan kemarin sedikit berbeda, upacara tradisional Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap
ditambah satu Gunungan yang diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal
(tahun dalam kalender jawa).

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat selama setahun menyelenggarakan upacara tradisional Grebeg Besar
sebanyak tiga kali yaitu Grebeg Syawal diselenggarakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, Grebeg
Besar bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha dan Grebeg Maulud atau bertepatan dengan peringatan
kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Upacara tradisional Grebeg Maulud ini berupa iring-iringan Gunungan Lanang, Wadon, Gepak, Pawuhan
dan Dharat yang dikeluarkan dari dalam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melewati Siti Hinggil,
Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Iringan
"Gunungan" tersebut dikawal oleh sembilan pasukan prajurit keraton, di antaranya prajurit Wirobrojo,
Ketanggung, Bugis, Daeng, Patangpuluh, Nyutro. Mereka mengenakan seragam dan atribut aneka warna
dan membawa senjata tombak, keris serta senapan kuno.

Ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya serta wisatawan mancanegara sejak pagi sudah mulai memadati
alun-alun utara. Dengan berdesak desakan ribuan pasang mata ini melihat kirab gunungan Grebeg
Maulud yang mulai bergerak dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju Alun-Alun Utara dan
berakhir di Masjid Gedhe.

Selanjutnya sejumlah "gunungan" dibawa ke Masjid Agung/Besar Kauman Yogyakarta, untuk diberkati
dan didoakan oleh penghulu keraton. Kemudian "gunungan" itu menjadi rebutan warga yang sudah sejak
pagi menunggu di halaman masjid tersebut. Sedangkan satu gunungan dibawa menuju Pura Pakualaman
dengan dikawal prajurit tradisional dan kemudian menjadi rebutanratusan warga setempat.
Mereka yang memperoleh bagian dari "gunungan" tersebut masih mempercayai bahwa sedekah Raja
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut akan membawa berkah
bagi kehidupan mereka.

Grebeg maulud dilaksanakan padan tanggal 12 bulan maulud,

tujuannya untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad. Mereka yang

berebut gunungan itu berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi awet muda.
Sebagai Srono (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari
pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu,
banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman
Kemandungan, di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Jogjakarta. Bagi para petani, dalam
kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat
tekadnya ini, mereka

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Istilah sekaten berasal dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat, yaitu Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammmad utusan Allah. Penyelenggaraan
perayaan sekaten yang menjadi, mulai diselenggarakan pada masa kerajaan Demak dibawah
pimpinan Raden Patah dengan bimbingan Wali Sanga. Acara sekaten kemudian diteruskan oleh
sultan Demak selanjutnya yaitu Pati Unus lalu Sultan Trenggono.

Grebeg Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun temurun dan mendapatkan
perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya. Acara Grebeg Maulud yang sudah digelar beberapa
bulan kemarin sedikit berbeda, upacara tradisional Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap
ditambah satu Gunungan yang diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal
(tahun dalam kalender jawa).

3.2 SARAN

Karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, Kami menerima saran dan keritik yang sifatnya
konstruktif dan sifatnya membangun dari semua pihak yang membaca Makalah ini, agar Makalah ini
akan lebih sempurna di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai