09 Uu 004
09 Uu 004
Menimbang :
a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai
oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian
nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan;
b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan
kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air
tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata
kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara
berkelanjutan;
c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat
mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri,
andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna
menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pasal 3
BAB III
PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 4
(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan
rakyat.
(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 5
BAB IV
KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
BAB V
WILAYAH PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan
kegiatan pertambangan.
(2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
WP terdiri atas:
a. WUP;
b. WPR; dan
c. WPN.
Bagian Kedua
Wilayah Usaha Pertambangan
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah
provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pasal 17
Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh
Pemerintah.
Pasal 18
Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah
sebagai berikut:
a. letak geografis;
b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lindungan lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e. tingkat kepadatan penduduk.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Wilayah Pertambangan Rakyat
Pasal 20
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum
ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
Bagian Keempat
Wilayah Pencadangan Negara
Pasal 27
Pasal 28
Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;
b. sumber devisa negara;
c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana;
d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;
e. daya dukung lingkungan; dan/atau
f. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.
Pasal 29
(1) WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) yang akan diusahakan
ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk IUPK.
Pasal 30
Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang berada pada lintas wilayah
provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pasal 31
Luas dan batas WIUPK mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki
oleh Pemerintah.
Pasal 32
Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah
sebagai berikut:
a. letak geografis;
b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lindungan lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e. tingkat kepadatan penduduk.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB VI
USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 34
Pasal 35
BAB VII
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
Pasal 37
IUP diberikan oleh:
Pasal 38
Pasal 39
(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib
memuat ketentuan sekurang-kurangnya:
a. nama perusahaan;
b. lokasi dan luas wilayah;
c. rencana umum tata ruang;
d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal.
(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b
wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
g. jangka waktu berlakunya IUP;
h. jangka waktu tahap kegiatan;
i. penyelesaian masalah pertanahan;
j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;
k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;
l. perpanjangan IUP;
m. hak dan kewajiban pemegang IUP;
n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
o. perpajakan;
p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran
produksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;
t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik;
v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan
x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan
mineral atau batubara.
Pasal 40
(1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis
mineral atau batubara.
(2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral
lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
(3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak
berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.
(5) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang
ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain
tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.
(6) IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat
diberikan kepada pihak lain oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 41
IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP.
Bagian Kedua
IUP Eksplorasi
Pasal 42
(1) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 8 (delapan) tahun.
(2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling
lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 43
(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP
Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib
melaporkan kepada pemberi IUP.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan
pengangkutan dan penjualan.
Pasal 44
Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 45
Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dikenai iuran
produksi.
Bagian Ketiga
IUP Operasi Produksi
Pasal 46
(1) Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi
sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
(2) IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau
perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah
mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 47
(1) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua)
kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(2) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
(3) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
(4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
masing 5 (lima) tahun.
(5) IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 48
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Eksplorasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pertambangan Mineral
Paragraf 1
Pertambangan Mineral Radioaktif
Pasal 50
Paragraf 2
Pertambangan Mineral Logam
Pasal 51
WIUP mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan
dengan cara lelang.
Pasal 52
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit
5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan
IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
Pasal 53
Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak
25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
Paragraf 3
Pertambangan Mineral Bukan Logam
Pasal 54
WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan
dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37.
Pasal 55
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling
sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu)
hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat
diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang
keterdapatannya berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
Pasal 56
Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling
banyak 5.000 (lima ribu) hektare.
Paragraf 4
Pertambangan Batuan
Pasal 57
WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara
permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
Pasal 58
(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima)
hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP
kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
Pasal 59
Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000
(seribu) hektare.
Bagian Kelima
Pertambangan Batubara
Pasal 60
WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara
lelang.
Pasal 61
(1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000
(lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP
kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.
Pasal 62
Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak
15.000 (lima belas ribu) hektare.
Pasal 63
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 64
Pasal 65
(1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib
memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan,
dan persyaratan finansial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB IX
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
(1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:
a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;
b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare; dan/atau
c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.
(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.
Pasal 69
Pemegang IPR berhak:
Pasal 70
Pemegang IPR wajib:
Pasal 71
(1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, pemegang IPR dalam
melakukan kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daerah
kabupaten/kota.
Pasal 73
BAB X
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 74
Pasal 75
(1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha
yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta.
(3) Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
(4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan
IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.
Pasal 76
Pasal 77
(1) Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi
Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya.
(2) IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan
hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4)
yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.
Pasal 78
IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a sekurang-
kurangnya wajib memuat:
a. nama perusahaan;
b. luas dan lokasi wilayah;
c. rencana umum tata ruang;
d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUPK;
h. jangka waktu tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan masalah pertanahan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal.
Pasal 79
IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b
sekurang-kurangnya wajib memuat:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
g. jangka waktu tahap kegiatan;
h. penyelesaian masalah pertanahan;
i. lingkungan hidup, termasuk reklamasi dan pascatambang;
j. dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang;
k. jangka waktu berlakunya IUPK;
l. perpanjangan IUPK;
m. hak dan kewajiban;
n. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/daerah, yang
terdiri atas bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;
Pasal 80
IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUPK.
Pasal 81
(1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUPK
Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib
melaporkan kepada Menteri.
(2) Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau batubara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk
melakukan pengangkutan dan penjualan.
(3) Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri.
Pasal 82
Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai iuran
produksi.
Pasal 83
Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha
pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi:
a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam
diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral
logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara
diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
d. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan
batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
e. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling
lama 8 (delapan) tahun.
f. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling
lama 7 (tujuh) tahun.
g. jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
masing 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan
pemerintah.
BAB XI
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 85
Pasal 86
(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) yang melakukan
kegiatan dalam WIUPK wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan
teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis,
persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XII
DATA PERTAMBANGAN
Pasal 87
Pasal 88
(1) Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan merupakan data milik
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah wajib disampaikan
kepada Pemerintah untuk pengelolaan data pertambangan tingkat nasional.
(3) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XIII
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha
pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.
Pasal 91
Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk
keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 92
Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau
batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran
produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif.
Pasal 93
(1) Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada
pihak lain.
(2) Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya
dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.
(3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat dilakukan dengan syarat:
a. harus memberi tahu kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya; dan
b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 94
Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 95
Pasal 96
Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib
melaksanakan:
a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
b. keselamatan operasi pertambangan;
c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan
reklamasi dan pascatambang;
d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk
padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum
dilepas ke media lingkungan.
Pasal 97
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan
sesuai dengan karakteristik suatu daerah.
Pasal 98
Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber
daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 99
(1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan
rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi
atau IUPK Operasi Produksi.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan
peruntukan lahan pascatambang.
(3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK
dan pemegang hak atas tanah.
Pasal 100
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana
jaminan pascatambang.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan
dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang
IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan
rencana yang telah disetujui.
Pasal 101
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau
batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara.
Pasal 103
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah
dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 104
(1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja
sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan
IUP atau IUPK.
(2) IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah IUP
Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh
Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak
memiliki IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 105
(1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud
menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP
Operasi Produksi untuk penjualan.
(2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu)
kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai iuran produksi.
(4) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 106
Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat,
barang, dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107
Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK
wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 108
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat.
(2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikonsultasikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 109
Pasal 110
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil
eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 111
(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas
rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 112
(1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang
sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau
badan usaha swasta nasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB XIV
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 113
Pasal 114
(1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan
yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan
paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali
untuk 1 (satu) tahun.
(2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir
pemegang IUP dan IUPK sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan
dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mencabut
keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 115
Pasal 116
BAB XV
BERAKHIRNYA Izin USAHA PERTAMBANGAN DAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
Pasal 117
Pasal 118
(1) Pemegang IUP atau IUPK dapat menyerahkan kembali IUP atau IUPK-nya dengan
pernyataan tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.
(2) Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
sah setelah disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya.
Pasal 119
IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP
atau IUPK serta peraturan perundang-undangan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.
Pasal 120
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IUPK telah habis dan tidak
diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan
permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut berakhir.
Pasal 121
(1) Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120
wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 122
(1) IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dikembalikan kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan
melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 123
Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh
data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
BAB XVI
Usaha Jasa Pertambangan
Pasal 124
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan
lokal dan/atau nasional.
(2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa
pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia.
(3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:
a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang:
1) penyelidikan umum;
2) eksplorasi;
3) studi kelayakan;
4) konstruksi pertambangan;
5) pengangkutan;
6) lingkungan pertambangan;
7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau
8) keselamatan dan kesehatan kerja.
b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang:
1) penambangan; atau
2) pengolahan dan pemurnian.
Pasal 125
(1) Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung
jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP
atau IUPK.
(2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau
perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja
lokal.
Pasal 126
(1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau
afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha
pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.
(2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila :
a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut;
atau
b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu.
Pasal 127
Pasal 128
(1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan
daerah.
(2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan
pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
(3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
b. bea masuk dan cukai.
(4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. iuran tetap;
b. iuran eksplorasi;
c. iuran produksi; dan
d. kompensasi data informasi.
(5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah; dan
c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 129
(1) Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan
batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6%
(enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak
berproduksi.
(2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai
berikut:
a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen);
b. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua
koma lima persen); dan
c. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat
bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen).
Pasal 130
(1) Pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah/batuan yang ikut
tergali pada saat penambangan.
(2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 128 ayat (4) huruf c atas pemanfaatan tanah/batuan yang ikut tergali pada
saat penambangan.
Pasal 131
Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang dipungut dari pemegang IUP,
IPR, atau IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 132
Pasal 133
(1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4)
merupakan pendapatan negara dan daerah yang pembagiannya ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah dibayar
langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga) bulan setelah disetor ke kas negara.
BAB XVIII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 134
(1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang
dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 135
Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya
setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.
Pasal 136
(1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang
IUP atau IUPK.
Pasal 137
Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 136 yang
telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 138
Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.
BAB XIX
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 139
Pasal 140
Pasal 141
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, antara lain, berupa:
a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral dan batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan
rancang bangun dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang
menyangkut kepentingan umum;
n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf
g, huruf h, dan huruf l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota
belum mempunyai inspektur tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang
yang sudah diangkat untuk melaksanaan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 142
Pasal 143
Pasal 144
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142 dan Pasal
143 diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Perlindungan Masyarakat
Pasal 145
(1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha
pertambangan berhak:
a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan
kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat
pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Bagian Kesatu
Penelitian dan Pengembangan
Pasal 146
Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan
Pasal 147
Pasal 148
BAB XXI
PENYIDIKAN
Pasal 149
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri
sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga
melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana
kegiatan usaha pertambangan;
d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;
e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha
pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga
digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;
g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam
kegiatan usaha pertambangan; dan/atau
h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha
pertambangan.
Pasal 150
(1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat
menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya
kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau
peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.
(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XXII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 151
Pasal 152
Pasal 153
Pasal 154
Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan
melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 155
Segala akibat hukum yang timbul karena penghentian sementara dan/atau pencabutan
IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b dan huruf c
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 156
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 157
Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas hak
pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.
BAB XXIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 158
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1),
Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 159
Pemegang IUP, IPR atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1),
Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau
menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 160
(1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi
produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 161
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang
menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,
penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48,
Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat
(3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 162
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari
pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 163
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh
suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana
denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan
maksimum pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 164
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal
161 dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
Pasal 165
Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan
Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling
lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
BAB XXIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 166
Setiap masalah yang timbul terhadap pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang berkaitan
dengan dampak lingkungan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 167
WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara
nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar
dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK.
Pasal 168
Pasal 169
Pasal 170
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat
(1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 171
Pasal 172
BAB XXVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 173
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 174
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 175
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ttd.
ANDI MATTALATTA