PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syok didefinisikan sebagai kondisi kompleks yang mengancam jiwa, yang ditandai
dengan tidak adekuatnya aliran darah ke jaringan dan sel-sel tubuh. Aliran darah yang
adekuat bagi jaringan dan sel-sel tubuh membutuhkan komponen-komponen sebagai
berikut:
1. Pompa jantung yang adekuat
2. Vaskulatur atau sistem sirkulasi yang efektif
3. Volume darah yang adekuat
Jika terjadi kerusakan dari salah satu komponen tersebut, maka aliran darah ke jaringan akan
terancam atau terganggu. Tidak cukupnya aliran darah ke jaringan mengakibatkan tidak
adekuatnya oksigen dan nutrisi ke sel, kelaparan sel, kematian sel, kegagalan organ dan
akhirnya kematian bila tidak ditangani (Hardisman. 2013).
Syok mempengaruhi semua sistem tubuh. Syok dapat berlangsung secara cepat atau
lambat tergantung dari penyebab yang mendasarinya. Selama proses syok, tubuh berjuang
mengatasi syok dengan cara mengaktifkan semua mekanisme homeostatik untuk
mengembalikan aliran darah dan perfusi jaringan. Syok dapat terjadi sebagai akibat dari
berbagai komplikasi penyakit dan oleh karenanya semua pasien mempunyai potensi untuk
mengalami syok (Brunner & Suddarth. 2013).
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya volume plasma
di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan
dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok
hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok
hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh
berbagai trauma hebat pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Kolecki Paul. 2013).
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud syok hipovolemik ?
2. Apakah etiologi dari syok hipovolemik ?
3. Bagaimana patofisiologi syok hipovolemik ?
4. Bagaimana tahapan syok hipovolemik ?
5. Bagaimana gambaran klinis syok hipovolemik ?
6. Bagaimana diagnosa dari syok hipovolemik ?
7. Bagaimana penatalaksanaan syok hipovolemik ?
8. Bagaimana pemeriksaan laboratorium syok hipovolemik ?
9. Apakah komplikasi syok hipovolemik ?
10. Apakah prognosis dari syok hipovolemik ?
11. Bagaimana WOC syok hipovolemik ?
12. Bagaimana algoritma syok hipovolemik ?
13. Bagaimana konsep dasar keperawatan syok hipovolemik ?
14. Bagaimana pengkajian kegawatdaruratan ?
2
C. Tujuan
1. Menjelaskan definisi syok hipovolemik
2. Menjelaskan etiologi syok hipovolemik
3. Menjelaskan patofisiologi syok hipovolemik
4. Menjelaskan tahapan syok hipovolemik
5. Menjelaskan gambaran klinis syok hipovolemik
6. Menjelaskan diagnosa syok hipovolemik
7. Menjelaskan penatalaksanaan syok hipovolemik
8. Menjelaskan pemeriksaan laboratorium syok hipovolemik
9. Menjelaskan komplikasi syok hipovolemik
10. Menjelaskan prognosis syok hipovolemik
11. Menjelaskan WOC syok hipovolemik
12. Menjelaskan algoritma syok hipovolemik
13. Menjelaskan konsep dasar keperawatan syok hipovolemik
14. Menjelaskan pengkajian keperawatan gawatdarurat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Syok
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan
oksigen jaringan tubuh. Syok terjadi akibat penurunan perfusi jaringan vital atau
menurunnya volume darah secara bermakna. Syok juga dapat terjadi akibat dehidrasi jika
kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau kehilangan darah ≥ 20% EBV
(estimated blood volume).
Secara umum, syok dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab, yaitu:4
1. Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)
2. Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
3. Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)
4. Distributif (vasomotor terganggu)
(Leksana Ery. 2015).
Syok mempengaruhi semua sistem tubuh. Syok dapat berlangsung secara cepat atau
lambat tergantung dari penyebab yang mendasarinya. Selama proses syok, tubuh berjuang
mengatasi syok dengan cara mengaktifkan semua mekanisme homeostatik untuk
mengembalikan aliran darah dan perfusi jaringan. Syok dapat terjadi sebagai akibat dari
berbagai komplikasi penyakit dan oleh karenanya semua pasien mempunyai potensi untuk
mengalami syok (Kolecki, P. 2016).
Syok adalah komplikasi pascaoperatif yang paling serius. Syok dapat digambarkan
sebagai tidak memadainya oksigenasi seluler yang disertai ketidakmampuan
mengekskresikan produk sampah metabolisme. Meskipun terdapat banyak jenis syok,
definisi dasar tentang syok secara umum berpusat pada suatu ketidakadekuatan aliran darah
ke organ-organ vital dan ketidakmampuan jaringan dari organ-organ ini untuk
menggunakan oksigen dan nutrien lain (Brunner & Suddarth. 2014).
Tanda-tanda klasik syok adalah:
1. Pucat
2. Kulit dingin, basah
3. Pernapasan cepat
4. Sianosis pada bibir, gusi dan lidah
5. Nadi cepat, lemah, dan bergetar
6. Penurunan tekanan nadi
7. Biasanya, tekanan darah rendah dan urin pekat
4
B. Klasifikasi syok
Berdasarkan etiologinya syok digolongkan atas:
1. Syok hipovolemik
2. Syok kardiogenik
3. Syok distributif
Beberapa penulis menambahkan kategori keempat yaitu syok obstruktif, yaitu syok yang
disebabkan oleh gangguan yang menyebabkan obstruksi mekanik pada aliran darah melalui
sistem sirkulasi sentral meskipun fungsi miokardium dan volume intravaskuler normal.
Contohnya termasuk adalah emboli paru, tamponade jantung, aneurisma aorta disekan aorta,
dan tensi pneumotoraks. Dalam pembahasan ini syok obstruktif akan dibahas sebagai contoh
dari syok kardiogenik non-koroner (Brotfain E. 2017).
Syok hipovolemik terjadi jika terdapat penurunan volume intravaskular. Syok
kardiogenik terjadi jika terdapat gangguan kemampuan pompa jantung, sebabnya dapat
berasal dari gangguan koroner atau non-koroner. Syok distributif atau vasogenik terjadi jika
terdapat gangguan aliran darah pada vaskulatur( ). Meskipun rencana pengobatan dan
rencana asuhan keperawatan berbeda-beda untuk berbagai tipe syok (akan didistribusikan
kemudian), disfungsi yang sebenarnya adalah sama untuk ketiga klasifikasi syok, yaitu
penurunan perfusi jaringan (Kolecki, P. 2016).
7
yang diserap kembali oleh darah. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui
ginjal atau sebagian kecil melalui tinja, keringat, dan air mata. Normalnya sekitar
135-148 mEq/lt.
b. Kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel yang berfungsi
sebagai exitability neuromukuler dan kontraksi otot. Keseimbangan kalium diatur
oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion natrium dalam tubulus ginjal dan
sekresi aldosteron. Aldosteron juga berfungsi mengatur keseimbangan kadar kalium
dalam plasma (cairan ekstrasel). Nilai normalnya sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.
c. Kalsium
Kalsium dalam tubuh berfungsi untuk pembentukan tulang dan gigi, penghantar
impuls kontraksi otot, koagulasi darah (pembekuan darah) dan membantu beberapa
enzim pankreas. Kalsium diekresi melalui urine, keringat. Konsentrasi kalsium
dalam tubuh diatur langsung oleh hormon paratiroid pada reabsorbsi tulang. Jika
kadar kalsium darah menurun, kelenjar paratiroid akan merangsang pembentukan
hormon paratiroid yang langsung meningkatkan jumlah kalsium darah.
d. Magnesium
Magnesium merupakan kation terbanyak kedua pada cairan intrasel. Keseimbangan
magnesium diatur oleh kelenjar parathyroid, dan magnesium diabsorbsi dari saluran
pencernaan. Magnesium dalam tubuh dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium. Jika
magnesium dalam plasma darah kadarnya menurun, maka ginjal akan mengeluarkan
kalium lebih banyak, dapat terjadi pada pasien alkoholisme kronis, muntah-muntah,
diare, gangguan ginjal. Nilai normalnya sekitar 1,5-2,5 mEq/lt.
e. Klorida
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Fungsi klorida biasanya
bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan osmotik
dalam darah. Normalnya sekitar 95-105 mEq/lt.
f. Bikarbonat
Bikarbonat adalah buffer kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada cairan
ekstrasel dan intrasel. Bikarbonat diatur oleh ginjal.
g. Fosfat
Fosfat merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Fosfat berfungsi
untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolisme kabohidrat, pengaturan
asam basa.
8
(Nik, H. 2016).
8. Mekanisme Pergerakan Cairan dan Elektrolit
Cairan dan elektrolit dalam tubuh selalu bergerak di antara ketiga tempat cairan tersebut,
yaitu intraseluler, interstitial, dan intravaskuler (Qingguang. 2014). Mekanisme
pergerakan cairan tubuh melalui tiga proses, yaitu:
a. Difusi
Difusi merupakan proses perpindahan partikel cairan dari konsentrasi tinggi ke
konsentrasi rendah sampai terjadi keseimbangan. Cairan dan elektrolit didifusikan
menembus membran sel. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul,
konsentrasi larutan, dan temperatur.
b. Osmosis
Osmosis merupakan bergeraknya pelarut bersih seperti air, melalui membran
semipermeabel dari larutan yang berkonsentrasi lebih rendah ke konsentrasi yang
lebih tinggi yang sifatnya menarik.
c. Transpor Aktif
Partikel bergerak dari konsentrasi rendah ke tinggi karena adanya daya aktif dari
tubuh seperti pompa jantung.
(Qingguang. 2014).
9. Cara Pengeluaran Cairan
Pengeluaran cairan terjadi melalui organ-organ seperti:
a. Ginjal
Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan cairan yang menerima 170 liter
darah untuk disaring setiap hari. Hasil penyaringan ginjal tersebut dikeluarkan dalam
bentuk urine. Produksi urine untuk semua usia 1 ml/kg/jam. Pada orang dewasa
produksi urine sekitar 1500 ml/hari. Jumlah urine yang diproduksi oleh ginjal
dipengaruhi oleh ADH danb.
b. Kulit
Hilangnya cairan melalui kulit diatur oleh saraf simpatis yang merangsang aktivitas
kelenjar keringat. Rangsangan kelenjar keringat dapat dihasilkan dari aktivitas otot,
temperatur lingkungan yang meningkat, dan demam. Hilangnya cairan melalui kulit
disebut juga dengan Isensible Water Loss (IWL), yaitu sekitar 15-20 ml/24 jam.
c. Paru-paru
Paru-paru menghasilkan IWL sekitar 400 ml/hari. Meningkatnya cairan
9
yang hilang sebagai respon terhadap perubahan kecepatan dan kedalaman napas
akibat pergerakan atau demam.
d. Gastrointestinal
Dalam kondisi normal cairan yang hilang dari gastrointestinal (melalui feses) setiap
hari sekitar 100-200 ml. Perhitungan IWL secara keseluruhan adalah 10-15 cc/kg
BB/24 jam, dengan kenaikan 10% dari IWL pada setiap kenaikan suhu 1 derajat
celsius.
(Qingguang. 2014).
10. Masalah Keseimbangan Cairan
Masalah keseimbangan cairan terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Hipovolemik
Hipovolemik adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan ekstraseluler
(CES), dan dapat terjadi karena kehilangan cairan melalui kulit, ginjal,
gastrointestinal, pendarahan sehingga menimbulkan syok hipovolemik. Mekanisme
kompensasi pada hipovolemik adalah peningkatan rangsangan saraf simpatis
(peningkatan frekuensi jantung, kontraksi jantung, dan tekanan vaskuler), rasa haus,
pelepasan hormon ADH dan aldosteron. Hipovolemik yang berlangsung lama dapat
menimbulkan gagal ginjal akut (Samir.2014).
Gejala: pusing, lemah, letih, anoreksia, mual muntah, rasa haus, gangguan mental,
konstipasi dan oliguri, penurunan tekanan darah, HR meningkat, suhu meningkat,
turgor kulit menurun, lidah kering dan kasar, mukosa mulut kering. Tanda-tanda
penurunan berat badan akut, mata cekung, pengosongan vena jugularis. Pada bayi
dan anak-anak adanya penurunan jumlah air mata. Pada pasien syok tampak pucat,
HR cepat dan halus, hipotensi, dan oliguri.
b. Hipervolemik
Hipervolemik adalah penambahan/kelebihan volume CES, dapat terjadi pada saat
stimulasi kronis ginjal untuk menahan natrium dan air, fungsi ginjal abnormal
dengan penurunan ekskresi natrium dan air, kelebihan pemberian cairan, dan
perpindahan cairan dari interstisial ke plasma. Gejala yang mungkin terjadi adalah
sesak napas, peningkatan dan penurunan tekanan darah, nadi kuat, asites, edema,
adanya ronchi, kulit lembab, distensi vena leher, dan irama gallop (Samir.2014).
10
a. Hiponatremia
Hiponatremia merupakan suatu keadaan kekurangan kadar natrium dalam plasma
darah ditandai dengan adanya rasa kehausan yang berlebihan, rasa cemas, takut dan
bingung, kejang perut, denyut nadi cepat dan lembab, hipotensi, konvulsi, membran
mukosa kering, kadar natrium dalam plasma kurang dari 135 mEq/lt. Dapat terjadi
pada pasien yang mendapat obat diuretik dalam jangka waktu yang lama tanpa
terkontrol, diare jangka panjang (Shukla A. 2017).
b. Hipernatremia
Hipernatremia merupakan suatu keadaan kadar natrium dalam plasma tinggi yang
ditandai dengan adanya mukosa kering, rasa haus, turgor kulit buruk dan permukaan
kulit membengkak, kulit kemerahan, konvulsi, suhu badan naik, kadar natrium
dalam plasma lebih dari 148 mEq/lt. Dapat terjadi pasien dehidrasi, diare,
pemasukan air yang berlebihan sedang intake garam sedikit.
c. Hipokalemia
Hipokalemia merupakan suatu keadaan kekurangan kadar kalium dalam darah
ditandai dengan denyut nadi lemah, tekanan darah menurun, tidak nafsu makan dan
muntah-muntah, perut kembung, otot lemah dan lunak, denyut jantung tidak
beraturan (aritmia), penurunan bising usus, kadar kalium plasma menurun kurang
dari 3,5 mEq/lt.
d. Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kadar kalium dalam
darah tinggi yang ditandai dengan adanya mual, hiperaktivitas sistem pencernaan,
aritmia, kelemahan, jumlah urine sedikit sekali, diare, kecemasan, dan irritable,
kadar kalium dalam plasma lebih dari 5,5 mEq/lt.
e. Hipokalsemia Hipokalsemia merupakan kekurangan kadar kalsium dalam plasma
darah yang ditandai dengan adanya kram otot dan kram perut, kejang, bingung,
kadar kalsium dalam plasma kurang dari 4,3 mEq/lt dan kesemutan pada jari dan
sekitar mulut yang dapat disebabkan oleh pengaruh pengangkatan kelenjar gondok,
kehilangan sejumlah kalsium karena sekresi intestinal.
f. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia merupakan suatu keadaan kelebihan kadar kalsium dalam darah,
yang ditandai dengan adanya nyeri pada tulang, relaksasi otot, batu ginjal, mual-
mual, koma dan kadar kalsium dalam plasma lebih dari 4,3 mEq/lt. Dapat dijumpai
11
pada pasien yang mengalami pengangkatan kelenjar gondok dan makan vitamin D
yang berlebihan.
g. Hipomagnesia
Hipomagnesia merupakan kekurangan kadar magnesium dalam darah yang ditandai
dengan adanya iritabilitas, tremor, kram pada kaki tangan, takikardi, hipertensi,
disoriensi dan konvulsi. Kadar magnesium dalam darah kurang dari 1,5 mEq/lt.
h. Hipermagnesia
Hipermagnesia merupakan kadar magnesium yang berlebihan dalam darah yang
ditandai dengan adanya, koma, gangguan pernapasan dan kadar magnesium lebih
dari 2,5 mEq/lt.
(Shukla A. 2017).
13
Arteriol yang berfungsi sebagai katup pengatur dari sistem arteri, memiliki dinding
otot yang kuat yang dapat menutup sama sekali arteriol tersebut sehingga
memungkinkannya untuk berdilatasi beberapa kali, dengan demikian dapat mengubah
aliran darah ke kapiler (Escobar F M. 2017).
Kapiler, karena fungsinya sebagai penukar cairan dan bahan gizi, memiliki dinding
yang sangat tipis dan permeabel terhadap zat yang bermolekul kecil. Selanjutnya dari
kapiler darah kemudian berlanjut menuju venula-venula yang kemudian bergabung
menjadi pembuluh darah vena (Marcus L. 2013).
Vena, karena berfungsi mengalirkan darah kembali ke jantung, memiliki tekanan
dinding yang sangat rendah dan sebagai akibatnya dinding vena tipis. Tetapi walaupun
begitu, dinding vena berotot yang memungkinkannya untuk mengecil dan membesar,
sehingga vena mampu menyimpan darah dalam jumlah kecil atau besar tergantung
kepada kebutuhan badan (Brotfain R. 2017).
2. Struktur dinding pembuluh darah
Dinding pembuluh darah terdiri dari 3 (tiga) lapisan, yaitu: lapisan terdalam yang
disebut sebagai tunika intima; yang ditengah disebut sebagai tunika media dan yang
terluar disebut sebagai tunika adventisia. Tunika intima terdiri dari selapis sel endotel
yang bersentuhan langsung dengan darah yang mengalir dalam lumen, dan selapis
jaringan elastin yang berpori-pori yang disebut membran basalis. Tunika media terdiri
dari sel-sel otot polos, jaringan elastin, proteoglikan, glikoprotein dan jaringan kolagen.
Dalam keadaan biasa, jumlah jaringan elastin yang membentuk tunika media aorta dan
pembuluh darah besar lainnya, lebih menonjol dibandingkan dengan otot polosnya.
Sebaliknya di pembuluh darah arteri lebih banyak dijumpai sel otot polos yang
membentuk tunika medianya. Perbedaan sel dalam tunika media menjadi tidak jelas
(tidak bisa dibedakan) bila sudah memasuki arteriol, bahkan tampaknya, dapat dikatakan
bahwa di dalam arteriol jaringan ikat dari tunika adventisia menjadi lebih dominan
(Frohlich M. 2016).
Dalam dinding kapiler pembuluh darah, tidak didapatkan lagi lapisan tunika media
dan yang ada adalah lapisan sel endotel. Pada sistem venosa, komponen tunika
jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sistem arterial. Tunika media tidak
begitu berkembang dan hanya terdapat pada vena kava dan pembuluh darah vena besar
lainnya. Pada vena-vena kecil dan venol, hanya jaringan ikat tuna adventisia yang lebih
dominan. Oleh karena itu sistem venosa lebih mudah mengalami dilatasi yang ireguler
dan menampung pembuluh darah paling besar (Klapa S. 2017).
14
Elastin yang bersifat hydrofobik berperan dalam mempertahankan elastisitas
dinding pembuluh darah, sedangkan jaringan kolagen berperan dalam mempertahankan
struktur dan bentuk pembuluh darah. Jaringan kolagen pada tunika media yang terdiri
dari tiga tipe yaitu, tipe I dan tipe II mengandung sel-sel fibril dengan diameter 20-90
nm, dan tipe III yang bersifat lebih elastik. Jaringan ikat kolagen yang ada dalam tunika
intima adalah jaringan kolagen tipe IV, sedangkan yang tipe V ada di membran basal.
Tunika adventisia yang merupakan lapisan terluar bertindak sebagai pelindung dan
terdiri dari banyak jaringan ikat, saraf otonom, pembuluh darah limfe dan vasa vasorum
(Escobar F M. 2017).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume
15
sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering,
syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik)
(Leksana Ery. 2015).
Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh kehilangan volume massive yang disebabkan
oleh: perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal hemoragi, atau kondisi yang
menurunkan volume sirkulasi intravascular atau cairan tubuh lain, intestinal obstruction,
peritonitis, acute pancreatitis, ascites, dehidrasi dari excessive perspiration, diare berat atau
muntah, diabetes insipidus, diuresis, atau intake cairan yang tidak adekuat (Mizrahi J D.
2017).
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik berasal dari
penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac output dan
tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong perubahan
metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan
akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolic (Kolecki P. 2016).
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya volume plasma
di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan
dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok
hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok
hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh
berbagai trauma hebat pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Hisamuddin N. 2016).
Syok hipovolemik terjadi karena volume intravaskuler berkurang akibat perdarahan,
kehilangan cairan akibat diare, luka bakar, muntah, dan third space loss, sehingga
menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel tidak adekuat.4 Beberapa perubahan
hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik adalah CO (cardiac output)
menurun, BP (blood pressure) menurun, SVR (systemic vascular resistance) meningkat,
dan CVP (central venous pressure) menurun (Kolecki Paul. 2013).
B. Etiologi
Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik dapat disebabkan oleh
hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit (Leksana Ery. 2015). penyebab syok
hipovolemik, antara lain:
1. Kehilangan darah
a. Hematom subkapsular hati
16
b. Aneurisma aorta pecah
c. Perdarahan gastrointestinal
d. Trauma
2. Kehilangan plasma
a. Luka bakar luas
b. Pankreatitis
c. Deskuamasi kulit
d. Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular
a. Muntah (vomitus)
b. Dehidrasi
c. Diare
d. Terapi diuretik yang agresif
e. Diabetes insipidus
f. Insufisiensi adrenal
Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu,
plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik
umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes
kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.
Tabel 1. Kondisi pasien syok hipovolemik
Kondisi-kondisi yang Menempatkan Pasien pada Risiko Syok Hipovolemik
Kehilangan cairan eksternal Trauma
Pembedahan
Muntah-muntah
Diare
Diuresis
Diabetes Insipidus
Perpindahan cairan internal Diabetes Insipidus
Hemoragi internal
Luka bakar
Asites
Peritonitis
(Obonyo H. 2017).
17
C. Patofisiologi
Tubuh manusia merespon akut perdarahan dengan mengaktifkan sistem fisiologi
utama: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (dengan cara
tromboksan A lokal 2 melepaskan). Selain itu, trombosit diaktifkan (juga dengan cara
tromboksan A lokal 2 release) dan membentuk bekuan yang belum matang pada sumber
perdarahan. Kapal rusak mengekspos kolagen, yang kemudian menyebabkan deposisi fibrin
dan stabilisasi bekuan darah. Sekitar 24 jam diperlukan untuk fibrinasi dari bekuan darah
dan pembentukan matang.deposisi dan stabilisasi bekuan darah. Sekitar 24 jam diperlukan
untuk fibrinasi dari bekuan darah dan pembentukan matang (Brunner & Suddarth. 2014).
Sistem kardiovaskular awalnya merespon syok hipovolemik dengan meningkatkan
denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan konstriksi pembuluh darah
perifer. Tanggapan ini terjadi sekunder untuk peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan tonus dasar vagal (diatur oleh baroreseptor di arkus karotid, arkus aorta, atrium
kiri, dan pembuluh paru). Sistem kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan
darah ke otak, jantung, dan ginjal dan jauh dari kulit, otot, dan saluran pencernaan (Shukla
A. 2017).
Sistem ginjal berespon terhadap syok hemoragik dengan merangsang peningkatan
sekresi renin dari aparatus juxtaglomerular. Renin mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang kemudian dikonversi menjadi angiotensin II oleh paru-paru dan hati.
Angiotensin II memiliki 2 efek utama, baik yang membantu untuk membalikkan syok
hemoragik, vasokonstriksi arteriol otot polos, dan stimulasi sekresi aldosteron oleh korteks
adrenal. Aldosteron bertanggung jawab untuk reabsorpsi natrium aktif dan konservasi air
berikutnya (Klapa S. 2017).
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan menyebabkan
peningkatan sirkulasi hormon antidiuretik (ADH). ADH dilepaskan dari kelenjar pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan BP (yang dideteksi oleh baroreseptor) dan
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). ADH secara tidak
langsung mengarah ke reabsorpsi peningkatan air dan garam (NaCl) pada tubulus distal,
saluran pengumpul, dan lengkung Henle (Frohlich M. 2017).
Patofisiologi syok hipovolemik jauh lebih terlibat daripada apa yang baru saja terdaftar.
Untuk menjelajahi patofisiologi secara lebih rinci, referensi untuk bacaan lebih lanjut
18
diberikan dalam daftar pustaka. Mekanisme yang rumit daftar di atas efektif dalam
mempertahankan perfusi organ vital pada kehilangan darah yang parah. Tanpa resusitasi
cairan dan darah dan / atau koreksi dari patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung
akhirnya berkurang (Brunner & Suddarth. 2014).
D. Tahapan Syok
Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah
kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi
oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot
jantung. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum syok
hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas
yang dingin dan pengisian kapiler yang lambat (Hardisman. 2013).
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik
tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang
dilakukan pada ujung-uung jari (refiling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan
persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat
tingkatan atau stadium. Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah sama
halnya dengan perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40% (Donna.
2014). Setiap stadium syok hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis
tersebut.
1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga
maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan
dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini
pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi
rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
2. Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadiperdarahan sekitar 15-30%. Pada
stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi
kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik
dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan
pasien menjadi lebih cemas.
3. Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala
yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat
19
hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali
permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang
sangat lambat.
4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat
ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba,
dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume
sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin
kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik. Selengkapnya stadium dan
tanda-tanda klinis pada syok hemoragik.
(Hardisman. 2013).
20
Berdasarkan perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan darah terlihat
bahwa penurunan refiling kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih dulu terjadi dari
pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang seksama
sangat penting dilakukan. Pemeriksaan yang hanya berdasarkan perubahan tekanan darah
sitolik dan frekuensi nadi dapat meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosoa dan
penatalaksanaan (neglected cases) (Nik H. 2016).
Tekanan nadi (mean arterial pressure: MAP) merupakan merupakan tekanan efektif
rata-rata pada aliran darah dalam arteri. Secara matematis tekanan ini dipadapatkan dari
penjumlahan tekanan sistolik dengan dua kali tekanan diastolik kemudian dibagi tiga
(Kolecki. 2016).
Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme
kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awalawal terjadinya kehilangan
darah, terjadi respon sistim saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas
dan frekuensi jantung. Dengan demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuuh perifer
sehingga telah terjadi penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi penurunan
tekanan nadi rata-rata (Klapa S. 2017).
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume sirkulasi
tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi tiga tahapan
yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan tahapan irevesrsibel. Pada tahapan
kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi
dengan meningkatkan respon simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi
mempertahankan fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistim organ.
Pada tahapan ini melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan
perfusi ke jaringan organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke
ekstremitas. Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin.
Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut sehingga
menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki. Kedaan klinis yang
paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistim filtrasi ginjal yang disebut sebagai gagal
ginjal akut (Escobar F M. 2017).
E. Gambaran Klinis
21
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, gejala utama syok hipovolemik adalah
penurunan tekanan darah dan suhu tubuh secara drastis. Selain itu ada beberapa gejala
lainnya yang menyertai kondisi ini, di antaranya:
1. Kulit tampak pucat.
2. Badan lemas.
3. Keluar keringat secara berlebihan.
4. Tampak bingung dan gelisah.
5. Nyeri dada.
6. Pusing.
7. Napas dangkal dengan deru cepat.
8. Denyut nadi lemah.
9. Jantung berdetak cepat.
10. Bibir dan kuku tampak biru.
11. Hilang kesadaran.
(Obonyo H. 2017)
F. Diagnosa
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Ketidakstabilan hemodinamik
yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan
tekanan darah, peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral
(Leksana, 2015).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok
hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi
nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu dan
turgor kulit (Hardisman, 2013).
Sebuah kesalahan umum dalam pengelolaan syok hipovolemik adalah kegagalan untuk
mengenali lebih dini, sering disebabkan oleh ketergantungan pada BP atau tingkat
hematokrit awal, daripada tanda-tanda penurunan perfusi perifer, untuk menegakkan
diagnosis. Kesalahan ini menyebabkan menunda dalam mendiagnosis penyebabnya dan di
resuscitating pasien. Juga perhatikan hal berikut:
1. Cedera pada pasien dengan trauma dapat terjawab, terutama jika pemeriksa berfokus
pada cedera lebih jelas. Kesalahan ini dapat dihindari dengan menyelesaikan
pemeriksaan fisik penuh, terus menerus dan memonitor status pasien, dan melakukan
22
pemeriksaan serial. lansia kurang toleransi untuk hipovolemia dibandingkan dengan
sisa populasi umum. Terapi agresif harus dilembagakan dini untuk mencegah
komplikasi potensial, seperti infark miokard dan stroke.
2. Pada pasien yang membutuhkan resusitasi volume yang luas, perawatan harus
dilakukan untuk mencegah hipotermia, karena ini dapat berkontribusi untuk aritmia
atau koagulopati. Hipotermia dapat dicegah dengan menghangatkan cairan intravena
sebelum administrasi mereka. Pasien yang memakai beta-blocker atau calcium channel
blockers dan mereka dengan alat pacu jantung mungkin tidak memiliki respon
takikardi hipovolemia; kurangnya respon dapat menyebabkan keterlambatan dalam
diagnosis syok. Untuk meminimalkan potensi keterlambatan ini, sejarah taking harus
selalu menyertakan mempertanyakan tentang obat. pemeriksa juga harus mengandalkan
tanda-tanda penurunan perfusi perifer selain takikardi.
3. Koagulopati dapat terjadi pada pasien yang menerima jumlah besar resusitasi volume.
Hal ini disebabkan dilusi platelet dan faktor pembekuan tapi jarang dalam satu jam
pertama resusitasi. Studi koagulasi dasar harus ditarik dan harus memandu administrasi
trombosit dan plasma beku segar.
(Hardisman. 2013).
23
Syok hipovolemik dapat di sebabkan kehilangan cairan eksternal seperti dalam
hemoragi, atau perpindahan cairan internal seperti dehidrasi berat, edema berat atau asietas.
Volume intravaskular dapat menurun dengan baik melalui kehilangan cairan dan
perpindahan cairan dan perpindahan cairan antara komprtemen intravaskular dan interstisial
(Brotfain E. 2017).
Urutan peristiwa dalam syok hypovolemik di mulai dengan penurunan dalam volume
intravaskular. Hal ini diakibatkan oleh penurunan arus balik darah vena ke jantung dan
akibat lanjut penurunan pengisian ventrikular. Penurunan pengisian ventrikular
mengakibatkan penurunan volume sekuncup (jumlah darah yang di pompakan dari jantung)
dan penurunan curah jantung. Ketika curah jantung menurun. Tekanan darah juga turun,
dan jaringan tidak dapat diperfusi secara adekuat (Brunner & Suddarth. 2015).
Penurunan volume
darah
24
Penurunan isi
sekuncup
Penurunan perfusi
jaringan
(Nik H. 2016)
25
intra vaskular, penting artinya untuk memberikan cairan yang akan tetap berada
dalam kompartemen intravaskular dan dengan demikian menghindari terciptanya
perpindahan cairan dari kompartmen intravaskular ke dalam kompartemen
intraselular
c. Redistribusi cairan.
Selain memberikan cairan untuk memulihkan volume intravaskular, pengaturan
posisi pasien yang tepat juga membantu redistribusi cairan. posisi Trendenlenburg
yang di modifikasi. Dengan meninggikan tungkai pasien, arus balik vena lebih di
tingkatkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Memberikan posisi klien dalam posisi
trendenlenburg sempurna akan membuat kesulitan bernafas dan karena nya tidak
di anjurkan.
Antishock trousers (MAST) mungkin di gunakan dalam situasi yang benar-
benar gawat di mana perdarahn tidak dapat dikendalikan seperti pada trauma atau
perdarahan retroperitonial. Alat ini adalah turniket tiga bilik yang di lilitkan di
sekeliling tungkai dan torso paien kemudian dikembangkan untuk mendorong darah
dari ekstermitas bawah ke dalam sirkulasi yang lebih yang tinggi. “Alat” ini
membantu mengontrol perdarahan dengan memberikan tekanan di atas tempat
perdarahan. MAST dapat juga di gunakan untuk menstabilkan fraktur saat
memindahkan pasien ke ruang oprasi.
Manakah sudah dikembangkan, MAST jangan di kempiskan untuk mengkaji
tempat luka atau memeriksa nadi perifer karena resiko penurunan tekanan darah
yang cepat dan hebat. Jika pasien sedang di ruang operasi dan siap untuk menjalani
pembedahan, MAST dapat mengakibatkan gangguan sirkulasi pada ekstremitas
bawah dan karenanya harus di gunakan hanya sebagai upaya terakhir dalam
mempertahankan tekanan darah.
(Mirazhi J D. 2017).
d. Medikasi
Jika pemberian cairan gagal untuk menangani syok,maka medikasi yang sama
di berikan pada syok kardigenik, digunakan karena syok hipovolemik yang tidak
teratasi akan mengarah pada syok kardiogenik (Joyce M, Hokanson H. 2014).
Jika penyebab yang mendasari hipovolomia adalah dehidrasi , medikasi akan di
resepkan untuk mengatasi penyebab dehidrasi. Sebagai contoh, insulin akan di
berikan pada pasien dengan dehidrasi sekunder terhadap hiperglikemia;
26
desmopresin (DDVP) untuk diabetes insipidus, preparat anti diare untuk diare dan
antiemetik untuk muntah-muntah (Joyce M, Hokanson H. 2014).
d. Perhatian
Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah
keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan
hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.
2. Ocreotide (Sandostatin)
Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek
farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama.
27
Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula
kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau
pankreas.
a. Dosis
Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus
intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari.
Anak-anak : 1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml
Saline Normal atau D5W.
b. Kontraindikasi
1) Hipersensitivitas
2) Kehamilan
3) Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan
pada beberapa penelitian pada binatang.
c. Perhatian
Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas
gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu
empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat
pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat
timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah
dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi
hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis
dapat terjadi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan Pasien Dengan Syok Hypovolemik
Pencegahan primer syok merupakan fokus keperawatan yang esensial. Syok
hipovolemik dapat di cegah dalam beberapa keaadaan dengan pemantauan ketat pasien
yang beresiko untuk mengalami defisit cairan dan membantu dalam pergantian cairan
sebelum volume sebelum intravaskular menipis. Pada keadaan lainnya, syok
hipovolemik tidak dapat di cegah dan asuhan keperawatan berfokus pada membantu
pengobatan yang di targetkan pada mengatasi pengebabnya dan memulihkan volume
intravaskular (Joyce M, Hokanson H. 2014).
Tindakan keperawatan umum termasuk memastikan pemberian dengan aman
cairan dan medikasi yang diresepkan dan mendokumentasikan pemberian tersebut
serta efeknya. Peran keperawatan yang penting lainnya adalah pemantauan pada
28
komplikasi dan efek samping pengobatan dan melaporkan tanda ini sedini mungkin
dalam perjalanan pengobatan.
Pemberian tranfusi darah dengan aman adalah peran keperwatan yang penting.
Dalam situasi kegawatan penting artinya dengan cepat mendapatkan spesimen darah
untuk menetapkan jumlah sel darah (JSD) dasar dan untuk menentukan golongan darah
serta melakukan cocok silang darah pasien untuk mengantisipasi tranfusi darah. Pasien
yang menenrima tranfusi produk darah harus di pantau dengan ketat terhadap efek yang
merugikan (Escobar F M. 2017)
Komplikasi penggantian cairan merupakan hal yang mungkin timbul, seringkali
terjadi bila sejumlah besar volume cairan di berikan dengan cepat. Karena nya perawat
memantau pasien terhadap kelebihan beban kerja kardiovaskular dan edema pulmonari.
Resiko komplikasi ini meningkat pada pasien lansia dan mereka yang telah mengalami
penyakit jantung sebelumnya. Pemantauan termasuk: pemantauan tekanan
hemodinamik, tanda vital, gas darah arteri, kadar hemoglobin dan hematokrit, serta
masukan dan haluran cairan. pengkajian fisik di fokuskan pada mengamati distensi
vena jugular dan pengamatan tekanan vena jugular (TVJ) pasien. TVJ akan rendah pada
syok hipovolemik; akan meningkatkan dengan penanganan yang efektif dan akan
meningkat dengan kelebihan cairan dan gagal jantung kongesif. Status jantung pada
pernapasan pasien di pantau dengan ketat; perubahan dalam frekuensi dan irama
jantung serta bunyi paru harus di laporkan oleh perawat pada dokter (Eric A. 2015).
Oksigen yang di berikan untuk meningkatkan jumlah oksigen yang di bawa oleh
hemoglobin yang tersedia dalam darah. Pasien yang dalam keadaan kelam pikir
mungkin akan merasa takut dengan masker oksigen atau kanula. Penjelasan yang sering
tentang pentingnya masker oksiger ini dapat mengurangi sebagian rasa takut dan
ansietas pasien. Secara simultan, perawat harus mengarahkan upaya pada tindakan yang
memberikan keamanan dan kenyamanan pasien (Samir. 2014).
3. Dalam melakukan penanganan pasien syock akibat hipovolemik serta akibat
kardiogenik harus dibedakan. Berikut cara penanganan pada pasien syock hipovolemik
:
a. Lakukan A-B-C (airway-breathing-circulation) dahulu.
b. Tinggikan posisi kaki pasien.
c. Jaga jalur pernafasaan.
29
d. Berikan cairan intra vena (infus) 2 - 4 liter dalam waktu 20 - 30 menit. Seperti cairan
infus RL (hati-hati pemberian terlalu cepat pada pasien asidosis hiperkloremia).
e. Jika perdarahan atau kehilangan cairan belum bisa diatasi maka lakukan cek kadar
hemoglobin, jika hasilnya < 10 g/dl maka berikan tranfusi darah.
f. Pastikan darah sesuai dengan golongan darah pasien serta disarankan darah yang
digunakan sudah menjalani tes uji silang.
g. membantu meningkatkan mean arterial pressure (MAP).
h. Perlu di ingat, selain resusitasi cairan, saluran pernafasan harus tetap dijaga.
(Qingguang. 2014).
H. Pemeriksaan Laboratorium
Setelah sejarah diambil dan pemeriksaan fisik dilakukan, pemeriksaan lebih lanjut
tergantung pada penyebab kemungkinan hipovolemia, seperti juga pada stabilitas kondisi
pasien. penelitian laboratorium awal harus mencakup analisis CBC, kadar elektrolit
(misalnya, Na, K, Cl, HCO 3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), laktat, waktu protrombin,
diaktifkan waktu parsial tromboplastin, GDA, urinalisis (pada pasien dengan trauma), dan
tes kehamilan urin. Darah harus diketik dan lintas-cocok (Frohlich M. 2016).
Pasien dengan hipotensi ditandai dan / atau kondisi tidak stabil pertama harus
diresusitasi secara memadai. Perawatan ini diutamakan atas pencitraan dan mungkin
termasuk intervensi langsung dan segera mengambil pasien ke ruang operasi. Hasil
pemeriksaan untuk pasien dengan trauma dan tanda-tanda dan gejala hipovolemia diarahkan
menemukan sumber kehilangan darah (Klapa S. 2017).
Pasien atraumatic dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi
di UGD jika aneurisme aorta perut dicurigai. Jika perdarahan GI diduga, selang nasogastrik
harus ditempatkan, dan lavage lambung harus dilakukan. Sebuah rontgen dada tegak harus
diperoleh jika ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave kemungkinan. Endoskopi dapat
dilakukan (biasanya setelah pasien telah mengakui) untuk lebih menggambarkan sumber
perdarahan. Tes kehamilan harus dilakukan pada semua pasien wanita usia subur. Jika
pasien hamil dan shock, konsultasi bedah dan pertimbangan samping tempat tidur
ultrasonografi panggul harus segera dilakukan di UGD. Syok hipovolemik akibat kehamilan
ektopik adalah umum (Brunner & Suddarth. 2015).
Jika diseksi dada diduga karena mekanisme dan temuan radiografi dada awal,
pemeriksaan mungkin termasuk echocardiography transesophageal, aortografi, atau CT
30
scan dada. Jika cedera perut traumatis dicurigai, sonografi abdominal terfokus untuk trauma
(FAST) pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak
stabil. Computed tomography (CT) scanning biasanya dilakukan pada pasien yang stabil.
Jika fraktur tulang panjang diduga, radiografi harus diperoleh (Hisamudin. 2016).
I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien syock hipovolemik adalah :
1. Kerusakan organ susunan saraf.
2. Kerusakan hati.
3. Kerusakan gingal.
Walaupun kerusakan organ akhir jarang terjadi pada syock hipovolemik, tetapi gagal ginjal
merupakan komplikasi yang sangat penting pada syock ini.
(Broftain E. 2017).
J. Prognosis
Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil dapat
bervariasi tergantung pada:
31
Algoritma Penatalaksanaan Syok Hypovolemik
Penderita perdarahan
32
1000-2000 ml dalam 30-60 menit.
Ulangi sampai 2-4 x lost volume
(kalau perlu 2 IV line)
Hemodinamik Hemodinamik
Evaluasi Emergency
33
maupun potensial yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Klapa, Sbastian.
2017).
Kegiatan asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan sistematikan proses
keperawatan yang merupakan suatu metode ilmiah dan panduan dalam memberikan
asuhan keperawatan yang berkualitas dalam rangka mengatasi kesehatan pasien.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi; pengkajian, diagnosa
keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi. Asuhan keperawatan di ruang gadar
sering kali di pengaruhi oleh karakteristik ruang gawat darurat itu sendiri, sehingga
dapat menimbulkan askep spesifik yang sesuai dengan keadaan (Obonyo, H. 2017).
Karakteristik uni dari ruangan gawat darurat yang dapat mempengaruhi sistem
asuhan keperawatan adalah;
a. Kondisi kegawatan sering kali tidak terprediksi, baik kondisi klien dan jumlah klien
yang datang ke ruang gawat darurat.
b. Keterbatasan sumberdaya dan waktu.
c. Pengkajian, diagnosis dan tindakan keperawatan di berikan untuk seluruh usia,
sering kali dengan data dasar yang sangat terbatas.
d. Jenis tindakan yang diberikan merupakan tindakan yang memerlukan kecepatan dan
tetapan tim.
e. Adanya saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan yang bekerja di
ruang gawat darurat.
Berdasarkan kondisi di atas prinsip umum keperawatan yang diberikan oleh
perawat di ruang gawat darurat meliputi:
a. Penjaminan keamanan diri perawat dan klien terjaga : perawat harus menerapkan
prinsip universal precaution dan mencegah penyebaran infeksi.
b. Perawat bersikap cepat dan tepat dalam melakukan triage, menetapkan diagnosa
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi yang berkelanjutan.
c. Tindakan keperawatan meliputi: resucitasi dan stabilisasi di berikan untuk mengatasi
masalah biologis dan psikologis klien.
d. Penjelasan dan pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga di berikan untuk
menurunkan kecemasan dan meningkatkan kerja sama klien atau perawat
e. Sistem monitoring kondisi klien harus dapat dijalankan
f. Sistem diokumentasi yang dipakai dapat digunakan secara mudah, cepat dan tepat.
g. Penjaminan tindakan keperawatan secara etik dan legal keperawatan perlu dijaga
(Klapa, Sbastian. 2017).
34
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Adanya sumbatan obstruksi jalan nafas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk, jika ada obstruksi maka lakukan ;
a) Chin lift / jaw trust
b) Suction / hisap
c) Guedel airway
d) Intubasi trakea dengan leher ditahan / imobilisasi pada posisi netral
2) Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan. Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing
pada pasien antara lain: Look, listen and feel; lakukan penilaian terhadap fentilasi
dan oksigenisasi pasien;
a) Inspeksi dari tingkat pernafasan sangat penting, apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut; cyanosis, penetrating injuri, flail chest, sucking chest
woundst,dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b) Palpasi untuk adanya; pergeseran ruling iga subcutaneus, emphy sema, perkusi
berguna untuk diagnosis hemothorax dan pneomotoraks.
c) Auskultasi untuk adanya suara abnormal pada dada.
3) Circulation
Langkah-langklah ydalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien antara lain:
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan. Cpr harus terus dilakukan
sampai devibrilasi siap untuk dilakukan. Kontrol perdarahan yang mengancam
kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan :
a) Menentukan ada atau tidaknya
b) Menilai kualitas secara umu (kuat atau lemah)
c) Identifikasi rate (lambat, normal, cepat)
d) Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia atau
(kafilari refill) lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4) Disability
Pada prymary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU:
35
a) A- alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan.
b) V – vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
di menegerti.
c) P – respons to pain only (harus dinilai semua ke empat tungkai jika ekstermitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d) U – unresponsive to pain jika tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal.
5) Ekspose
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien di
duga memiliki cidera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
dilakukan. Lakukan log-roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien
adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien.
(Mizrahi J, D. 2017).
b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat
menggunakan format AMPLE (alergi, medikasi, post ill nes, last mil dan ivent atau
environmen yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari
kepala hingga kaki, dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik.
Pengkajian sekunder menggunakan metode SAMPLE yaitu sebagaiberikut:
1) S : Sing and Symptom, tanda dan gejala terjadinya tension pneuomothorax, yaitu
ada jejak pada thorax, nyeri pada tempat trauma bertambah pada saat inspirasi,
pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi, pasien menahan dadanya
dan bernafas pendek dipsnea, hemoktisis, batuk dan emfisema subkutan.
2) A : Allergis, riwayat elergi yang diderita klien atau keluarga klien baik alergi
obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan atau minum.
3) M : Medications, pengobatan yang diberikan sebaiknya sesuai dengan kebutuhan
klien dan tidak menimbulkan alergi. Pemebrian obat juga diberikan sesuai
riwayat keadaan klien.
4) P : Previous medical/ surgical history, riwayat pembedahan atau masuk rumah
sakit sebelumnya.
36
5) E : Event, yaitu daerah lingkungan sekitar cidera.
(Mizrahi J, D. 2017).
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa / adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac arrest, penurunan kesadaran,
trauma mayor dengan perdarahan hebat.
Gawat tidak darurat Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan tindakan
(P2) darurat. Setelah dilakukan diresusitasi maka ditindaklanjuti oleh
dokter spesialis. Misalnya ; pasien kanker tahap lanjut, fraktur, sickle
cell dan lainnya
Darurat tidak gawat Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi memerlukan tindakan
(P3) darurat. Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik,
misalnya laserasi, fraktur minor / tertutup, sistitis, otitis media dan
lainnya
Tidak gawat tidak Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan tindakan
darurat (P4) gawat. Gejala dan tanda klinis ringan / asimptomatis. Misalnya
penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya
(Ainiyah N, dkk. 2015).
2. Model Konsep
Konsep adalah suatu ide dimana terdapat suatu kesan yang abstrak yang dapat
diorganisir menjadi simbol-simbol yang nyata.
Teori adalah sekelompok konsep yang membentuk sebuah pola yang nyata atau
suatu pernyataan yang menjelaskan suatu proses, peristiwa atau kejadian yang didasari
oleh fakta-fakta tetapi kurang bukti secara langsung.
37
Konsep keperawatan adalah ide untuk menyusun suatu kerangka konseptual atau model
keperawatan. Teori keperawatan adalah usaha-usaha untuk menguraikan atau
menjelaskan fenomena mengenai keperawatan.
a. Teori Betti Neuman
Neuman mengemukakan model sistem dlm pendidikan dan praktik
keperawatan. Menggunakan pendekatan manusia utuh (total person approach)
dengan memasukkan konsepholistik, open sistem dan konsep stressor. Model
ini menganalisa interaksi 4 variabel penunjang komunitas meliputi : fisik,
psikologis, sosial kultural dan spiritual.
konsep mayor dari teori Neuman :
1) Manusia
2) Lingkungan
3) Keperawatan
4) Kesehatan
(Harvie R. 2013)
3. Askep Hipovolemik
a. Pengkajian
Pertahankan kewaspadaan pada situasi yang mempredisposisikan pasien pada
syok (misal trauma, luka bakar , sepsis yang berlebihan ,diare, muntah).
Observasi adanya manifestasi syok:
1. Tanda klinis awal
a) Ketakutan
b) Peka rangsang
c) Takikardi yang tidak dapat dijelaskan
d) Tekanan darah norma
e) Penyempitan tekanan darah
f) Haus
g) Pucat
h) Penurunan keluaran urin
i) Penurunan perfusi ekstreminas
2. Syok tahap lanjut
a) Bingung dan somnolen
b) Takipnea
38
c) Asidosis metabolik sedang
d) Ekstremitas dingin dan pucat
e) Penurunan turgor kulit
f) Pengisian kapiler buruk
3. Ancaman henti jantung
a) Nadi lembut dan lemah
b) Hipotensi
c) Pernafasan periodik atau apnea
d) Anurea
e) Trupor atau koma
Pantau tanda-tanda vital, tekanan vena sentral, pengisian kapiler, masukan dan
pengeluaran, fungsi jantung pada saat masuk dan secara kontinu atau sangat sering.
Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya, jumlah darah, gas darah,
Ph, tes fungsi hati, kultur elektrolit, elektrokardiograf
(Donna L. Wong.2014).
4. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertugaran gas berhubungan dengan penurunan oksigen yang dibutuhkan
untuk perfusi jatingan yang rusak.
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah, penurunan volume
darah, penurunan tonus vaskular.
c. Ansietas berhubungan dengan perawatan kedaruratan,UPI.
d. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan hak yang berada dalam kondisi
yang mengancam kehidupan.
(NANDA. 2015-2017).
5. Intervensi Keperawatan
NO Diagnosis Keperawatan Intervensi
39
1 Pertugaran gas berhubungan 1. Beri oksigen sesuai ketentuan
dengan penurunan oksigen untuk menjamin oksigenasi
yang dibutuhkan untuk perfusi jaringan yang beradekuat
jatingan yang rusak. 2. Posisikan untuk menjaga agar
jalan nafas tetep terbuka (mis ,
leher pada posisi neural /
mengendus ) karena menderita
penyakit klitis tidak dapat
mempertahankan jalan nafas yang
adekuat .
3. Siapkan untuk inkubasi karena hal
ini mungkin di perlukan pantauan
jalan nafas artifisisal dan
ventilisasi meknis (bila di
implementasikan ) untuk
mempertahankan jalan nafas dan
memperbaiki vertilisasi.
4. Pantau dengan ketat (mis , tanda-
tanda vital , gas darah dan ph ,
pengisian kapiler, pucat atau
sianosis) untuk mengkaji kemjuan
terapi.
5. Pasang dan pantau apnea dan
monitor jantung untuk mengkaji
anak secara terus menerus .
40
perbaikan yang cepat terhadap
volume darah merupakan hal yang
penting pada situasi syok .
3. Beri obat obatan sesuai ketentuan
untuk memperbaiki curak jantung
dan sirkulasi (vasopresor).
4. Beri obat-obatan sesuai resep
untuk mengatasi gangguan yang
berkaitan ( mis,antibiotik untuk
syok septik).
5. Pantau yang ketat (termasuk
keluaran urin setiap jam dan
tekanan vena sentral ) untuk
mengkaji kemanjuran terapi .
41
area kritis perawatan (bila
mungkin)
3. Izinkan keluarga untuk melihat
anak sesegera mungkin
4. Dorong ekspesi perasaan ,
khususnya tentang kepahan
kondisi dan prognosis
5. Atur keberadaan sistem
pendukung keluarga(mis; teman,
rohaniawan) bila mungkin.
(Donna L. 2014)
BAB III
PENUTUP
B. Kesimpulan
42
DAFTAR PUSTAKA
43
Ainiyah N, Ahsan, Fathoni M. 2015. The Factors Associated with The Triage Implementation
in Emergency Department. Jurnal Ners. 10/1/2015.
Brotfain E, Klein Y, Toledano R, dkk. 2017. Urine Flow Rate Monitoring In Hypovolemic
Multiple Trauma Patients. Emergency Surgery. 12/41/2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5563012/pdf/13017_2017_Article_152.pdf
(diakses pada 30 Oktober 2017).
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&u
act=8&ved=0ahUKEwio3-
elpZjXAhWHrY8KHSQWCfQQFgglMAA&url=http%3A%2F%2Fjournals.ums.ac.id
%2Findex.php%2FBIK%2Farticle%2Fdownload%2F3799%2F2459&usg=AOvVaw3J
giJE_8OynDxyrz2gqNXh (diakses pada tanggal 23 Oktober 2017)
Escobar F M, Messa A, Millier S, dkk. 2017. Experience In The Use Of Non-Pneumatic Anti
Syock Garment (NASG) In The Management Of Postpartum Haemorrhage With
Hypovolemic Schok In The Fundacion. Reproductive Health. 14/58/2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5427550/pdf/12978_2017_Article_3
25.pdf (diakses pada 30 Oktober 2017).
Frohlich M, Driessen A, dkk. 2016. Is The Shock Index Based Classification Of Hypovolemic
Shock Applicable In Multiple Injured Patients With Severe Traumatic Brain Injury.
Resuscitation And Emergency Medicine. 24/148/2016.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5153863/pdf/13049_2016_Article_3
40.pdf(diakses pada 30 Oktober 2017).
44
Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan
Penyegar. Kesehatan Andalas. 2/3/2013.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=300061&val=7288 (diakses pada
23 Oktober 2017).
Klapa Sebastian, Mayne J, Kahler W, dkk. 2017. Decompression Illness With Hypovolemic
Shock And Neurological Failure Symtoms After Two Risky Dives: A Case Report.
Physiological Reports. 5/6/2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5371546/pdf/PHY2-5-e13094.pdf
(diakses pada 30 Oktober 2017).
Kolecki P, Menckhoff CR, Dire DJ, Talavera F, Kazzi AA, Halamka JD, et al. 2016.
Hypovolemic Shock Treatment & Management. Medscape. 2016
http://emedicine.medscape.com/article/760145- treatment
Mansgoer A, Safitri R, Trianti K, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Ausculapius
45
Marcus L, PHD, Torbjorn L, MD, PHD, dan Toste L, MD, PHD.2013. Decreased Circulatory
Response to Hypovolemic Stress in YoungWomen With Type 1 Diabetes. Diabetes
Journal. Org.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4016623/pdf/1757-7241-22-28.pdf.
(diakses pada 22 Oktober 2017)
Mizrahi J,D, Kaushik C, Adamo R, dkk. 2017. Hypovolemic Shock And Hemoperitoneum
From Spontaneous Avulsion Of A Large Pedunculated Uterina Leiomyoma.
Obestetric & Gynocologic. 11/15/2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5441463/pdf/jrcr-11-3-15.pdf
(diakses pada 30 Oktober 2017)
Nanda. 2015. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.2015-2017. JakartaEGC
Nik Hisamuddin NA Rahman, Rashidi Ahmad, and Meera Mohaideen Kareem.2016.
Ultrasonographic assessment of inferior vena cava/abdominal aorta diameter index:
a new approach of assessing hypovolemic shock class 1.internasoinal jurnal of
emergency medicine.alamat jurnal.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4376358/pdf/nihms673517.pdf
(diakses pada 22 Oktober 2017)
Obonyo H, Brent B, Kulpers I, dkk. 2017 Myo Cardial And Haemodinamic Responses To
Two Fluid Regimens In African Children With Severe Manutrition And Hypovolemic
Shock. Critical Care. 21/103/2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5415747/pdf/13054_2017_Article_1
679.pdf (diakses pada 30 Oktober 2017).
46
Qingguang Zhang, M.S., Charles F. Knapp, Ph.D., Michael B. Stenger, Ph.D.dll.2014.
Simulations of gravitational stress on normovolemic and hypovolemic men and women.
Biomedical.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3836157/pdf/4076.pdf. (diakses pada
22 Oktober 2017)
47