Anda di halaman 1dari 3

Kebijakan Impor Pangan

Selasa, 3 September 2013 | 13:57 WIB dimuat dalam Berita, Berita & Opini | Belum Ada
Komentar

Harianto, Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi (websetkab)

Oleh : Harianto, Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi

Setiap waktu-waktu tertentu seperti menjelang Ramadan, Lebaran dan Natal kenaikan harga
pangan hampir selalu terjadi dan menjadi masalah rutin setiap tahun. Malahan kadang-kadang
kenaikan harga pangan sudah dianggap tidak wajar. Misalnya, harga cabe rawit melonjak tajam
dari sebelumnya Rp 22.908 – Rp 27.721 per kilogram pada bulan Mei-Juni 2013 menjadi Rp
27.721 – Rp 46.192 per kilogram pada bulan Juni-Juli 2013. Kenaikan harga sebesar 63,03 %
tersebut menyebabkan andil dalam inflasi Juni 2013 cukup tinggi yaitu 0.02 %.

Sebagai upaya untuk mengatasi kenaikan harga pangan dalam negeri, pemerintah biasanya
melakukan impor pangan dari negara lain. Dengan melakukan impor, diharapkan harga pangan
dapat ditekan turun melalui peningkatan pasokan ke pasar dalam negeri. Kegiatan impor pada
umumnya berhasil membuat harga pangan kembali ke tingkat harga yang wajar dan sekaligus
dapat membuat harga pangan menjadi stabil.

Namun dibalik upaya impor pangan tersebut, ada sisi lain yang perlu diwaspadai dalam jangka
panjang. Dalam melaksanakan impor pangan pokok seperti daging sapi, kedelai dan gula,
pemerintah memberlakukan kebijakan kuota impor. Kebijakan kuota impor diartikan sebagai
suatu hambatan non tarif yang digunakan untuk membatasi jumlah komoditas pangan tertentu
yang boleh diimpor selama jangka waktu tertentu. Dengan demikian, secara umum kebijakan
impor kuota ditujukan untuk membatasi jumlah komoditas pangan tertentu yang diimpor dari
luar negeri dan sekaligus sebagai salah satu alat untuk mengendalikan harga komoditas tertentu
di pasar dalam negeri. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi impor
yang sah kepada perusahaan tertentu dan terbatas serta melarang impor tanpa lisensi.

Dalam perjalanan waktu ternyata kebijakan kuota impor menghadapi berbagai kendala.
Kendala pertama terkait dengan kesulitan mengetahui dengan tepat data produksi pangan. Data
prediksi produksi dari produk-produk pangan sering kali over estimate atau melebihi dari capaian
produksi yang sebenarnya. Misalnya, untuk jagung, data produksi menunjukkan surplus tetapi
kenyataannya Indonesia masih melakukan impor. Sementara untuk daging, mengutip data dari
hasil survei pertanian Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 yang menyebutkan stok sapi
Indonesia mencapai 15,6 juta ekor, tetapi dengan melihat kenyataan harga daging sapi yang
tetap masih tinggi maka diperkirakan data tersebut tidak akurat. Hal ini terbukti dengan hasil
survei BPS terakhir yang menunjukkan stok sapi berkurang hingga menjadi 13,2 juta ekor.

Suatu hal yang menjadi masalah dalam penghitungan data produksi sektor pertanian adalah
bahwa luas lahan dijadikan asumsi. Demikian pula konversi lahan yang terjadi di Jawa sudah
cukup masif, sementara data resmi menunjukkan pengurangan luas lahan tidak signifikan.
Penghitungan lain yang juga sering kali keliru adalah data tentang produktivitas tanaman.
Produktivitas tanaman sangat terpengaruh oleh infrastruktur pertanian seperti irigasi. Data resmi
menunjukkan produktivitas produk-produk pangan rata-rata meningkat setiap tahun, padahal
tingkat kerusakan infrastruktur pertanian masih banyak terjadi.

Akibat dari ketidaktepatan data produksi maka tidak mengherankan signalnya kemudian muncul.
Ketika permintaan naik dan pasokan tidak mencukupi maka harga semakin tidak terkendali dan
akibatnya pemerintah terpaksa mengimpor pangan melalui kuota impor untuk menjaga
kestabilan harga pangan di dalam negeri.

Kendala kedua berhubungan dengan masih tidak baiknya good governance dalam pelaksanaan
kebijakan kuota impor pangan. Kasus impor daging sapi yang mencuat dalam beberapa bulan
terakhir ini menunjukkan kepada kita betapa good governance masih menjadi masalah.
Kebijakan kuota impor ternyata menguntungkan beberapa pihak terutama pengimpor dan oknum
yang mempunyai akses terhadap kekuasaan yang bisa mengeluarkan kebijakan kuota impor.

Kebijakan kuota impor ini bisa membuat rent seeker muncul. Karena kebijakan kuota impor ini
juga disertai dengan pembatasan pada perusahaan mana yang bisa mengimpor, maka jumlah
kuota yang diimpor biasanya dapat mendatangkan keuntungan yang cukup besar. Dalam situasi
ini maka peluang untuk menjadi rent seeker terjadi. Ada kemungkinan perhitungan kuota impor
lebih rendah dari yang seharusnya sehingga harga komoditas pangan menjadi lebih tinggi.
Selisih harga beli di luar negeri dengan harga jual dalam negeri menjadi semakin melebar, dan
selisih ini yang bisa digunakan oknum untuk meminta bagian dari keuntungan perusahaan
pengimpor.

Kebijakan kuota impor juga berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen. Bagi konsumen,
kebijakan kuota impor akan mengurangi surplus konsumen yaitu perbedaan diantara kepuasan
yang diperoleh seseorang didalam mengkonsumsikan sejumlah barang dengan pembayaran yang
harus dibuat untuk memperoleh barang tersebut. Akibatnya, tingkat kepuasan konsumen akan
tertekan dan mengurangi kesejahteraan sosial. Jika kuota impor dibatasi dengan volume jauh di
bawah defisit antara penawaran dan permintaan produk pangan yang dihasilkan dalam negeri,
maka harga komoditas pangan akan meningkat. Peningkatan harga bisa menjadi tidak wajar dan
kondisi ini membuat konsumen dirugikan.

Kebijakan yang lebih prediktif

Kebijakan kuota impor dalam prakteknya masih menghadapi berbagai masalah seperti diuraikan
sebelumnya. Pertanyaan kemudian muncul apakah masih ada pilihan kebijakan yang lebih baik
dari kebijakan kuota impor. Lebih baik dalam arti bahwa pilihan kebijakan dapat membantu
meningkatkan produksi pangan dalam negeri, meningkatkan pemerataan pendapatan, tidak
mengganggu kinerja ekonomi nasional, dan meningkatkan kesejahteraan sosial secara umum.

Dalam konteks untuk membantu mencapai tujuan tersebut di atas, diperlukan kebijakan
alternatif yang lebih fleksibel dan dapat memenuhi good governance yang baik. Ada model
kebijakan lain yang bisa dijadikan alternative, yaitu kebijakan tarif impor. Tarif impor sekarang
merupakan suatu kebijakan perdagangan yang paling umum digunakan dalam perdagangan
internasional. Kebijakan tarif impor ini merupakan konsekuensi dari kesepakatan WTO. Pada
prinsipnya tarif impor adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor.

Kebijakan tarif impor ini lebih mudah dilaksanakan sebagai alternatif kebijakan impor pangan
karena berbagi alasan. Pertama, harga komoditas pangan di luar negeri dan dalam negeri dapat
diketahui dengan pasti pada setiap waktu. Dengan kemudahan tersebut, pemerintah tinggal
menentukan berapa besar tarif yang ingin diterapkan. Kedua, kebijakan tarif akan
menguntungkan pemerintah karena ada penerimaan yang pasti dari tarif. Penerimaan dari tarif
dapat menjadi sumber tambahan pendanaan pemerintah untuk berbagai keperluan, seperti untuk
insentif peningkatan produksi pangan dalam negeri.

Ketiga, bagi Indonesia sebagai negara pengimpor pangan yang tidak bisa memengaruhi harga
pangan dunia, kebijakan tarif ini memberikan perlindungan bagi produsen dalam negeri.
Kebijakan tariff impor membuat harga barang yang diimpor menjadi meningkat di pasar dalam
negeri. Kondisi ini membuat produsen dalam negeri tetap mendapat insentif dalam upaya
meningkatkan produksinya.

Pengalaman Uni Eropa dalam melaksanakan kebijakan tarif impor menarik untuk dijadikan
pengalaman dalam meningkatkan produksi dalam negeri. Uni Eropa mempunyai kebijakan
pertanian yang dikenal sebagai Common Agricultural Policy (CAP). Pada prinsipnya CAP
merupakan bentuk perlindungan yang didesain untuk mempertahankan produsen pertanian di
Uni Eropa dari serbuan produk luar Uni Eropa yang lebih murah. Hal ini dilakukan dengan
memberi subsidi produk pertanian yang dihasilkan Uni Eropa dengan sistem tarif impor (melalui
Variable Import Levy) dan secara bersamaan memberikan subsidi kepada petani melalui Single
Farm Payment. Jika terjadi kelebihan pangan yang dihasilkan maka Uni Eropa melakukan
intervensi ke pasar dalam bentuk pemberian subsidi ekspor kemudian disimpan dan seterusnya
dijual lagi atau dibuang. Hasilnya, Uni Eropa dalam waktu 20 tahun sejak kebijakan ini
dilaksanakan pada tahun 1955 kemudian menjadi salah satu negara pengekspor utama dunia
komoditas pangan sejak tahun 1975.

Memang pada akhirnya, pilihan kebijakan impor pangan adalah sesuatu yang tidak gampang
karena banyak kepentingan bersangkut di dalamnya, terutama kepentingan keuntungan ekonomi.
Tolak ukur yang sangat penting adalah bagaimana suatu kebijakan impor pangan bisa
mensejahterakan masyarakat secara umum, sekaligus dapat mewujudkan ketahanan pangan yang
dinginkan

Anda mungkin juga menyukai